"Kamu bisa tinggalkan kami berdua? Ada beberapa hal yang ingin kakek sampaikan pada istrimu." Javas baru saja akan duduk di sofa saat Javendra mengucapkan itu. Dia sontak membuang napas kasar. Agak kesal karena sang kakek justru malah yang meminta prioritas lebih dulu dibanding dirinya. Yang suami di sini sebenarnya siapa sih? "Kamu. Ada giliran tersendiri untuk kakek mintai pertanggungjawaban," lanjut Javendra yang serta-merta bikin alis Javas menukik. "Pertanggungjawaban apa lagi?" "Kamu nggak lupa kan sudah meninggalkan tugas kamu sebelum selesai?"Wajah tegang Javas kontan mengendur. Dia melirik Phil yang berdiri di sampingnya. Pria yang dia tatap hanya melempar senyum kalem. "Aku kan nemenin Kavia, Kek. Itu lebih penting dari apa pun." "Hm, ya, kakek tau. Tapi meninggalkan begitu saja tugas yang kamu emban itu juga bukan hal baik. Kelak kamu akan memegang kendali semuanya. Kalau masih bersikap begitu, kapan kamu bisa menjadi profesional?" Di saat seperti ini Javas tidak in
"Karel Ravendra Wirahardja.""Good name. Siapa yang kasih nama? Kamu?" Javas menggeleng dengan raut kecewa. Dia beringsut ke sisi tempat tidur sambil membawa piring kertas berisi potongan apel. "Karel dari Papi, Ravendra dari Kakek. Ravendra itu nama mendiang ayahku." "Oh ya? It sounds good," sahut Kavia sambil lalu, dia masih sibuk mengawasi putranya yang sedang menyusu padanya. "Sounds good apaan sih? Aku bahkan nggak diizinkan menyumbang nama. Padahal ini anakku sendiri," ujar Javas bersungut-sungut. Parasnya yang seperti itu membuat Kavia terkekeh. "Kan tinggal kasih satu nama lagi." "Namanya nggak boleh panjang-panjang. Kasihan nanti terlalu berat di nama. Aku mengalah sajalah." "Itu lebih bagus." Kavia menekan gundukan payudaranya agar tidak menutupi hidung kecil putranya. Dia lantas tersenyum melihat bayi berusia tujuh hari itu menyusu dengan lahap. "Jadi, kita panggil dia apa? Karel atau Raven?" "Karel." Javas tersenyum seraya mengambil satu potong apel dan mendekatkann
"Maaf karena baru bisa menjenguk." Suara itu terdengar lembut. Selembut kulitnya yang bersinar terpapar cahaya matahari pagi. Kavia di tempatnya menelan ludah melihat keindahan itu. Sementara dirinya masih tampak kacau dengan piyama rumah sakit. Bahkan untuk sekedar menyentuh sisir pun tidak sempat. Rambut panjang bergelombangnya hanya digelung asal agar tidak merepotkan. "Wah, baby-nya tampan. Persis seperti ayahnya. Oh ya, by the way dia panggil kamu apa nanti?" Wajah cantik itu menoleh kepada Javas yang berdiri di sisinya. Dari awal datang, Kavia tidak diliriknya sama sekali. Untuk basa-basi sekedar menanyakan kabar pun enggak. "Papa," sahut Javas singkat sambil memandang buah hatinya yang masih tertidur nyenyak di boks bayi. "Papa. Uhm, cocok juga." Wanita itu tersenyum menambah berkali-kali lipat kecantikannya. "Ameera, apa kamu nggak ada pekerjaan hari ini?" tanya Javas, yang sepertinya merasa tidak nyaman dengan kehadiran wanita itu. Beberapa kali tanpa sengaja dia melihat
