"Dulu mami kira kalian pacaran." Javas menoleh ketika mendengar suara mami mertuanya. Wanita cantik itu bergerak mendekati Erland dan Kavia yang masih saja tertawa meributkan cupcake terakhir. "Abisnya kalian sedekat ini. Hati-hati loh nanti ada yang cemburu." Pangkal hidung Javas berkerut. Wajah mungkin menghadap para pria tua di hadapannya yang tengah asyik mengobrol, tapi telinganya terpasang sempurna untuk mendengar obrolan di belakang punggungnya. "Siapa sih yang cemburu? I'm a single man, Aunty." Itu suara Erland. Mendengarnya bikin Javas tidak sadar mendengus. "Kamu mengatakan sesuatu, Nak?" tegur Daniel, yang sontak membuat Javas terperanjat. Javas menggeleng. "Tidak ada, Pi." Daniel mengangguk tersenyum lantas kembali melanjutkan obrolan dengan Javendra dan Ricko. Javas kembali menyimak dengan wajah tenang. "Hei, my princess kan udah punya husband. What if her husband is jealous?" Suara Delotta kembali terdengar. Dan diam-diam Javas menyeringai mendengarnya. "Dia n
Lengan Kavia terhempas ketika tangannya hendak memeluk Javas di sebelahnya. Dia meraba permukaan empuk dan datar di sisi ranjang yang seharusnya menjadi tempat Javas. Saat menemukan kekosongan, dia segera membuka mata. Javas tidak ada di sebelahnya. Kavia bergerak bangun dengan hati-hati mengingat perutnya yang sudah makin membesar. Kepalanya celingukan ketika dia berhasil duduk. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Javas di kamar ini. Menengok ke arah jam digital di atas nakas seharusnya Javas belum ngantor. Sekarang masih pukul tujuh pagi. Kalau tidak ada meeting pagi, pria itu biasa berangkat pukul sembilan. Wanita bermanik biru itu menurun kaki ke lantai. Dia sempatkan menggelung rambut sebelum beranjak keluar kamar mencari Javas. Ruang makan menjadi tempat pertama yang dia tuju. Di sana dia melihat Latifa, salah satu asisten rumah tangga baru di rumah ini. Wanita muda itu agak terperanjat ketika melihat kedatangannya. "P-pagi, Nyonya," sapanya gugup. "Javas mana?" tanya Kavia lan
"Cukup bicara omong kosongnya. Sekarang dengerin aku."Kavia menunduk dengan muka sedikit berpaling dari hadapan pria itu. Tidak ada alasan yang membuat pria itu berhak marah. Kavia yang seharusnya marah di sini. Jadi ketika tiba-tiba Javas menghardik, hatinya sedikit terluka. "Ameera ada di sini itu karena pekerjaan. Dia sekarang menjadi brand ambassador salah satu produk di perusahaan kita. Dia datang bukan karena aku. Itu tadi kita meeting lagi bahas kerjaan," terang Javas penuh kehati-hatian. Suaranya kembali melembut. "Bagiku masa lalu ya masa lalu. Aku udah pernah bilang sebelumnya kalau nggak salah. Jadi, stop berpikir yang nggak-nggak." Pelan Javas meraih tangan Kavia dan menepuknya. Namun, dengan cepat Kavia menarik tangannya kembali.Apa Javas pikir Kavia akan merasa lega setelah mendapat penjelasan seperti itu? "Kalau pun dia datang karena kamu, itu urusannya. Dan kalau kamu menerimanya lagi, aku nggak peduli," ucap Kavia masih dengan kepala menunduk. Buru-buru dia meng
Sekretaris Javas tampak kaget dan langsung berdiri begitu Javas keluar sambil menggendong Kavia ala-ala bridal style. Bahkan sekretaris bernama Risma itu melebarkan mata sambil melengkungkan bibirnya yang terasa kaku. "Ibu kenapa, Pak?" tanya perempuan itu responsif. "Tidak apa-apa," sahut Javas sambil terus berjalan. "Hubungi supir saya suruh tunggu di depan lobi. Saya mau pulang." "Baik, Pak." Bukan hanya sekretaris Javas yang terkejut dan tertegun selama beberapa saat. Orang-orang yang baru keluar dari ruang meeting pun sama terkejutnya. Termasuk Ameera yang terakhir keluar bersama Phil. "Nyonya kenapa, Pak?" tanya Phil yang langsung cepat tanggap. "Dia tidak kenapa-napa. Kamu handle semua urusanku di sini," sahut Javas tanpa mempedulikan orang-orang yang melihatnya. Sementara Kavia sudah langsung sembunyi di dada Javas sejak keluar dari ruangan lelaki itu. Sebelum keluar, dia sempat meminta Javas untuk menurunkannya, tapi pria itu mengabaikan. Alhasil, dia hanya bisa pasrah
