Phil menghela napas panjang menatap sosok yang tengah melamun di depannya. Sudah keenam kalinya dia melayangkan panggilan, tapi tidak ada sahutan sama sekali. Padahal dia sedang mendiskusikan hal penting. Phil perhatikan, sejak beberapa hari lalu bosnya itu menjadi sering banyak melamun. Seolah ada beban yang lebih berat daripada masalah perusahaan yang diembannya. Pun siang ini. Ketika Phil sedang membahas tentang proses akuisisi salah satu perusahaan krusial, tuannya lagi-lagi terlihat melamun. Phil mendesah napas kasar. Tangannya dengan sengaja menyenggol interkom di meja Javas hingga benda itu terjatuh. Dia menyeringai kecil ketika melihat bosnya tersentak. "Maaf membuat Anda kaget, Pak," ujarnya lantas meletakkan benda itu ke tempatnya semula. Wajah Javas kontan memberengut. Tidak mungkin interkom jatuh tanpa sebab. "Ada apa?" "Saya sudah memanggil Anda sebanyak enam kali. Pak, kita sedang membahas hal penting.""Iya aku tau." Masih memasang wajah masam, Javas kembali menekur
Mata Kavia melebar ketika tiba-tiba melihat Javas berjalan mendekati mejanya. Seingat wanita itu, dia tidak mengajak suaminya untuk makan siang bersama. Lalu kenapa pria itu muncul di sini dan menatap padanya?"Ada apa?" Dian di depannya menoleh, mengikuti arah pandang Kavia. "Oh kamu ngajak laki lo juga?" "Enggak." Kavia menggeleng lalu kembali menekuri piring. "Mungkin ada meeting lunch di sini." Namun dugaan Kavia salah ketika tiba-tiba saja Javas—yang sudah dekat dengan mejanya—menarik sebuah kursi tepat di sebelahnya. Dua wanita yang duduk saling berhadapan itu kompak menoleh kepada sosok berjas itu. "Boleh aku gabung kan?" tanya Javas tersenyum. Dengan percaya diri, dia duduk di kursi itu sembari membenarkan dasinya. Dian kontan menatap Kavia dengan alis terangkat. Seolah bilang : meeting lunch sama bininya maksud lo? Mengabaikan tatapan Dian, Kavia menoleh ke samping di mana suaminya sekarang duduk. "Kamu kenapa di sini?" "Mau makan sama kamu, apa lagi?" sahut Javas. Tang
"Apa dia marah?" Mata Kavia mengerjap bingung. Sikap Javas benar-benar di luar dugaan. Seperti anak kecil yang sedang ngambek. "Mungkin dia cemburu." Erland menarik piring panna cotta yang baru saja pelayan sajikan. "Nggak masuk akal. Buat apa dia cemburu?" "Dia kan suami kamu." Kavia mendelik. "Kamu tau betul hubungan kami seperti apa." "Dia udah jatuh cinta sama kamu." Erland menopang sisi wajahnya dengan salah satu tangannya, menatap Kavia seraya tersenyum. "Tapi kalau dia masih bersikeras nggak mau mengakuinya, aku bakal bikin dia menyesal." Tangan lainnya mengangkat sendok kecil dan memotong sedikit panna cotta di piring. "Maksudnya?" tanya Kavia sebelum membuka mulut menerima suapan dari Erland. "Udah jelas kan? Kalau dia menyia-nyiakan kamu, aku nggak akan tinggal diam lagi. Aku udah cukup memberinya kesempatan, Pretty." Tahu maksud ucapan Erland, Kavia tersenyum mengejek. "Apa kamu pikir yang kamu lakuin dulu itu nggak lebih jahat dari Javas?" "Makanya aku menyesal.
