"Kamu kok di sini? Bukannya lagi di Singapore?"Kavia benar-benar bangkit dan duduk. Matanya mengerjap seolah tak percaya Javas ada di depannya saat ini. "Urusanku udah selesai, makanya aku cepat-cepat nyusulin kamu." Javas meloncat ke sisi tempat tidur yang kosong. Lalu merebah di sana. Masih terheran-heran, Kavia menahan senyum. Dia tidak lagi mimpi kan? Ini tengah malam dan Javas tiba-tiba muncul di kamarnya seperti magic. "Kenapa? Kenapa kamu liatin aku begitu?" tanya Javas menoleh. Tangannya terulur menggapai tangan Kavia. "Ayo, lanjut tidur lagi." Kavia menurut dan bergerak merebah di sisi Javas seraya tersenyum. Dia tidak bisa menahan rasa bahagianya lagi. Maka dari itu ketika Javas menarik lengannya, Kavia memeluk tubuh itu dengan suka rela. Javas sendiri langsung menempatkan lengannya ke bawah leher Kavia, menjadikan lengan itu sebagai bantal. "Anak kita nggak nakal kan?" tanya Javas, tatapnya memandang langit-langit kamar yang menggelap."Dikit. Dia masih aktif banget."
Tidak seperti yang Kavia harapkan, Javas malah mematung setelah mendengar ungkapan cinta wanita itu. Tidak ada raut terkejut, pria itu justru terlihat tertegun. Bibirnya juga mengatup rapat, hanya saja mata cokelatnya terus menatap Kavia. "Javas, I adore you," ucap Kavia sekali lagi, lebih tegas dari sebelumnya. Jujur dia agak kecewa karena pria di atasnya belum bereaksi sama sekali. "Are you kidding me?" Kavia membuang napas kasar. Sekalinya berkomentar malah dikira bercanda. "Gimana aku bisa bercanda dalam keadaan begini?" Dia sudah menelan harga diri dan mengungkapkan perasaannya. Tapi jika gayungnya masih tidak bersambut, mungkin setelah ini dia akan benar-benar menutup diri. Javas mengerjap. Jakunnya naik turun. Sejujurnya dia agak syok dan tidak menduga. Masih belum percaya apa yang dia dengar. Bagaimana wanita itu tertawa dan terlihat bahagia di depan Erland, masih sangat bisa dia ingat. Bagaimana mungkin sekarang wanita itu mengungkapkan cintanya? "Kavia, aku, sebenarnya
Terakhir Javas merasakan ketakutan sebesar ini ketika ayah dan ibunya pergi. Ketakutan yang sampai membuat tubuhnya menggigil saat petugas medis membawa ayah dan ibunya memasuki ruang tindakan seperti Kavia sekarang. Mata Javas perih dan memerah menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Seandainya bisa, ingin rasanya dia menggantikan posisi Kavia. Biarkan dia saja yang terbaring di sana dan merasakan sakit itu. Tatapannya nanar memandang istrinya terkulai tak berdaya. Membiarkan dokter dan para perawat di depannya sibuk dengan segala peralatan medis menangani Kavia. Suara-suara yang sulit Javas mengerti dari mereka keluar masuk begitu saja. Kakinya benar-benar lemas melihat istrinya belum sadarkan diri. "Pak, kami harus melakukan sectio secepatnya. Kami memerlukan persetujuan Anda," salah seorang perawat bicara pada Javas. "Lakukan apa pun yang terbaik. Asal istri dan anakku selamat." Tidak membutuhkan waktu lama, Kavia segera dipindahkan ke ruang operasi. Dan Javas tidak
