Sekretaris Javas tampak kaget dan langsung berdiri begitu Javas keluar sambil menggendong Kavia ala-ala bridal style. Bahkan sekretaris bernama Risma itu melebarkan mata sambil melengkungkan bibirnya yang terasa kaku. "Ibu kenapa, Pak?" tanya perempuan itu responsif. "Tidak apa-apa," sahut Javas sambil terus berjalan. "Hubungi supir saya suruh tunggu di depan lobi. Saya mau pulang." "Baik, Pak." Bukan hanya sekretaris Javas yang terkejut dan tertegun selama beberapa saat. Orang-orang yang baru keluar dari ruang meeting pun sama terkejutnya. Termasuk Ameera yang terakhir keluar bersama Phil. "Nyonya kenapa, Pak?" tanya Phil yang langsung cepat tanggap. "Dia tidak kenapa-napa. Kamu handle semua urusanku di sini," sahut Javas tanpa mempedulikan orang-orang yang melihatnya. Sementara Kavia sudah langsung sembunyi di dada Javas sejak keluar dari ruangan lelaki itu. Sebelum keluar, dia sempat meminta Javas untuk menurunkannya, tapi pria itu mengabaikan. Alhasil, dia hanya bisa pasrah
"Kamu mau ke kantor lagi?" Selimut Kavia melorot hingga dadanya yang menonjol dan besar terekspos. Dia membiarkan saja lantaran lebih fokus melihat Javas yang sibuk mengancing lengan kemeja. Pria itu sudah kembali berpakaian rapi setelah membersihkan diri. "Iya, ada meeting lagi yang harus aku hadiri." Terdengar desahan napas kecewa Kavia. Wanita itu mengempaskan kepalanya lagi ke bantal. "Ada apa?" tanya Javas menoleh sebentar. Tangannya sekarang sibuk mengikat dasi.Kembali mata biru itu melirik. "Apa nggak ada yang bisa gantiin kamu?" "Nggak ad—" Javas yang masih menghadap cermin kembali menoleh cepat. "Kamu mau aku cuti?" Kavia mengangguk dengan alis terangkat. Sementara bibirnya mencebik manja. Hal itu langsung bisa mengundang senyum Javas. Pria itu menarik kembali dasi yang hampir selesai dipasang dan beranjak menghampiri Kavia. "Apa yang mau kamu lakukan kalau aku cuti?" tanya pria itu sambil mengawasi istrinya. Wajah kemerahan Kavia tersipu. Dia makin terlihat cantik d
"Nyonya, ada Mas Erland di bawah nyari Nyonya!" Kavia nyengir menatap muka masam suaminya. Dia sedikit bergeser, dan hendak menjauhkan diri. Namun dengan cepat Javas mencegahnya. "Kamu mau ke mana?" tanya Javas sembari mencekal dua pinggul wanita itu agar tidak bergeser. "Ke bawah." "Nggak boleh. Kita belum selesai." "Tapi—" "Selesaikan ini dulu," perintah Javas tegas, tidak menerima bantahan. Dengan terpaksa Kavia menurut. Dia kembali menggerakkan pinggul dengan pelan. Meski begitu, kepalanya sibuk memikirkan Erland di luar sana. Rasanya tidak enak kalau membiarkan tamu menunggu lama. "Kavia, lihat aku," pinta Javas, berusaha membuat Kavia fokus. Wanita itu kontan memalingkan perhatiannya ke Javas dengan pandangan bertanya. "Lihat, ini aku. Bukan orang lain. Jangan pikirkan orang lain saat lagi sama aku." "Aku—ah!" Kavia terpekik saat tiba-tiba saja dari bawah pinggul Javas menyentak. Sekarang permainan kembali dikendalikan Javas meskipun Kavia masih di atas pria itu. Jav
Mata biru Kavia mengawasi tiap gerakan yang Javas lakukan di dapur. Pria itu terlihat sangat sibuk. Di kitchen island banyak bahan makanan yang akan Javas olah. Pria itu juga sudah mengenakan apron. Gayanya sudah serupa chef selebriti di TV. Kavia akui Javas terlihat tampan. Cara dia memegang pisau juga tampak ahli. Kavia tidak tahu apa yang akan pria itu masak. Setelah berhasil mengusir Erland secara tidak terhormat, Javas menawarkan diri memasak untuk Kavia. Meskipun tahu kemampuan memasak Javas teramat sangat amatir, tapi Kavia membiarkan. Mungkin dengan itu emosi lelaki itu bisa mereda. Jika ingat kejadian beberapa puluh menit lalu Kavia tersenyum sendiri. Dia tidak menyangka Javas bisa seposesif itu padanya di depan Erland. Pria itu bahkan masih mengomel dan terlihat begitu kesal ketika Erland sudah pergi. "Kamu baik-baik aja?" tanya Kavia saat melihat napas Javas naik turun karena emosi. Dia bersyukur Javas tidak lepas kendali dan menghajar Erland. "Nggak," sahut pria itu k
