Share

Chapter 2 | Memories

Vala menahan diri untuk tidak menangis saat ini, ia cengkram kuat rok sekolahnya dengan menggigit bibir. Matanya sudah berkaca-kaca sejak memperhatikan gadis berambut hitam duduk di depan sana, tatapannya kosong seolah tak memiliki cahaya kehidupan.

Naya bercerita singkat mengenai gadis itu, ia adalah teman sebangkunya sebelum Vala datang. Baru sekitar 4 bulan bersekolah, gadis lugu itu dinyatakan gila dan harus di rawat di sini.

"Mereka jahat banget, Nay. Kita ga bisa diem aja. Bakal ada korban selanjutnya kalau dibiarkan!"

Naya yang duduk di seberang Vala hanya diam menanggapi, gadis itu menunduk tanpa kata. Helaan napas berhembus kecil, ia usap pelan sisa-sisa tangisnya.

"Ga bisa, kita ga punya apa-apa. Mereka orang berada, Va."

Vala berkedip kecil, keduanya diam dengan pikirannya masing-masing.

"Nay, kamu bilang Hilda di bully kan?" tanya Vala yang mendapat anggukan dari Naya.

"Sebenarnya tadi aku ketemu mereka, dan di mataku mereka biasa aja."

Naya langsung menengok ke arah Vala, ia tatap dalam-dalam penuh penasaran.

"Kamu ga kenapa-napa kan? Mereka ga bully kamu?" tanya Naya cepat, ia perhatikan baik-baik dari kepala hingga kaki Vala.

"Hm, engga. Biasa aja, tanya doang. Kan aku nyasar ke area kelas 11."

Naya menepuk dahinya pelan, menggeleng sembari menatap lelah Vala.

"Kok bisa nyasar si? Bahaya tau, Va!"

Vala hanya tertawa kecil menanggapi. Ia buka tasnya kemudian memberikan permen susu vanila ke Naya.

"Para tukang bully itu—, jelek."

Mata Naya langsung melotot lebar mendengar ucapan Vala yang kelewat berani. Gadis itu ikut memakan permen yang Vala berikan.

"Hush! Kalau mereka denger nanti kamu di pukul!" ucap Naya masih mengunyah permen itu.

"Ga bakal, mereka tuh tuli mana menor lagi! Jelek pula, penakut, cemen banget! Ga mandiri, cuma bisa jadi beban ortu aja." Rasanya Vala sangat ingin mengamuk dan melampiaskan amarahnya sekarang, tangannya mengepal kuat dengan napas memburu. Vala jadi teringat dengan hal tak mengenakan di masa lalu.

Mendengar cerita Hilda, gadis yang dinyatakan gila itu. Vala tak tega, ia tak bisa merasakan bagaimana saat berada dalam posisinya. Di kunci di gudang hingga berhari-hari, barulah ketauan saat satpam tengah mengambil barang di sana.

Hilda di temukan dalam keadaan penuh luka, bajunya robek-robek dan bagian bawahnya menyedihkan. Wajahnya kotor dengan kelopak mata menghitam, bau apek menyeruak dari tubuh gadis itu.

Sejak hari itu Hilda sering menjerit keras secara tiba-tiba, dan itu sangat menggangu teman-teman kelasnya. Entah apa yang Hilda lalui sebelum di kunci, bekas sayatan di kulitnya masih terlihat jelas di leher gadis itu hingga sekarang.

***

Vala tengah berjalan masuk ke teras rumahnya, ia temukan sang ayah sedang berbincang dengan seorang pria di depan rumah. Vala mendekat dan menyalami keduanya.

"Perkenalkan ini putri tunggal Saya, Vala."

"Ah putrimu? Salam kenal, Nak. Saya Arsa, rekan kerja ayahmu," ucap pria itu dengan suaranya yang berat.

Vala mengangguk kecil, "salam kenal, Paman." Setelah itu Vala pamit masuk ke dalam.

Ia lihat bibi yang tengah membawakan minuman di atas nampan dan camilan ke depan.

"Bi, rotinya masih ada?" tanya Vala memperhatikan camilan itu.

"Masih banyak, Non. Bibi taruh di meja makan."

"Hehe oke sip, makasih Bi!'

Vala berjalan ke ruang makan, ia lihat tak hanya roti melainkan camilan buatan rumahan juga di sana. Ia ambil piring dan mencomotnya beberapa sebelum naik ke kamarnya.

