Jeritan menggema di seluruh sudut ruangan, bagai orang gila Stella meraung-raung di dalam kamarnya. Ia tinju berkali-kali bantal guling nya, rambutnya sudah seperti singa, acak-acakan.
"Argh! Bangsat! Cewe cupu sialan! Masih anak baru udah belagu!" Ia keluarkan semua umpatannya, tak cukup sampai situ Stella lempar boneka-bonekanya ke sembarang arah. Kamarnya sudah seperti kapal pecah, berhamburan isinya. Tidak, ia tidak menangis. Stella marah, kesal, cemburu, dan sedih bercampur menjadi satu. Rekaman yang Gio upload sudah ia lihat karena dirinya mengikuti akun bocah itu. "Awas Lo, cupu! Liat aja besok di sekolah!" geramnya melototi wajah bahagia di ponsel itu. Stella bangun dan pergi ke kamar mandi, kamar mandinya yang di dominasi warna merah dengan aroma mawar itu menjadi tempatnya bersemedi. Duduk di bathub menghangatkan badan dari berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. "Vala ..., ck. Awas Lo!" lirihnya gusar. Pikirannya melayang tertuju gadis bernama Vala itu, penampilan Vala yang sangat berbeda saat di sekolah membuat Stella marah. Tidak! Tidak boleh ada yang mendekati Nathan, hanya dirinya yang boleh. Bersusah payah ia kerahkan semua hartanya untuk mempercantik diri, namun tak sekalipun Nathan meliriknya. Ia pukul air di bathub itu hingga amarahnya terlampiaskan. "Damn girl, shit!" Di lain tempat Vala tengah mencoba skateboard bersama Nathan, mereka masih di taman sehabis dari kafe. "Jangan gitu, kakinya neken ke papannya." Nathan benarkan posisi kaki Vala. Nathan dengan pelan menjelaskan kepada Vala, ia pegang pinggang gadis itu saat Vala akan oleng. Jangan tanya bagaimana keadaan Vala saat ini, jantungnya jedag jedug sejak tadi. "Hati-hati," ucapnya lembut membuat Vala malu. Gio yang melihat mereka asyik sendiri pun diam-diam merekam kembali, bocah itu tidak ada kapok kapoknya. Meski ia takut dengan Nathan, tapi untuk yang satu ini takkan ia lewatkan, momen langka. Nathan pegang kedua tangan Vala, mereka berjalan dengan skateboard nya masing-masing. Nathan menggunakan milik Gio dan Vala menggunakan milik Nathan. "Kak, pelan-pelan!" teriak Vala takut-takut. Nathan terkekeh geli, "iya ini pelan." Lucu sekali, seperti sepasang kekasih yang sedang belajar bersama. Gio tak berhenti tersenyum senang, ia juga merasakan kebahagiaan saat ini. Melihat Nathan, temannya yang tertawa kecil bersama Vala di depan sana ia ikutan tertawa. "Semoga Lo beneran udah sembuh bre, kalau dia obatnya gue rela." Hampir setengah jam Stella berendam, setelah merasa puas gadis itu membereskan kegiatannya dan memulai ritual mandinya. Selesai mandi Stella berganti pakaian yang sangat terbuka, ia olesi wajahnya dengan make up secantik mungkin. "Uh, so pretty!" kagumnya menatap cermin. Bibirnya manyun dengan lipstik yang sedang ia oleskan ke sana. "Muah, aw merah!" Ia ambil tas merahnya dan memasukkan dompet juga ponsel kesana, rencana dadakan yang ia buat, pergi ke taman. Saat turun dari lantai dua Stella melihat mamanya, Donna. Wanita modis itu menatap putrinya dengan aura permusuhan, memang hubungan keduanya tak begitu baik tak seperti yang publik lihat. Tanpa kata Stella turun ke bawah melewati mamanya, "Stella!" teriak Donna menatap Stella tajam saat mereka bersebelahan. "Benarkan pakaian mu, jangan seperti jalang!" Stella memutar bola matanya malas, selalu seperti ini. Batin Stella malas. "Lo kali yang jalang!" sahut Stella tanpa takut memandang remeh Donna dari atas ke bawah, pakaian mereka sama-sama terbuka. Donna langsung marah, ia cengkram kuat lengan putrinya dan menatapi Stella tajam. "Jaga ucapan mu, Saya adalah mamamu!" tegas Donna. Stella hempaskan tangan Donna dari lengannya, ia usap usap lengannya seperti membersihkan sisa debu. "Mirror, bitch!" ucapnya sembari mengacungkan jari tengah dan langsung pergi ke bawah tanpa menghiraukan teriakan menggema Donna. "Anak tidak tau diuntung! Tahu begitu Saya gugurkan saat mengandung mu dulu! Menyesal sekali memiliki anak seperti mu!" teriak Donna lagi. "Gue juga nyesel jadi anak Lo!" sahut Stella berteriak. "Tidak usah pulang sekalian! Jual diri sana!" Hati Stella nyeri sekali mendengarnya, matanya sudah berkaca-kaca saat berjalan. Ia tahan supaya tangisannya tidak keluar. Ga papa, it's okay udah biasa. Batin Stella menenangkan diri. "Motherfucker!" teriaknya menyahuti, Stella banting pintu utama. Stella berlari menuju garasi, ia masuk ke mobil merahnya dan membanting pintunya dari dalam, Stella pukul pelan setirnya. Stella menyenderkan kepalanya di setir mobil dengan napas memburu. Perlahan ia bangun, mendongak dan mengambil cermin kecil di dashboard. Ah make up nya sedikit berantakan, ia panaskan mobil dan membenahi penampilannya. "Perfect!" serunya senang setelah selesai. Stella jalankan