"Kavia... Aku mau kamu..." Bersamaan dengan itu tubuh Kavia terdorong ke belakang lantaran pintu kamar tiba-tiba terbuka. Kelopak mata wanita itu spontan terbuka lebar mendapati dirinya mungkin saja akan terjatuh. Namun lengan Javas dengan cekatan meraih pinggangnya. Tidak hanya itu, pria itu bahkan sengaja mendorong pintu semakin terbuka, lalu dirinya melangkah masuk membawa Kavia turut serta. Kejadiannya begitu cepat. Hingga tanpa sadar Kavia sudah berada di ranjang tidurnya. Terlentang dengan posisi Javas di atasnya. Dia masih agak syok saat pinuu terbuka tadi. Jika Javas tidak meraihnya dengan cepat sudah pasti dirinya akan jatuh terperenyak. "Ja-Javas, ini---" Baru saja Kavia membuka suara bibir lembut Javas membungkamnya. Pria itu seolah tidak memberinya waktu untuk bicara. Kavia yang kembali dibuat terkejut tidak berusaha mendorong pria itu menjauh. Dua tangannya bahkan refleks meremas jas yang Javas pakai ketika ciuman pria itu terasa makin menuntut. Pun matanya lantas terp
Tidak seperti biasanya yang pulang menjelang senja, hari ini Javas pulang ke apartemen cukup larut. Pekerjaan mengharuskannya untuk tinggal di kantor lebih lama. Dan mengharapkan Kavia masih terjaga di jam selarut ini jelas mustahil. Ketika memasuki unit, dia langsung mengarah ke kamar. Lampu utama kamar sudah padam dan di atas ranjang, Kavia terlihat begitu lelap tertidur. Javas menghela napas, lantas kembali menutup pintu kamar. Tidak mungkin dia mengganggu tidur istrinya untuk melanjutkan yang tertunda siang tadi. Tidak ada pilihan lain, dia pun memutuskan tidur setelah membersihkan diri. Javas merentangkan selimut sebelum merebah pelan ke atas sofa. Ya, meskipun Kavia terlihat sudah menerima dirinya lagi, belum tentu wanita itu membolehkannya tidur satu ranjang. Salah-salah bisa diusir secara tidak terhormat nanti. Rasanya baru beberapa menit lalu dia tertidur pulas, tapi sebuah pergerakan membuatnya kembali terjaga seketika. Dia membuka mata saat melihat bayangan seseorang sep
Ini mengherankan. Makin terlihat buncit perut Kavia, dia makin terlihat cantik di mata Javas. Wanita itu memang luar biasa. Hanya saja Javas belum menyadari jika dirinya menginginkan lebih dari yang dia perkirakan. Dia selalu menganggap apa yang dia rasakan bukan hal yang perlu diperjuangkan. Jika suatu saat Kavia akan pergi darinya, dia tidak akan mencegah. Namun dia bisa menjamin. Selama kehamilan Kavia, dia akan bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan dan keperluan wanita itu. "Coba aku liat anakku lagi ngapain?" Kavia tertawa ketika dari belakang tangan Javas memeluk perut sambil menggelitikinya. Dia menepuk punggung tangan pria itu, lalu menarik lepas. Namun Javas malah menarik kembali dan membawanya duduk di sofa. "Adek, kamu lagi apa di sana? Kangen nggak sama papa?" tanya Javas sambil mendekatkan bibir ke perut Kavia. Dia lantas menempelkan telinga. Dan ketika mendengar ada reaksi di dalam sana dia berseru girang. "Wah ternyata kamu kangen papa!" Kavia yang memperhatik