Bukan Javas yang pertama kali Kavia lihat ketika membuka mata. Melainkan Delotta yang terlihat sedang berbincang dengan Gyan. Saat menggulirkan bola mata ke ujung tempat tidur, dia melihat Erland yang tampak fokus dengan ponselnya sehingga tidak sadar Kavia terbangun. Tidak ada Javas di ruangan itu. Padahal dia sangat ingin melihat pria itu. "Javas ke mana?" Suara lirih Kavia membuat semua yang ada di ruangan mengalihkan perhatian, dan terkejut seketika. Erland segera menghentikan aktivitasnya dan mendekat ke sisi kanan Kavia. Begitu pun Delotta dan Gyan yang langsung bergerak mendekatinya. "Kavia, kamu udah sadar?" tanya Delotta tersenyum senang. "Pretty, gimana perasaan kamu?" tanya Erland menyusul. "Aku merasa lebih baik." Mata biru Kavia tidak sendu lagi. Pembuluh darah di wajahnya juga tampak bermunculan, sehingga wajahnya tidak terlihat pucat lagi. "Kalian hanya bertiga? Javas mana? Dan bayiku?" Dellotta tersenyum lantas menarik kursi yang berada di dekat bed Kavia. "Javas
"Kamu bisa tinggalkan kami berdua? Ada beberapa hal yang ingin kakek sampaikan pada istrimu." Javas baru saja akan duduk di sofa saat Javendra mengucapkan itu. Dia sontak membuang napas kasar. Agak kesal karena sang kakek justru malah yang meminta prioritas lebih dulu dibanding dirinya. Yang suami di sini sebenarnya siapa sih? "Kamu. Ada giliran tersendiri untuk kakek mintai pertanggungjawaban," lanjut Javendra yang serta-merta bikin alis Javas menukik. "Pertanggungjawaban apa lagi?" "Kamu nggak lupa kan sudah meninggalkan tugas kamu sebelum selesai?"Wajah tegang Javas kontan mengendur. Dia melirik Phil yang berdiri di sampingnya. Pria yang dia tatap hanya melempar senyum kalem. "Aku kan nemenin Kavia, Kek. Itu lebih penting dari apa pun." "Hm, ya, kakek tau. Tapi meninggalkan begitu saja tugas yang kamu emban itu juga bukan hal baik. Kelak kamu akan memegang kendali semuanya. Kalau masih bersikap begitu, kapan kamu bisa menjadi profesional?" Di saat seperti ini Javas tidak in
"Karel Ravendra Wirahardja.""Good name. Siapa yang kasih nama? Kamu?" Javas menggeleng dengan raut kecewa. Dia beringsut ke sisi tempat tidur sambil membawa piring kertas berisi potongan apel. "Karel dari Papi, Ravendra dari Kakek. Ravendra itu nama mendiang ayahku." "Oh ya? It sounds good," sahut Kavia sambil lalu, dia masih sibuk mengawasi putranya yang sedang menyusu padanya. "Sounds good apaan sih? Aku bahkan nggak diizinkan menyumbang nama. Padahal ini anakku sendiri," ujar Javas bersungut-sungut. Parasnya yang seperti itu membuat Kavia terkekeh. "Kan tinggal kasih satu nama lagi." "Namanya nggak boleh panjang-panjang. Kasihan nanti terlalu berat di nama. Aku mengalah sajalah." "Itu lebih bagus." Kavia menekan gundukan payudaranya agar tidak menutupi hidung kecil putranya. Dia lantas tersenyum melihat bayi berusia tujuh hari itu menyusu dengan lahap. "Jadi, kita panggil dia apa? Karel atau Raven?" "Karel." Javas tersenyum seraya mengambil satu potong apel dan mendekatkann
"Maaf karena baru bisa menjenguk." Suara itu terdengar lembut. Selembut kulitnya yang bersinar terpapar cahaya matahari pagi. Kavia di tempatnya menelan ludah melihat keindahan itu. Sementara dirinya masih tampak kacau dengan piyama rumah sakit. Bahkan untuk sekedar menyentuh sisir pun tidak sempat. Rambut panjang bergelombangnya hanya digelung asal agar tidak merepotkan. "Wah, baby-nya tampan. Persis seperti ayahnya. Oh ya, by the way dia panggil kamu apa nanti?" Wajah cantik itu menoleh kepada Javas yang berdiri di sisinya. Dari awal datang, Kavia tidak diliriknya sama sekali. Untuk basa-basi sekedar menanyakan kabar pun enggak. "Papa," sahut Javas singkat sambil memandang buah hatinya yang masih tertidur nyenyak di boks bayi. "Papa. Uhm, cocok juga." Wanita itu tersenyum menambah berkali-kali lipat kecantikannya. "Ameera, apa kamu nggak ada pekerjaan hari ini?" tanya Javas, yang sepertinya merasa tidak nyaman dengan kehadiran wanita itu. Beberapa kali tanpa sengaja dia melihat
