Hari ini adalah hari ke tiga Vala bersekolah di tempat baru, ia pindah karena pekerjaan sang Ayah yang mengharuskan mereka pindah kota. Terkadang Vala sedih ketika mengingat rumah lamanya.
"Yah, kapan kita ke makam ibu?" tanya Vala saat sarapan. Wildan, pria itu tersenyum dan mengusap lembut kepala Vala. "Gimana kalau setiap tanggal 17?" tawar Wildan yang mendapat anggukan antusias dari Vala. "Iya Yah, siap!" Vala selalu berangkat sendirian, ayahnya ke kantor lebih awal karena pekerjaannya sebagai sekretaris. Semalam sang ayah bercerita tentang pemuda putra atasannya yang memukau. Hanya mendengar cerita saja Vala sudah terkagum sendiri. "Hah, katanya masih sekolah ya. Pinter banget si!" gumamnya kagum mengingat cerita sang ayah tentang pemuda itu. "Harus rajin belajar biar jadi bos!" teguh Vala dalam hati. Jarak ke sekolah tak terlalu jauh, Vala naik angkutan umum ke sana. Setibanya di sekolah Vala terpaku pada mobil hitam mengkilat di depan gerbang. Seorang lelaki keluar dari sana dengan kacamata hitamnya. "Ih ganteng nya oi!" seru Vala ikut menjerit bersama para gadis yang menonton hal itu. Lelaki itu berjalan cepat menuju kelasnya tanpa menghiraukan para gadis itu, bahkan Vala hampir terjungkal saat tak sengaja menabrak pot bunga. "Duh!" *** Kini dirinya duduk di kantin memakan es krim vanila kesukaannya, nikmat rasanya kian bertambah karena gratisan. Suasana kantin yang ramai dan berisik sekali namun tidak menganggu sama sekali. "Hehe makasih ya Nay, enak banget!" seru Vala menikmati es krim. "Makasih juga udah bantuin ngerjain PR-ku," jawab Naya sambil mengangguk. "Ah kalau itu mah gampang!" Dua hari sebelumnya Vala duduk sendiri, baru ia tahu jika gadis di sampingnya ini teman sebangkunya. Mereka berkenalan tadi pagi di kelas dan Naya kebingungan saat ada pr di jam kedua, yang akhirnya Vala bantu sebisanya. "Eum enak loh, mau ga?" tawar Vala ke Naya, teman barunya satu bangku. Naya menggeleng kecil menolak dengan senyuman, ia usap sudut bibir Vala yang belepotan sisa-sisa es krim. "Santai aja makannya, ngga aku curi ko," sahut Naya terkekeh kecil membuat Vala meringis malu. Mereka langsung dekat saat pertama berkenalan, Vala yang ceria mudah di terima di kelasnya. Apalagi penampilan gadis itu yang lucu, kuncir dua dikepang pula. "Gimana? Nyaman ga sekolah di sini?" tanya Naya penasaran, gadis berambut hitam legam nan manis itu terlihat antusias siap mendengarkan. "Heum, gimana ya? Nyaman, enak. Soalnya banyak jajan, bisa makan enak terus hehe!" ucap Vala antusias. Naya terkekeh pelan kemudian melanjutkan makan siomay yang sudah menghangat. "Syukurlah kalau gitu," sahut Naya pelan kemudian mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Es krim Vala sudah habis dirinya siap beranjak ke kantin untuk membeli lagi. "Nay, aku mau beli lagi. Kamu mau titip apa?" tawar Vala. "Ah ga usah, ini aja. Aku tungguin ya, bentar lagi masuk loh." Vala mengangguk paham kemudian berlalu menuju tempat ibu kantin, ia langsung mencari es krim vanila di rak namun tak kunjung menemukan nya. "Hah, perasaan tadi masih banyak pas milih sama Naya?" gumamnya kecil. Dengan lesu Vala menegakkan badannya, tak sengaja netranya menangkap sebuah es krim vanila