Taman belakang rumah Javas penuh dengan hiasan balon berbentuk anggur dengan warna kombinasi antara biru muda, broken white, cokelat gold, dan merah. Boneka beruang dengan berbagai ukuran juga ikut menghiasi. Pita-pita besar, kumpulan bunga di vas berbentuk kaus kaki bayi, cake warna biru dan pink dengan tulisan 'He or she? Soon we will see!' di atasnya, menjadi pemandangan yang sanggup membuat siapa pun yang melihatnya akan tersenyum bahagia. "Harusnya acara ini diadakan di rumah kakek saja. Di sini terlalu sempit. Kakek bisa membuat acara yang lebih meriah," ujar Kakek Javendra seraya mengitari tempat itu dengan bola matanya. Kavia di depannya mengulum senyum. Lalu beranjak ke sisi pria tua itu. "Kami nggak mau merepotkan kakek. Lagi pula yang diundang ke sini hanya keluarga dan teman dekat aja. Nggak perlu yang rame. Ayo, kakek duduk dulu. Mami sama papi bentar lagi datang." Dia lantas menggandeng lengan Javendra dan menuntunnya ke salah satu meja yang disediakan. "Mana Javas? K
BEBERAPA HARI SEBELUMNYA================Tatap Erland terkejut ketika Kavia muncul di depannya. Dia yang ada di balik meja bar langsung melepas apron dan keluar menyambut wanita berwajah lesu itu. Dia sedikit cemas melihat rambut lepek wanita itu. Tidak biasanya Kavia berpenampilan seperti itu. Kavia yang Erland kenal adalah sosok cantik yang selalu tampil istimewa di mana pun dan kapan pun. "Kamu ke sini sama siapa?" tanya Erland langsung, lalu menggaet tangan Kavia dan menggiringnya duduk di salah satu meja. Kavia tersenyum tipis dan meletakkan tas yang dia bawa ke meja. "Sendiri. Di luar gerah banget wajahku sampai berminyak dan rambutku jadi bau gini," gerutunya sambil mengambil tisu basah dalam tas. Erland bernapas lega mendengar itu. Dia pikir wanita itu sedang dalam masalah. "Terus ngapain kamu ke sini sendirian? Kenapa nggak tunggu sama Javas? Atau kalau ada perlu kamu kan bisa chat biar aku datang ke apartemen." "Aku udah balik ke rumah Javas." Kavia bisa melihat mata E
"Dulu mami kira kalian pacaran." Javas menoleh ketika mendengar suara mami mertuanya. Wanita cantik itu bergerak mendekati Erland dan Kavia yang masih saja tertawa meributkan cupcake terakhir. "Abisnya kalian sedekat ini. Hati-hati loh nanti ada yang cemburu." Pangkal hidung Javas berkerut. Wajah mungkin menghadap para pria tua di hadapannya yang tengah asyik mengobrol, tapi telinganya terpasang sempurna untuk mendengar obrolan di belakang punggungnya. "Siapa sih yang cemburu? I'm a single man, Aunty." Itu suara Erland. Mendengarnya bikin Javas tidak sadar mendengus. "Kamu mengatakan sesuatu, Nak?" tegur Daniel, yang sontak membuat Javas terperanjat. Javas menggeleng. "Tidak ada, Pi." Daniel mengangguk tersenyum lantas kembali melanjutkan obrolan dengan Javendra dan Ricko. Javas kembali menyimak dengan wajah tenang. "Hei, my princess kan udah punya husband. What if her husband is jealous?" Suara Delotta kembali terdengar. Dan diam-diam Javas menyeringai mendengarnya. "Dia n
Lengan Kavia terhempas ketika tangannya hendak memeluk Javas di sebelahnya. Dia meraba permukaan empuk dan datar di sisi ranjang yang seharusnya menjadi tempat Javas. Saat menemukan kekosongan, dia segera membuka mata. Javas tidak ada di sebelahnya. Kavia bergerak bangun dengan hati-hati mengingat perutnya yang sudah makin membesar. Kepalanya celingukan ketika dia berhasil duduk. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Javas di kamar ini. Menengok ke arah jam digital di atas nakas seharusnya Javas belum ngantor. Sekarang masih pukul tujuh pagi. Kalau tidak ada meeting pagi, pria itu biasa berangkat pukul sembilan. Wanita bermanik biru itu menurun kaki ke lantai. Dia sempatkan menggelung rambut sebelum beranjak keluar kamar mencari Javas. Ruang makan menjadi tempat pertama yang dia tuju. Di sana dia melihat Latifa, salah satu asisten rumah tangga baru di rumah ini. Wanita muda itu agak terperanjat ketika melihat kedatangannya. "P-pagi, Nyonya," sapanya gugup. "Javas mana?" tanya Kavia lan
