Ini mengherankan. Makin terlihat buncit perut Kavia, dia makin terlihat cantik di mata Javas. Wanita itu memang luar biasa. Hanya saja Javas belum menyadari jika dirinya menginginkan lebih dari yang dia perkirakan. Dia selalu menganggap apa yang dia rasakan bukan hal yang perlu diperjuangkan. Jika suatu saat Kavia akan pergi darinya, dia tidak akan mencegah. Namun dia bisa menjamin. Selama kehamilan Kavia, dia akan bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan dan keperluan wanita itu. "Coba aku liat anakku lagi ngapain?" Kavia tertawa ketika dari belakang tangan Javas memeluk perut sambil menggelitikinya. Dia menepuk punggung tangan pria itu, lalu menarik lepas. Namun Javas malah menarik kembali dan membawanya duduk di sofa. "Adek, kamu lagi apa di sana? Kangen nggak sama papa?" tanya Javas sambil mendekatkan bibir ke perut Kavia. Dia lantas menempelkan telinga. Dan ketika mendengar ada reaksi di dalam sana dia berseru girang. "Wah ternyata kamu kangen papa!" Kavia yang memperhatik
Taman belakang rumah Javas penuh dengan hiasan balon berbentuk anggur dengan warna kombinasi antara biru muda, broken white, cokelat gold, dan merah. Boneka beruang dengan berbagai ukuran juga ikut menghiasi. Pita-pita besar, kumpulan bunga di vas berbentuk kaus kaki bayi, cake warna biru dan pink dengan tulisan 'He or she? Soon we will see!' di atasnya, menjadi pemandangan yang sanggup membuat siapa pun yang melihatnya akan tersenyum bahagia. "Harusnya acara ini diadakan di rumah kakek saja. Di sini terlalu sempit. Kakek bisa membuat acara yang lebih meriah," ujar Kakek Javendra seraya mengitari tempat itu dengan bola matanya. Kavia di depannya mengulum senyum. Lalu beranjak ke sisi pria tua itu. "Kami nggak mau merepotkan kakek. Lagi pula yang diundang ke sini hanya keluarga dan teman dekat aja. Nggak perlu yang rame. Ayo, kakek duduk dulu. Mami sama papi bentar lagi datang." Dia lantas menggandeng lengan Javendra dan menuntunnya ke salah satu meja yang disediakan. "Mana Javas? K
BEBERAPA HARI SEBELUMNYA================Tatap Erland terkejut ketika Kavia muncul di depannya. Dia yang ada di balik meja bar langsung melepas apron dan keluar menyambut wanita berwajah lesu itu. Dia sedikit cemas melihat rambut lepek wanita itu. Tidak biasanya Kavia berpenampilan seperti itu. Kavia yang Erland kenal adalah sosok cantik yang selalu tampil istimewa di mana pun dan kapan pun. "Kamu ke sini sama siapa?" tanya Erland langsung, lalu menggaet tangan Kavia dan menggiringnya duduk di salah satu meja. Kavia tersenyum tipis dan meletakkan tas yang dia bawa ke meja. "Sendiri. Di luar gerah banget wajahku sampai berminyak dan rambutku jadi bau gini," gerutunya sambil mengambil tisu basah dalam tas. Erland bernapas lega mendengar itu. Dia pikir wanita itu sedang dalam masalah. "Terus ngapain kamu ke sini sendirian? Kenapa nggak tunggu sama Javas? Atau kalau ada perlu kamu kan bisa chat biar aku datang ke apartemen." "Aku udah balik ke rumah Javas." Kavia bisa melihat mata E
"Dulu mami kira kalian pacaran." Javas menoleh ketika mendengar suara mami mertuanya. Wanita cantik itu bergerak mendekati Erland dan Kavia yang masih saja tertawa meributkan cupcake terakhir. "Abisnya kalian sedekat ini. Hati-hati loh nanti ada yang cemburu." Pangkal hidung Javas berkerut. Wajah mungkin menghadap para pria tua di hadapannya yang tengah asyik mengobrol, tapi telinganya terpasang sempurna untuk mendengar obrolan di belakang punggungnya. "Siapa sih yang cemburu? I'm a single man, Aunty." Itu suara Erland. Mendengarnya bikin Javas tidak sadar mendengus. "Kamu mengatakan sesuatu, Nak?" tegur Daniel, yang sontak membuat Javas terperanjat. Javas menggeleng. "Tidak ada, Pi." Daniel mengangguk tersenyum lantas kembali melanjutkan obrolan dengan Javendra dan Ricko. Javas kembali menyimak dengan wajah tenang. "Hei, my princess kan udah punya husband. What if her husband is jealous?" Suara Delotta kembali terdengar. Dan diam-diam Javas menyeringai mendengarnya. "Dia n
