"Maaf karena baru bisa menjenguk." Suara itu terdengar lembut. Selembut kulitnya yang bersinar terpapar cahaya matahari pagi. Kavia di tempatnya menelan ludah melihat keindahan itu. Sementara dirinya masih tampak kacau dengan piyama rumah sakit. Bahkan untuk sekedar menyentuh sisir pun tidak sempat. Rambut panjang bergelombangnya hanya digelung asal agar tidak merepotkan. "Wah, baby-nya tampan. Persis seperti ayahnya. Oh ya, by the way dia panggil kamu apa nanti?" Wajah cantik itu menoleh kepada Javas yang berdiri di sisinya. Dari awal datang, Kavia tidak diliriknya sama sekali. Untuk basa-basi sekedar menanyakan kabar pun enggak. "Papa," sahut Javas singkat sambil memandang buah hatinya yang masih tertidur nyenyak di boks bayi. "Papa. Uhm, cocok juga." Wanita itu tersenyum menambah berkali-kali lipat kecantikannya. "Ameera, apa kamu nggak ada pekerjaan hari ini?" tanya Javas, yang sepertinya merasa tidak nyaman dengan kehadiran wanita itu. Beberapa kali tanpa sengaja dia melihat
Rasanya seperti sedang creambath ketika Javas memijat kepala Kavia. Pijatannya benar-benar lembut dan hati-hati. Membuat beban di kepala seolah rontok seketika. "Enak?" tanya Javas melihat ekspresi istrinya. "Banget. Kamu nggak ada keinginan buka salon?" Pria bertato naga itu terkekeh. "Emang boleh? Pasti salon bakal laris banget sih kalau terapis creambath-nya aku." Javas tertawa mendengar Kavia berdecak. "Nggak usah buka salon kalau begitu." Javas kembali meraih gagang shower dan menyiram perlahan ke rambut Kavia. Busa-busa shampo berjatuhan di lantai kamar mandi bersama beban di kepala wanita itu. Kepala Kavia terasa ringan. Apalagi ketika Javas kembali memijat sembari memberi krim conditioner. Dari urusan rambut dan kepala, Javas lanjut memandikan Kavia. Wanita itu duduk di sebuah kursi sementara suaminya memberikan pijatan ringan dari punggung hingga leher. Javas terlihat fokus melakukan tugasnya. Saking enaknya, Kavia sampai mendesah ketika telapak tangan pria itu bergerak
Mata tua, tapi tajam itu menyorot Javas. Alis tebalnya yang keperakan menukik, pun dengan kumis melintangnya yang lebat. Hidungnya yang mencuat menambah kesan seram, tapi penuh karismatik. Meski begitu tidak sedikit pun Javas merasa terintimidasi. Dia tetap duduk tenang di hadapan sosok yang sudah membesarkannya selama puluhan tahun itu. Javas tahu apa yang akan kakeknya bahas hari ini. Bukan hanya dirinya, di sebuah ruang kerja kediaman Wirahardja itu Javendra juga mengundang anak angkatnya, pengacara keluarga dan juga dua asisten pribadinya. Harusnya Javas senang karena pada akhirnya hari ini tiba. Hari di mana seluruh kekayaan milik Wirahardja akan jatuh ke tangannya, sang pewaris tunggal. Namun entah kenapa perasaan menggebu itu malah padam. "Bukan hanya seorang suami, kamu juga telah berhasil menjadi seorang ayah. Dengan status barumu itu kakek harap kamu bisa lebih dewasa dalam bersikap dan bertindak. Bukan hanya anak dan istrimu. Setelah kamu menandatangani dokumen ini beban
"Kakek akan berumur panjang sampai kita punya belasan anak, Javas."Javas masih tidur di pangkuan Kavia. Menempelkan pipinya di paha wanita itu. Pria itu menikmati ketika jemari istrinya itu menyisir rambutnya yang mulai panjang. Sejak Kavia masuk rumah sakit dia belum sempat merapikan diri sendiri. Bahkan untuk sekedar mencukur facial hair. "Sepertinya akan lebih baik aku menempati posisi sekarang. Menjabat CEO bakal bikin aku sibuk. Aku takut nggak akan punya waktu buat kalian." Javas meraih tangan Kavia dan membawanya ke bibir. "Saat ini aku ingin banyak menghabiskan waktu bersama kalian." "Tapi Javas, perusahaan juga butuh kamu. Kakek pasti menaruh harapan besar ke kamu. Sebagai pewarisnya." Lagi-lagi Javas menghela napas panjang. "Aku harap Kakek bisa hidup seribu tahun lagi sehingga aku bisa sedikit bersantai mengelola perusahaan." Mendengar itu Kavia terkekeh. "Kupikir kamu takut kehilangan kakek karena sayang banget sama kakek. Nggak taunya karena nggak mau sibuk di perusa
