Vala menahan diri untuk tidak menangis saat ini, ia cengkram kuat rok sekolahnya dengan menggigit bibir. Matanya sudah berkaca-kaca sejak memperhatikan gadis berambut hitam duduk di depan sana, tatapannya kosong seolah tak memiliki cahaya kehidupan.
Naya bercerita singkat mengenai gadis itu, ia adalah teman sebangkunya sebelum Vala datang. Baru sekitar 4 bulan bersekolah, gadis lugu itu dinyatakan gila dan harus di rawat di sini. "Mereka jahat banget, Nay. Kita ga bisa diem aja. Bakal ada korban selanjutnya kalau dibiarkan!" Naya yang duduk di seberang Vala hanya diam menanggapi, gadis itu menunduk tanpa kata. Helaan napas berhembus kecil, ia usap pelan sisa-sisa tangisnya. "Ga bisa, kita ga punya apa-apa. Mereka orang berada, Va." Vala berkedip kecil, keduanya diam dengan pikirannya masing-masing. "Nay, kamu bilang Hilda di bully kan?" tanya Vala yang mendapat anggukan dari Naya. "Sebenarnya tadi aku ketemu mereka, dan di mataku mereka biasa aja." Naya langsung menengok ke arah Vala, ia tatap dalam-dalam penuh penasaran. "Kamu ga kenapa-napa kan? Mereka ga bully kamu?" tanya Naya cepat, ia perhatikan baik-baik dari kepala hingga kaki Vala. "Hm, engga. Biasa aja, tanya doang. Kan aku nyasar ke area kelas 11." Naya menepuk dahinya pelan, menggeleng sembari menatap lelah Vala. "Kok bisa nyasar si? Bahaya tau, Va!" Vala hanya tertawa kecil menanggapi. Ia buka tasnya kemudian memberikan permen susu vanila ke Naya. "Para tukang bully itu—, jelek." Mata Naya langsung melotot lebar mendengar ucapan Vala yang kelewat berani. Gadis itu ikut memakan permen yang Vala berikan. "Hush! Kalau mereka denger nanti kamu di pukul!" ucap Naya masih mengunyah permen itu. "Ga bakal, mereka tuh tuli mana menor lagi! Jelek pula, penakut, cemen banget! Ga mandiri, cuma bisa jadi beban ortu aja." Rasanya Vala sangat ingin mengamuk dan melampiaskan amarahnya sekarang, tangannya mengepal kuat dengan napas memburu. Vala jadi teringat dengan hal tak mengenakan di masa lalu. Mendengar cerita Hilda, gadis yang dinyatakan gila itu. Vala tak tega, ia tak bisa merasakan bagaimana saat berada dalam posisinya. Di kunci di gudang hingga berhari-hari, barulah ketauan saat satpam tengah mengambil barang di sana. Hilda di temukan dalam keadaan penuh luka, bajunya robek-robek dan bagian bawahnya menyedihkan. Wajahnya kotor dengan kelopak mata menghitam, bau apek menyeruak dari tubuh gadis itu. Sejak hari itu Hilda sering menjerit keras secara tiba-tiba, dan itu sangat menggangu teman-teman kelasnya. Entah apa yang Hilda lalui sebelum di kunci, bekas sayatan di kulitnya masih terlihat jelas di leher gadis itu hingga sekarang. *** Vala tengah berjalan masuk ke teras rumahnya, ia temukan sang ayah sedang berbincang dengan seorang pria di depan rumah. Vala mendekat dan menyalami keduanya. "Perkenalkan ini putri tunggal Saya, Vala." "Ah putrimu? Salam kenal, Nak. Saya Arsa, rekan kerja ayahmu," ucap pria itu dengan suaranya yang berat. Vala mengangguk kecil, "salam kenal, Paman." Setelah itu Vala pamit masuk ke dalam. Ia lihat bibi yang tengah membawakan minuman di atas nampan dan camilan ke depan. "Bi, rotinya masih ada?" tanya Vala memperhatikan camilan itu. "Masih banyak, Non. Bibi taruh di meja makan." "Hehe oke sip, makasih Bi!' Vala berjalan ke ruang makan, ia lihat tak hanya roti melainkan camilan buatan rumahan juga di sana. Ia ambil piring dan mencomotnya beberapa sebelum naik ke kamarnya. Dikamar gadis itu yang di dominasi warna putih dan ungu, Vala tengah duduk tenang mengemil. "Um, enaknya! Huhu!" Vala tiba-tiba teringat ibunya yang telah tiada, saat kecil sang ibu sering membuat jajanan seperti ini. Apa saja yang ibunya buat Vala makan dengan lahap, gadis itu menangis terisak-isak. Rasanya sesak di dada, ia dan ayahnya pindah ke sini jauh dari makam sang ibu. Membuat