Rasanya seperti sedang creambath ketika Javas memijat kepala Kavia. Pijatannya benar-benar lembut dan hati-hati. Membuat beban di kepala seolah rontok seketika. "Enak?" tanya Javas melihat ekspresi istrinya. "Banget. Kamu nggak ada keinginan buka salon?" Pria bertato naga itu terkekeh. "Emang boleh? Pasti salon bakal laris banget sih kalau terapis creambath-nya aku." Javas tertawa mendengar Kavia berdecak. "Nggak usah buka salon kalau begitu." Javas kembali meraih gagang shower dan menyiram perlahan ke rambut Kavia. Busa-busa shampo berjatuhan di lantai kamar mandi bersama beban di kepala wanita itu. Kepala Kavia terasa ringan. Apalagi ketika Javas kembali memijat sembari memberi krim conditioner. Dari urusan rambut dan kepala, Javas lanjut memandikan Kavia. Wanita itu duduk di sebuah kursi sementara suaminya memberikan pijatan ringan dari punggung hingga leher. Javas terlihat fokus melakukan tugasnya. Saking enaknya, Kavia sampai mendesah ketika telapak tangan pria itu bergerak
Selagi Karel tenang bermain bersama Kakek Javendra dan para asisten, Kavia dan Javas melipir ke arena berkuda. Kavia kangen menunggangi Evelyn. Kuda betina putih itu terawat dengan sangat baik saat Kavia melihatnya. Hewan tangguh berkaki empat itu ternyata masih mengenali wanita itu dengan baik. "Sayang! Ayo cepat!" teriak Javas di atas kudanya. Kavia melambaikan tinggi tangannya ke arah Javas, lalu bergerak menaiki pelana kuda. "Evelyn, kita susul suamimu sekarang," ujar Kavia sambil mengusap pelan leher betina tangguh yang dia tunggangi. Dengan cepat dia pun memacu kudanya menyusul Javas. Keduanya mengendarai kuda-kuda itu mengelilingi tanah lapang. Melewati penangkaran rusa milik Kakek, dan sebuah danau buatan yang dipenuhi angsa putih. Pohon-pohon rindang masih tumbuh dengan subur di beberapa area. Setelah beberapa lama saling berkejaran dengan Javas, Kavia menghentikan kudanya di dekat pepohonan yang tumbuh di tepi danau. "Kayak udah lama banget nggak ke sini. Aku kangen men
"Semua yang ada di sini kelak akan menjadi milikmu, Nak." Mata tua Javendra mengedar. Melihat betapa luasnya tanah yang dia miliki. Belum lagi rumah yang dia huni. Rumah kebanggaannya yang sampai saat ini masih eksis di pinggiran kota. Rumah masa depan yang sebenarnya dulu dia siapkan untuk putranya, Ravendra. "Mau bagaimana lagi? Papamu nggak mau menempati rumah ini dan memiliki rumah sendiri. Jadi rumah ini akan kakek wariskan padamu." Javendra terus mengajak Karel ngobrol. Seolah bayi sembilan bulan itu paham apa yang dia bicarakan. "Malah sekarang papamu beli rumah baru. Padahal apa salahnya tinggal di sini sama kakek. Iya kan? Toh rumah ini nanti bakal jadi milik kamu." Tidak jauh dari tempat pria tua itu, Kavia menggeser duduk memepet suaminya dan berbisik. "Kakek kenapa?" "Dia lagi jadi pemeran utama drama keluarga," sahut Javas asal, yang langsung mendapat pukulan ringan di lengan kanannya. Dia mengaduh sambil mengusap lengannya. "Apa sih, Yang? Aku ngomong bener kok."