"Cukup bicara omong kosongnya. Sekarang dengerin aku."Kavia menunduk dengan muka sedikit berpaling dari hadapan pria itu. Tidak ada alasan yang membuat pria itu berhak marah. Kavia yang seharusnya marah di sini. Jadi ketika tiba-tiba Javas menghardik, hatinya sedikit terluka. "Ameera ada di sini itu karena pekerjaan. Dia sekarang menjadi brand ambassador salah satu produk di perusahaan kita. Dia datang bukan karena aku. Itu tadi kita meeting lagi bahas kerjaan," terang Javas penuh kehati-hatian. Suaranya kembali melembut. "Bagiku masa lalu ya masa lalu. Aku udah pernah bilang sebelumnya kalau nggak salah. Jadi, stop berpikir yang nggak-nggak." Pelan Javas meraih tangan Kavia dan menepuknya. Namun, dengan cepat Kavia menarik tangannya kembali.Apa Javas pikir Kavia akan merasa lega setelah mendapat penjelasan seperti itu? "Kalau pun dia datang karena kamu, itu urusannya. Dan kalau kamu menerimanya lagi, aku nggak peduli," ucap Kavia masih dengan kepala menunduk. Buru-buru dia meng
Selagi Karel tenang bermain bersama Kakek Javendra dan para asisten, Kavia dan Javas melipir ke arena berkuda. Kavia kangen menunggangi Evelyn. Kuda betina putih itu terawat dengan sangat baik saat Kavia melihatnya. Hewan tangguh berkaki empat itu ternyata masih mengenali wanita itu dengan baik. "Sayang! Ayo cepat!" teriak Javas di atas kudanya. Kavia melambaikan tinggi tangannya ke arah Javas, lalu bergerak menaiki pelana kuda. "Evelyn, kita susul suamimu sekarang," ujar Kavia sambil mengusap pelan leher betina tangguh yang dia tunggangi. Dengan cepat dia pun memacu kudanya menyusul Javas. Keduanya mengendarai kuda-kuda itu mengelilingi tanah lapang. Melewati penangkaran rusa milik Kakek, dan sebuah danau buatan yang dipenuhi angsa putih. Pohon-pohon rindang masih tumbuh dengan subur di beberapa area. Setelah beberapa lama saling berkejaran dengan Javas, Kavia menghentikan kudanya di dekat pepohonan yang tumbuh di tepi danau. "Kayak udah lama banget nggak ke sini. Aku kangen men
"Semua yang ada di sini kelak akan menjadi milikmu, Nak." Mata tua Javendra mengedar. Melihat betapa luasnya tanah yang dia miliki. Belum lagi rumah yang dia huni. Rumah kebanggaannya yang sampai saat ini masih eksis di pinggiran kota. Rumah masa depan yang sebenarnya dulu dia siapkan untuk putranya, Ravendra. "Mau bagaimana lagi? Papamu nggak mau menempati rumah ini dan memiliki rumah sendiri. Jadi rumah ini akan kakek wariskan padamu." Javendra terus mengajak Karel ngobrol. Seolah bayi sembilan bulan itu paham apa yang dia bicarakan. "Malah sekarang papamu beli rumah baru. Padahal apa salahnya tinggal di sini sama kakek. Iya kan? Toh rumah ini nanti bakal jadi milik kamu." Tidak jauh dari tempat pria tua itu, Kavia menggeser duduk memepet suaminya dan berbisik. "Kakek kenapa?" "Dia lagi jadi pemeran utama drama keluarga," sahut Javas asal, yang langsung mendapat pukulan ringan di lengan kanannya. Dia mengaduh sambil mengusap lengannya. "Apa sih, Yang? Aku ngomong bener kok."