Dikamar gadis itu yang di dominasi warna putih dan ungu, Vala tengah duduk tenang mengemil.

"Um, enaknya! Huhu!"

Vala tiba-tiba teringat ibunya yang telah tiada, saat kecil sang ibu sering membuat jajanan seperti ini. Apa saja yang ibunya buat Vala makan dengan lahap, gadis itu menangis terisak-isak. Rasanya sesak di dada, ia dan ayahnya pindah ke sini jauh dari makam sang ibu. Membuat gadis itu sedih, karena ia akan jarang mengunjungi makamnya.

Vala bangun menuju meja belajarnya, ia cari-cari album foto masa kecilnya di sana. Masih dengan sisa tangisannya, ia perhatikan satu-persatu foto itu. Di sana foto dirinya bersama ayah dan ibunya tampak seperti keluarga cemara.

Ia tertawa kecil saat melihat potret masa kecilnya itu, Vala kecil yang belepotan sisa-sisa krim dengan roti besar didepannya yang sudah tidak berbentuk. Itu adalah memori di ulang tahunnya yang ke 3, di rayakan dengan sederhana penuh cinta.

Tok, tok, tok. Suara ketukan pintu kamar Vala mengalihkan perhatiannya.

Ia usap wajahnya perlahan dan memastikan wajahnya baik-baik saja di depan cermin, ia simpan kembali album itu barulah beranjak membuka pintu. Di sana ia dapati ayahnya tengah membawa paper bag dengan senyuman yang menenangkan.

"Nak?" tanya sang ayah.

"Iya, Yah?" jawab Vala sedikit serak.

Mereka berjalan ke arah ranjang Vala dan duduk di sana, Wildan perhatikan kamar putrinya itu dengan tatapan teduh.

"Ini dari teman ayah tadi," ucap Wildan menyodorkan paper bag itu.

Kening Vala berkerut berpikir, ia sedikit curiga dengan teman ayahnya itu. Baru pertama kali lihat dan berkenalan sudah memberikannya sesuatu.

"Apa ini, Yah?" tanya Vala melihatnya tanpa berniat menerimanya.

"Tadi teman ayah membeli ini dua jenis yang sama, namun saat melihatmu jadi dia kasih ke kamu. Dia juga punya anak perempuan, seumuran dengan mu." Penjelasan Wildan tidak masuk di logika Vala, gadis itu enggan menerimanya.

"Ya udah kalau gitu, nanti Vala buka."

"Iya, Nak. Ya udah lekas ganti baju nya, ayah tunggu di meja makan."

Vala mengangguk saja saat ayahnya mulai beranjak keluar, ia ambil paper bag itu dan membukanya perlahan. Di dalam sana terdapat sebuah kotak kecil, Vala penasaran dan melihatnya.

"Gelang?" Ia angkat isi kotak itu yang ternyata gelang rantai bewarna silver dengan hiasan bunga.

Enggan memakainya ia letakkan kembali ke dalam kotak dan menyimpan paper bag itu di lemari pakaiannya yang paling bawah.

Vala mengganti seragamnya dengan kaos rumahan santai dan rok, ia kenakan bandana di kepalanya sebelum turun.

Di meja makan sudah ada sang ayah yang membaca Ipad-nya, pria dewasa itu baru menyadari Vala sudah kemari. Ia simpan Ipad-nya kemudian memulai berdoa dan makan dengan tenang, Vala terlihat diam saja sejak tadi. Biasanya gadis itu sibuk menceritakan hari-harinya yang penuh kejutan.

"Nak, kamu lagi sakit?" tanya sang ayah yang bingung dengan putrinya.

Vala menengok ke sang ayah perlahan, ia habiskan sisa makanannya sebelum menjawab.

"Eum, engga Yah. Cuma lagi pusing mikirin sekolah, hehe," alibi gadis itu.

"Sekolah? Sekolahnya ga seru? Kebanyakan tugas?" tanya Wildan beruntun.

Vala menggeleng sejenak, "seru kok, Yah. Tugasnya juga ga terlalu banyak, santai. Vala mau minta sesuatu boleh ga?" tanya gadis itu.

"Boleh, mau minta apa?"

"Hehe, Vala mau sekuter ya, Yah. Yang warna ungu atau putih, kalau boleh."

Wildan berpikir sejenak, "skuter? Buat sekolah?" tanyanya.