mobilnya keluar dari garasi, ia lajukan mobil merah itu ke jalan raya dengan sedikit mengebut. Tampaknya jalan ke arah taman tak begitu ramai, kebanyakan menggunakan sepeda, jalan kaki, dan skuter. Chit! Stella langsung menginjak rem kuat, hampir saja kucing itu terlindas. Matanya melotot marah memperhatikan kucing orange yang berlari dari depan sana, kucing itu tiba-tiba melintasi jalan dari arah kiri dimana pohon cukup besar berada. "Kucing gila!" Mendengar suara klakson dari belakang, Stella pun menjalankan kembali mobilnya dengan marah-marah. "Awas Lo cing, gue potong kaki Lo biar ga bisa lari lagi!" Stella memarkirkan mobilnya di parkiran khusus mobil dekat taman, ia lihat kembali penampilan dirinya sebelum keluar. Ia pakai kacamata hitamnya dan menyemprotkan parfum mawar ke area tubuhnya. Stella keluar dari mobil dengan anggun dan pelan, hatinya bangga kala begitu banyak orang menoleh ke arahnya dan memperhatikan dirinya. Ia tutup mobilnya dengan pelan dan mulai berjalan ke dalam taman, matanya mencari tempat di mana Nathan berada. "Mana si?" Kacamata hitamnya ia lepas dan ia simpan di kerah kaosnya, Stella mengenakan kaos crop-top tanpa lengan yang memperlihatkan pusar dan ketiaknya, di padukan dengan rok span mini yang hanya menutupi setengah pahanya. "So hot! Uh!" ucapnya kepanasan. Tak henti-hentinya ia kipasi diri sendiri dengan tangan. Stella sudah mengelilingi area taman namun tampaknya tidak ada Nathan di sana, atau mungkinkah sudah pulang. Dengan kesal gadis itu duduk di kursi, wajahnya sudah memerah karena panas. Di lain tempat Nathan sedang mengantarkan Vala ke rumahnya, mereka bersebelahan dengan skateboard dan skuternya masing-masing. "Gue ga terlalu kenal Stella, tapi gue punya rencana!" ucap Nathan bersemangat. Vala langsung menengok dan menghentikan skuternya. "Apa Kak? Apa?" sahutnya antusias. Nathan tersenyum menyeringai, ia dekatkan bibirnya ke telinga Vala dan membisikkan sesuatu ke gadis itu. Vala terdiam sejenak, ia pegang erat stang skuternya supaya tidak jatuh. Matanya Vala membulat terkejut, gadis itu menatap Nathan penuh curiga. "Kak Nath yakin?" Nathan mengangguk kecil. Vala kembali merenungkan ucapan Nathan barusan, sebisa mungkin ia tahan kekesalannya karena ia pun tidak memiliki hak dan wewenang terhadap lelaki itu. "Hm, ya udah deh kalau gitu. Mau mampir dulu ga kak?" tawar Vala saat mereka sampai di depan rumah Vala. Nathan memperhatikan rumah gadis itu, "sepi?" tanyanya. "Iya, ayah kerja. Aku sendirian di rumah," sahut Vala membuat hening sejenak. "Kapan-kapan aja kalau gitu," putus Nathan. "Iya Kak, btw thanks ya! Hehhe!" seru Vala. Nathan mengangguk saja, lelaki itu pamit dari sana. Vala memperhatikan Nathan hingga lelaki itu hilang dari pandangan, gadis itu menjerit kecil saat berjalan masuk ke rumah. "Argh! Mimpi apa aku?" Puk, puk, puk. Ia tampar kecil pipinya sendiri tak percaya dengan hal yang barusan ia alami. Di tengah taman seorang gadis tengah dikerubungi oleh beberapa lelaki, para lelaki itu menggoda gadis itu sejak tadi. "Pergi gak kalian semua!" Mata Stella melotot saat mengatakan hal itu, ia acungkan jari telunjuknya ke arah para lelaki. "Wah wah, galak bener si!" ujar seorang lelaki berkaos kuning. Karena malas meladeni Stella pun bersingut mundur kemudian lari dari sana, ia menengok ke belakang tak ada yang mengejarnya. Sepertinya memang hanya para remaja iseng, Stella rasanya ingin mengamuk saja. *** Sudah masuk sekolah lagi, dan hari ini hari Jum'at. Vala bercermin sembari mengenakan Kacu Pramuka, netranya tak sengaja melihat kotak kecil dari teman sang ayah saat mengambil ring Kacu dalam laci. "Hm, cantik sih. Pake ajalah!" putusnya mengenakan gelang itu di tangan kirinya. "Wah!" kagumnya menatap penampilannya sendiri. Rambut kepang dua dengan pita coklat di ujungnya, penjepit rambut berbentuk es krim di kedua sisi menyempurnakan penampilan Vala. Ting! Notifikasi ponsel mengalihkan perhatiannya, Vala beranjak mengambil ponselnya di atas kasur dan mengeceknya. ~ ( Nayyy ) Renaya : La, udah berangkat belum? Vala : Belum Nay, kenapa? Renaya : Tolong izinin ya, aku hari ini ga berangkat sekolah. Vala : Loh, sakit kah? Renaya : Iya, lemes banget. Vala : Ya udah kalau gitu nanti ku izinin, get well soon ya Nay. Renaya : Makasih ya La Vala : Sama-sama ~ Setelahnya Vala mengenakan tasnya dan memasukkan ponselnya di saku. Gadis itu turun ke bawah untuk sarapan, sang ayah sudah berangkat kerja jadi ia sendirian. Vala duduk dan mengambil susunya, ia habiskan rotinya karena malas makan nasi. Bibi yang sedang mengambil piring pun mendekati majikannya karena melihat sang majikan tampak lesu. "Loh Non. Kok ga dimakan?" tanya sang bibi melihat piring Vala masih penuh nasi tak tersentuh. Vala menengok, "um