"Kamu mau ke kantor lagi?" Selimut Kavia melorot hingga dadanya yang menonjol dan besar terekspos. Dia membiarkan saja lantaran lebih fokus melihat Javas yang sibuk mengancing lengan kemeja. Pria itu sudah kembali berpakaian rapi setelah membersihkan diri. "Iya, ada meeting lagi yang harus aku hadiri." Terdengar desahan napas kecewa Kavia. Wanita itu mengempaskan kepalanya lagi ke bantal. "Ada apa?" tanya Javas menoleh sebentar. Tangannya sekarang sibuk mengikat dasi.Kembali mata biru itu melirik. "Apa nggak ada yang bisa gantiin kamu?" "Nggak ad—" Javas yang masih menghadap cermin kembali menoleh cepat. "Kamu mau aku cuti?" Kavia mengangguk dengan alis terangkat. Sementara bibirnya mencebik manja. Hal itu langsung bisa mengundang senyum Javas. Pria itu menarik kembali dasi yang hampir selesai dipasang dan beranjak menghampiri Kavia. "Apa yang mau kamu lakukan kalau aku cuti?" tanya pria itu sambil mengawasi istrinya. Wajah kemerahan Kavia tersipu. Dia makin terlihat cantik d
"Nyonya, ada Mas Erland di bawah nyari Nyonya!" Kavia nyengir menatap muka masam suaminya. Dia sedikit bergeser, dan hendak menjauhkan diri. Namun dengan cepat Javas mencegahnya. "Kamu mau ke mana?" tanya Javas sembari mencekal dua pinggul wanita itu agar tidak bergeser. "Ke bawah." "Nggak boleh. Kita belum selesai." "Tapi—" "Selesaikan ini dulu," perintah Javas tegas, tidak menerima bantahan. Dengan terpaksa Kavia menurut. Dia kembali menggerakkan pinggul dengan pelan. Meski begitu, kepalanya sibuk memikirkan Erland di luar sana. Rasanya tidak enak kalau membiarkan tamu menunggu lama. "Kavia, lihat aku," pinta Javas, berusaha membuat Kavia fokus. Wanita itu kontan memalingkan perhatiannya ke Javas dengan pandangan bertanya. "Lihat, ini aku. Bukan orang lain. Jangan pikirkan orang lain saat lagi sama aku." "Aku—ah!" Kavia terpekik saat tiba-tiba saja dari bawah pinggul Javas menyentak. Sekarang permainan kembali dikendalikan Javas meskipun Kavia masih di atas pria itu. Jav
Mata biru Kavia mengawasi tiap gerakan yang Javas lakukan di dapur. Pria itu terlihat sangat sibuk. Di kitchen island banyak bahan makanan yang akan Javas olah. Pria itu juga sudah mengenakan apron. Gayanya sudah serupa chef selebriti di TV. Kavia akui Javas terlihat tampan. Cara dia memegang pisau juga tampak ahli. Kavia tidak tahu apa yang akan pria itu masak. Setelah berhasil mengusir Erland secara tidak terhormat, Javas menawarkan diri memasak untuk Kavia. Meskipun tahu kemampuan memasak Javas teramat sangat amatir, tapi Kavia membiarkan. Mungkin dengan itu emosi lelaki itu bisa mereda. Jika ingat kejadian beberapa puluh menit lalu Kavia tersenyum sendiri. Dia tidak menyangka Javas bisa seposesif itu padanya di depan Erland. Pria itu bahkan masih mengomel dan terlihat begitu kesal ketika Erland sudah pergi. "Kamu baik-baik aja?" tanya Kavia saat melihat napas Javas naik turun karena emosi. Dia bersyukur Javas tidak lepas kendali dan menghajar Erland. "Nggak," sahut pria itu k
Phil menghela napas panjang menatap sosok yang tengah melamun di depannya. Sudah keenam kalinya dia melayangkan panggilan, tapi tidak ada sahutan sama sekali. Padahal dia sedang mendiskusikan hal penting. Phil perhatikan, sejak beberapa hari lalu bosnya itu menjadi sering banyak melamun. Seolah ada beban yang lebih berat daripada masalah perusahaan yang diembannya. Pun siang ini. Ketika Phil sedang membahas tentang proses akuisisi salah satu perusahaan krusial, tuannya lagi-lagi terlihat melamun. Phil mendesah napas kasar. Tangannya dengan sengaja menyenggol interkom di meja Javas hingga benda itu terjatuh. Dia menyeringai kecil ketika melihat bosnya tersentak. "Maaf membuat Anda kaget, Pak," ujarnya lantas meletakkan benda itu ke tempatnya semula. Wajah Javas kontan memberengut. Tidak mungkin interkom jatuh tanpa sebab. "Ada apa?" "Saya sudah memanggil Anda sebanyak enam kali. Pak, kita sedang membahas hal penting.""Iya aku tau." Masih memasang wajah masam, Javas kembali menekur