Dibandingkan beberapa hari lalu, wajah Kavia saat ini terlihat lebih segar. Warna kemerahan juga sudah terlihat di pipinya. Erland menjaganya dengan baik. Terlebih soal makanan, sebisa mungkin Erland menuruti semua apa yang Kavia inginkan. Ujung mata Kavia melirik sosok Javas yang berjalan mendekat padanya. Sejujurnya dia merindukan pria itu. Sekuat tenaga dia menahan diri untuk tidak menghambur ke pelukan pria yang sudah beberapa hari lalu tidak dia lihat. "Mau aku kupasin buah?" tanya Javas, membuka suara terlebih dulu lantaran Kavia masih terlihat diam dan memasang wajah datar tanpa ekpresi. Tangannya terjulur mengambil sebuah apel di keranjang buah dan pisau kecil di sana. "Aku nggak mau apa-apa," sahut Kavia tanpa menatap pria itu. Tubuhnya bergerak ke samping dan mengubah posisi membelakangi pria itu. "Aku mau tidur." "Hm, oke." Javas meletakkan kembali apel dan pisau itu, lalu beranjak membenarkan selimut milik Kavia. Namun, tanpa diduga wanita itu menyentaknya hingga selim
Keesokan pagi ketika Kavia sedang sarapan bubur buatan Erland lagi—lantaran dia menolak makanan dari rumah sakit—Daniel dan Delotta berkunjung. Kavia agak terkejut melihat kedua orang tuanya muncul. Setelah Javas, sekarang mami dan papi. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Erland. Namun pria itu pura-pura tidak melihat ketika Kavia melotot padanya. "Sayang, kenapa nggak cepet bilang sih kalau kamu masuk rumah sakit?" tanya Delotta dengan wajah menyesal lantaran baru tahu sang putri dirawat. "Maaf, Mam. Aku nggak mau bikin papi sama mami khawatir." Tidak ada jawaban lain yang bisa Kavia pikirkan. Niat awal akan memberi kabar orang tuanya setelah keluar dari rumah sakit gagal. Kavia tidak tahu sejak kapan Erland jadi ember begini. Dia yakin sebentar lagi Gyan pun akan menyusul datang. "Kamu kan putri kami meskipun udah nikah. Kami masih berhak tahu keadaan kamu, Nak." "Iya, iya, Aku minta maaf, Mam." Kavia buru-buru memeluk pinggang sang mami, mencegah wanita itu mengomel lebih banyak
"Gila lo ya!" Kavia menjauhkan ponsel dari telinga mendengar jeritan Dian di ujung telepon sana. "Kavia! Lo anggap gue apa?!" Kembali teriakan Dian menggelegar. Suaranya benar-benar berbanding lurus dengan badannya. "Masa gue tau lo masuk RS dari orang lain? Mana baru taunya pagi tadi lagi. Yang bener aja!" "Nggak usah lebay! Gue juga baru pegang ponsel sekarang. Makanya gue langsung telepon lo.""Gue baru bisa jenguk lo pulang kerja ntar, Vi. Lo baik-baik aja kan?" Di ujung sana suara Dian berubah lembut. "Gue baik kok. Gue—" "Apa bener yang Erland bilang kalau lo hamil?" potong Dian cepat. "Hm ya." Mata Kavia melirik pintu. Sudah beberapa menit lalu Javas pergi. Ini kesempatan bagi Kavia untuk membahas suatu hal yang tertunda dengan Dian. "Lo udah nemu apartemen yang gue mau?" "Sebenarnya udah ada. Tapi, Vi. Lo kan hamil.""Emang kenapa kalau gue hamil? Gue nggak mungkin balik ke rumah Javas meskipun gue hamil." "Emang Javas bakal biarin?"Kavia menarik napas panjang. Kehami
"Jadi, ini rumah kita sekarang?" Javas mengekori Kavia melangkah masuk ke tempat tinggal barunya. Ya, akhirnya Kavia dengan teramat sangat terpaksa membiarkan Javas tinggal bersamanya dengan beberapa syarat. Lagi pula, wanita itu yakin Javas tidak akan bisa bertahan lama tinggal di tempat sekecil ini setelah terbiasa tinggal di rumah yang luas dan mewah. Apartemen yang dicarikan Dian itu hanya memiliki satu kamar. Luasnya tak kurang dari 70 meter persegi. Ada satu kamar mandi di luar dan dapur kecil di dalamnya. Begitu membuka pintu mata kita akan langsung bertumbukan dengan living room yang sekaligus menjadi family room. Di sana terdapat sebuah sofa panjang berwarna abu dan satu set LCD TV yang berada di seberangnya. Di sofa itulah Javas akan tidur. Itu kesepakatannya. Kavia tidak mau tidur satu ranjang lagi dengan pria itu. Dan ajaibnya Javas setuju tanpa tapi. "Kamu istirahat aja. Biar aku yang beresin baju-bajunya," ujar Javas sambil menarik dua travel bag besar milik dirinya