ga nafsu bi," jawabnya sembari mengunyah. "Mau di buat bekal aja?" Vala mengangguk, sang bibi pun kembali ke area dapur mengambil kotak bekal dan botol minum. Bibi kembali membawa kotak bekal warna ungu putih bergambar es krim beserta botol bening. "Dikit aja bi, jangan semuanya." Bibi mengurangi nasi yang sudah masuk ke kotak dan menambah lauk pauk. "Segini aja non?" Vala mengangguk. "Minumnya apa non?" tanya bibi setelah selesai mengemasi kotak bekal. "Air putih aja bi," sahut Vala. Masih sisa satu roti tak Vala makan, ia habiskan susunya dan memasukkan bekal beserta botol ke tas nya. Setelah pamitan dengan bibi Vala ke garasi mengambil skuternya, ia naiki skuter itu dengan sedikit cepat. Vala melajukan skuternya di jalan khusus sepeda, sedikit sepi hanya ada beberapa yang bersepeda. Sebentar lagi sampai, rumah dan sekolah tak terlalu jauh mungkin sekitar 2 km dengan jalan yang datar. Pukul 06.40 Vala baru sampai di gerbang sekolah, gadis itu memarkirkan skuternya di tempat khusus dan menguncinya. Entahlah rasanya ia tiba-tiba tak bersemangat untuk sekolah, namun ia tetap tersenyum saat berjalan menuju kelas. Begitu banyak anak murid kelas sepuluh yang sekedar menyapa saat berpapasan dengan Vala, saat memasuki kelas ia di sambut suasana kelas yang ramai. Begitu berisik seperti biasanya, Vala berjalan ke bangku Huza sang ketua kelas. "Za," panggil Vala membuat Huza menghentikan obrolannya dengan teman-teman. "Ya, gimana La?" "Naya izin ga berangkat dia sakit," jelas gadis itu. "Naya? Oh iya, bentar ku minta tolong sekretaris nya." Vala mengangguk dan masih berdiri menunggu. "Bina! Sabrina!" panggil Huza sedikit keras, Sabrina yang sedang duduk di pojok menulis pun menoleh. "Sini!" Dengan malas Sabrina bangun dan jalan mendekati Huza. "Apa?" tanya Sabrina menatap para murid di sana dan senyum saat menatap Vala. "Tolong buatin surat izin buat Naya, sakit dia," jelas Huza mendapatkan anggukan dari Vala. "Hah Naya sakit apa?" "Eh, sakit apa La?" tanya Huza ke Vala. "Lemes katanya, meriang kayanya?" Vala juga bingung Naya tak menjelaskan perihal rasa sakitnya. "Oh demam?" tebak Sabrina. "Ho'oh! Demam!" "Yaudah ntar aku bikinin," sahut Sabrina. "Hehe makasih ya!" Sabrina mengangguk dan pamit pergi, Vala menatap Huza senang dan berlalu dari sana menuju bangkunya. Huza berkedip sebentar saat di tatap Vala tadi, entah mengapa gadis itu terlihat manis dan cantik seolah penampilannya dipaksa untuk cupu. Huza menengok ke bangku Vala, ia lihat gadis itu tengah mengeluarkan ponsel dan bukunya kemudian menulis. "Heh! Liatin Vala mulu, suka ya?" tebak Ghifari, si wakil ketua. Lelaki dengan rambut ikal itu menepuk pundak Huza sedikit keras. Huza melotot kemudian menggeleng, "engga lah!" elaknya. Teman-temannya pun tertawa, mereka lanjut menggoda sang ketua yang wajahnya sudah merah. "Ih blushing! Hahha!" teriak Haikal, cowo yang duduk sebangku Huza. "Salting ya Lo!" tebak Ghifari. "Ngaku aja ga si?" ucap Wahid ikut-ikutan. Penampakannya paling alim karena memakai peci. "La Vala!" teriak Haikal tiba-tiba, Huza langsung melotot dan mencoba membekap mulutnya. Huza menengok di mana Vala sedang memperhatikan ke arahnya sembari bingung penasaran. "Diem ga Lu!" geram Huza, Haikal bergumam tak jelas dibalik telapak tangan Huza. "Huza suka sama Lo!" Itu Wahid yang bilang, Vala langsung menganga bodoh mendengarnya. "Asem!" Huza lepaskan tangannya dari mulut Haikal berganti menggeplak kuat lengan Wahid, Wahid meringis kecil memegangi lengan kanannya. Wahid dan Ghifari tertawa, Haikal langsung berdiri dan mendekati pintu keluar. "Katanya kamu cantik dan manis!" teriak Haikal langsung kabur dari kelas. Wajah Huza semakin merah saja, ia kesal dengan teman-temannya. Ia tatap Vala dan berdiri membela, "ga! Itu fitnah La, jangan percaya!" belanya. *** Vala tidak ke kantin saat istirahat, gadis itu memilih ke taman sekolah memandangi kolam ikan dan duduk menikmati angin sepoi-sepoi. "Sepi banget," gumamnya lirih. Padahal Vala punya banyak teman tapi ia merasa kesepian, meski dirinya anak baru. Dari tempat Vala duduk tampak Stella and the geng berjalan ke arahnya, Vala anteng menunggu apa yang akan terjadi. "Heh, bangun ga!" paksa Stella di depan Vala, gadis itu menatap Vala remeh. "Cupu bangun Lo!" teriaknya sekali lagi. Vala malas sekali, ia pun bangun perlahan dan mendongak menatap Stella yang sedikit tinggi darinya. Di kanan Stella ada Yumna si menor dan kirinya si kembar Zoya Ziya menatap Vala remeh. "Ada apa kak?" tanya Vala tenang. "Ada hubungan apa Lo sama kak Nathan hah?" Stella dorong pelan pundak kanan Vala dengan jari telunjuk. Vala melirik di mana jari Stella hinggap, ia sapu kecil seragamnya membuat Stella menggeram marah. "Hm apa ya? Coba tebak?" tanya Vala