gadis itu sedih, karena ia akan jarang mengunjungi makamnya. Vala bangun menuju meja belajarnya, ia cari-cari album foto masa kecilnya di sana. Masih dengan sisa tangisannya, ia perhatikan satu-persatu foto itu. Di sana foto dirinya bersama ayah dan ibunya tampak seperti keluarga cemara. Ia tertawa kecil saat melihat potret masa kecilnya itu, Vala kecil yang belepotan sisa-sisa krim dengan roti besar didepannya yang sudah tidak berbentuk. Itu adalah memori di ulang tahunnya yang ke 3, di rayakan dengan sederhana penuh cinta. Tok, tok, tok. Suara ketukan pintu kamar Vala mengalihkan perhatiannya. Ia usap wajahnya perlahan dan memastikan wajahnya baik-baik saja di depan cermin, ia simpan kembali album itu barulah beranjak membuka pintu. Di sana ia dapati ayahnya tengah membawa paper bag dengan senyuman yang menenangkan. "Nak?" tanya sang ayah. "Iya, Yah?" jawab Vala sedikit serak. Mereka berjalan ke arah ranjang Vala dan duduk di sana, Wildan perhatikan kamar putrinya itu dengan tatapan teduh. "Ini dari teman ayah tadi," ucap Wildan menyodorkan paper bag itu. Kening Vala berkerut berpikir, ia sedikit curiga dengan teman ayahnya itu. Baru pertama kali lihat dan berkenalan sudah memberikannya sesuatu. "Apa ini, Yah?" tanya Vala melihatnya tanpa berniat menerimanya. "Tadi teman ayah membeli ini dua jenis yang sama, namun saat melihatmu jadi dia kasih ke kamu. Dia juga punya anak perempuan, seumuran dengan mu." Penjelasan Wildan tidak masuk di logika Vala, gadis itu enggan menerimanya. "Ya udah kalau gitu, nanti Vala buka." "Iya, Nak. Ya udah lekas ganti baju nya, ayah tunggu di meja makan." Vala mengangguk saja saat ayahnya mulai beranjak keluar, ia ambil paper bag itu dan membukanya perlahan. Di dalam sana terdapat sebuah kotak kecil, Vala penasaran dan melihatnya. "Gelang?" Ia angkat isi kotak itu yang ternyata gelang rantai bewarna silver dengan hiasan bunga. Enggan memakainya ia letakkan kembali ke dalam kotak dan menyimpan paper bag itu di lemari pakaiannya yang paling bawah. Vala mengganti seragamnya dengan kaos rumahan santai dan rok, ia kenakan bandana di kepalanya sebelum turun. Di meja makan sudah ada sang ayah yang membaca Ipad-nya, pria dewasa itu baru menyadari Vala sudah kemari. Ia simpan Ipad-nya kemudian memulai berdoa dan makan dengan tenang, Vala terlihat diam saja sejak tadi. Biasanya gadis itu sibuk menceritakan hari-harinya yang penuh kejutan. "Nak, kamu lagi sakit?" tanya sang ayah yang bingung dengan putrinya. Vala menengok ke sang ayah perlahan, ia habiskan sisa makanannya sebelum menjawab. "Eum, engga Yah. Cuma lagi pusing mikirin sekolah, hehe," alibi gadis itu. "Sekolah? Sekolahnya ga seru? Kebanyakan tugas?" tanya Wildan beruntun. Vala menggeleng sejenak, "seru kok, Yah. Tugasnya juga ga terlalu banyak, santai. Vala mau minta sesuatu boleh ga?" tanya gadis itu. "Boleh, mau minta apa?" "Hehe, Vala mau sekuter ya, Yah. Yang warna ungu atau putih, kalau boleh." Wildan berpikir sejenak, "skuter? Buat sekolah?" tanyanya. "He'em, Yah. Vala pengen kaya temen-temen. Ada yang bawa itu ke sekolah!" jelasnya. Wildan tersenyum senang, "habis ini kita ke tokonya, oke! Nanti milih sendiri, ya!" ajaknya. Vala berseru senang, ia percepat makannya dan berterimakasih. *** Di toko mainan Vala dan Wildan berada, di sini lengkap. Tak hanya skuter, ada pula sepeda, skateboard dan banyak lainnya. Vala tengah berputar mengelilingi area untuk melihat-lihat mana yang sekiranya cocok ia pakai. Wildan duduk menunggu tak lupa iPad di tangannya yang pria itu lihat. Pria itu hampir sibuk setiap waktu, bekerja di manapun dan kapanpun. Entah kebetulan atau tidak, di tempat skateboard ada Nathan yang sedang memilih-milih. Vala ingin berteriak rasanya, gadis itu mengintip dari kejauhan. Nathan tampak sangat keren di matanya, kaos hitam