Bibir Javas berkerut ketika mendapati seorang kurir tersenyum padanya ketika dirinya membuka pintu. Tanpa bertanya, dia sudah tahu paket yang dibawa kurir tersebut di pagi hari begini. Apalagi kalau bukan bubur buatan Erland. Hampir tiap pagi ada kiriman bubur dari pria itu untuk Kavia. Pasalnya, wanita itu belum mau makan nasi sejak keluar dari rumah sakit. Padahal bukankah bubur itu juga nasi? Nasi lembek. "Bilangin sama orang yang kirim ini, suruh stop kirim-kirim ini mulai besok," ujar Javas agak menahan sebal. Dia langsung menutup pintu tanpa menunggu sang kurir merespons. Masih dengan raut kesal dia meletakkan paket bubur tersebut ke meja. "Apa enaknya sih? Gue juga bisa bikin beginian," gerutunya. Dia melirik kamar Kavia yang masih tertutup. Dia berpikir untuk membongkar wadah bubur dan mencicipi isinya sebelum wanita itu keluar. Dengan hati-hati Javas mengambil mealbox dari dalam paper bag berwarna cokelat paket tersebut. Ada dua mealbox. Mealbox pertama berisi bubur polos,
Dengan bangga Javas mempersembahkan semangkok bubur buatannya di depan Kavia. Sebelumnya pria itu membangunkan sang istri yang masih tertidur pulas sementara dirinya sudah uprek di dapur dari subuh buta. Selain bubur, dia juga membuat jamur krispi dengan mengandalkan resep dari internet. Dari penampilannya tidak buruk, pun soal rasa menurut dia lumayan. "Kamu bikin sendiri?" tanya Kavia ragu. Bahkan Javas sudah menggiringnya untuk duduk di kursi meja makan yang sudah pria itu siapkan. "Iya. Spesial buat kamu." Tidak ada yang beda dari bubur buatan Erland secara penampilan. Namun, Kavia masih terlihat ragu ketika Javas memintanya untuk mencoba. Untuk menghargai kerja keras pria itu, Kavia akhirnya meraih sendok dan menyentuh nasi lembek bertabur ayam suwir itu. Di depannya Javas menahan napas ketika Kavia menyuap satu sendok ke mulut. Selama beberapa saat dia menunggu reaksi wanita itu. Dia sangat yakin usahanya kali ini berhasil. Ada bumbu spesial yang sengaja Javas masukan sebaga
"Sarapannya udah aku siapin. Aku berangkat dulu." Suara itu masuk begitu saja ke telinga Kavia. Seperti sebuah mimpi yang menyelinap di tidur panjangnya. Perlahan wanita itu membuka mata. Tubuhnya langsung beringsut, lalu tatapnya meneliti keadaan sekitar. Kavia memicing ketika sinar matahari menembus jendela kamar, memapar wajahnya. Refleks tangannya meraba nakas, menggapai jam tangan kesayangannya, lalu mengintip angka yang tertera di sana. "Pukul sepuluh?" Dia bergerak duduk dengan perlahan. Jelas dia kesiangan setelah semalam kesulitan tidur. Kavia melakukan peregangan otot tangan dan leher. Rasanya dia sudah kenyang tidur. Semalam itu.... Kegiatan peregangan itu kontan terhenti ketika kejadian tadi malam berkelebat. Kavia meraba bibirnya sendiri. Semalam dia dan Javas berciuman. Oh, bukan. Tepatnya Javas menciumnya. Ciuman yang cukup singkat, tapi sanggup mengguncang jiwanya selama beberapa saat. Niatnya mencari makanan pun terlupakan. Lantaran rasa malu segera menyerbu. Malam
"Apa Javas memperlakukan kamu dan calon bayimu dengan baik, Nak?" Pertanyaan Kakek membuat Javas mengangkat wajah dengan cepat. Namun Kavia di sebelahnya malah tersenyum. "Iya, Kek. Seperti biasanya Javas baik," sahut Kavia tersenyum tipis tanpa melirik Javas sama sekali. Dan entah kenapa itu membuat Javas merasa tak nyaman. Karena sepertinya yang Kavia ucapkan tidak tulus. Pria itu menunduk lagi, menekuri piringnya. "Baguslah." Kakek mengangguk. "Biar gimana pun kalian sepasang suami istri dan sebentar lagi kalian akan menjadi orang tua. Sudah sepatutnya satu sama lain saling memperlakukan dengan baik. Setelah anak kalian lahir, tanggung jawab kalian menjadi lebih besar. Kavia..." Kakek menatap cucu menantunya. "Kelak kamu akan menemani Javas mengemban tugasnya sebagai pewaris Wirahardja. Kakek yakin kamu mampu. Kakek percaya sama kamu. Kalian berdua akan saling menguatkan dan menghadapi tantangan bersama. Kakek harap, apa pun kondisi suami kamu, kamu akan selalu tetap berada di