Share

Chapter 4 | School

Suasana kelas 10 MIPA 2 yang berisik, teman-teman Vala sibuk menyalin jawaban karena ada PR kimia di jam pertama. Ada yang tengah bersandar sembari menunggu dituliskan, ada yang rebahan, ada pula yang sedang make-up an, dipojok sana kumpulan lelaki tengah bermain game viral.

Vala yang baru 5 hari sekolah tak tahu bila ada pr, karena itu di tugaskan Minggu lalu. Ia mendapat contekan dari Huza, sang ketua kelas yang baik dan manis.

"Nih, salin aja."

"Wih, thanks kalau gitu!"

Dengan semangat 45 Vala menyalin jawabannya, ia tak tahu bila Huza yang duduk di bangku depan memperhatikan dirinya sejak tadi. Naya yang menyadari hal itu pun berdehem kecil.

"Ekhem, uhuk-uhuk!"

"Kamu kenapa, Nay?" tanya Vala masih tetap melakukan tugasnya, ia hanya sekedar melirik Naya yang tampak ingin berbicara sesuatu.

"Ekhem, ga papa kok."

Naya melirik lirik kecil ke Huza dan Vala, tak sadarkah gadis itu bila ia sangat lucu dengan rambut kepang duanya. Naya tersenyum senang, ia sangat bersyukur dengan kehadiran Vala di kehidupannya saat ini, seolah ada tambatan dari hatinya yang patah dan terluka.

~ ( flashback )

Di sebuah gedung serbaguna yang sepi tampak seorang gadis tengah membersihkan lapangan dengan kain pel. Gadis itu terengah-engah kelelahan karena area seluas ini ia bersihkan sendirian.

Hilda di hukum karena Stella, ya Stella yang memfitnah gadis malang itu merundung dirinya. Bekas jambakan dan tamparan di pipi Stella tak lain karena ulahnya sendiri, ia fitnah Hilda melakukannya.

Bermodal cerita karangan dengan wajah memelas sang guru pun percaya, Hilda tak bisa mengelak karena ia terlalu lemah. Naya yang mendengar kabar itu juga tak bisa melakukan apapun untuk membela.

"Ga papa kok, Nay. Kak Stella emang gitu sejak aku SMP," ucap Hilda kala itu.

Naya yang mendengarnya begitu geram, mereka berdua tengah duduk di kursi taman.

"Tapi Hil, kok kamu diem aja? Kenapa ga jujur, kan tangan kamu bersih itu. Ga ada bekas nampar orang!" ucap Naya menunjukan telapak tangan Hilda yang bersih dan mulus.

Hilda menggeleng kecil, matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis. Ia benci dirinya sendiri yang terlalu lemah, namun ia juga khawatir teman barunya ini mengalami penderitaan akibat berteman dengan dirinya.

"Nay, udah ya? Jangan dibahas lagi, aku ga papa!" tegas Hilda, ia raih kedua tangan Naya untuk menyakinkan gadis itu.

Naya lepas perlahan tangan Hilda dan bangun dari duduknya, "ga bisa! Aku temen kamu! Kalau kamu ga berani biar aku aja yang ngehadapi!" teriaknya.

Hilda langsung ikut berdiri dan menahan Naya, "Nay! Plis, dengerin aku. Jangan, jangan lakuin apapun!" pinta gadis itu memelas.

Naya bungkam dengan mata menatap Hilda tajam, "terus? Harus diem aja gitu?" sarkasnya.

"Jangan, aku ga mau kehilangan seseorang lagi karena diriku sendiri." Hilda didepannya berucap dengan lemah, sorot matanya sendu.

Naya berkedip pelan, netranya menatap gadis didepannya ini penuh penasaran.

"Kehilangan seseorang apa maksud nya?"

Hilda membawa Naya kembali duduk, ia keluarkan ponselnya dan mencari gambar seseorang.

"Ini Ulfa, dia temenku."

Naya mulai mendengarkan dengan saksama, ia perhatikan gambar seorang gadis yang berpose di sebelah Hilda.