di tangan seorang murid. Tanpa aba ia kejar saat murid itu berjalan cepat keluar dari kantin setelah membayarnya. Vala berlari terus ke arah depannya, tempat ini asing belum pernah Vala kunjungi. Ia tak terlalu memperhatikan sekitar saat pengejaran, jadilah nyasar di sini. "Ah mana tadi tuh orang," keluhnya pelan. Vala kehilangan jejak saat murid tadi berpapasan dengan para murid, hingga tak ia sadari saat ini tengah berada di area kelas 11. Para kakak kelas memperhatikan Vala dengan heran, ada yang memandang aneh, lucu, dan diam-diam memotret dirinya. Brugh! "Awh!" jerit seorang gadis. Vala tak sengaja menabrak kakak kelas saat berbalik cepat ingin pergi. Seketika hening mendera, ia lihat 4 orang di hadapannya dengan ngeri. Aura labrakan mereka kuat sekali, apalagi yang barusan Vala tabrak ini. "Ekhem, maaf ya kak. Aku ga sengaja hehe." Dengan takut Vala menggeser diri ingin permisi. Rasanya Vala ingin mual, aroma parfum menyengat sekali dari sekitarnya. "Eh eh eh!" seru si gadis itu. Dasi Vala di tarik kuat saat gadis itu akan pergi. Ini sakit sekali, leher Vala tercekik. "Akh," jerit Vala kecil. "Lo! Mau caper ya? Ngapain ke sini, hah?!" tekan si gadis yang Vala ketahui Stella namanya dari tag nama di seragam kekecilan itu. Vala menahan tawanya, oh lihatlah lipstik Stella yang belepotan itu juga alisnya yang miring sebelah karena dilukis. "Eum engga ka, aku nyasar. Udah ya permisi, mau masuk!" Dengan sekali hentak Vala lepaskan diri dan berlari ke depan, teriakan cempreng itu menyakiti telinga. "Heh! Awas Lo cupu!" Vala angkat jempol kanannya tanpa menoleh. "Brengsek!" umpat Stella kesal, dirinya merasa di remehkan. "Hei, tenang. Dia kayanya murid baru, kocak banget masa nyasar." Itu Yumna yang berkata, teman Stella yang paling dewasa diantara mereka ber empat. "Cupu tapi ga penakut, seru juga keknya." Itu Zoya, gadis blesteran yang gayanya tomboi. Lalu si kembar Zoya dan Ziya yang saling melengkapi, Zoya si kakak yang barbar dan Ziya si adik yang penyabar. 4 gadis ini terkenal dengan kecantikan dan kelakuan buruknya. "Cabut deh, ulangan Bu Ani abis ini." Dengan Stella yang memimpin jalan, ke empatnya beranjak ke kelas tanpa menghiraukan tatapan para murid di sana. *** Kantin sudah sepi saat Vala kembali, ia nyasar lagi tadi namun sesuai kata hati sampailah ia di sini. "Heh, jangan-jangan udah masuk lagi!" paniknya dan berlari ke kelas. Hentakan sepatunya menggema di koridor yang sepi, ia perlambat jalannya saat sampai di depan kelas 10 A yang tutup. "Huh, alamak." Vala panik, baru kali ini terlambat karena alasan tidak jelas. Dengan perlahan Vala mengintip dari jendela, ia lihat guru perempuan tengah menulis di papan lalu di sebelah bangkunya ada Naya yang sedang mendelik menatapnya. "Ya Allah tolong aku, huft." Vala memberanikan diri mengetuk pintu kelas. Pintu terbuka menampilkan seorang wanita dengan spidol di tangannya. "Kamu, murid baru itu ya?" tanya guru itu memperhatikan Vala lekat lekat. Vala mengangguk kecil, "iya Bu. Maafkan keterlambatan Saya, Saya dari toilet menuntaskan hajat," alibi gadis itu sedikit takut. "Oh begitu, ya sudah. Silakan masuk dan mulai mencatat." "Baik Bu, terimakasih banyak." Vala beranjak ke bangkunya