"Dia sudah nggak bekerja di anak cabang HYOT lagi." Kabar itu membuat Kavia yang sudah merebah segera mengangkat badannya lagi. "Sejak kapan?" Javas mengangkat bahu. "Kamu peduli banget?" Alis tebalnya tertaut. Agak tidak suka istrinya makin kepo. "Bukan peduli, tapi setahuku dia dulu berjuang banget buat dapat posisi bagus di perusahaan tempatnya bekerja." "Mungkin dia dapat tawaran yang lebih bagus." "Mungkin gara-gara dia dimutasi ke luar pulau." Javas menghela napas panjang lalu menarik tangan Kavia agar bergerak memeluknya. "Kenapa sih bahas mantan terus? Kamu nggak ada rencana buat ketemuan lagi kayak dulu kan?" Kavia mesem-mesem tak jelas mendengar pertanyaan Javas. Ekpresi dan cara bicara pria itu membuat Kavia makin merasa dicintai. Mungkin jika pertanyaan itu terlontar saat mereka masih belum menyadari perasaan masing-masing, Kavia bakal jawab iya-iya aja. Javas menjauhkan diri dan menatap Kavia. "Kok malah senyum-senyum?" Matanya refleks memelotot. "Jangan bilang ka
"Aku di farmer market. Kalian langsung ke sini aja ntar." "Oke. Kami masih di jalan. Tungguin kami ya, Macan.... " Kavia tersenyum mendengar suara Javas di seberang sana. Tangannya masih sibuk memilih buah pear di rak. "Oke, aku tutup dulu ya. Hati-hati, nggak usah ngebut." Tidak lama, dia mematikan panggilan dari suaminya itu dan kembali melanjutkan memilih buah segar yang tertata rapi di rak. Akhir-akhir ini Kavia senang membuat salad buah. Stok salad di kulkas cepat habis karena ternyata Javas juga menyukai salad buatannya itu. Senyumnya kembali merekah saat melihat rak bagian apel. Apel adalah buah yang wajib ada di rumah lantaran buah itu menjadi salah satu favoritnya. Mata Kavia tertarik dengan apel bulat yang terletak di tumpukan paling atas. Kulitnya mengkilat dan terlihat besar. Namun saat tangannya terjulur untuk meraih buah tersebut, tangan lain lebih dulu melakukannya. Sehingga tanpa sengaja tangannya menangkup tangan orang itu. Kavia refleks menarik tangannya. "Maaf.
"Astagfirullah, suami orang ganteng banget!" Jeritan tertahan itu keluar dari bibir mungil wanita gemoy saat melihat Javas turun dari anak tangga sambil membawa Karel di gendongannya. Kavia di sebelahnya hanya menggeleng melihat muka mupeng sahabatnya itu. Sementara tangannya masih sibuk mempreteli buah anggur dari tangkainya. Javas tanpa atasan memang menggoda iman. Belum lagi tato besar di bahu hingga lengannya, menambah kesan maskulinnya yang menonjol. Memamerkan bentuk tubuhnya yang seksi itu sudah menjadi kebiasaannya jika berada dalam rumah. Kavia saja yang tiap hari melihat masih bisa terbuai, apalagi Dian? "Laki lo benar-benar hot daddy banget.""Ck!" Kavia melirik sekilas dengan tatapan sebal, namun yang ditatap malah terkikik. "Dia kelihatan sayang banget sama Karel. Gue mau dong satu yang begitu." Bibir Dian mencebik memandang Javas dengan tatapan penuh damba. "Cari coba di pasar loak," sahut Kavia asal. Sejurus kemudian dia mengaduh karena dapat cubitan manis dari Dia
