~In other words, hold my hand~~In other words, Baby, kiss me~Entah pukul berapa sekarang. Sayup-sayup suara merdu Ola dan petik gitar Daniel masih terdengar. Kadang diiringi suara sumbang milik Gyan yang merusak nada. Kalau tidak dalam keadaan hamil besar, mungkin Kavia masih bergabung dengan mereka. Bermain games ToD atau monopoli klasik. Hal-hal menyenangkan yang sering dia lakukan saat masih sekolah bersama keluarga. Namun yang bisa Kavia lakukan sekarang hanya berbaring miring dan berusaha untuk tidur. Seperti kata Erland, dia tidak boleh memikirkan apa pun termasuk pernikahannya yang mungkin sebentar lagi kandas. Sekuat hati memaksa untuk terlelap, nyatanya Kavia masih saja terjaga. Sebelum pergi Erland juga sudah mematikan lampu kamar agar Kavia bisa cepat tidur, tapi tetap saja kelopak matanya bergerak-gerak. Hingga dia bisa merasakan seseorang membuka pelan pintu kamarnya. Mungkin itu Daniel atau Delotta yang sedang mengecek keadaannya. Biasanya mereka datang untuk sekeda
"Kamu kok di sini? Bukannya lagi di Singapore?"Kavia benar-benar bangkit dan duduk. Matanya mengerjap seolah tak percaya Javas ada di depannya saat ini. "Urusanku udah selesai, makanya aku cepat-cepat nyusulin kamu." Javas meloncat ke sisi tempat tidur yang kosong. Lalu merebah di sana. Masih terheran-heran, Kavia menahan senyum. Dia tidak lagi mimpi kan? Ini tengah malam dan Javas tiba-tiba muncul di kamarnya seperti magic. "Kenapa? Kenapa kamu liatin aku begitu?" tanya Javas menoleh. Tangannya terulur menggapai tangan Kavia. "Ayo, lanjut tidur lagi." Kavia menurut dan bergerak merebah di sisi Javas seraya tersenyum. Dia tidak bisa menahan rasa bahagianya lagi. Maka dari itu ketika Javas menarik lengannya, Kavia memeluk tubuh itu dengan suka rela. Javas sendiri langsung menempatkan lengannya ke bawah leher Kavia, menjadikan lengan itu sebagai bantal. "Anak kita nggak nakal kan?" tanya Javas, tatapnya memandang langit-langit kamar yang menggelap."Dikit. Dia masih aktif banget."
Tidak seperti yang Kavia harapkan, Javas malah mematung setelah mendengar ungkapan cinta wanita itu. Tidak ada raut terkejut, pria itu justru terlihat tertegun. Bibirnya juga mengatup rapat, hanya saja mata cokelatnya terus menatap Kavia. "Javas, I adore you," ucap Kavia sekali lagi, lebih tegas dari sebelumnya. Jujur dia agak kecewa karena pria di atasnya belum bereaksi sama sekali. "Are you kidding me?" Kavia membuang napas kasar. Sekalinya berkomentar malah dikira bercanda. "Gimana aku bisa bercanda dalam keadaan begini?" Dia sudah menelan harga diri dan mengungkapkan perasaannya. Tapi jika gayungnya masih tidak bersambut, mungkin setelah ini dia akan benar-benar menutup diri. Javas mengerjap. Jakunnya naik turun. Sejujurnya dia agak syok dan tidak menduga. Masih belum percaya apa yang dia dengar. Bagaimana wanita itu tertawa dan terlihat bahagia di depan Erland, masih sangat bisa dia ingat. Bagaimana mungkin sekarang wanita itu mengungkapkan cintanya? "Kavia, aku, sebenarnya
Terakhir Javas merasakan ketakutan sebesar ini ketika ayah dan ibunya pergi. Ketakutan yang sampai membuat tubuhnya menggigil saat petugas medis membawa ayah dan ibunya memasuki ruang tindakan seperti Kavia sekarang. Mata Javas perih dan memerah menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Seandainya bisa, ingin rasanya dia menggantikan posisi Kavia. Biarkan dia saja yang terbaring di sana dan merasakan sakit itu. Tatapannya nanar memandang istrinya terkulai tak berdaya. Membiarkan dokter dan para perawat di depannya sibuk dengan segala peralatan medis menangani Kavia. Suara-suara yang sulit Javas mengerti dari mereka keluar masuk begitu saja. Kakinya benar-benar lemas melihat istrinya belum sadarkan diri. "Pak, kami harus melakukan sectio secepatnya. Kami memerlukan persetujuan Anda," salah seorang perawat bicara pada Javas. "Lakukan apa pun yang terbaik. Asal istri dan anakku selamat." Tidak membutuhkan waktu lama, Kavia segera dipindahkan ke ruang operasi. Dan Javas tidak