setelah menutup pintu, ia lihat Naya yang memasang wajah penasaran. "Kamu dari mana, La?" tanya Naya pelan. Vala duduk dengan tenang, ia ambil buku catatannya. "Heum, dari kelas 11. Hehe," sahut Vala yang mendapat pelototan dari Naya. "Ngapain!?" panik Naya kecil. "Nyasar." Menghela napas pasrah Naya memberitahu halaman buku yang harus Vala tulis. Vala bersyukur guru matematika kali ini tidak galak, bahkan baik dan lembut menurutnya. Ah, Vala jadi teringat almarhum ibunya. Almarhum ibunya lemah lembut dan baik, wajahnya ayu tidak membosankan dilihat. Bahkan suaranya terkenang jelas di otak Vala. "La? Kamu nangis?" tanya Naya pelan saat melihat air mata mengalir di pipi Vala. Dengan cepat Vala usap pipinya dan memasang senyum. "Hehhe engga tuh," jawab Vala sedikit serak. Naya tak berkomentar apapun takut mengganggu, gadis itu kembali memperhatikan depan di mana temannya tengah menjawab soal yang sedang Bu Irish tanyakan. "Baiklah, minggu depan ulangan bab tadi. Dan untuk Vala," ucap Bu Irish. Vala langsung berdiri, "iya Bu, ada apa?" jawabnya. "Tolong kamu kumpulkan buku modul ini dan bawa ke perpustakaan ya." Oke, Vala berpikir ini hukuman kecil keterlambatannya. "Baik Bu." Setelahnya Bu Irish permisi, buku modul di kumpulkan ke meja terdepan tinggal Vala ambil. Tidak berat namun cukup sulit untuk Vala bawa karena tangannya yang mungil. "Hei, butuh bantuan?" tanya Huza, ketua kelasnya. "Eh ngga usah hehe, makasih tawarannya." "Hati-hati kalau gitu, tangga ke perpus agak tinggi." Vala mengangguk dan beranjak keluar, sepanjang perjalanan ke perpustakaan yang sepi Vala merasa tenang. Namun aroma vanila yang memabukkan membuat dirinya terlena sekejap. "Gue bantu," ucap seorang lelaki tanpa aba langsung mengambil sebagian buku yang Vala bawa. Vala melongo saja dan mengekor laki-laki itu, di perpustakaan sepi membuat Vala canggung. Hanya diam berdiri menunggu dan melihat. "Mana?" tanya lelaki tadi, suaranya berat menggetarkan hati. "Eh ini Kak," sahut Vala menyerahkan sisa buku. Lelaki itu tampan sekali, Vala tidak bisa fokus selain aroma vanila yang menyeruak dari tubuh itu dan memperhatikan si tampan menata buku. "Eh, em makasih banyak Kak." Si lelaki itu hanya mengangguk dan pergi tanpa pamit. Dapat! Seru Vala dalam hati saat melihat tag nama di seragam lelaki tadi. "Hah, kakak kelas? Hahha, Denathan Ferdinan. Eum, namanya cakep kaya orangnya hehhe." Dengan riang gembira Vala kembali ke kelasnya, Naya semakin heran saja melihat teman sebangkunya senyum senyum sendiri. "Tadi perasaan nangis," gumam Naya heran. *** "Hah?! Serius! Kamu ketemu Kak Nathan?!" seru Naya yang langsung mendapat tabokan keras dari Vala. "Hush, pelan-pelan." Meski sudah jam pulang sekolah namun kelas masih ramai. "Wah wah, kok bisa? Tapi, jangan! Jangan suka! Nanti kecewa!" tegas Naya, wajahnya tampak serius saat berucap. "Loh kenapa si? Udah ganteng, baik, wangi lagi! Siapa coba yang ga suka?" bela Vala. Naya mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan akun seseorang membuat Vala semakin senang. "Ah, makasih banyak! Hahha, mayan langsung dapat!" seru Vala langsung mencari akun yang sama di ponselnya. "Hei ga gitu!" "Nih, jangan deket-deket kak Nathan