berani, ia tatap kakak kelasnya itu dengan tatapan berbinar. Stella mengepalkan tangannya kuat, gadis itu maju selangkah mendekati Vala. Ia tatapi Vala dengan tajam, seolah ingin memusnahkan. "Lo, cupu belagu. Jauhin kak Nathan dan Lo bakal jauh dari petaka dimasa depan," tegas Stella. Vala menghembuskan napasnya, "hm iya iya kak. Udah ya?" tanyanya. "Lo ngeremehin gue?" Stella maju dan mendorong Vala hingga terjatuh. "Mampus Lo!" Stella tendang sedikit kuat kaki Vala. Vala diam memperhatikan kakinya yang barusan di tendang, gadis itu menatap datar Stella kemudian bangkit perlahan. Tidak sakit sama sekali, ini bukan tandingannya. Dari kejauhan Nathan dan Elder berjalan membawa bola basket. "Stella? Ngapain si Kunti di sana?" tanya Elder. Nathan menengok ke arah yang Elder maksud, matanya terkejut dan langsung berlari ke sana. "Weh!" teriak Elder kemudian mengekori Nathan. Vala sedang mempersiapkan tangannya, ia menghiraukan ucapan hina Stella. "Lo tuh cupu, jelek, miskin. Ga pantes tau ga bersanding sama kak Nathan!" Nathan datang suasana langsung tegang, Yumna mengambil cermin dan langsung merapikan penampilannya. Zoya Ziya diam menatap Elder yang berjalan kemari penuh kekaguman, sedangkan Stella langsung memasang muka sok baik dan ramah. Vala menatap Nathan diam, entahlah perasaannya tak menentu. "Ada apa ni?" tanya Nathan membuat Stella gelagapan. "Eh, anu kak. Cuma kenalan sama anak baru, iya kan?" Stella menatap Vala tajam supaya mengiyakan. Vala menggeleng kecil, "biasa kak, sok senior," sahut Vala enteng. Sebisa mungkin ia tahan jeritannya melihat Nathan di sebelahnya persis, aroma vanila tercium begitu kuat mendobrak dinding hati. "Heh! Eh, ma-maksudnya apa ya dek? Bukannya tadi kamu mau ikut ekstrakurikuler kecantikan?!" Itu Yumna yang bilang, Stella di sebelahnya mengangguk-angguk dengan senyuman yang di paksakan. Vala menaikkan satu alisnya, "hah?" sahutnya bingung. Nathan memperhatikan semuanya, "balik ke kelas kalian!" tegas Nathan. Ingin sekali Vala mengadu namun tidak bisa sekarang. Vala yang malas pun berlalu dari sana tanpa pamitan, Nathan ingin bertanya namun ia urungkan saat melihat Elder mengangkat bola basket. Nathan menatap Stella datar, Elder dan Nathan pun pergi meninggalkan Stella and the geng. "Ck, payah!" gumam Stella. "Kalian duluan aja sana!" titah Stella. Yumna menghela napas kasar, gadis itu pergi tanpa kata. Zoya dan Ziya pamit meninggalkan, sisa Stella sendirian di taman. Stella duduk dengan marah, otaknya sangat berisik sekali. Ia pegang kepalanya sembari memejamkan mata. "Argh!" Napas Stella memburu hebat, saat membuka mata netranya tak sengaja menatap sebuah gelang terjatuh di kaki kursi. Ia ambil gelang itu dan memperhatikannya dengan seksama. "Kok, mirip?" tanyanya sendiri memperhatikan gelang yang ia kenakan, kedua gelang itu dijejerkan. Stella tertawa miris, "hahha! Apalagi ini hah? Apa lagi ulah yang papa lakuin!" kelasnya memegang gelang itu kuat, ia remat hingga telapak tangannya sakit. Stella tatapi dengan hampa tangannya, telapak tangannya memerah membentuk bekas gelang. "Vala Karamella, Lo siapa?' lirihnya gusar. Vala berjalan ke arah kelasnya dengan malas, ia memilih mengambil tasnya dan menghampiri Sabrina. "Tolong izinin ya, aku ga enak badan mau ke UKS aja." Sabrina mengangguk, "ku anterin!" Vala mengangguk. Mereka berdua berjalan menuju UKS kelas 10, tak jauh dari kelas hanya berjarak 2 ruangan. Sampai disana UKS begitu sepi, tidak ada yang berjaga. "Rebahan aja, mau minum obat ga?" tanya Sabrina perhatian. Vala membaringkan tubuhnya di ranjang UKS, "em ga usah aku tidur aja ya," jawabnya lemah. Tentu saja pura-pura, matanya menatap Sabrina melas. "Aku bikinin teh anget mau ya?" Vala menggeleng kecil. "Loh, ko gamau. Ku bawain roti ya?" bujuk Sabrina lagi. "Ga papa, aku mau tidur aja." Stella akhirnya mengalah, ia pun mengambil selimut di lemari dan mengenakannya ke Vala. "Ntar kalau pulang aku bangunin, lekas sembuh ya La. Ga papa nih sendirian?" tanya Sabrina lagi, sebenarnya ia ingin menemani namun pelajaran setelah ini Bahasa Perancis, gurunya tegas. "He'em, ga papa kok. Makasih ya," sahut Vala. Sabrina pun pamit pergi meninggalkan Vala sendiri. Vala bangun dari tidurannya, ia amati ruangan UKS ini. Luasnya seperti kelasnya, dengan bilik-bilik kamar dibatasi oleh gorden. Gadis itu berjalan menuju lemari obat, mengambil minyak kayu putih dan perban. Vala oleskan minyak ke leher dan kakinya, ia pijat perlahan kemudian memakaikan perban ke kedua telapak tangannya. "Stella," lirih Vala datar memandangi tangannya yang di perban. Ia kepalkan tangan kanannya hingga otot-otot kecil keluar. Bugh! Vala pukul ranjang itu, gadis itu mengangguk kecil ikatan perbannya sudah kuat. Ia lipat selimut UKS dan