"He'em, Yah. Vala pengen kaya temen-temen. Ada yang bawa itu ke sekolah!" jelasnya.

Wildan tersenyum senang, "habis ini kita ke tokonya, oke! Nanti milih sendiri, ya!" ajaknya.

Vala berseru senang, ia percepat makannya dan berterimakasih.

***

Di toko mainan Vala dan Wildan berada, di sini lengkap. Tak hanya skuter, ada pula sepeda, skateboard dan banyak lainnya. Vala tengah berputar mengelilingi area untuk melihat-lihat mana yang sekiranya cocok ia pakai.

Wildan duduk menunggu tak lupa iPad di tangannya yang pria itu lihat. Pria itu hampir sibuk setiap waktu, bekerja di manapun dan kapanpun.

Entah kebetulan atau tidak, di tempat skateboard ada Nathan yang sedang memilih-milih. Vala ingin berteriak rasanya, gadis itu mengintip dari kejauhan.

Nathan tampak sangat keren di matanya, kaos hitam dan celana hitam panjang yang pemuda itu kenakan membuatnya semakin menawan. Vala diam-diam mengambil ponsel dan memotretnya, dapat! Ia kegirangan setelah mendapatkan satu pose keren Nathan yang mengambil papan.

"Loh, loh kemana?" bingung Vala saat tak melihat Nathan di tempat tadi.

Ia simpan ponselnya dan mengambil skuter yang sudah dipilihnya. Vala beranjak ke tempat ayahnya tadi menunggu, gadis itu terkejut kala mendapati sang Ayah tengah berbincang dengan Nathan, kakak kelasnya.

"Senang bertemu dengan Anda, Tuan Muda. Mari!"

Wildan menyalami tangan Nathan, barulah setelahnya Nathan ke tempat kasir. Vala mendekati ayahnya dengan wajah yang penasaran.

"Yah? Ayah kenal sama cowok itu?" tanya Vala.

"Kenal dong, itu putra atasan Ayah."

Vala langsung terkesiap dan diam, "putra atasan? Dia anak bos ayah?" tanyanya memastikan.

"Iya? Ada apa hayo? Tampan ya orangnya?" goda sang ayah.

Vala gelagapan, berdehem kecil menetralkan perasannya gadis itu menggeleng cepat.

"Ya tampan si, kan cowok! Udah ah, Yah. Ini, Vala mau yang ini!" elaknya cepat gadis itu menyerahkan skuternya.

"Loh ya kamu bayar sendiri dong, tuh ngantri. Ini kartunya!" suruh sang ayah yang mendapat hembusan napas kasar Vala.

"Huft, iya iya."

Vala mengambil kartu itu dan mengantri dibelakang Nathan, demi apapun jantungnya berdisko ria. Tinggi badannya yang hanya sepundak Nathan membuatnya tampak mungil. Aroma vanila dari Nathan membuat Vala menahan napasnya kuat.

Dari belakang saja tubuh pemuda itu tampak gagah, ia tahan tangannya untuk tidak memeluknya erat-erat. Gila, otaknya sepertinya bergeser hingga luar angkasa.

"Terimakasih, Tuan. Silahkan berbelanja kembali." Begitulah kata si mbak-mbak kasir dengan senyuman manisnya.

Nathan hanya mengangguk dan mengambil barangnya, pemuda itu berlalu cepat dari sana yang membuat si kasir menjerit kecil.

"Ganteng banget!" Dapat Vala dengar jeritan kecil itu.

Saat Vala mengajukan barangnya seketika si kasir merubah mimik wajahnya menjadi judes, membuat Vala memutar bola matanya malas.

"Terimakasih atas kunjungannya, Nona." Dapat Vala rasakan perbedaan nada bicaranya yang tampak terpaksa dan sedikit kasar setelah si kasir menyelesaikan pesanannya.

Vala berdehem kecil, gadis itu berbalik tanpa berucap menuju ke tempat sang ayah tadi dan mengajaknya pulang.

***

Vala tengah mencoba skuternya di halaman rumah, ia keliling hingga kelelahan. Dari teras depan hingga ke gerbang, bolak-balik seperti itu berkali-kali.

Hari sudah senja, Vala masuk ke rumahnya bersiap mandi. Saat melewati dapur tampak bibi tengah memasak untuk makan malam.

"Wah, aromanya enak! Bibi masak apa nih?" tanya Vala mendekat.