Rasanya seperti sedang creambath ketika Javas memijat kepala Kavia. Pijatannya benar-benar lembut dan hati-hati. Membuat beban di kepala seolah rontok seketika. "Enak?" tanya Javas melihat ekspresi istrinya. "Banget. Kamu nggak ada keinginan buka salon?" Pria bertato naga itu terkekeh. "Emang boleh? Pasti salon bakal laris banget sih kalau terapis creambath-nya aku." Javas tertawa mendengar Kavia berdecak. "Nggak usah buka salon kalau begitu." Javas kembali meraih gagang shower dan menyiram perlahan ke rambut Kavia. Busa-busa shampo berjatuhan di lantai kamar mandi bersama beban di kepala wanita itu. Kepala Kavia terasa ringan. Apalagi ketika Javas kembali memijat sembari memberi krim conditioner. Dari urusan rambut dan kepala, Javas lanjut memandikan Kavia. Wanita itu duduk di sebuah kursi sementara suaminya memberikan pijatan ringan dari punggung hingga leher. Javas terlihat fokus melakukan tugasnya. Saking enaknya, Kavia sampai mendesah ketika telapak tangan pria itu bergerak
Mata tua, tapi tajam itu menyorot Javas. Alis tebalnya yang keperakan menukik, pun dengan kumis melintangnya yang lebat. Hidungnya yang mencuat menambah kesan seram, tapi penuh karismatik. Meski begitu tidak sedikit pun Javas merasa terintimidasi. Dia tetap duduk tenang di hadapan sosok yang sudah membesarkannya selama puluhan tahun itu. Javas tahu apa yang akan kakeknya bahas hari ini. Bukan hanya dirinya, di sebuah ruang kerja kediaman Wirahardja itu Javendra juga mengundang anak angkatnya, pengacara keluarga dan juga dua asisten pribadinya. Harusnya Javas senang karena pada akhirnya hari ini tiba. Hari di mana seluruh kekayaan milik Wirahardja akan jatuh ke tangannya, sang pewaris tunggal. Namun entah kenapa perasaan menggebu itu malah padam. "Bukan hanya seorang suami, kamu juga telah berhasil menjadi seorang ayah. Dengan status barumu itu kakek harap kamu bisa lebih dewasa dalam bersikap dan bertindak. Bukan hanya anak dan istrimu. Setelah kamu menandatangani dokumen ini beban
"Kakek akan berumur panjang sampai kita punya belasan anak, Javas."Javas masih tidur di pangkuan Kavia. Menempelkan pipinya di paha wanita itu. Pria itu menikmati ketika jemari istrinya itu menyisir rambutnya yang mulai panjang. Sejak Kavia masuk rumah sakit dia belum sempat merapikan diri sendiri. Bahkan untuk sekedar mencukur facial hair. "Sepertinya akan lebih baik aku menempati posisi sekarang. Menjabat CEO bakal bikin aku sibuk. Aku takut nggak akan punya waktu buat kalian." Javas meraih tangan Kavia dan membawanya ke bibir. "Saat ini aku ingin banyak menghabiskan waktu bersama kalian." "Tapi Javas, perusahaan juga butuh kamu. Kakek pasti menaruh harapan besar ke kamu. Sebagai pewarisnya." Lagi-lagi Javas menghela napas panjang. "Aku harap Kakek bisa hidup seribu tahun lagi sehingga aku bisa sedikit bersantai mengelola perusahaan." Mendengar itu Kavia terkekeh. "Kupikir kamu takut kehilangan kakek karena sayang banget sama kakek. Nggak taunya karena nggak mau sibuk di perusa
Rapat pemegang saham pagi ini secara final memutuskan Javas yang akan menduduki kursi CEO, menggantikan CEO lama yang mengundurkan diri lantaran ingin fokus pada perusahaannya sendiri. Tidak ada pilihan lain. Banyak suara yang mendukung Javas. Meskipun setengah hati, dia harus profesional mengemban tugasnya. Tepuk tangan menggema di ruang meeting utama ketika Javas selesai memberikan sepatah dua patah kata setelah resmi menjadi CEO. Beban berat kini benar-benar berada di pundaknya. Meski begitu melihat Kavia yang tersenyum lebar di kursinya, Javas seperti mendapat kekuatan untuk bisa ikut tersenyum. Walaupun itu hanya berlangsung selama beberapa saat saja. "Ruang ini sudah didesain ulang seperti selera Anda, Pak," ucap Phil begitu Javas memasuki ruangan barunya. Tidak terlalu banyak perabot di sana. Sirkulasi pencahayaan yang memadai menjadi salah satu permintaan Javas. Satu set sofa berwarna abu terlihat tidak jauh dari meja kerjanya yang besar. Di sudut-sudut ruangan terdapat beb