dan celana hitam panjang yang pemuda itu kenakan membuatnya semakin menawan. Vala diam-diam mengambil ponsel dan memotretnya, dapat! Ia kegirangan setelah mendapatkan satu pose keren Nathan yang mengambil papan. "Loh, loh kemana?" bingung Vala saat tak melihat Nathan di tempat tadi. Ia simpan ponselnya dan mengambil skuter yang sudah dipilihnya. Vala beranjak ke tempat ayahnya tadi menunggu, gadis itu terkejut kala mendapati sang Ayah tengah berbincang dengan Nathan, kakak kelasnya. "Senang bertemu dengan Anda, Tuan Muda. Mari!" Wildan menyalami tangan Nathan, barulah setelahnya Nathan ke tempat kasir. Vala mendekati ayahnya dengan wajah yang penasaran. "Yah? Ayah kenal sama cowok itu?" tanya Vala. "Kenal dong, itu putra atasan Ayah." Vala langsung terkesiap dan diam, "putra atasan? Dia anak bos ayah?" tanyanya memastikan. "Iya? Ada apa hayo? Tampan ya orangnya?" goda sang ayah. Vala gelagapan, berdehem kecil menetralkan perasannya gadis itu menggeleng cepat. "Ya tampan si, kan cowok! Udah ah, Yah. Ini, Vala mau yang ini!" elaknya cepat gadis itu menyerahkan skuternya. "Loh ya kamu bayar sendiri dong, tuh ngantri. Ini kartunya!" suruh sang ayah yang mendapat hembusan napas kasar Vala. "Huft, iya iya." Vala mengambil kartu itu dan mengantri dibelakang Nathan, demi apapun jantungnya berdisko ria. Tinggi badannya yang hanya sepundak Nathan membuatnya tampak mungil. Aroma vanila dari Nathan membuat Vala menahan napasnya kuat. Dari belakang saja tubuh pemuda itu tampak gagah, ia tahan tangannya untuk tidak memeluknya erat-erat. Gila, otaknya sepertinya bergeser hingga luar angkasa. "Terimakasih, Tuan. Silahkan berbelanja kembali." Begitulah kata si mbak-mbak kasir dengan senyuman manisnya. Nathan hanya mengangguk dan mengambil barangnya, pemuda itu berlalu cepat dari sana yang membuat si kasir menjerit kecil. "Ganteng banget!" Dapat Vala dengar jeritan kecil itu. Saat Vala mengajukan barangnya seketika si kasir merubah mimik wajahnya menjadi judes, membuat Vala memutar bola matanya malas. "Terimakasih atas kunjungannya, Nona." Dapat Vala rasakan perbedaan nada bicaranya yang tampak terpaksa dan sedikit kasar setelah si kasir menyelesaikan pesanannya. Vala berdehem kecil, gadis itu berbalik tanpa berucap menuju ke tempat sang ayah tadi dan mengajaknya pulang. *** Vala tengah mencoba skuternya di halaman rumah, ia keliling hingga kelelahan. Dari teras depan hingga ke gerbang, bolak-balik seperti itu berkali-kali. Hari sudah senja, Vala masuk ke rumahnya bersiap mandi. Saat melewati dapur tampak bibi tengah memasak untuk makan malam. "Wah, aromanya enak! Bibi masak apa nih?" tanya Vala mendekat. "Bibi masak opor ayam, Non. Coba dicicip keasinan ngga?" Sang bibi menyerahkan sendok kecil yang kemudian Vala terima. "Emh! Enak! Pas bi, ga keasinan!" serunya saat mencecap kuah opor itu. "Hihi, kalau yang ini gimana?" tanya bibi menunjuk ke arah panci di sebelahnya, itu adalah kuah sop ayam. "Emm, kurang asin yang ini bi! Coba tambahin lagi garamnya," saran Vala setelah mencicipi. "Emm, iya juga Non." Sang bibi juga ikut mencicipi, wanita itu kembali bekerja setelah Vala pamit ke kamarnya. "Fall in love with the machine, fall in love with you~" Vala bernyanyi riang gembira, ia putar-putar tubuhnya di depan cermin. Setelahnya barulah ia beranjak ke kamar mandi dan memulai ritualnya. "Baby when we touch ~." Masih bersenandung kecil di ritual mandinya, Vala tiba-tiba teringat Nathan. "Kak Nathan beli skateboard kan tadi?" gumamnya lirih sambil menyabuni diri sendiri. "Heum, jadi pengen skateboard!" Ia tuntaskan mandinya segera, dengan cepat gosok gigi dan menyelesaikan ritualnya. Vala mengambil baju santai bergambar si kembar botak, warna biru yang cocok dengan kulit Vala yang cerah. "Gila, secantik ini ga pernah pacaran!" teriaknya bahagia di