"Dulu pas SMP kami sering main bareng, bahkan ganti-gantian nginep di rumah. Pas kelas 7 semester 2 ada kakak kelas baru di kelas 8, kamu tau siapa?" tanya Hilda yang mendapat gelengan kepala Naya.

"Kak Stella, dia murid baru itu. Karena Kak Stella cantik, dia langsung populer di sekolah. Banyak banget yang nge-fans bahkan sampe temen kelasku sering bicarain kak Stella."

Tiap kalimat yang Hilda ucapkan mendapat anggukan dari Naya, "terus lanjutannya gimana?" tanya Naya.

"Terus pas aku lagi ke kantin ga sengaja nabrak kak Stella, padahal ga kenceng loh tapi kak Stella nya jatuh."

"Ck, cari muka dia itu!" kesal Naya.

"Ga ada yang belain aku, di sana aku sendirian dikata-katain. Ulfa masih di kelas dia nungguin karena mager. Setelah kejadian itu, kak Stella sering banget nyuruh aku. Maksa aku beliin ini itu, padahal uang saku ku ga banyak!"

Naya masih setia mendengarkan Hilda, dapat ia lihat gadis itu bercerita dengan perasaan campur aduk antara marah dan sedih.

"Terus pas kenaikan kelas kan ada lomba, Ulfa ikut lomba kemah yang harus nginep karena berhari-hari diadain nya. Pas aku sendirian di sekolah ya karena aku ga temenan deket sama temen kelas, jadi kak Stella bisa semakin leluasa."

Hilda mengusap wajahnya, rona merah menahan amarah timbul di pipinya.

"Aku di seret kak Stella sama temen-temennya ke gudang, di sana aku dilecehkan. Padahal kami sama-sama perempuan!" jelas Hilda dengan suara yang bergetar.

Naya mendekati gadis itu dan memeluknya menyalurkan kehangatan, ia elus berkali-kali punggung dan puncak kepalanya.

"Te-terus aku jambak, kepalaku pusing. Aku ga kuat terus pingsan, ditinggal gitu aja. Untung pak satpam dateng sore-sore itu, kalau ga kayanya aku bakal di sana semalaman!" jelas Hilda dengan suara yang semakin serak, hatinya pilu mengingat masa lalu.

"Besoknya aku ga berangkat sekolah selama dua hari, Ulfa pulang dari kemah langsung pergi ke rumah ku. Dia jenguk sambil marah-marah, kok aku diem aja gitu."

Naya ikut membisu pilu, ia juga ingin marah namun tak bisa.

"Terus dia nginep di rumah ku, kami tidur bareng. Paginya dia tetep berangkat sekolah, kamu tau Ulfa ngapain?" Naya menggeleng cepat.

"Dia mukulin kak Stella pakai tongkat Pramuka! Ga hanya itu, Ulfa juga robekin seragam kak Stella pake cutter, ga sengaja kena perut kak Stella yang bikin perutnya kesayat." Penjelasan Hilda membuat Naya ngeri.

"Habis itu dipisah guru, Ulfa di keluarkan dari sekolah karena permintaan kak Stella. Kami pamitan sejenak di hari itu juga dan Ulfa pergi keluar kota sama orangtuanya, ga tau kemana."

Hilda selesai bercerita, suaranya sudah kembali normal. Naya menyodorkan tisu untuk gadis itu, kemudian ia usap perlahan pipinya.

"Pasti sakit banget kehilangan temen?" ucap Naya pelan.

"Iya, sakit banget. Untung setelahnya kak Stella ga buli aku lagi sampai lulus, yah tapi namanya takdir. Di SMA ketemu lagi dengan tabiat yang masih sama!"

~ ( flashback end )

"Ulfa ...," lirih Naya pelan, air matanya sudah menetes sejak tadi.

"Psst! Nay, nay, oy!" teriak Vala kecil menepuk bahu Naya.

Vala perhatikan sejak tadi Naya melamun dengan pandangan yang sendu, ia sudah selesai mencontek dan sebentar lagi guru kimia akan datang.