Hal yang tidak Javas sukai setelah menjabat sebagai CEO ketika dia terpaksa lembur sehingga saat pulang ke rumah mendapati anak istrinya sudah terlelap. Boleh dibilang kesibukannya menjadi berkali lipat dari sebelumnya. Lantaran tanggung jawabnya tidak terbatas cuma satu departemen seperti dulu. Seperti sekarang. Ketika membuka pintu kamar, Kavia sudah tertidur lelap. Begitu juga Baby Karel. Bayi empat bulan itu menggeliat ketika Javas menciumnya, tapi dengan nyamannya terlelap lagi. Reaksi itu menerbitkan senyum Javas. Apalagi ketika mulut Karel bergerak-gerak seolah sedang menyusu. Benar-benar sangat lucu. Meninggalkan bayinya, Javas kembali bergerak ke kamarnya. Sebisa mungkin gerakannya tidak menimbulkan suara agar tidur Kavia tidak terganggu. Namun---"Kamu baru pulang?" Suara serak istrinya membuatnya menoleh. "Kok bangun? Aku ganggu kamu tidur ya?" Masih dengan mata setengah terpicing Kavia tersenyum. "Nggak, tapi bau kamu langsung bisa kecium."Refleks Javas mencium tubuh
Selagi Karel tenang bermain bersama Kakek Javendra dan para asisten, Kavia dan Javas melipir ke arena berkuda. Kavia kangen menunggangi Evelyn. Kuda betina putih itu terawat dengan sangat baik saat Kavia melihatnya. Hewan tangguh berkaki empat itu ternyata masih mengenali wanita itu dengan baik. "Sayang! Ayo cepat!" teriak Javas di atas kudanya. Kavia melambaikan tinggi tangannya ke arah Javas, lalu bergerak menaiki pelana kuda. "Evelyn, kita susul suamimu sekarang," ujar Kavia sambil mengusap pelan leher betina tangguh yang dia tunggangi. Dengan cepat dia pun memacu kudanya menyusul Javas. Keduanya mengendarai kuda-kuda itu mengelilingi tanah lapang. Melewati penangkaran rusa milik Kakek, dan sebuah danau buatan yang dipenuhi angsa putih. Pohon-pohon rindang masih tumbuh dengan subur di beberapa area. Setelah beberapa lama saling berkejaran dengan Javas, Kavia menghentikan kudanya di dekat pepohonan yang tumbuh di tepi danau. "Kayak udah lama banget nggak ke sini. Aku kangen men
"Semua yang ada di sini kelak akan menjadi milikmu, Nak." Mata tua Javendra mengedar. Melihat betapa luasnya tanah yang dia miliki. Belum lagi rumah yang dia huni. Rumah kebanggaannya yang sampai saat ini masih eksis di pinggiran kota. Rumah masa depan yang sebenarnya dulu dia siapkan untuk putranya, Ravendra. "Mau bagaimana lagi? Papamu nggak mau menempati rumah ini dan memiliki rumah sendiri. Jadi rumah ini akan kakek wariskan padamu." Javendra terus mengajak Karel ngobrol. Seolah bayi sembilan bulan itu paham apa yang dia bicarakan. "Malah sekarang papamu beli rumah baru. Padahal apa salahnya tinggal di sini sama kakek. Iya kan? Toh rumah ini nanti bakal jadi milik kamu." Tidak jauh dari tempat pria tua itu, Kavia menggeser duduk memepet suaminya dan berbisik. "Kakek kenapa?" "Dia lagi jadi pemeran utama drama keluarga," sahut Javas asal, yang langsung mendapat pukulan ringan di lengan kanannya. Dia mengaduh sambil mengusap lengannya. "Apa sih, Yang? Aku ngomong bener kok."