Phil menghela napas panjang menatap sosok yang tengah melamun di depannya. Sudah keenam kalinya dia melayangkan panggilan, tapi tidak ada sahutan sama sekali. Padahal dia sedang mendiskusikan hal penting. Phil perhatikan, sejak beberapa hari lalu bosnya itu menjadi sering banyak melamun. Seolah ada beban yang lebih berat daripada masalah perusahaan yang diembannya. Pun siang ini. Ketika Phil sedang membahas tentang proses akuisisi salah satu perusahaan krusial, tuannya lagi-lagi terlihat melamun. Phil mendesah napas kasar. Tangannya dengan sengaja menyenggol interkom di meja Javas hingga benda itu terjatuh. Dia menyeringai kecil ketika melihat bosnya tersentak. "Maaf membuat Anda kaget, Pak," ujarnya lantas meletakkan benda itu ke tempatnya semula. Wajah Javas kontan memberengut. Tidak mungkin interkom jatuh tanpa sebab. "Ada apa?" "Saya sudah memanggil Anda sebanyak enam kali. Pak, kita sedang membahas hal penting.""Iya aku tau." Masih memasang wajah masam, Javas kembali menekur
Mata Kavia melebar ketika tiba-tiba melihat Javas berjalan mendekati mejanya. Seingat wanita itu, dia tidak mengajak suaminya untuk makan siang bersama. Lalu kenapa pria itu muncul di sini dan menatap padanya?"Ada apa?" Dian di depannya menoleh, mengikuti arah pandang Kavia. "Oh kamu ngajak laki lo juga?" "Enggak." Kavia menggeleng lalu kembali menekuri piring. "Mungkin ada meeting lunch di sini." Namun dugaan Kavia salah ketika tiba-tiba saja Javas—yang sudah dekat dengan mejanya—menarik sebuah kursi tepat di sebelahnya. Dua wanita yang duduk saling berhadapan itu kompak menoleh kepada sosok berjas itu. "Boleh aku gabung kan?" tanya Javas tersenyum. Dengan percaya diri, dia duduk di kursi itu sembari membenarkan dasinya. Dian kontan menatap Kavia dengan alis terangkat. Seolah bilang : meeting lunch sama bininya maksud lo? Mengabaikan tatapan Dian, Kavia menoleh ke samping di mana suaminya sekarang duduk. "Kamu kenapa di sini?" "Mau makan sama kamu, apa lagi?" sahut Javas. Tang
"Apa dia marah?" Mata Kavia mengerjap bingung. Sikap Javas benar-benar di luar dugaan. Seperti anak kecil yang sedang ngambek. "Mungkin dia cemburu." Erland menarik piring panna cotta yang baru saja pelayan sajikan. "Nggak masuk akal. Buat apa dia cemburu?" "Dia kan suami kamu." Kavia mendelik. "Kamu tau betul hubungan kami seperti apa." "Dia udah jatuh cinta sama kamu." Erland menopang sisi wajahnya dengan salah satu tangannya, menatap Kavia seraya tersenyum. "Tapi kalau dia masih bersikeras nggak mau mengakuinya, aku bakal bikin dia menyesal." Tangan lainnya mengangkat sendok kecil dan memotong sedikit panna cotta di piring. "Maksudnya?" tanya Kavia sebelum membuka mulut menerima suapan dari Erland. "Udah jelas kan? Kalau dia menyia-nyiakan kamu, aku nggak akan tinggal diam lagi. Aku udah cukup memberinya kesempatan, Pretty." Tahu maksud ucapan Erland, Kavia tersenyum mengejek. "Apa kamu pikir yang kamu lakuin dulu itu nggak lebih jahat dari Javas?" "Makanya aku menyesal.
"Oh, Baby. Kamu udah datang!" Daniel langsung menyerbu Kavia ketika wanita itu baru datang. Dia merangkul penuh sayang bahu sang anak, dan mengecup pipinya. "Anak yang Papi panggil baby itu udah mau punya baby loh. Ih, geli banget sih," sambar Ola memprotes. Namun hanya dibalas senyum menyebalkan sang papi. "Javas beneran nggak ikut, Sayang?" tanya Daniel sambil menggiring putrinya yang berbadan dua itu duduk di sofa. "Nggak, Pi. Dia ada meeting di Malaysia dan Singapore." Kavia menghela napas panjang. Obrolan malam itu tidak berakhir baik. Sampai weekend tiba dan Kavia mengajak Javas untuk ikut ke villa pria itu menolak. Pagi-pagi sekali bahkan lelaki itu sudah pergi. "Oh ya udah, lagian ada kami di sini yang akan jagain kamu. Mas Gyan dan Mbak Resta juga ada." "Aku juga ada!" Tiba-tiba Erland muncul bersamaan dengan Delotta dari arah dapur. Pria itu membawa dua container box di kanan-kiri tangannya. Seketika wajah Kavia berbinar dan terkekeh. "Kalian bener-bener nyiapin semu