"Nay!" bisik Vala kuat di dekat telinga Naya.

"Ah! Geli!" Naya usap usap telinganya, cipratan air ludah Vala terasa di daun telinganya.

"Hehe, sorry merry! Kamu sih di panggil diem aja!" kesal Vala dengan bibirnya yang ia majukan ke depan.

"Ih iya-iya kenapa?"

"Pinjem buku bahasa Inggris dong, hehe!"

Naya mendengus malas, ia ambil tasnya dan mencari buku catatan itu. Setelahnya ia serahkan ke Vala.

"Aw makasih Nay cantik!"

Bel pelajaran pertama berbunyi, guru kimia tampak garang memasuki kelas membuat suasana tegang. Sebelum pelajaran dimulai semuanya berdoa bersama, barulah guru wanita itu menghampiri satu-persatu muridnya dan mengambil buku. Matanya begitu awas, tampak teliti hingga ke sela-sela.

"Jawaban kalian sama semua, yang mencontek maju atau ibu suruh berdiri di lapangan!"

***

Stella tengah menangis hebat, kukunya yang cantik di paksa dihilangkan dengan penghalus kuku. Ia lupa jika hari ini pelajaran bimbingan konseling, beberapa alat kecantikan nya pun di sita.

"Ga usah sok nangis kamu! Baju ketat ga beraturan, rok mini. Mau sekolah atau jual diri?" sarkas seorang guru wanita itu begitu menohok.

Stella sangat marah, ia di hina di depan teman-temannya. Namun, sebisa mungkin ia paksa wajahnya untuk tetap tenang. Ia menangis bukan karena dimarahi itu hal biasa baginya, ia menangis karena kuku cantiknya yang baru semalam jadi.

"Berdiri di depan!" suruh guru itu yang kemudian Stella iyakan.

Stella ikut berbaris bersama temannya, ada 2 lelaki dan 3 perempuan yang sudah di sana. Kuku panjang, rambut kepanjangan untuk laki-laki, celana pensil, dan rambut yang diwarnai.

"Padahal ga ngaruh juga ke pelajaran, njir lah kata gue mah!" bisik gadis di sebelah Stella, Caroline namanya. Gadis itu mewarnai rambutnya yang bagian dalam dengan warna merah, jadilah ia di hukum.

"Iya cuk, emang sekolah tuh kebanyakan aturan ga jelas!" sahut gadis di sebelahnya lagi, Amora namanya. Gadis itu dihukum karena rok mini dan sepatu warna pink nya.

"Udah ges, ngalah aja yang waras ya gak?" ucap Ifla, gadis itu di hukum karena lipstik hitam yang ia pakai, dan kalung rantai seperti anjing, tak lupa sepatu boot hitam kulit.

"Lo malu-maluin aja, La. Pake nangis!" ejek Amora ke Stella yang tengah mengusap wajahnya.

"Parah lu! Hahha, kek bocah anjay!" sahut Caroline, ia ambil permen karet dari saku bajunya dan menyerahkan ke Stella.

"Tuh makan, gosah nangis lagi ya dek! Hahahaha!" ucap Caroline yang membuat Amora dan Ifla ikut tertawa.

"Kalian yang di depan diam!" teriak guru bk itu, ia masih menggeledah tas-tas murid yang tersisa.

"Iya Bu guru!" sahut Amora malas.

"Pegel gua, auu," keluh Ifla pelan. Ia pegang pergelangan kakinya, kemudian ia lepaskan sepatu itu.

"Ah lega!"

"Yeu bego, sekolah pake sepatu kek gitu!" ucap Amora.

"SSG! Suka-suka Gue!" teriak Ifla yang menggema.

"Alifla Hanindita!" tegur guru bk itu, tangannya masih memegang tas seorang gadis.

"Iya Saya Bu?" sahut Ifla pelan sembari menunjuk diri.

"Keluar kamu! Hormat ke bendera di lapangan!"

"Siap Bu!" Dengan senang hati Ifla keluar dari kelas.