depan cermin. Vala sedang merapikan rambutnya, ia kepang dua kebelakang tampak lucu. Ini adalah model rambut kesukaan ibunya, sejak ibunya pergi ia paksa belajar untuk mengepang sendiri dan akhirnya berhasil. Ia sangat ingat dengan pesan ibunya, "jangan terlalu mencolok ya Nak," ucap ibunya kala itu. Vala yang di pangkuan sang ibu pun hanya mengangguk tak paham. "Ternyata benar ya," ucapnya pelan. Seketika hatinya sedih, ia ingat sekali alasan ibunya mengatur penampilannya sederhana. Bahkan mungkin lebih terlihat cupu agar tak mencuri perhatian, begitu banyak kejadian tak mengenakan yang Vala dengar dari para gadis malang cantik. "Tapi ibu tenang aja, Vala ga selemah itu kok!" Tangan Vala mengepal kuat, kini ia bertekad untuk menjadi gadis yang mampu melindungi diri sendiri dan sesamanya. Vala duduk di depan meja belajarnya, ia perhatikan foto kenangan masa sekolah menengah pertamanya. Di sana ada foto gadis berpose meringis dan Vala yang manyun di sebelahnya. "Hihi udah tiga tahun ya, La?" tanyanya pelan memandangi foto itu. "Kamu apa kabar?" Suara Vala semakin serak, gadis itu terisak pelan. Ia pukul dadanya berkali-kali demi menghilangkan rasa sesak di hati. "Hiks, La. Maafin aku yang saat itu ga bisa apa-apa! Maafin aku!" Suara tangisan Vala terdengar hingga ke luar kamar, begitu pilu dan menyesakkan dada. Gadis itu sesenggukan, air matanya mengalir deras hingga bajunya basah. Ia berkeringat dingin dengan hawa sore yang kian petang. Wildan yang mendengar putrinya menangis pun mengurungkan niatnya mengetuk pintu, dengan pelan ia buka pintu kamar putrinya. Hatinya berdenyut nyeri mendapati putri satu-satunya menangis sembari memeluk sebuah album foto. Wildan mendekat dan memeluk putrinya erat, ia kecup berkali-kali puncak kepalanya dan mengusap lembut punggung putrinya. "Everything will be fine, Ayah disini ...," ucap Wildan menenangkan. Vala semakin mengeraskan suara tangisnya, ia merasa bersalah dan menyesal. Andai saat itu ia lebih berani, andai saat itu ia tidak diam saja mungkin temannya masih ada di dunia. "Selamat jalan Kayla Indiana, surga untukmu gadis cantik yang malang. Ku harap kamu tidak melupakan ku, ku harap kamu tenang di sana," doa tulus Vala dalam hati. Ia kecup satu kali foto gadis di album itu, tersenyum paksa melihatnya sembari mengusap lembut perlahan fotonya.Begitu sunyi dan sepi suasana di rumah besar nan mewah itu, tiap-tiap langkah kaki pun terdengar menggema hingga ke sudut ruangan sangking sepinya. Tap, tap, tap. Derap langkah kaki terdengar dari atas, seorang lelaki turun dengan kaos basket beserta bola di tangan kirinya. Nathan, lelaki itu tampak sejuk di pandang, indah perangainya dan juga nyaman kala berada didekatnya.Ponsel Nathan berdering, ia hentikan langkah nya di tengah tangga. Sebelum memutuskan untuk mengangkat teleponnya, ia pastikan nama itu. Gavi, teman kelasnya menelpon."Ya? Gimana bre?" tanya Nathan mengawali pembicaraan."Buku catatan gue, Lo yang bawa kan?" tanya remaja di seberang sana."Hah? Catatan yang mana?""Catatan bahasa inggris," ucap Gavi membuat Nathan bingung."Ga inget, ntar Gue cari deh. Mau berangkat nih," sahut Nathan."Ya elah, cari dulu sekalian bawain!" "Ck, iya-iya!" Telepon di matikan sepihak oleh Gavi, Nathan dengan malas kembali ke atas, ke kamarnya. Sampai di kamar pemuda itu ia letakka