mengembalikannya ke lemari. *** Di parkiran sekolah Vala berada, ia ambil skuternya dan membuka kuncinya. Vala lajukan skuternya mendekati area parkir mobil, ia ingin melakukan sesuatu. Sangat sepi di sini, murid-murid sudah pulang. Vala bersandar di pohon rindang dekat parkiran mobil, ia lihat di sana Stella sedang mencak-mencak tak jelas. Mobil Stella kotor penuh coretan, bahkan badannya bekas goresan baru. "Argh! Siapa yang berani ngelakuin ini!" jerit gadis itu. Stella sendirian, komplotannya sudah pulang dijemput sopirnya masing-masing. Vala berjalan mendekat dengan skuternya, Stella yang menyadari seseorang datang pun menengok. "Gimana? Keren kan karyanya Kak?" ucap Vala senang. Stella tanpa aba langsung berniat menjambak, sebelum itu terjadi sudah Vala tangkas tangannya dan memutar tangan Stella di belakang. "Argh!" jerit Stella kesakitan tangannya linu. "Argh! Lepasin!" jerit Stella lagi karena Vala menekankan tangannya. "Ga usah sok bully kalau lemah," ujar Vala pelan tepat di dekat telinga Stella. Vala dorong Stella hingga gadis itu menabrak mobilnya sendiri, Stella menjerit kecil. "Lo! Bangsat, awas aja Lo!" Stella maju lagi langsung Vala tonjok. "Akh!" Stella pegang pipi kirinya yang kena tonjok, itu sakit sekali. "Impas, oh bentar Kak." Bugh! "Awh! Ssh!" Stella tersungkur memegangi kaki kirinya, ia baru saja di tendang Vala meski tak terlalu kuat efeknya sangat terasa. "Bye-bye kak," pamit Vala tanpa beban. Vala naiki skuternya dan pergi meninggalkan Stella yang tantrum, gadis itu mengambil kerikil kecil dan melemparkannya ke arah Vala yang sudah jauh. "Lo tunggu balesan gue!" teriaknya. Vala mengangkat tangan kirinya dan mengacungkan jempol tanpa menoleh, gadis itu santai melaju dengan skuternya. "Arghh!" "Vala Karamella, Lo pengen kaya Hilda? Masuk rumah sakit jiwa?" gumam Stella lirih dan menatap Vala yang jauh di depan sana penuh permusuhan. "Atau kaya Ulfa? Hahahaha!" Stella tertawa-tawa sendiri di samping mobilnya, ia tatap sendu mobil merah itu dan mengelus permukaannya pelan. "Uh my baby," ucapnya pelan. Stella bangkit dan tertatih membuka pintu mobil, ia masuk ke dalam dengan kesal. Stella jalankan mobilnya keluar dari parkiran, sampai di jalan raya ia memilih pergi ke bengkel untuk mengganti body mobil.Vala mengganti seragamnya dengan kaos putih kebesaran bergambar kuda poni besar di depannya, gadis itu berencana ke kafe tempat Naya bekerja untuk bertanya. Pasalnya ia belum tahu dimana rumah Naya, niatnya untuk menjenguk temannya itu.Dengan simpel Vala berpakaian, kaos di padukan dengan celana selutut coklat. Ditambah topi hitam di kepalanya, rambutnya ia kepang satu belakang. Vala turun ke bawah menuju dapur, mengambil sekantung jajanan yang ia simpan dan beberapa buah. Ia masukkan juga minuman susu kaleng dan obat demam."Let's go!" Vala keluarkan ponselnya dari tas samping kecil, jarinya mencari kontak Naya. Vala kesal karena masih centang satu, nomor Naya terakhir dilihat pagi tadi."Masih tidur kali ya?" gumamnya.Vala pun beranjak ke garasi mengambil skuternya, ia jalankan menuju kafe kemarin. "Hm panas, untung pake topi," ungkapnya saat berjalan keluar.Cerah berawan di siang ini, Vala kenakan kacamata hitam sembari menjalankan skuter. Kafe berada di seberang jalan, Vala
Di sebuah ruangan luas nan gelap karena didominasi warna hitam, seorang pria tengah duduk di kursi kebesarannya. Ia teguk wine nya dengan pelan sembari menatap tajam pada layar gambar yang menampilkan seorang remaja.Pyar!Pria itu melempar gelas kacanya ke lantai, pandangan menghunus tajam ke depan. Ia amati dengan seksama, tangannya mengepal kuat."Little devil," gumam si pria lirih."Kenapa harus terjatuh juga, saya membuatnya khusus untukmu!" geramnya.Ia pantau dua titik yang berkedip dalam jarak sangat dekat, dan itu berada di areanya."Panggil Adhisti kemari!" titah Arsa melalui penghubung suara.Ya, pria itu adalah Arsa. Ayah dari gadis bernama Stella si tantrum. Arsa sudah memantau Wildan sejak pertama kali duda itu bekerja dengan Dirga, dan perihal gelang yang ia berikan kepada Vala tentu sudah ia rencanakan.Gelang itu bukan gelang biasa, di sana terpasang GPS yang tidak akan habis daya nya karena ene
Naya menatap lesu ponselnya, saat ini dirinya sedang di luar kota untuk interview kerja. Tentu ditolak karena Naya memalsukan data diri, usianya di bawah umur untuk dipekerjakan. Naya menangis seorang diri di halte, ia akan pulang hari ini. Dirinya begitu lelah sekali, apalagi pesan dari seseorang membuat dirinya semakin takut saja. ------ ( Stella ) @stella.cantik : inget! gue ga bakal diem aja, dimana pun lo saat ini gue pastiin setelah ini hidup lo ga aman lagi! diem ya cantik, lo diem lo aman!! @reyy.nayy : iya kak @stella.cantik : gue pantau lo! ------ Bus sudah datang, Naya bergegas naik ke dalam dan mencari bangku dekat jendela yang kosong. Dapat, Naya duduk di bangku nomor 3 ia pegang erat tas nya dan menyenderkan punggungnya kemudian berusaha untuk tidur. Guncangan yang kuat membuat Naya terbangun, gadis itu sedikit pusing karena posisi tidurnya yang tak nyaman. Ia perhatikan sekitarnya yang sepi, sepertinya sudah pada turun. Melongok ke jendela ternyata bu