"Dia sudah nggak bekerja di anak cabang HYOT lagi." Kabar itu membuat Kavia yang sudah merebah segera mengangkat badannya lagi. "Sejak kapan?" Javas mengangkat bahu. "Kamu peduli banget?" Alis tebalnya tertaut. Agak tidak suka istrinya makin kepo. "Bukan peduli, tapi setahuku dia dulu berjuang banget buat dapat posisi bagus di perusahaan tempatnya bekerja." "Mungkin dia dapat tawaran yang lebih bagus." "Mungkin gara-gara dia dimutasi ke luar pulau." Javas menghela napas panjang lalu menarik tangan Kavia agar bergerak memeluknya. "Kenapa sih bahas mantan terus? Kamu nggak ada rencana buat ketemuan lagi kayak dulu kan?" Kavia mesem-mesem tak jelas mendengar pertanyaan Javas. Ekpresi dan cara bicara pria itu membuat Kavia makin merasa dicintai. Mungkin jika pertanyaan itu terlontar saat mereka masih belum menyadari perasaan masing-masing, Kavia bakal jawab iya-iya aja. Javas menjauhkan diri dan menatap Kavia. "Kok malah senyum-senyum?" Matanya refleks memelotot. "Jangan bilang ka
"Aku di farmer market. Kalian langsung ke sini aja ntar." "Oke. Kami masih di jalan. Tungguin kami ya, Macan.... " Kavia tersenyum mendengar suara Javas di seberang sana. Tangannya masih sibuk memilih buah pear di rak. "Oke, aku tutup dulu ya. Hati-hati, nggak usah ngebut." Tidak lama, dia mematikan panggilan dari suaminya itu dan kembali melanjutkan memilih buah segar yang tertata rapi di rak. Akhir-akhir ini Kavia senang membuat salad buah. Stok salad di kulkas cepat habis karena ternyata Javas juga menyukai salad buatannya itu. Senyumnya kembali merekah saat melihat rak bagian apel. Apel adalah buah yang wajib ada di rumah lantaran buah itu menjadi salah satu favoritnya. Mata Kavia tertarik dengan apel bulat yang terletak di tumpukan paling atas. Kulitnya mengkilat dan terlihat besar. Namun saat tangannya terjulur untuk meraih buah tersebut, tangan lain lebih dulu melakukannya. Sehingga tanpa sengaja tangannya menangkup tangan orang itu. Kavia refleks menarik tangannya. "Maaf.
"Astagfirullah, suami orang ganteng banget!" Jeritan tertahan itu keluar dari bibir mungil wanita gemoy saat melihat Javas turun dari anak tangga sambil membawa Karel di gendongannya. Kavia di sebelahnya hanya menggeleng melihat muka mupeng sahabatnya itu. Sementara tangannya masih sibuk mempreteli buah anggur dari tangkainya. Javas tanpa atasan memang menggoda iman. Belum lagi tato besar di bahu hingga lengannya, menambah kesan maskulinnya yang menonjol. Memamerkan bentuk tubuhnya yang seksi itu sudah menjadi kebiasaannya jika berada dalam rumah. Kavia saja yang tiap hari melihat masih bisa terbuai, apalagi Dian? "Laki lo benar-benar hot daddy banget.""Ck!" Kavia melirik sekilas dengan tatapan sebal, namun yang ditatap malah terkikik. "Dia kelihatan sayang banget sama Karel. Gue mau dong satu yang begitu." Bibir Dian mencebik memandang Javas dengan tatapan penuh damba. "Cari coba di pasar loak," sahut Kavia asal. Sejurus kemudian dia mengaduh karena dapat cubitan manis dari Dia