"Dia sudah nggak bekerja di anak cabang HYOT lagi." Kabar itu membuat Kavia yang sudah merebah segera mengangkat badannya lagi. "Sejak kapan?" Javas mengangkat bahu. "Kamu peduli banget?" Alis tebalnya tertaut. Agak tidak suka istrinya makin kepo. "Bukan peduli, tapi setahuku dia dulu berjuang banget buat dapat posisi bagus di perusahaan tempatnya bekerja." "Mungkin dia dapat tawaran yang lebih bagus." "Mungkin gara-gara dia dimutasi ke luar pulau." Javas menghela napas panjang lalu menarik tangan Kavia agar bergerak memeluknya. "Kenapa sih bahas mantan terus? Kamu nggak ada rencana buat ketemuan lagi kayak dulu kan?" Kavia mesem-mesem tak jelas mendengar pertanyaan Javas. Ekpresi dan cara bicara pria itu membuat Kavia makin merasa dicintai. Mungkin jika pertanyaan itu terlontar saat mereka masih belum menyadari perasaan masing-masing, Kavia bakal jawab iya-iya aja. Javas menjauhkan diri dan menatap Kavia. "Kok malah senyum-senyum?" Matanya refleks memelotot. "Jangan bilang ka
"Aku di farmer market. Kalian langsung ke sini aja ntar." "Oke. Kami masih di jalan. Tungguin kami ya, Macan.... " Kavia tersenyum mendengar suara Javas di seberang sana. Tangannya masih sibuk memilih buah pear di rak. "Oke, aku tutup dulu ya. Hati-hati, nggak usah ngebut." Tidak lama, dia mematikan panggilan dari suaminya itu dan kembali melanjutkan memilih buah segar yang tertata rapi di rak. Akhir-akhir ini Kavia senang membuat salad buah. Stok salad di kulkas cepat habis karena ternyata Javas juga menyukai salad buatannya itu. Senyumnya kembali merekah saat melihat rak bagian apel. Apel adalah buah yang wajib ada di rumah lantaran buah itu menjadi salah satu favoritnya. Mata Kavia tertarik dengan apel bulat yang terletak di tumpukan paling atas. Kulitnya mengkilat dan terlihat besar. Namun saat tangannya terjulur untuk meraih buah tersebut, tangan lain lebih dulu melakukannya. Sehingga tanpa sengaja tangannya menangkup tangan orang itu. Kavia refleks menarik tangannya. "Maaf.
"Astagfirullah, suami orang ganteng banget!" Jeritan tertahan itu keluar dari bibir mungil wanita gemoy saat melihat Javas turun dari anak tangga sambil membawa Karel di gendongannya. Kavia di sebelahnya hanya menggeleng melihat muka mupeng sahabatnya itu. Sementara tangannya masih sibuk mempreteli buah anggur dari tangkainya. Javas tanpa atasan memang menggoda iman. Belum lagi tato besar di bahu hingga lengannya, menambah kesan maskulinnya yang menonjol. Memamerkan bentuk tubuhnya yang seksi itu sudah menjadi kebiasaannya jika berada dalam rumah. Kavia saja yang tiap hari melihat masih bisa terbuai, apalagi Dian? "Laki lo benar-benar hot daddy banget.""Ck!" Kavia melirik sekilas dengan tatapan sebal, namun yang ditatap malah terkikik. "Dia kelihatan sayang banget sama Karel. Gue mau dong satu yang begitu." Bibir Dian mencebik memandang Javas dengan tatapan penuh damba. "Cari coba di pasar loak," sahut Kavia asal. Sejurus kemudian dia mengaduh karena dapat cubitan manis dari Dia