"Karena kami solid, maka kami akan ikut menemani Ifla! Ayo Mor!" ajak Caroline, gadis itu sudah bersiap untuk pergi.

"Heh! Mau kemana kalian!"

"Mau nemenin Ifla lah Bu!" Tanpa menunggu tanggapan dari guru itu Amora dan Caroline langsung pergi.

Sang guru bk menghela napas pasrah, ia cukup lelah di jam pertama ini padahal hari masih pagi. Kini tinggal Stella di depan dengan satu gadis pendiam yang tak terlalu ia kenal.

***

Vala dan Naya sedang di perpustakaan, mereka berdua habis berkeliling tadi untuk memperkenalkan area sekolah ke Vala. Vala sedang mencari buku entah apa, sedangkan Naya sudah duduk dengan novel di tangannya.

"Tinggi banget, ga sampe!" keluh Vala memperhatikan buku diatas sana. Ia celingukan mencari tangga atau kursi untuk dinaiki.

"Ga ada kursi, kalau manjat jatuh ga ya?" monolognya pelan.

Vala coba panjat bagian penopangnya di paling bawah, tangan kanannya memegang pinggiran rak sedangkan tangan kirinya mencoba menarik buku itu.

"Ngapain?"

"Akh!" teriak Vala kecil.

Vala terkejut hingga hampir jatuh, untung ia bisa menahannya. Ia menengok ke samping dimana suara itu muncul tiba-tiba.

"Eh, kak Nathan?"

"Hm?" bingung Nathan.

Hati Vala meleleh mendengar suaranya, apalagi aroma vanila yang menyeruak dari tubuh lelaki itu. Gadis itu gugup seketika, entah secara tiba-tiba otaknya kosong tak bisa berpikir.

"Em anu Kak—"

"Mau ngambil buku apa?" potong Nathan.

"Eh itu, aku mau ambil itu!" tunjuk Vala ke arah buku bersampul biru. Seketika ia tidak bisa membaca judul yang tertera di pinggiran nya.

Nathan langsung menarik buku dari rak dan menyerahkannya ke Vala, tingginya yang semampai pun memudahkan dirinya mengambil tanpa tangga.

"Lain kali minta tolong, kalau jatuh terus ketimpa rak malah bahaya."

Vala bisa gila, mendengar Nathan memberikan nasehat saja seolah ia diberi nafkah. Telinganya ia pasang baik-baik dan merekam dengan jelas suara dan nada ucapan Nathan barusan.

"Hehe iya Kak, makasih ya." Dengan gugup Vala berucap.

Nathan mengangguk dan berlalu dari sana, Vala menjerit tertahan. Ia gigit dasinya kuat-kuat menahan jeritan.

"Akh, aaa!"

Vala berjalan dengan menopang tubuhnya yang akan oleh ke rak-rak buku, ia pegang pojokan rak itu tiap-tiap langkahnya. Hingga Naya yang melihatnya pun keheranan.

"Kamu ngapain?" tanya Naya, gadis itu memandangi Vala aneh.

Vala duduk dengan pelan, tangannya gemetaran. Napasnya memburu hebat dengan wajah yang merona.

"Vala? Kamu sakit?" Naya pegang kening Vala, tidak panas. Ia alihkan tangannya ke pipi gadis itu yang memerah.

"Hangat? Kamu kenapa?"

Vala menggeleng pelan, bibirnya tak bisa berhenti tersenyum. Naya jadi ngeri melihatnya, memilih untuk mengabaikan Vala dan melanjutkan bacaannya yang tertunda.

Di sudut ruangan perpustakaan yang sama, Nathan tengah menelusuri buku yang ia temukan. Buku berisi tentang manajemen dan keuangan itu ia baca dengan teliti semua.

Tampak seperti malaikat, sinar yang masuk melalui jendela kaca menembus di belakangnya seperti background alami yang indah. Lelaki itu sangat serius dan fokus, tak menyadari bila Gavi mengendap-endap mendekati.

"Dor!"