"Bibi masak opor ayam, Non. Coba dicicip keasinan ngga?" Sang bibi menyerahkan sendok kecil yang kemudian Vala terima.

"Emh! Enak! Pas bi, ga keasinan!" serunya saat mencecap kuah opor itu.

"Hihi, kalau yang ini gimana?" tanya bibi menunjuk ke arah panci di sebelahnya, itu adalah kuah sop ayam.

"Emm, kurang asin yang ini bi! Coba tambahin lagi garamnya," saran Vala setelah mencicipi.

"Emm, iya juga Non." Sang bibi juga ikut mencicipi, wanita itu kembali bekerja setelah Vala pamit ke kamarnya.

"Fall in love with the machine, fall in love with you~"

Vala bernyanyi riang gembira, ia putar-putar tubuhnya di depan cermin. Setelahnya barulah ia beranjak ke kamar mandi dan memulai ritualnya.

"Baby when we touch ~."

Masih bersenandung kecil di ritual mandinya, Vala tiba-tiba teringat Nathan.

"Kak Nathan beli skateboard kan tadi?" gumamnya lirih sambil menyabuni diri sendiri.

"Heum, jadi pengen skateboard!"

Ia tuntaskan mandinya segera, dengan cepat gosok gigi dan menyelesaikan ritualnya.

Vala mengambil baju santai bergambar si kembar botak, warna biru yang cocok dengan kulit Vala yang cerah.

"Gila, secantik ini ga pernah pacaran!" teriaknya bahagia di depan cermin.

Vala sedang merapikan rambutnya, ia kepang dua kebelakang tampak lucu. Ini adalah model rambut kesukaan ibunya, sejak ibunya pergi ia paksa belajar untuk mengepang sendiri dan akhirnya berhasil.

Ia sangat ingat dengan pesan ibunya, "jangan terlalu mencolok ya Nak," ucap ibunya kala itu. Vala yang di pangkuan sang ibu pun hanya mengangguk tak paham.

"Ternyata benar ya," ucapnya pelan.

Seketika hatinya sedih, ia ingat sekali alasan ibunya mengatur penampilannya sederhana. Bahkan mungkin lebih terlihat cupu agar tak mencuri perhatian, begitu banyak kejadian tak mengenakan yang Vala dengar dari para gadis malang cantik.

"Tapi ibu tenang aja, Vala ga selemah itu kok!"

Tangan Vala mengepal kuat, kini ia bertekad untuk menjadi gadis yang mampu melindungi diri sendiri dan sesamanya.

Vala duduk di depan meja belajarnya, ia perhatikan foto kenangan masa sekolah menengah pertamanya. Di sana ada foto gadis berpose meringis dan Vala yang manyun di sebelahnya.

"Hihi udah tiga tahun ya, La?" tanyanya pelan memandangi foto itu.

"Kamu apa kabar?"

Suara Vala semakin serak, gadis itu terisak pelan. Ia pukul dadanya berkali-kali demi menghilangkan rasa sesak di hati.

"Hiks, La. Maafin aku yang saat itu ga bisa apa-apa! Maafin aku!"

Suara tangisan Vala terdengar hingga ke luar kamar, begitu pilu dan menyesakkan dada. Gadis itu sesenggukan, air matanya mengalir deras hingga bajunya basah. Ia berkeringat dingin dengan hawa sore yang kian petang.

Wildan yang mendengar putrinya menangis pun mengurungkan niatnya mengetuk pintu, dengan pelan ia buka pintu kamar putrinya. Hatinya berdenyut nyeri mendapati putri satu-satunya menangis sembari memeluk sebuah album foto.

Wildan mendekat dan memeluk putrinya erat, ia kecup berkali-kali puncak kepalanya dan mengusap lembut punggung putrinya.

"Everything will be fine, Ayah disini ...," ucap Wildan menenangkan.

Vala semakin mengeraskan suara tangisnya, ia merasa bersalah dan menyesal. Andai saat itu ia lebih berani, andai saat itu ia tidak diam saja mungkin temannya masih ada di dunia.

"Selamat jalan Kayla Indiana, surga untukmu gadis cantik yang malang. Ku harap kamu tidak melupakan ku, ku harap kamu tenang di sana," doa tulus Vala dalam hati. Ia kecup satu kali foto gadis di album itu, tersenyum paksa melihatnya sembari mengusap lembut perlahan fotonya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status