"Sofa baru?" Kavia dan Javas saling pandang sesaat ketika melihat orang-orang suruhan Daniel mengangkut sebuah sofa yang masih terbungkus rapi dengan plastik. Orang-orang itu membawa sofa dengan kelir merah hati itu ke dalam rumah. "Pas kan diletakkan di ruang tamu kalian?" Daniel tersenyum bangga. "Ini papi impor langsung dari Italy loh. Masih satu produk sama sofa di rumah papi." "Harusnya papi nggak perlu repot-repot begini," ujar Javas meringis. Insiden sofa masih menjadi momok buat pria itu. Gara-gara itu pula, Kavia belum mau mengisi ruang tamu barunya. "Sama sekali nggak repot. Anggap aja ini hadiah buat rumah baru kalian. Iya kan, Baby?" Daniel tersenyum sambil menatap istrinya. "Iya. Toh kami nggak bisa ngasih apa-apa selain ini," timpal Delotta sambil mengusap lengan Daniel. "Memang aku nggak tau kalau papi ngasih harga diskon rumah ini sampe 50 persen?" tukas Kavia yang langsung membuat mata Javas melebar. "Harga rumah ini sebenarnya 10M kan? Aku sempat nanya kok sama
Kecuali barang-barang yang ada di kamar Karen, tidak ada lagi barang yang Kavia bawa dari rumah Javas. Rumah dan isinya ditinggalkan begitu saja seolah sudah tidak berguna lagi. Bahkan ketika Javas meminta alat-alat gym untuk ikut dipindahkan, Kavia menolak tegas. "Nggak bisa. Siapa yang jamin alat-alat itu streril dari kalian?" Penolakan Kavia membuat Javas menganga tak percaya. "Ya ampun, Sayang. Kami nggak melakukan sampai sejauh itu. Rumah itu masih dalam keadaan kosong waktu itu. Ak—" Ucapan Javas kontan terhenti ketika dengan cepat Kavia mengangkat tangannya. "Aku nggak mau dengar dongeng jadul percintaan kamu lagi. Oh ya, soal sofa di ruang tamu itu, udah aku bakar." "Apa? Itu sofa bisa kita jual buat beli yang baru kalau kamu nggak mau pake lag—" Kembali Javas merapatkan mulut saat Kavia melotot padanya. "Oke, terserah kamu," lanjutnya pasrah. Benar-benar sudah tidak ada lagi yang bisa dia selamatkan. Dia menatap rumah besar kebanggaannya dengan pandangan merana. Ruma
Mata Kavia berbinar saat melihat Javas sudah ada di kamar ketika dia datang. Seperti malam kemarin, pria itu masih membaca buku yang sama sebelum tidur. Buku tentang ilmu parenting. Alih-alih Kavia, malah Javas yang gencar belajar soal parenting, padahal siangnya pria itu masih berjibaku dengan tumpukan pekerjaan. Kavia mengambil sebuah flyer dari dalam tas. Flyer yang sengaja dia bawa dari kantor papinya. Dengan senyum yang dibuat semelengkung mungkin, wanita itu menghampiri Javas yang masih terlihat fokus. "Pa," panggilnya lirih sembari beranjak duduk di sisi Javas. "Hm." "Lihat ini deh."Pandangan Javas langsung teralihkan sesaat. Matanya melirik benda yang Kavia bawa. "Apa tuh?" tanya dia sebelum balik lagi ke bacaannya. "Ini flyer perumahan elite terbarunya Blue Jagland. Proyek milik Mas Gyan."Javas hanya mengangguk-angguk. Matanya masih lurus menatap barisan huruf di depannya. "Hunian kelas atas yang cuma ada 10 unit. Lokasinya juga nggak jauh dari kantor kamu. Strategis
Kavia membuka pintu kamar dengan pelan. Takut mengganggu dua anak dan ayah yang sedang terlelap dengan tenang. Hampir-hampir dia tertawa melihat posisi Karel yang tidur terlentang dengan tangan dan kaki yang merentang. Salah satu kakinya bahkan mengenai wajah Javas lantaran posisi tidurnya berlawanan arah dengan papanya. Javas sendiri terlihat sangat lelah. Mukanya kucel, ada beberapa stiker yang menempel di wajahnya. Rambutnya bahkan acak-acakan tak karuan. Kavia mendekati pria itu dengan hati-hati lantas berjongkok tepat di dekatnya. Tangannya terulur, mengusap wajah Javas. "Sayang, banguuun," bisiknya pelan, tepat di dekat telinga Javas. Hanya satu kali tiupan ringan, mata Javas langsung memicing. Pria itu terjaga dengan segera, dan agak terkejut menemukan kaki Karel ada di depan mulutnya. "Astaga," desahnya lirih. Membuat Kavia kontan terkikik pelan. Dengan hati-hati, Javas menyingkirkan kaki Karel sebelum beringsut. "Kamu baru pulang?" tanyanya setelah berhasil bangkit dari a