kalau ga mau di bully!" Di sana ada foto gadis yang tampak galak, gadis itu juga sangat aktif dan nyampah di akun Nathan. "Mereka pacaran apa gimana?" tanya Vala heran. "Engga, Kak Stella suka sama Kak Nathan. Ga tau kalau Kak Nathan nya. Sukanya tuh ngeri tau, ga boleh ada yang deketin kak Nathan selain dirinya. Dan orang yang Deket Saman kak Nathan bakal di bully habis-habisan sama kak Stella and the geng," jelas Naya. "Ohh, obsesi itu mah." Naya mengangguk menyetujui. "Stella? Lah tadi aku ketemu di kelas 11." Mata Naya langsung melotot lebar mendengar ucapan santai Vala. "Hah? Serius La? Kak Stella loh? Yang ini!" tunjuk Naya ke foto bahkan ia perbesar wajah Stella di sana. "Ish, jangan di zoom jelek!" Bugh! Naya memukul kecil lengan Vala. "Ngawur, kalau orangnya denger abis kamu!" tegur Naya. "Emang kenapa sih? Biasa aja menurutku." "Mau ku liatin kekejaman Kak Stella?" tanya Naya. "Hoho kekejaman, apanya yang kejam si. Kaya apa coba, mana mau lihat?" "Ayo ikut aku," ajak Naya. Mereka berdua pun keluar dari kelas, Vala agak canggung saat melihat raut wajah Naya yang tampak datar dan dingin. Vala bisa melihat para murid yang berlalu-lalang pulang, ada yang memakai sepeda, motor, mobil, skateboard bahkan skuter. Melihatnya membuat Vala ingin memakai skuter. Mereka bergandengan tangan menuju keluar sekolah. Saat Vala ingin bertanya namun ia urungkan saat mereka di klakson mobil merah di dekat gerbang. Keduanya menengok kesal ke arah mobil itu, kaca mobil turun perlahan tampaklah Stella di dalam sana mengacungkan jari tengah. "Nih kak!" sahut Vala mengacungkan kedua jari tengahnya membalas. Naya langsung memaksa Vala menurunkan jarinya dan menyeret gadis itu ke halte, menjauh dari Stella yang tampak tantrum di dalam mobil. Aman, mobil Stella sudah pergi menjauh. Naya tatap tajam wajah tak berdosa itu. Mereka sudah duduk di kursi tunggu. "La? Jangan gitu lain kali, bahaya tau." "Hmm iya iya," sahut Vala malas. Bus tiba keduanya naik tanpa kata, Vala duduk di pojok dekat jendela dengan Naya di sebelahnya. Beberapa menit kemudian sampailah mereka di halte berikutnya. Naya turun mendahului, barulah Vala ikut. Keduanya berjalan ke depan beberapa menit hingga sampai di tempat yang Naya maksud. "Nay? Ini dimana?" tanya Vala saat keduanya sampai di depan gerbang besar. "Hm, ayo masuk aja. Nanti juga tau," ajak Naya menggandeng tangan kanan Vala. Keduanya masuk melalui pintu kecil sebelah gerbang besar, Vala terdiam saat melihat teras luas penuh dengan tanaman. Kemudian dirinya tersentak kecil melihat tulisan di sana. "Hah, kok ke rumah sakit jiwa?" tanya Vala pelan. Naya mengangguk kecil. "Maksudmu kekejaman Kak Stella ini?" tanya Vala bingung. "Iya, ayo ikut aku."Vala menahan diri untuk tidak menangis saat ini, ia cengkram kuat rok sekolahnya dengan menggigit bibir. Matanya sudah berkaca-kaca sejak memperhatikan gadis berambut hitam duduk di depan sana, tatapannya kosong seolah tak memiliki cahaya kehidupan.Naya bercerita singkat mengenai gadis itu, ia adalah teman sebangkunya sebelum Vala datang. Baru sekitar 4 bulan bersekolah, gadis lugu itu dinyatakan gila dan harus di rawat di sini. "Mereka jahat banget, Nay. Kita ga bisa diem aja. Bakal ada