Bukan Javas yang pertama kali Kavia lihat ketika membuka mata. Melainkan Delotta yang terlihat sedang berbincang dengan Gyan. Saat menggulirkan bola mata ke ujung tempat tidur, dia melihat Erland yang tampak fokus dengan ponselnya sehingga tidak sadar Kavia terbangun. Tidak ada Javas di ruangan itu. Padahal dia sangat ingin melihat pria itu. "Javas ke mana?" Suara lirih Kavia membuat semua yang ada di ruangan mengalihkan perhatian, dan terkejut seketika. Erland segera menghentikan aktivitasnya dan mendekat ke sisi kanan Kavia. Begitu pun Delotta dan Gyan yang langsung bergerak mendekatinya. "Kavia, kamu udah sadar?" tanya Delotta tersenyum senang. "Pretty, gimana perasaan kamu?" tanya Erland menyusul. "Aku merasa lebih baik." Mata biru Kavia tidak sendu lagi. Pembuluh darah di wajahnya juga tampak bermunculan, sehingga wajahnya tidak terlihat pucat lagi. "Kalian hanya bertiga? Javas mana? Dan bayiku?" Dellotta tersenyum lantas menarik kursi yang berada di dekat bed Kavia. "Javas
"Kamu bisa tinggalkan kami berdua? Ada beberapa hal yang ingin kakek sampaikan pada istrimu." Javas baru saja akan duduk di sofa saat Javendra mengucapkan itu. Dia sontak membuang napas kasar. Agak kesal karena sang kakek justru malah yang meminta prioritas lebih dulu dibanding dirinya. Yang suami di sini sebenarnya siapa sih? "Kamu. Ada giliran tersendiri untuk kakek mintai pertanggungjawaban," lanjut Javendra yang serta-merta bikin alis Javas menukik. "Pertanggungjawaban apa lagi?" "Kamu nggak lupa kan sudah meninggalkan tugas kamu sebelum selesai?"Wajah tegang Javas kontan mengendur. Dia melirik Phil yang berdiri di sampingnya. Pria yang dia tatap hanya melempar senyum kalem. "Aku kan nemenin Kavia, Kek. Itu lebih penting dari apa pun." "Hm, ya, kakek tau. Tapi meninggalkan begitu saja tugas yang kamu emban itu juga bukan hal baik. Kelak kamu akan memegang kendali semuanya. Kalau masih bersikap begitu, kapan kamu bisa menjadi profesional?" Di saat seperti ini Javas tidak in
"Karel Ravendra Wirahardja.""Good name. Siapa yang kasih nama? Kamu?" Javas menggeleng dengan raut kecewa. Dia beringsut ke sisi tempat tidur sambil membawa piring kertas berisi potongan apel. "Karel dari Papi, Ravendra dari Kakek. Ravendra itu nama mendiang ayahku." "Oh ya? It sounds good," sahut Kavia sambil lalu, dia masih sibuk mengawasi putranya yang sedang menyusu padanya. "Sounds good apaan sih? Aku bahkan nggak diizinkan menyumbang nama. Padahal ini anakku sendiri," ujar Javas bersungut-sungut. Parasnya yang seperti itu membuat Kavia terkekeh. "Kan tinggal kasih satu nama lagi." "Namanya nggak boleh panjang-panjang. Kasihan nanti terlalu berat di nama. Aku mengalah sajalah." "Itu lebih bagus." Kavia menekan gundukan payudaranya agar tidak menutupi hidung kecil putranya. Dia lantas tersenyum melihat bayi berusia tujuh hari itu menyusu dengan lahap. "Jadi, kita panggil dia apa? Karel atau Raven?" "Karel." Javas tersenyum seraya mengambil satu potong apel dan mendekatkann
"Maaf karena baru bisa menjenguk." Suara itu terdengar lembut. Selembut kulitnya yang bersinar terpapar cahaya matahari pagi. Kavia di tempatnya menelan ludah melihat keindahan itu. Sementara dirinya masih tampak kacau dengan piyama rumah sakit. Bahkan untuk sekedar menyentuh sisir pun tidak sempat. Rambut panjang bergelombangnya hanya digelung asal agar tidak merepotkan. "Wah, baby-nya tampan. Persis seperti ayahnya. Oh ya, by the way dia panggil kamu apa nanti?" Wajah cantik itu menoleh kepada Javas yang berdiri di sisinya. Dari awal datang, Kavia tidak diliriknya sama sekali. Untuk basa-basi sekedar menanyakan kabar pun enggak. "Papa," sahut Javas singkat sambil memandang buah hatinya yang masih tertidur nyenyak di boks bayi. "Papa. Uhm, cocok juga." Wanita itu tersenyum menambah berkali-kali lipat kecantikannya. "Ameera, apa kamu nggak ada pekerjaan hari ini?" tanya Javas, yang sepertinya merasa tidak nyaman dengan kehadiran wanita itu. Beberapa kali tanpa sengaja dia melihat