"Sofa baru?" Kavia dan Javas saling pandang sesaat ketika melihat orang-orang suruhan Daniel mengangkut sebuah sofa yang masih terbungkus rapi dengan plastik. Orang-orang itu membawa sofa dengan kelir merah hati itu ke dalam rumah. "Pas kan diletakkan di ruang tamu kalian?" Daniel tersenyum bangga. "Ini papi impor langsung dari Italy loh. Masih satu produk sama sofa di rumah papi." "Harusnya papi nggak perlu repot-repot begini," ujar Javas meringis. Insiden sofa masih menjadi momok buat pria itu. Gara-gara itu pula, Kavia belum mau mengisi ruang tamu barunya. "Sama sekali nggak repot. Anggap aja ini hadiah buat rumah baru kalian. Iya kan, Baby?" Daniel tersenyum sambil menatap istrinya. "Iya. Toh kami nggak bisa ngasih apa-apa selain ini," timpal Delotta sambil mengusap lengan Daniel. "Memang aku nggak tau kalau papi ngasih harga diskon rumah ini sampe 50 persen?" tukas Kavia yang langsung membuat mata Javas melebar. "Harga rumah ini sebenarnya 10M kan? Aku sempat nanya kok sama
Kecuali barang-barang yang ada di kamar Karen, tidak ada lagi barang yang Kavia bawa dari rumah Javas. Rumah dan isinya ditinggalkan begitu saja seolah sudah tidak berguna lagi. Bahkan ketika Javas meminta alat-alat gym untuk ikut dipindahkan, Kavia menolak tegas. "Nggak bisa. Siapa yang jamin alat-alat itu streril dari kalian?" Penolakan Kavia membuat Javas menganga tak percaya. "Ya ampun, Sayang. Kami nggak melakukan sampai sejauh itu. Rumah itu masih dalam keadaan kosong waktu itu. Ak—" Ucapan Javas kontan terhenti ketika dengan cepat Kavia mengangkat tangannya. "Aku nggak mau dengar dongeng jadul percintaan kamu lagi. Oh ya, soal sofa di ruang tamu itu, udah aku bakar." "Apa? Itu sofa bisa kita jual buat beli yang baru kalau kamu nggak mau pake lag—" Kembali Javas merapatkan mulut saat Kavia melotot padanya. "Oke, terserah kamu," lanjutnya pasrah. Benar-benar sudah tidak ada lagi yang bisa dia selamatkan. Dia menatap rumah besar kebanggaannya dengan pandangan merana. Ruma
Mata Kavia berbinar saat melihat Javas sudah ada di kamar ketika dia datang. Seperti malam kemarin, pria itu masih membaca buku yang sama sebelum tidur. Buku tentang ilmu parenting. Alih-alih Kavia, malah Javas yang gencar belajar soal parenting, padahal siangnya pria itu masih berjibaku dengan tumpukan pekerjaan. Kavia mengambil sebuah flyer dari dalam tas. Flyer yang sengaja dia bawa dari kantor papinya. Dengan senyum yang dibuat semelengkung mungkin, wanita itu menghampiri Javas yang masih terlihat fokus. "Pa," panggilnya lirih sembari beranjak duduk di sisi Javas. "Hm." "Lihat ini deh."Pandangan Javas langsung teralihkan sesaat. Matanya melirik benda yang Kavia bawa. "Apa tuh?" tanya dia sebelum balik lagi ke bacaannya. "Ini flyer perumahan elite terbarunya Blue Jagland. Proyek milik Mas Gyan."Javas hanya mengangguk-angguk. Matanya masih lurus menatap barisan huruf di depannya. "Hunian kelas atas yang cuma ada 10 unit. Lokasinya juga nggak jauh dari kantor kamu. Strategis
Kavia membuka pintu kamar dengan pelan. Takut mengganggu dua anak dan ayah yang sedang terlelap dengan tenang. Hampir-hampir dia tertawa melihat posisi Karel yang tidur terlentang dengan tangan dan kaki yang merentang. Salah satu kakinya bahkan mengenai wajah Javas lantaran posisi tidurnya berlawanan arah dengan papanya. Javas sendiri terlihat sangat lelah. Mukanya kucel, ada beberapa stiker yang menempel di wajahnya. Rambutnya bahkan acak-acakan tak karuan. Kavia mendekati pria itu dengan hati-hati lantas berjongkok tepat di dekatnya. Tangannya terulur, mengusap wajah Javas. "Sayang, banguuun," bisiknya pelan, tepat di dekat telinga Javas. Hanya satu kali tiupan ringan, mata Javas langsung memicing. Pria itu terjaga dengan segera, dan agak terkejut menemukan kaki Karel ada di depan mulutnya. "Astaga," desahnya lirih. Membuat Kavia kontan terkikik pelan. Dengan hati-hati, Javas menyingkirkan kaki Karel sebelum beringsut. "Kamu baru pulang?" tanyanya setelah berhasil bangkit dari a