"Oh, Baby. Kamu udah datang!" Daniel langsung menyerbu Kavia ketika wanita itu baru datang. Dia merangkul penuh sayang bahu sang anak, dan mengecup pipinya. "Anak yang Papi panggil baby itu udah mau punya baby loh. Ih, geli banget sih," sambar Ola memprotes. Namun hanya dibalas senyum menyebalkan sang papi. "Javas beneran nggak ikut, Sayang?" tanya Daniel sambil menggiring putrinya yang berbadan dua itu duduk di sofa. "Nggak, Pi. Dia ada meeting di Malaysia dan Singapore." Kavia menghela napas panjang. Obrolan malam itu tidak berakhir baik. Sampai weekend tiba dan Kavia mengajak Javas untuk ikut ke villa pria itu menolak. Pagi-pagi sekali bahkan lelaki itu sudah pergi. "Oh ya udah, lagian ada kami di sini yang akan jagain kamu. Mas Gyan dan Mbak Resta juga ada." "Aku juga ada!" Tiba-tiba Erland muncul bersamaan dengan Delotta dari arah dapur. Pria itu membawa dua container box di kanan-kiri tangannya. Seketika wajah Kavia berbinar dan terkekeh. "Kalian bener-bener nyiapin semu
~In other words, hold my hand~~In other words, Baby, kiss me~Entah pukul berapa sekarang. Sayup-sayup suara merdu Ola dan petik gitar Daniel masih terdengar. Kadang diiringi suara sumbang milik Gyan yang merusak nada. Kalau tidak dalam keadaan hamil besar, mungkin Kavia masih bergabung dengan mereka. Bermain games ToD atau monopoli klasik. Hal-hal menyenangkan yang sering dia lakukan saat masih sekolah bersama keluarga. Namun yang bisa Kavia lakukan sekarang hanya berbaring miring dan berusaha untuk tidur. Seperti kata Erland, dia tidak boleh memikirkan apa pun termasuk pernikahannya yang mungkin sebentar lagi kandas. Sekuat hati memaksa untuk terlelap, nyatanya Kavia masih saja terjaga. Sebelum pergi Erland juga sudah mematikan lampu kamar agar Kavia bisa cepat tidur, tapi tetap saja kelopak matanya bergerak-gerak. Hingga dia bisa merasakan seseorang membuka pelan pintu kamarnya. Mungkin itu Daniel atau Delotta yang sedang mengecek keadaannya. Biasanya mereka datang untuk sekeda
"Kamu kok di sini? Bukannya lagi di Singapore?"Kavia benar-benar bangkit dan duduk. Matanya mengerjap seolah tak percaya Javas ada di depannya saat ini. "Urusanku udah selesai, makanya aku cepat-cepat nyusulin kamu." Javas meloncat ke sisi tempat tidur yang kosong. Lalu merebah di sana. Masih terheran-heran, Kavia menahan senyum. Dia tidak lagi mimpi kan? Ini tengah malam dan Javas tiba-tiba muncul di kamarnya seperti magic. "Kenapa? Kenapa kamu liatin aku begitu?" tanya Javas menoleh. Tangannya terulur menggapai tangan Kavia. "Ayo, lanjut tidur lagi." Kavia menurut dan bergerak merebah di sisi Javas seraya tersenyum. Dia tidak bisa menahan rasa bahagianya lagi. Maka dari itu ketika Javas menarik lengannya, Kavia memeluk tubuh itu dengan suka rela. Javas sendiri langsung menempatkan lengannya ke bawah leher Kavia, menjadikan lengan itu sebagai bantal. "Anak kita nggak nakal kan?" tanya Javas, tatapnya memandang langit-langit kamar yang menggelap."Dikit. Dia masih aktif banget."
Tidak seperti yang Kavia harapkan, Javas malah mematung setelah mendengar ungkapan cinta wanita itu. Tidak ada raut terkejut, pria itu justru terlihat tertegun. Bibirnya juga mengatup rapat, hanya saja mata cokelatnya terus menatap Kavia. "Javas, I adore you," ucap Kavia sekali lagi, lebih tegas dari sebelumnya. Jujur dia agak kecewa karena pria di atasnya belum bereaksi sama sekali. "Are you kidding me?" Kavia membuang napas kasar. Sekalinya berkomentar malah dikira bercanda. "Gimana aku bisa bercanda dalam keadaan begini?" Dia sudah menelan harga diri dan mengungkapkan perasaannya. Tapi jika gayungnya masih tidak bersambut, mungkin setelah ini dia akan benar-benar menutup diri. Javas mengerjap. Jakunnya naik turun. Sejujurnya dia agak syok dan tidak menduga. Masih belum percaya apa yang dia dengar. Bagaimana wanita itu tertawa dan terlihat bahagia di depan Erland, masih sangat bisa dia ingat. Bagaimana mungkin sekarang wanita itu mengungkapkan cintanya? "Kavia, aku, sebenarnya
Terakhir Javas merasakan ketakutan sebesar ini ketika ayah dan ibunya pergi. Ketakutan yang sampai membuat tubuhnya menggigil saat petugas medis membawa ayah dan ibunya memasuki ruang tindakan seperti Kavia sekarang. Mata Javas perih dan memerah menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Seandainya bisa, ingin rasanya dia menggantikan posisi Kavia. Biarkan dia saja yang terbaring di sana dan merasakan sakit itu. Tatapannya nanar memandang istrinya terkulai tak berdaya. Membiarkan dokter dan para perawat di depannya sibuk dengan segala peralatan medis menangani Kavia. Suara-suara yang sulit Javas mengerti dari mereka keluar masuk begitu saja. Kakinya benar-benar lemas melihat istrinya belum sadarkan diri. "Pak, kami harus melakukan sectio secepatnya. Kami memerlukan persetujuan Anda," salah seorang perawat bicara pada Javas. "Lakukan apa pun yang terbaik. Asal istri dan anakku selamat." Tidak membutuhkan waktu lama, Kavia segera dipindahkan ke ruang operasi. Dan Javas tidak