korban selanjutnya kalau dibiarkan!" Naya yang duduk di seberang Vala hanya diam menanggapi, gadis itu menunduk tanpa kata. Helaan napas berhembus kecil, ia usap pelan sisa-sisa tangisnya."Ga bisa, kita ga punya apa-apa. Mereka orang berada, Va." Vala berkedip kecil, keduanya diam dengan pikirannya masing-masing. "Nay, kamu bilang Hilda di bully kan?" tanya Vala yang mendapat anggukan dari Naya."Sebenarnya tadi aku ketemu mereka, dan di mataku mereka biasa aja."Naya langsung menengok ke arah V
Begitu sunyi dan sepi suasana di rumah besar nan mewah itu, tiap-tiap langkah kaki pun terdengar menggema hingga ke sudut ruangan sangking sepinya. Tap, tap, tap. Derap langkah kaki terdengar dari atas, seorang lelaki turun dengan kaos basket beserta bola di tangan kirinya. Nathan, lelaki itu tampak sejuk di pandang, indah perangainya dan juga nyaman kala berada didekatnya.Ponsel Nathan berdering, ia hentikan langkah nya di tengah tangga. Sebelum memutuskan untuk mengangkat teleponnya, ia pastikan nama itu. Gavi, teman kelasnya menelpon."Ya? Gimana bre?" tanya Nathan mengawali pembicaraan."Buku catatan gue, Lo yang bawa kan?" tanya remaja di seberang sana."Hah? Catatan yang mana?""Catatan bahasa inggris," ucap Gavi membuat Nathan bingung."Ga inget, ntar Gue cari deh. Mau berangkat nih," sahut Nathan."Ya elah, cari dulu sekalian bawain!" "Ck, iya-iya!" Telepon di matikan sepihak oleh Gavi, Nathan dengan malas kembali ke atas, ke kamarnya. Sampai di kamar pemuda itu ia letakka
Suasana kelas 10 MIPA 2 yang berisik, teman-teman Vala sibuk menyalin jawaban karena ada PR kimia di jam pertama. Ada yang tengah bersandar sembari menunggu dituliskan, ada yang rebahan, ada pula yang sedang make-up an, dipojok sana kumpulan lelaki tengah bermain game viral. Vala yang baru 5 hari sekolah tak tahu bila ada pr, karena itu di tugaskan Minggu lalu. Ia mendapat contekan dari Huza, sang ketua kelas yang baik dan manis. "Nih, salin aja." "Wih, thanks kalau gitu!" Dengan semangat 45 Vala menyalin jawabannya, ia tak tahu bila Huza yang duduk di bangku depan memperhatikan dirinya sejak tadi. Naya yang menyadari hal itu pun berdehem kecil. "Ekhem, uhuk-uhuk!" "Kamu kenapa, Nay?" tanya Vala masih tetap melakukan tugasnya, ia hanya sekedar melirik Naya yang tampak ingin berbicara sesuatu. "Ekhem, ga papa kok." Naya melirik lirik kecil ke Huza dan Vala, tak sadarkah gadis itu bila ia sangat lucu dengan rambut kepang duanya. Naya tersenyum senang, ia sangat ber
Untuk mengenali lingkungan barunya, Vala memutuskan jalan-jalan ke sekitar. Mumpung tanggal merah juga, namun sang ayah tetap bekerja jadi Vala pergi sendiri. Vala lajukan skuternya pelan di jalan trotoar, ia perhatikan lagi maps di ponselnya yang mengarahkan jalan ke taman. Banyak juga orang-orang yang berjalan, berlari, bersepeda di sekitarnya. Mereka menikmati waktunya masing-masing. Vala mulai memasuki area taman, ia jalankan kembali skuternya hingga sampai ke kursi taman yang kosong. Ia duduk di sana tak lupa mengambil gambar dan menguploadnya di sosial media. Beberapa DM masuk namun Vala abaikan, kebanyakan menanyakan apakah beneran Vala atau bukan. Pasalnya gadis itu menguncir satu rambutnya, tidak di kepang seperti biasanya. Lebih dewasa dan cantik alami."Kak Nathan di taman juga?" tanyanya ke diri sendiri saat melihat postingan story lelaki itu yang menandai lokasi taman yang sama.Di sana video singkat Nathan tengah bermain dengan skateboard nya, banyak juga anak-anak la