Di sebuah ruangan luas berisi berbagai box besar barang yang sudah siap untuk dikirimkan. Seorang pria sedang mengecek satu-persatu laporan dari bawahannya. "Tuan, malam ini pengiriman barang ke Somalia, ada 10 kontainer yang akan di kirimkan." Arsa mengangguk sekali sebagai respon. Pria itu beranjak mendekati salah satu kontainer yang masih terbuka. "Bagus, bagaimana dengan badak itu?" tanya Arsa tanpa memperhatikan bawahannya. "Kurang satu ekor lagi tuan," sahut pria itu. "Lebih cepat lebih baik, lanjutkan tugasmu!" "Baik Tuan, Saya permisi." Arsa mengangguk membiarkan Oscar pergi. Arsa berjalan pelan ke luar, orang-orang sibuk bekerja ia hanya memperhatikan mereka dan meminum anggurnya dengan tenang. Setelah itu Arsa kembali ke dalam dan mengambil kunci mobilnya, sebelum pergi ia sudah mengirimkan pesan ke Oscar untuk mengurus sisanya. Mobil mahal itu melaju membelah hutan di siang yang sunyi, hari tampak mendung dengan sinar matahari yang tertutup awan. Hingga sampai
Hari ini adalah hari ke tiga Vala bersekolah di tempat baru, ia pindah karena pekerjaan sang Ayah yang mengharuskan mereka pindah kota. Terkadang Vala sedih ketika mengingat rumah lamanya."Yah, kapan kita ke makam ibu?" tanya Vala saat sarapan.Wildan, pria itu tersenyum dan mengusap lembut kepala Vala. "Gimana kalau setiap tanggal 17?" tawar Wildan yang mendapat anggukan antusias dari Vala."Iya Yah, siap!" Vala selalu berangkat sendirian, ayahnya ke kantor lebih awal karena pekerjaannya sebagai sekretaris. Semalam sang ayah bercerita tentang pemuda putra atasannya yang memukau. Hanya mendengar cerita saja Vala sudah terkagum sendiri."Hah, katanya masih sekolah ya. Pinter banget si!" gumamnya kagum mengingat cerita sang ayah tentang pemuda itu."Harus rajin belajar biar jadi bos!" teguh Vala dalam hati.Jarak ke sekolah tak terlalu jauh, Vala naik angkutan umum ke sana. Setibanya di sekolah Vala terpaku pada mobil hitam mengkilat di depan gerbang. Seorang lelaki keluar dari sana d
Vala menahan diri untuk tidak menangis saat ini, ia cengkram kuat rok sekolahnya dengan menggigit bibir. Matanya sudah berkaca-kaca sejak memperhatikan gadis berambut hitam duduk di depan sana, tatapannya kosong seolah tak memiliki cahaya kehidupan.Naya bercerita singkat mengenai gadis itu, ia adalah teman sebangkunya sebelum Vala datang. Baru sekitar 4 bulan bersekolah, gadis lugu itu dinyatakan gila dan harus di rawat di sini. "Mereka jahat banget, Nay. Kita ga bisa diem aja. Bakal ada korban selanjutnya kalau dibiarkan!" Naya yang duduk di seberang Vala hanya diam menanggapi, gadis itu menunduk tanpa kata. Helaan napas berhembus kecil, ia usap pelan sisa-sisa tangisnya."Ga bisa, kita ga punya apa-apa. Mereka orang berada, Va." Vala berkedip kecil, keduanya diam dengan pikirannya masing-masing. "Nay, kamu bilang Hilda di bully kan?" tanya Vala yang mendapat anggukan dari Naya."Sebenarnya tadi aku ketemu mereka, dan di mataku mereka biasa aja."Naya langsung menengok ke arah V
Begitu sunyi dan sepi suasana di rumah besar nan mewah itu, tiap-tiap langkah kaki pun terdengar menggema hingga ke sudut ruangan sangking sepinya. Tap, tap, tap. Derap langkah kaki terdengar dari atas, seorang lelaki turun dengan kaos basket beserta bola di tangan kirinya. Nathan, lelaki itu tampak sejuk di pandang, indah perangainya dan juga nyaman kala berada didekatnya.Ponsel Nathan berdering, ia hentikan langkah nya di tengah tangga. Sebelum memutuskan untuk mengangkat teleponnya, ia pastikan nama itu. Gavi, teman kelasnya menelpon."Ya? Gimana bre?" tanya Nathan mengawali pembicaraan."Buku catatan gue, Lo yang bawa kan?" tanya remaja di seberang sana."Hah? Catatan yang mana?""Catatan bahasa inggris," ucap Gavi membuat Nathan bingung."Ga inget, ntar Gue cari deh. Mau berangkat nih," sahut Nathan."Ya elah, cari dulu sekalian bawain!" "Ck, iya-iya!" Telepon di matikan sepihak oleh Gavi, Nathan dengan malas kembali ke atas, ke kamarnya. Sampai di kamar pemuda itu ia letakka