Rapat pemegang saham pagi ini secara final memutuskan Javas yang akan menduduki kursi CEO, menggantikan CEO lama yang mengundurkan diri lantaran ingin fokus pada perusahaannya sendiri. Tidak ada pilihan lain. Banyak suara yang mendukung Javas. Meskipun setengah hati, dia harus profesional mengemban tugasnya. Tepuk tangan menggema di ruang meeting utama ketika Javas selesai memberikan sepatah dua patah kata setelah resmi menjadi CEO. Beban berat kini benar-benar berada di pundaknya. Meski begitu melihat Kavia yang tersenyum lebar di kursinya, Javas seperti mendapat kekuatan untuk bisa ikut tersenyum. Walaupun itu hanya berlangsung selama beberapa saat saja. "Ruang ini sudah didesain ulang seperti selera Anda, Pak," ucap Phil begitu Javas memasuki ruangan barunya. Tidak terlalu banyak perabot di sana. Sirkulasi pencahayaan yang memadai menjadi salah satu permintaan Javas. Satu set sofa berwarna abu terlihat tidak jauh dari meja kerjanya yang besar. Di sudut-sudut ruangan terdapat beb
Hal yang tidak Javas sukai setelah menjabat sebagai CEO ketika dia terpaksa lembur sehingga saat pulang ke rumah mendapati anak istrinya sudah terlelap. Boleh dibilang kesibukannya menjadi berkali lipat dari sebelumnya. Lantaran tanggung jawabnya tidak terbatas cuma satu departemen seperti dulu. Seperti sekarang. Ketika membuka pintu kamar, Kavia sudah tertidur lelap. Begitu juga Baby Karel. Bayi empat bulan itu menggeliat ketika Javas menciumnya, tapi dengan nyamannya terlelap lagi. Reaksi itu menerbitkan senyum Javas. Apalagi ketika mulut Karel bergerak-gerak seolah sedang menyusu. Benar-benar sangat lucu. Meninggalkan bayinya, Javas kembali bergerak ke kamarnya. Sebisa mungkin gerakannya tidak menimbulkan suara agar tidur Kavia tidak terganggu. Namun---"Kamu baru pulang?" Suara serak istrinya membuatnya menoleh. "Kok bangun? Aku ganggu kamu tidur ya?" Masih dengan mata setengah terpicing Kavia tersenyum. "Nggak, tapi bau kamu langsung bisa kecium."Refleks Javas mencium tubuh
"Aku nggak cuma kangen kamu. Tapi Karel juga." Erland membuang muka lantaran wanita di depannya masih terus menatapnya lekat-lekat. Tiga puluh menit lalu Kavia tiba-tiba datang ke apartemen pria itu. Sekedar mengecek keadaan setelah kemarin Erland mengirim fotonya yang sedang kacau. Dua bulan keduanya tidak bertemu demi menjaga perasaan Javas yang kerap kali tidak suka dengan kemunculan Erland. "Kamu ke sini ijin sama Javas kan? Aku nggak mau dia ngambek-ngambekan lagi gara-gara kamu menemuiku diam-diam." Kavia mengambuskan napas kasar lantas berdecak bosan. Dia masih fasih membaca ekspresi muka mantan pacarnya itu. Meski sejak tadi Erland terus memasang wajah masam, Kavia tahu pria itu sedang kegirangan. "Aku udah nurutin kamu buat bisa bahagia sama Javas. Semua berjalan seperti yang kamu harap. Jadi, apa yang bikin kamu begini?" Pria itu tersenyum kecut. Lantas meraih sebatang rokok dari kotaknya. "Nggak usah gusar begitu. Aku nggak bakal ganggu kalian. Kan aku cuma kangen.""
Kavia tersenyum dan gemas sendiri mendengar Baby Karel terus tertawa dan mengoceh ketika Erland mengajak bercanda. Entah apanya yang lucu bagi seorang bayi. Padahal Erland tidak ada lucunya sama sekali. "Mas Erland itu sayang banget sama Den Karel ya, Nya," ujar Mbak Rami yang saat ini tengah sibuk di dapur bersama Kavia. Dia sedang mengajari Kavia masak makanan kesukaan Javas. Nasi daun jeruk, yang ternyata pembuatannya sangat mudah. "Iya. Mereka memang sudah akrab dari Karel masih dalam kandungan." "Loh kok bisa begitu?" Kavia hanya menanggapi dengan senyum. "Habis ini kita ngapain lagi nih, Mbak?" tanya wanita itu mengalihkan topik. "Bikin sambal goreng paru. Bumbunya udah saya siapin. Nyonya tinggal mengolahnya." "Kenalin aku ke bumbu-bumbunya dong, Mbak." Kembali tawa Karel terdengar, membuat Kavia menoleh. Mereka bermain di ruang keluarga tepat di bawah anak tangga. Sehingga mata Kavia tidak bisa menjangkau keduanya. Tapi masih bisa mendengar keseruannya. Dia hanya bisa t