"Sofa baru?" Kavia dan Javas saling pandang sesaat ketika melihat orang-orang suruhan Daniel mengangkut sebuah sofa yang masih terbungkus rapi dengan plastik. Orang-orang itu membawa sofa dengan kelir merah hati itu ke dalam rumah. "Pas kan diletakkan di ruang tamu kalian?" Daniel tersenyum bangga. "Ini papi impor langsung dari Italy loh. Masih satu produk sama sofa di rumah papi." "Harusnya papi nggak perlu repot-repot begini," ujar Javas meringis. Insiden sofa masih menjadi momok buat pria itu. Gara-gara itu pula, Kavia belum mau mengisi ruang tamu barunya. "Sama sekali nggak repot. Anggap aja ini hadiah buat rumah baru kalian. Iya kan, Baby?" Daniel tersenyum sambil menatap istrinya. "Iya. Toh kami nggak bisa ngasih apa-apa selain ini," timpal Delotta sambil mengusap lengan Daniel. "Memang aku nggak tau kalau papi ngasih harga diskon rumah ini sampe 50 persen?" tukas Kavia yang langsung membuat mata Javas melebar. "Harga rumah ini sebenarnya 10M kan? Aku sempat nanya kok sama
Kecuali barang-barang yang ada di kamar Karen, tidak ada lagi barang yang Kavia bawa dari rumah Javas. Rumah dan isinya ditinggalkan begitu saja seolah sudah tidak berguna lagi. Bahkan ketika Javas meminta alat-alat gym untuk ikut dipindahkan, Kavia menolak tegas. "Nggak bisa. Siapa yang jamin alat-alat itu streril dari kalian?" Penolakan Kavia membuat Javas menganga tak percaya. "Ya ampun, Sayang. Kami nggak melakukan sampai sejauh itu. Rumah itu masih dalam keadaan kosong waktu itu. Ak—" Ucapan Javas kontan terhenti ketika dengan cepat Kavia mengangkat tangannya. "Aku nggak mau dengar dongeng jadul percintaan kamu lagi. Oh ya, soal sofa di ruang tamu itu, udah aku bakar." "Apa? Itu sofa bisa kita jual buat beli yang baru kalau kamu nggak mau pake lag—" Kembali Javas merapatkan mulut saat Kavia melotot padanya. "Oke, terserah kamu," lanjutnya pasrah. Benar-benar sudah tidak ada lagi yang bisa dia selamatkan. Dia menatap rumah besar kebanggaannya dengan pandangan merana. Ruma
Mata Kavia berbinar saat melihat Javas sudah ada di kamar ketika dia datang. Seperti malam kemarin, pria itu masih membaca buku yang sama sebelum tidur. Buku tentang ilmu parenting. Alih-alih Kavia, malah Javas yang gencar belajar soal parenting, padahal siangnya pria itu masih berjibaku dengan tumpukan pekerjaan. Kavia mengambil sebuah flyer dari dalam tas. Flyer yang sengaja dia bawa dari kantor papinya. Dengan senyum yang dibuat semelengkung mungkin, wanita itu menghampiri Javas yang masih terlihat fokus. "Pa," panggilnya lirih sembari beranjak duduk di sisi Javas. "Hm." "Lihat ini deh."Pandangan Javas langsung teralihkan sesaat. Matanya melirik benda yang Kavia bawa. "Apa tuh?" tanya dia sebelum balik lagi ke bacaannya. "Ini flyer perumahan elite terbarunya Blue Jagland. Proyek milik Mas Gyan."Javas hanya mengangguk-angguk. Matanya masih lurus menatap barisan huruf di depannya. "Hunian kelas atas yang cuma ada 10 unit. Lokasinya juga nggak jauh dari kantor kamu. Strategis
Kavia membuka pintu kamar dengan pelan. Takut mengganggu dua anak dan ayah yang sedang terlelap dengan tenang. Hampir-hampir dia tertawa melihat posisi Karel yang tidur terlentang dengan tangan dan kaki yang merentang. Salah satu kakinya bahkan mengenai wajah Javas lantaran posisi tidurnya berlawanan arah dengan papanya. Javas sendiri terlihat sangat lelah. Mukanya kucel, ada beberapa stiker yang menempel di wajahnya. Rambutnya bahkan acak-acakan tak karuan. Kavia mendekati pria itu dengan hati-hati lantas berjongkok tepat di dekatnya. Tangannya terulur, mengusap wajah Javas. "Sayang, banguuun," bisiknya pelan, tepat di dekat telinga Javas. Hanya satu kali tiupan ringan, mata Javas langsung memicing. Pria itu terjaga dengan segera, dan agak terkejut menemukan kaki Karel ada di depan mulutnya. "Astaga," desahnya lirih. Membuat Kavia kontan terkikik pelan. Dengan hati-hati, Javas menyingkirkan kaki Karel sebelum beringsut. "Kamu baru pulang?" tanyanya setelah berhasil bangkit dari a