Suasana kelas 10 MIPA 2 yang berisik, teman-teman Vala sibuk menyalin jawaban karena ada PR kimia di jam pertama. Ada yang tengah bersandar sembari menunggu dituliskan, ada yang rebahan, ada pula yang sedang make-up an, dipojok sana kumpulan lelaki tengah bermain game viral. Vala yang baru 5 hari sekolah tak tahu bila ada pr, karena itu di tugaskan Minggu lalu. Ia mendapat contekan dari Huza, sang ketua kelas yang baik dan manis. "Nih, salin aja." "Wih, thanks kalau gitu!" Dengan semangat 45 Vala menyalin jawabannya, ia tak tahu bila Huza yang duduk di bangku depan memperhatikan dirinya sejak tadi. Naya yang menyadari hal itu pun berdehem kecil. "Ekhem, uhuk-uhuk!" "Kamu kenapa, Nay?" tanya Vala masih tetap melakukan tugasnya, ia hanya sekedar melirik Naya yang tampak ingin berbicara sesuatu. "Ekhem, ga papa kok." Naya melirik lirik kecil ke Huza dan Vala, tak sadarkah gadis itu bila ia sangat lucu dengan rambut kepang duanya. Naya tersenyum senang, ia sangat ber
Di sebuah ruangan luas berisi berbagai box besar barang yang sudah siap untuk dikirimkan. Seorang pria sedang mengecek satu-persatu laporan dari bawahannya. "Tuan, malam ini pengiriman barang ke Somalia, ada 10 kontainer yang akan di kirimkan." Arsa mengangguk sekali sebagai respon. Pria itu beranjak mendekati salah satu kontainer yang masih terbuka. "Bagus, bagaimana dengan badak itu?" tanya Arsa tanpa memperhatikan bawahannya. "Kurang satu ekor lagi tuan," sahut pria itu. "Lebih cepat lebih baik, lanjutkan tugasmu!" "Baik Tuan, Saya permisi." Arsa mengangguk membiarkan Oscar pergi. Arsa berjalan pelan ke luar, orang-orang sibuk bekerja ia hanya memperhatikan mereka dan meminum anggurnya dengan tenang. Setelah itu Arsa kembali ke dalam dan mengambil kunci mobilnya, sebelum pergi ia sudah mengirimkan pesan ke Oscar untuk mengurus sisanya. Mobil mahal itu melaju membelah hutan di siang yang sunyi, hari tampak mendung dengan sinar matahari yang tertutup awan. Hingga sampai
Naya menatap lesu ponselnya, saat ini dirinya sedang di luar kota untuk interview kerja. Tentu ditolak karena Naya memalsukan data diri, usianya di bawah umur untuk dipekerjakan. Naya menangis seorang diri di halte, ia akan pulang hari ini. Dirinya begitu lelah sekali, apalagi pesan dari seseorang membuat dirinya semakin takut saja. ------ ( Stella ) @stella.cantik : inget! gue ga bakal diem aja, dimana pun lo saat ini gue pastiin setelah ini hidup lo ga aman lagi! diem ya cantik, lo diem lo aman!! @reyy.nayy : iya kak @stella.cantik : gue pantau lo! ------ Bus sudah datang, Naya bergegas naik ke dalam dan mencari bangku dekat jendela yang kosong. Dapat, Naya duduk di bangku nomor 3 ia pegang erat tas nya dan menyenderkan punggungnya kemudian berusaha untuk tidur. Guncangan yang kuat membuat Naya terbangun, gadis itu sedikit pusing karena posisi tidurnya yang tak nyaman. Ia perhatikan sekitarnya yang sepi, sepertinya sudah pada turun. Melongok ke jendela ternyata bu
Di sebuah ruangan luas nan gelap karena didominasi warna hitam, seorang pria tengah duduk di kursi kebesarannya. Ia teguk wine nya dengan pelan sembari menatap tajam pada layar gambar yang menampilkan seorang remaja.Pyar!Pria itu melempar gelas kacanya ke lantai, pandangan menghunus tajam ke depan. Ia amati dengan seksama, tangannya mengepal kuat."Little devil," gumam si pria lirih."Kenapa harus terjatuh juga, saya membuatnya khusus untukmu!" geramnya.Ia pantau dua titik yang berkedip dalam jarak sangat dekat, dan itu berada di areanya."Panggil Adhisti kemari!" titah Arsa melalui penghubung suara.Ya, pria itu adalah Arsa. Ayah dari gadis bernama Stella si tantrum. Arsa sudah memantau Wildan sejak pertama kali duda itu bekerja dengan Dirga, dan perihal gelang yang ia berikan kepada Vala tentu sudah ia rencanakan.Gelang itu bukan gelang biasa, di sana terpasang GPS yang tidak akan habis daya nya karena ene
Vala mengganti seragamnya dengan kaos putih kebesaran bergambar kuda poni besar di depannya, gadis itu berencana ke kafe tempat Naya bekerja untuk bertanya. Pasalnya ia belum tahu dimana rumah Naya, niatnya untuk menjenguk temannya itu.Dengan simpel Vala berpakaian, kaos di padukan dengan celana selutut coklat. Ditambah topi hitam di kepalanya, rambutnya ia kepang satu belakang. Vala turun ke bawah menuju dapur, mengambil sekantung jajanan yang ia simpan dan beberapa buah. Ia masukkan juga minuman susu kaleng dan obat demam."Let's go!" Vala keluarkan ponselnya dari tas samping kecil, jarinya mencari kontak Naya. Vala kesal karena masih centang satu, nomor Naya terakhir dilihat pagi tadi."Masih tidur kali ya?" gumamnya.Vala pun beranjak ke garasi mengambil skuternya, ia jalankan menuju kafe kemarin. "Hm panas, untung pake topi," ungkapnya saat berjalan keluar.Cerah berawan di siang ini, Vala kenakan kacamata hitam sembari menjalankan skuter. Kafe berada di seberang jalan, Vala