Suasana kelas 10 MIPA 2 yang berisik, teman-teman Vala sibuk menyalin jawaban karena ada PR kimia di jam pertama. Ada yang tengah bersandar sembari menunggu dituliskan, ada yang rebahan, ada pula yang sedang make-up an, dipojok sana kumpulan lelaki tengah bermain game viral. Vala yang baru 5 hari sekolah tak tahu bila ada pr, karena itu di tugaskan Minggu lalu. Ia mendapat contekan dari Huza, sang ketua kelas yang baik dan manis. "Nih, salin aja." "Wih, thanks kalau gitu!" Dengan semangat 45 Vala menyalin jawabannya, ia tak tahu bila Huza yang duduk di bangku depan memperhatikan dirinya sejak tadi. Naya yang menyadari hal itu pun berdehem kecil. "Ekhem, uhuk-uhuk!" "Kamu kenapa, Nay?" tanya Vala masih tetap melakukan tugasnya, ia hanya sekedar melirik Naya yang tampak ingin berbicara sesuatu. "Ekhem, ga papa kok." Naya melirik lirik kecil ke Huza dan Vala, tak sadarkah gadis itu bila ia sangat lucu dengan rambut kepang duanya. Naya tersenyum senang, ia sangat ber
Untuk mengenali lingkungan barunya, Vala memutuskan jalan-jalan ke sekitar. Mumpung tanggal merah juga, namun sang ayah tetap bekerja jadi Vala pergi sendiri. Vala lajukan skuternya pelan di jalan trotoar, ia perhatikan lagi maps di ponselnya yang mengarahkan jalan ke taman. Banyak juga orang-orang yang berjalan, berlari, bersepeda di sekitarnya. Mereka menikmati waktunya masing-masing. Vala mulai memasuki area taman, ia jalankan kembali skuternya hingga sampai ke kursi taman yang kosong. Ia duduk di sana tak lupa mengambil gambar dan menguploadnya di sosial media. Beberapa DM masuk namun Vala abaikan, kebanyakan menanyakan apakah beneran Vala atau bukan. Pasalnya gadis itu menguncir satu rambutnya, tidak di kepang seperti biasanya. Lebih dewasa dan cantik alami."Kak Nathan di taman juga?" tanyanya ke diri sendiri saat melihat postingan story lelaki itu yang menandai lokasi taman yang sama.Di sana video singkat Nathan tengah bermain dengan skateboard nya, banyak juga anak-anak la
Jeritan menggema di seluruh sudut ruangan, bagai orang gila Stella meraung-raung di dalam kamarnya. Ia tinju berkali-kali bantal guling nya, rambutnya sudah seperti singa, acak-acakan. "Argh! Bangsat! Cewe cupu sialan! Masih anak baru udah belagu!" Ia keluarkan semua umpatannya, tak cukup sampai situ Stella lempar boneka-bonekanya ke sembarang arah. Kamarnya sudah seperti kapal pecah, berhamburan isinya. Tidak, ia tidak menangis. Stella marah, kesal, cemburu, dan sedih bercampur menjadi satu. Rekaman yang Gio upload sudah ia lihat karena dirinya mengikuti akun bocah itu. "Awas Lo, cupu! Liat aja besok di sekolah!" geramnya melototi wajah bahagia di ponsel itu. Stella bangun dan pergi ke kamar mandi, kamar mandinya yang di dominasi warna merah dengan aroma mawar itu menjadi tempatnya bersemedi. Duduk di bathub menghangatkan badan dari berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. "Vala ..., ck. Awas Lo!" lirihnya gusar. Pikirannya melayang tertuju gadis bernama Vala itu, penam
Vala mengganti seragamnya dengan kaos putih kebesaran bergambar kuda poni besar di depannya, gadis itu berencana ke kafe tempat Naya bekerja untuk bertanya. Pasalnya ia belum tahu dimana rumah Naya, niatnya untuk menjenguk temannya itu.Dengan simpel Vala berpakaian, kaos di padukan dengan celana selutut coklat. Ditambah topi hitam di kepalanya, rambutnya ia kepang satu belakang. Vala turun ke bawah menuju dapur, mengambil sekantung jajanan yang ia simpan dan beberapa buah. Ia masukkan juga minuman susu kaleng dan obat demam."Let's go!" Vala keluarkan ponselnya dari tas samping kecil, jarinya mencari kontak Naya. Vala kesal karena masih centang satu, nomor Naya terakhir dilihat pagi tadi."Masih tidur kali ya?" gumamnya.Vala pun beranjak ke garasi mengambil skuternya, ia jalankan menuju kafe kemarin. "Hm panas, untung pake topi," ungkapnya saat berjalan keluar.Cerah berawan di siang ini, Vala kenakan kacamata hitam sembari menjalankan skuter. Kafe berada di seberang jalan, Vala