Nathan memejamkan matanya terkejut, ia tahan untuk tidak marah ke bocah tengil itu. Di hadapannya ini Gavi menyengir lebar dengan gigi gingsulnya.

"Ganggu aja," kesal Nathan pelan.

"Gabut dikelas, ngikut deh ke sini. Baca apaan tuh?" kepo Gavi.

Nathan menaikkan bukunya hingga judulnya bisa Gavi baca, "Manajemen dan Keuangan?" tanya Gavi.

Nathan mengangguk kecil, ia lanjut membaca.

"Lo mau ngambil jurusan itu?" tanya Gavi.

"Ga tau juga, belum pasti."

Gavi mengangguk saja, lelaki itu beralih memainkan ponselnya sembari menunggu Nathan.

***

"Kamu tau bedanya kumbang dan kamu?" tanya Tio ke seorang gadis berbandana merah.

"Engga, apa tu?" jawab gadis itu.

"Kalau kumbang itu hewan, kalau kamu the only one!" seru Tio bersemangat mengeluarkan gombalan maut nya.

Gadis itu tertawa kecil mendengar nya, "bisa aja Kak!"

Tio sedang mengapeli adek kelasnya, itu salah satu pacar Tio yang baru saja ia tembak beberapa hari lalu menggunakan ketampanan dan coklat.

"Yah, udah mau bel aku kembali dulu ya, manis!" pamit Tio, padahal waktu istirahat masih 15 menit lagi.

"Yah, udah mau balik Kak. Ya udah deh kalau gitu," sahut sendu gadis itu, Tika namanya.

"Jangan sedih dong, kan nanti pulang sekolah ketemu lagi!"

Setelah acara pamitan penuh drama selesai, Tio berlalu ke kelas sebelahnya yaitu kelas 10 MIPA 2 kelas Vala.

Ia menelpon pacarnya dari depan kelas, gayanya yang sok dengan dagu terangkat menantang itu di tatap malas oleh Huza sang ketua kelas.

"Ayang, kamu dimana? Aku udah di depan kelas kamu nih!" ucap Tio dengan nada manja yang dibuat-buat.

Huza yang mendengarnya ingin muntah, ia memutuskan pergi dari sana dan duduk di pojokan kelas.

"Oh, ya udah kalau gitu. Muah, dadah!"

Rani, pacar Tio itu sedang di kamar mandi jadi tidak bisa di apeli. Akhirnya Tio pergi ke area kelas 11, menemui pacarnya yang lain.

"Eh, Fira nya ada?" tanya Tio ke Yumna, gadis itu sedang di depan kelas mencari angin.

"Gak, Lo ngapain kesini si!" Yumna benci sekali dengan Tio yang playboy itu, bukan ada apa-apa hanya saja ia kasihan dengan pacar-pacar Tio.

"Eh santai dong mbak! Gue kan kesini mau ngapel, bukan ngerusuh!" tekan Tio.

"Sama aja, kedatangan Lo tuh bikin rusuh," ucap Gina menyilangkan kedua tangannya menatap Tio malas.

"Heh, gue kakak kelas Lo. Yang hormat napa!" sahut Tio tak terima.

Dari kejauhan Fira terlihat berlari kecil menghampiri mereka, ia membawa sekantung jajanan.

"Loh kok ga bilang kak, kalau mau kesini!" seru gadis cantik itu, rambut coklat alaminya tampak lucu, ia sangat cantik keturunan Belanda.

"Kan biar surprise!"

Yumna muak mendengar nya, ia putuskan untuk masuk kembali ke kelas.

"Ih Kak Tio mah, oh iya. Ini buat kakak, aslinya aku mau kasih ini pas pulang sekolah. Eh, kebetulan banget kakak malah kesini hehe," jelas Fira, gadis itu terlihat antusias saat memberikan keresek itu.

"Wah? Beneran nih! Makasih yang!"

Tanpa malu Tio kecup pipi Fira cepat membuat gadis itu bersemu, Yumna menyeringai lebar ia abadikan kejadian barusan.

"Mampus Lo, abis ini diputusin rame-rame. Hahahaha!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status