Jeritan menggema di seluruh sudut ruangan, bagai orang gila Stella meraung-raung di dalam kamarnya. Ia tinju berkali-kali bantal guling nya, rambutnya sudah seperti singa, acak-acakan. "Argh! Bangsat! Cewe cupu sialan! Masih anak baru udah belagu!" Ia keluarkan semua umpatannya, tak cukup sampai situ Stella lempar boneka-bonekanya ke sembarang arah. Kamarnya sudah seperti kapal pecah, berhamburan isinya. Tidak, ia tidak menangis. Stella marah, kesal, cemburu, dan sedih bercampur menjadi satu. Rekaman yang Gio upload sudah ia lihat karena dirinya mengikuti akun bocah itu. "Awas Lo, cupu! Liat aja besok di sekolah!" geramnya melototi wajah bahagia di ponsel itu. Stella bangun dan pergi ke kamar mandi, kamar mandinya yang di dominasi warna merah dengan aroma mawar itu menjadi tempatnya bersemedi. Duduk di bathub menghangatkan badan dari berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. "Vala ..., ck. Awas Lo!" lirihnya gusar. Pikirannya melayang tertuju gadis bernama Vala itu, penam
Untuk mengenali lingkungan barunya, Vala memutuskan jalan-jalan ke sekitar. Mumpung tanggal merah juga, namun sang ayah tetap bekerja jadi Vala pergi sendiri. Vala lajukan skuternya pelan di jalan trotoar, ia perhatikan lagi maps di ponselnya yang mengarahkan jalan ke taman. Banyak juga orang-orang yang berjalan, berlari, bersepeda di sekitarnya. Mereka menikmati waktunya masing-masing. Vala mulai memasuki area taman, ia jalankan kembali skuternya hingga sampai ke kursi taman yang kosong. Ia duduk di sana tak lupa mengambil gambar dan menguploadnya di sosial media. Beberapa DM masuk namun Vala abaikan, kebanyakan menanyakan apakah beneran Vala atau bukan. Pasalnya gadis itu menguncir satu rambutnya, tidak di kepang seperti biasanya. Lebih dewasa dan cantik alami."Kak Nathan di taman juga?" tanyanya ke diri sendiri saat melihat postingan story lelaki itu yang menandai lokasi taman yang sama.Di sana video singkat Nathan tengah bermain dengan skateboard nya, banyak juga anak-anak la
Suasana kelas 10 MIPA 2 yang berisik, teman-teman Vala sibuk menyalin jawaban karena ada PR kimia di jam pertama. Ada yang tengah bersandar sembari menunggu dituliskan, ada yang rebahan, ada pula yang sedang make-up an, dipojok sana kumpulan lelaki tengah bermain game viral. Vala yang baru 5 hari sekolah tak tahu bila ada pr, karena itu di tugaskan Minggu lalu. Ia mendapat contekan dari Huza, sang ketua kelas yang baik dan manis. "Nih, salin aja." "Wih, thanks kalau gitu!" Dengan semangat 45 Vala menyalin jawabannya, ia tak tahu bila Huza yang duduk di bangku depan memperhatikan dirinya sejak tadi. Naya yang menyadari hal itu pun berdehem kecil. "Ekhem, uhuk-uhuk!" "Kamu kenapa, Nay?" tanya Vala masih tetap melakukan tugasnya, ia hanya sekedar melirik Naya yang tampak ingin berbicara sesuatu. "Ekhem, ga papa kok." Naya melirik lirik kecil ke Huza dan Vala, tak sadarkah gadis itu bila ia sangat lucu dengan rambut kepang duanya. Naya tersenyum senang, ia sangat ber
Begitu sunyi dan sepi suasana di rumah besar nan mewah itu, tiap-tiap langkah kaki pun terdengar menggema hingga ke sudut ruangan sangking sepinya. Tap, tap, tap. Derap langkah kaki terdengar dari atas, seorang lelaki turun dengan kaos basket beserta bola di tangan kirinya. Nathan, lelaki itu tampak sejuk di pandang, indah perangainya dan juga nyaman kala berada didekatnya.Ponsel Nathan berdering, ia hentikan langkah nya di tengah tangga. Sebelum memutuskan untuk mengangkat teleponnya, ia pastikan nama itu. Gavi, teman kelasnya menelpon."Ya? Gimana bre?" tanya Nathan mengawali pembicaraan."Buku catatan gue, Lo yang bawa kan?" tanya remaja di seberang sana."Hah? Catatan yang mana?""Catatan bahasa inggris," ucap Gavi membuat Nathan bingung."Ga inget, ntar Gue cari deh. Mau berangkat nih," sahut Nathan."Ya elah, cari dulu sekalian bawain!" "Ck, iya-iya!" Telepon di matikan sepihak oleh Gavi, Nathan dengan malas kembali ke atas, ke kamarnya. Sampai di kamar pemuda itu ia letakka
Vala menahan diri untuk tidak menangis saat ini, ia cengkram kuat rok sekolahnya dengan menggigit bibir. Matanya sudah berkaca-kaca sejak memperhatikan gadis berambut hitam duduk di depan sana, tatapannya kosong seolah tak memiliki cahaya kehidupan.Naya bercerita singkat mengenai gadis itu, ia adalah teman sebangkunya sebelum Vala datang. Baru sekitar 4 bulan bersekolah, gadis lugu itu dinyatakan gila dan harus di rawat di sini. "Mereka jahat banget, Nay. Kita ga bisa diem aja. Bakal ada korban selanjutnya kalau dibiarkan!" Naya yang duduk di seberang Vala hanya diam menanggapi, gadis itu menunduk tanpa kata. Helaan napas berhembus kecil, ia usap pelan sisa-sisa tangisnya."Ga bisa, kita ga punya apa-apa. Mereka orang berada, Va." Vala berkedip kecil, keduanya diam dengan pikirannya masing-masing. "Nay, kamu bilang Hilda di bully kan?" tanya Vala yang mendapat anggukan dari Naya."Sebenarnya tadi aku ketemu mereka, dan di mataku mereka biasa aja."Naya langsung menengok ke arah V