Di sebuah ruangan luas nan gelap karena didominasi warna hitam, seorang pria tengah duduk di kursi kebesarannya. Ia teguk wine nya dengan pelan sembari menatap tajam pada layar gambar yang menampilkan seorang remaja.Pyar!Pria itu melempar gelas kacanya ke lantai, pandangan menghunus tajam ke depan. Ia amati dengan seksama, tangannya mengepal kuat."Little devil," gumam si pria lirih."Kenapa harus terjatuh juga, saya membuatnya khusus untukmu!" geramnya.Ia pantau dua titik yang berkedip dalam jarak sangat dekat, dan itu berada di areanya."Panggil Adhisti kemari!" titah Arsa melalui penghubung suara.Ya, pria itu adalah Arsa. Ayah dari gadis bernama Stella si tantrum. Arsa sudah memantau Wildan sejak pertama kali duda itu bekerja dengan Dirga, dan perihal gelang yang ia berikan kepada Vala tentu sudah ia rencanakan.Gelang itu bukan gelang biasa, di sana terpasang GPS yang tidak akan habis daya nya karena ene
Naya menatap lesu ponselnya, saat ini dirinya sedang di luar kota untuk interview kerja. Tentu ditolak karena Naya memalsukan data diri, usianya di bawah umur untuk dipekerjakan. Naya menangis seorang diri di halte, ia akan pulang hari ini. Dirinya begitu lelah sekali, apalagi pesan dari seseorang membuat dirinya semakin takut saja. ------ ( Stella ) @stella.cantik : inget! gue ga bakal diem aja, dimana pun lo saat ini gue pastiin setelah ini hidup lo ga aman lagi! diem ya cantik, lo diem lo aman!! @reyy.nayy : iya kak @stella.cantik : gue pantau lo! ------ Bus sudah datang, Naya bergegas naik ke dalam dan mencari bangku dekat jendela yang kosong. Dapat, Naya duduk di bangku nomor 3 ia pegang erat tas nya dan menyenderkan punggungnya kemudian berusaha untuk tidur. Guncangan yang kuat membuat Naya terbangun, gadis itu sedikit pusing karena posisi tidurnya yang tak nyaman. Ia perhatikan sekitarnya yang sepi, sepertinya sudah pada turun. Melongok ke jendela ternyata bu
Di sebuah ruangan luas berisi berbagai box besar barang yang sudah siap untuk dikirimkan. Seorang pria sedang mengecek satu-persatu laporan dari bawahannya. "Tuan, malam ini pengiriman barang ke Somalia, ada 10 kontainer yang akan di kirimkan." Arsa mengangguk sekali sebagai respon. Pria itu beranjak mendekati salah satu kontainer yang masih terbuka. "Bagus, bagaimana dengan badak itu?" tanya Arsa tanpa memperhatikan bawahannya. "Kurang satu ekor lagi tuan," sahut pria itu. "Lebih cepat lebih baik, lanjutkan tugasmu!" "Baik Tuan, Saya permisi." Arsa mengangguk membiarkan Oscar pergi. Arsa berjalan pelan ke luar, orang-orang sibuk bekerja ia hanya memperhatikan mereka dan meminum anggurnya dengan tenang. Setelah itu Arsa kembali ke dalam dan mengambil kunci mobilnya, sebelum pergi ia sudah mengirimkan pesan ke Oscar untuk mengurus sisanya. Mobil mahal itu melaju membelah hutan di siang yang sunyi, hari tampak mendung dengan sinar matahari yang tertutup awan. Hingga sampai
Di sebuah ruangan luas berisi berbagai box besar barang yang sudah siap untuk dikirimkan. Seorang pria sedang mengecek satu-persatu laporan dari bawahannya. "Tuan, malam ini pengiriman barang ke Somalia, ada 10 kontainer yang akan di kirimkan." Arsa mengangguk sekali sebagai respon. Pria itu beranjak mendekati salah satu kontainer yang masih terbuka. "Bagus, bagaimana dengan badak itu?" tanya Arsa tanpa memperhatikan bawahannya. "Kurang satu ekor lagi tuan," sahut pria itu. "Lebih cepat lebih baik, lanjutkan tugasmu!" "Baik Tuan, Saya permisi." Arsa mengangguk membiarkan Oscar pergi. Arsa berjalan pelan ke luar, orang-orang sibuk bekerja ia hanya memperhatikan mereka dan meminum anggurnya dengan tenang. Setelah itu Arsa kembali ke dalam dan mengambil kunci mobilnya, sebelum pergi ia sudah mengirimkan pesan ke Oscar untuk mengurus sisanya. Mobil mahal itu melaju membelah hutan di siang yang sunyi, hari tampak mendung dengan sinar matahari yang tertutup awan. Hingga sampai