Lengan Kavia terhempas ketika tangannya hendak memeluk Javas di sebelahnya. Dia meraba permukaan empuk dan datar di sisi ranjang yang seharusnya menjadi tempat Javas. Saat menemukan kekosongan, dia segera membuka mata. Javas tidak ada di sebelahnya. Kavia bergerak bangun dengan hati-hati mengingat perutnya yang sudah makin membesar. Kepalanya celingukan ketika dia berhasil duduk. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Javas di kamar ini. Menengok ke arah jam digital di atas nakas seharusnya Javas belum ngantor. Sekarang masih pukul tujuh pagi. Kalau tidak ada meeting pagi, pria itu biasa berangkat pukul sembilan. Wanita bermanik biru itu menurun kaki ke lantai. Dia sempatkan menggelung rambut sebelum beranjak keluar kamar mencari Javas. Ruang makan menjadi tempat pertama yang dia tuju. Di sana dia melihat Latifa, salah satu asisten rumah tangga baru di rumah ini. Wanita muda itu agak terperanjat ketika melihat kedatangannya. "P-pagi, Nyonya," sapanya gugup. "Javas mana?" tanya Kavia lan
"Cukup bicara omong kosongnya. Sekarang dengerin aku."Kavia menunduk dengan muka sedikit berpaling dari hadapan pria itu. Tidak ada alasan yang membuat pria itu berhak marah. Kavia yang seharusnya marah di sini. Jadi ketika tiba-tiba Javas menghardik, hatinya sedikit terluka. "Ameera ada di sini itu karena pekerjaan. Dia sekarang menjadi brand ambassador salah satu produk di perusahaan kita. Dia datang bukan karena aku. Itu tadi kita meeting lagi bahas kerjaan," terang Javas penuh kehati-hatian. Suaranya kembali melembut. "Bagiku masa lalu ya masa lalu. Aku udah pernah bilang sebelumnya kalau nggak salah. Jadi, stop berpikir yang nggak-nggak." Pelan Javas meraih tangan Kavia dan menepuknya. Namun, dengan cepat Kavia menarik tangannya kembali.Apa Javas pikir Kavia akan merasa lega setelah mendapat penjelasan seperti itu? "Kalau pun dia datang karena kamu, itu urusannya. Dan kalau kamu menerimanya lagi, aku nggak peduli," ucap Kavia masih dengan kepala menunduk. Buru-buru dia meng
Sekretaris Javas tampak kaget dan langsung berdiri begitu Javas keluar sambil menggendong Kavia ala-ala bridal style. Bahkan sekretaris bernama Risma itu melebarkan mata sambil melengkungkan bibirnya yang terasa kaku. "Ibu kenapa, Pak?" tanya perempuan itu responsif. "Tidak apa-apa," sahut Javas sambil terus berjalan. "Hubungi supir saya suruh tunggu di depan lobi. Saya mau pulang." "Baik, Pak." Bukan hanya sekretaris Javas yang terkejut dan tertegun selama beberapa saat. Orang-orang yang baru keluar dari ruang meeting pun sama terkejutnya. Termasuk Ameera yang terakhir keluar bersama Phil. "Nyonya kenapa, Pak?" tanya Phil yang langsung cepat tanggap. "Dia tidak kenapa-napa. Kamu handle semua urusanku di sini," sahut Javas tanpa mempedulikan orang-orang yang melihatnya. Sementara Kavia sudah langsung sembunyi di dada Javas sejak keluar dari ruangan lelaki itu. Sebelum keluar, dia sempat meminta Javas untuk menurunkannya, tapi pria itu mengabaikan. Alhasil, dia hanya bisa pasrah
"Kamu mau ke kantor lagi?" Selimut Kavia melorot hingga dadanya yang menonjol dan besar terekspos. Dia membiarkan saja lantaran lebih fokus melihat Javas yang sibuk mengancing lengan kemeja. Pria itu sudah kembali berpakaian rapi setelah membersihkan diri. "Iya, ada meeting lagi yang harus aku hadiri." Terdengar desahan napas kecewa Kavia. Wanita itu mengempaskan kepalanya lagi ke bantal. "Ada apa?" tanya Javas menoleh sebentar. Tangannya sekarang sibuk mengikat dasi.Kembali mata biru itu melirik. "Apa nggak ada yang bisa gantiin kamu?" "Nggak ad—" Javas yang masih menghadap cermin kembali menoleh cepat. "Kamu mau aku cuti?" Kavia mengangguk dengan alis terangkat. Sementara bibirnya mencebik manja. Hal itu langsung bisa mengundang senyum Javas. Pria itu menarik kembali dasi yang hampir selesai dipasang dan beranjak menghampiri Kavia. "Apa yang mau kamu lakukan kalau aku cuti?" tanya pria itu sambil mengawasi istrinya. Wajah kemerahan Kavia tersipu. Dia makin terlihat cantik d