Naya menatap lesu ponselnya, saat ini dirinya sedang di luar kota untuk interview kerja. Tentu ditolak karena Naya memalsukan data diri, usianya di bawah umur untuk dipekerjakan. Naya menangis seorang diri di halte, ia akan pulang hari ini. Dirinya begitu lelah sekali, apalagi pesan dari seseorang membuat dirinya semakin takut saja. ------ ( Stella ) @stella.cantik : inget! gue ga bakal diem aja, dimana pun lo saat ini gue pastiin setelah ini hidup lo ga aman lagi! diem ya cantik, lo diem lo aman!! @reyy.nayy : iya kak @stella.cantik : gue pantau lo! ------ Bus sudah datang, Naya bergegas naik ke dalam dan mencari bangku dekat jendela yang kosong. Dapat, Naya duduk di bangku nomor 3 ia pegang erat tas nya dan menyenderkan punggungnya kemudian berusaha untuk tidur. Guncangan yang kuat membuat Naya terbangun, gadis itu sedikit pusing karena posisi tidurnya yang tak nyaman. Ia perhatikan sekitarnya yang sepi, sepertinya sudah pada turun. Melongok ke jendela ternyata bu
Di sebuah ruangan luas nan gelap karena didominasi warna hitam, seorang pria tengah duduk di kursi kebesarannya. Ia teguk wine nya dengan pelan sembari menatap tajam pada layar gambar yang menampilkan seorang remaja.Pyar!Pria itu melempar gelas kacanya ke lantai, pandangan menghunus tajam ke depan. Ia amati dengan seksama, tangannya mengepal kuat."Little devil," gumam si pria lirih."Kenapa harus terjatuh juga, saya membuatnya khusus untukmu!" geramnya.Ia pantau dua titik yang berkedip dalam jarak sangat dekat, dan itu berada di areanya."Panggil Adhisti kemari!" titah Arsa melalui penghubung suara.Ya, pria itu adalah Arsa. Ayah dari gadis bernama Stella si tantrum. Arsa sudah memantau Wildan sejak pertama kali duda itu bekerja dengan Dirga, dan perihal gelang yang ia berikan kepada Vala tentu sudah ia rencanakan.Gelang itu bukan gelang biasa, di sana terpasang GPS yang tidak akan habis daya nya karena ene
Vala mengganti seragamnya dengan kaos putih kebesaran bergambar kuda poni besar di depannya, gadis itu berencana ke kafe tempat Naya bekerja untuk bertanya. Pasalnya ia belum tahu dimana rumah Naya, niatnya untuk menjenguk temannya itu.Dengan simpel Vala berpakaian, kaos di padukan dengan celana selutut coklat. Ditambah topi hitam di kepalanya, rambutnya ia kepang satu belakang. Vala turun ke bawah menuju dapur, mengambil sekantung jajanan yang ia simpan dan beberapa buah. Ia masukkan juga minuman susu kaleng dan obat demam."Let's go!" Vala keluarkan ponselnya dari tas samping kecil, jarinya mencari kontak Naya. Vala kesal karena masih centang satu, nomor Naya terakhir dilihat pagi tadi."Masih tidur kali ya?" gumamnya.Vala pun beranjak ke garasi mengambil skuternya, ia jalankan menuju kafe kemarin. "Hm panas, untung pake topi," ungkapnya saat berjalan keluar.Cerah berawan di siang ini, Vala kenakan kacamata hitam sembari menjalankan skuter. Kafe berada di seberang jalan, Vala
Jeritan menggema di seluruh sudut ruangan, bagai orang gila Stella meraung-raung di dalam kamarnya. Ia tinju berkali-kali bantal guling nya, rambutnya sudah seperti singa, acak-acakan. "Argh! Bangsat! Cewe cupu sialan! Masih anak baru udah belagu!" Ia keluarkan semua umpatannya, tak cukup sampai situ Stella lempar boneka-bonekanya ke sembarang arah. Kamarnya sudah seperti kapal pecah, berhamburan isinya. Tidak, ia tidak menangis. Stella marah, kesal, cemburu, dan sedih bercampur menjadi satu. Rekaman yang Gio upload sudah ia lihat karena dirinya mengikuti akun bocah itu. "Awas Lo, cupu! Liat aja besok di sekolah!" geramnya melototi wajah bahagia di ponsel itu. Stella bangun dan pergi ke kamar mandi, kamar mandinya yang di dominasi warna merah dengan aroma mawar itu menjadi tempatnya bersemedi. Duduk di bathub menghangatkan badan dari berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. "Vala ..., ck. Awas Lo!" lirihnya gusar. Pikirannya melayang tertuju gadis bernama Vala itu, penam
Untuk mengenali lingkungan barunya, Vala memutuskan jalan-jalan ke sekitar. Mumpung tanggal merah juga, namun sang ayah tetap bekerja jadi Vala pergi sendiri. Vala lajukan skuternya pelan di jalan trotoar, ia perhatikan lagi maps di ponselnya yang mengarahkan jalan ke taman. Banyak juga orang-orang yang berjalan, berlari, bersepeda di sekitarnya. Mereka menikmati waktunya masing-masing. Vala mulai memasuki area taman, ia jalankan kembali skuternya hingga sampai ke kursi taman yang kosong. Ia duduk di sana tak lupa mengambil gambar dan menguploadnya di sosial media. Beberapa DM masuk namun Vala abaikan, kebanyakan menanyakan apakah beneran Vala atau bukan. Pasalnya gadis itu menguncir satu rambutnya, tidak di kepang seperti biasanya. Lebih dewasa dan cantik alami."Kak Nathan di taman juga?" tanyanya ke diri sendiri saat melihat postingan story lelaki itu yang menandai lokasi taman yang sama.Di sana video singkat Nathan tengah bermain dengan skateboard nya, banyak juga anak-anak la
Suasana kelas 10 MIPA 2 yang berisik, teman-teman Vala sibuk menyalin jawaban karena ada PR kimia di jam pertama. Ada yang tengah bersandar sembari menunggu dituliskan, ada yang rebahan, ada pula yang sedang make-up an, dipojok sana kumpulan lelaki tengah bermain game viral. Vala yang baru 5 hari sekolah tak tahu bila ada pr, karena itu di tugaskan Minggu lalu. Ia mendapat contekan dari Huza, sang ketua kelas yang baik dan manis. "Nih, salin aja." "Wih, thanks kalau gitu!" Dengan semangat 45 Vala menyalin jawabannya, ia tak tahu bila Huza yang duduk di bangku depan memperhatikan dirinya sejak tadi. Naya yang menyadari hal itu pun berdehem kecil. "Ekhem, uhuk-uhuk!" "Kamu kenapa, Nay?" tanya Vala masih tetap melakukan tugasnya, ia hanya sekedar melirik Naya yang tampak ingin berbicara sesuatu. "Ekhem, ga papa kok." Naya melirik lirik kecil ke Huza dan Vala, tak sadarkah gadis itu bila ia sangat lucu dengan rambut kepang duanya. Naya tersenyum senang, ia sangat ber
Begitu sunyi dan sepi suasana di rumah besar nan mewah itu, tiap-tiap langkah kaki pun terdengar menggema hingga ke sudut ruangan sangking sepinya. Tap, tap, tap. Derap langkah kaki terdengar dari atas, seorang lelaki turun dengan kaos basket beserta bola di tangan kirinya. Nathan, lelaki itu tampak sejuk di pandang, indah perangainya dan juga nyaman kala berada didekatnya.Ponsel Nathan berdering, ia hentikan langkah nya di tengah tangga. Sebelum memutuskan untuk mengangkat teleponnya, ia pastikan nama itu. Gavi, teman kelasnya menelpon."Ya? Gimana bre?" tanya Nathan mengawali pembicaraan."Buku catatan gue, Lo yang bawa kan?" tanya remaja di seberang sana."Hah? Catatan yang mana?""Catatan bahasa inggris," ucap Gavi membuat Nathan bingung."Ga inget, ntar Gue cari deh. Mau berangkat nih," sahut Nathan."Ya elah, cari dulu sekalian bawain!" "Ck, iya-iya!" Telepon di matikan sepihak oleh Gavi, Nathan dengan malas kembali ke atas, ke kamarnya. Sampai di kamar pemuda itu ia letakka
Vala menahan diri untuk tidak menangis saat ini, ia cengkram kuat rok sekolahnya dengan menggigit bibir. Matanya sudah berkaca-kaca sejak memperhatikan gadis berambut hitam duduk di depan sana, tatapannya kosong seolah tak memiliki cahaya kehidupan.Naya bercerita singkat mengenai gadis itu, ia adalah teman sebangkunya sebelum Vala datang. Baru sekitar 4 bulan bersekolah, gadis lugu itu dinyatakan gila dan harus di rawat di sini. "Mereka jahat banget, Nay. Kita ga bisa diem aja. Bakal ada korban selanjutnya kalau dibiarkan!" Naya yang duduk di seberang Vala hanya diam menanggapi, gadis itu menunduk tanpa kata. Helaan napas berhembus kecil, ia usap pelan sisa-sisa tangisnya."Ga bisa, kita ga punya apa-apa. Mereka orang berada, Va." Vala berkedip kecil, keduanya diam dengan pikirannya masing-masing. "Nay, kamu bilang Hilda di bully kan?" tanya Vala yang mendapat anggukan dari Naya."Sebenarnya tadi aku ketemu mereka, dan di mataku mereka biasa aja."Naya langsung menengok ke arah V