Jeritan menggema di seluruh sudut ruangan, bagai orang gila Stella meraung-raung di dalam kamarnya. Ia tinju berkali-kali bantal guling nya, rambutnya sudah seperti singa, acak-acakan. "Argh! Bangsat! Cewe cupu sialan! Masih anak baru udah belagu!" Ia keluarkan semua umpatannya, tak cukup sampai situ Stella lempar boneka-bonekanya ke sembarang arah. Kamarnya sudah seperti kapal pecah, berhamburan isinya. Tidak, ia tidak menangis. Stella marah, kesal, cemburu, dan sedih bercampur menjadi satu. Rekaman yang Gio upload sudah ia lihat karena dirinya mengikuti akun bocah itu. "Awas Lo, cupu! Liat aja besok di sekolah!" geramnya melototi wajah bahagia di ponsel itu. Stella bangun dan pergi ke kamar mandi, kamar mandinya yang di dominasi warna merah dengan aroma mawar itu menjadi tempatnya bersemedi. Duduk di bathub menghangatkan badan dari berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. "Vala ..., ck. Awas Lo!" lirihnya gusar. Pikirannya melayang tertuju gadis bernama Vala itu, penam
Vala mengganti seragamnya dengan kaos putih kebesaran bergambar kuda poni besar di depannya, gadis itu berencana ke kafe tempat Naya bekerja untuk bertanya. Pasalnya ia belum tahu dimana rumah Naya, niatnya untuk menjenguk temannya itu.Dengan simpel Vala berpakaian, kaos di padukan dengan celana selutut coklat. Ditambah topi hitam di kepalanya, rambutnya ia kepang satu belakang. Vala turun ke bawah menuju dapur, mengambil sekantung jajanan yang ia simpan dan beberapa buah. Ia masukkan juga minuman susu kaleng dan obat demam."Let's go!" Vala keluarkan ponselnya dari tas samping kecil, jarinya mencari kontak Naya. Vala kesal karena masih centang satu, nomor Naya terakhir dilihat pagi tadi."Masih tidur kali ya?" gumamnya.Vala pun beranjak ke garasi mengambil skuternya, ia jalankan menuju kafe kemarin. "Hm panas, untung pake topi," ungkapnya saat berjalan keluar.Cerah berawan di siang ini, Vala kenakan kacamata hitam sembari menjalankan skuter. Kafe berada di seberang jalan, Vala
Di sebuah ruangan luas nan gelap karena didominasi warna hitam, seorang pria tengah duduk di kursi kebesarannya. Ia teguk wine nya dengan pelan sembari menatap tajam pada layar gambar yang menampilkan seorang remaja.Pyar!Pria itu melempar gelas kacanya ke lantai, pandangan menghunus tajam ke depan. Ia amati dengan seksama, tangannya mengepal kuat."Little devil," gumam si pria lirih."Kenapa harus terjatuh juga, saya membuatnya khusus untukmu!" geramnya.Ia pantau dua titik yang berkedip dalam jarak sangat dekat, dan itu berada di areanya."Panggil Adhisti kemari!" titah Arsa melalui penghubung suara.Ya, pria itu adalah Arsa. Ayah dari gadis bernama Stella si tantrum. Arsa sudah memantau Wildan sejak pertama kali duda itu bekerja dengan Dirga, dan perihal gelang yang ia berikan kepada Vala tentu sudah ia rencanakan.Gelang itu bukan gelang biasa, di sana terpasang GPS yang tidak akan habis daya nya karena ene
Naya menatap lesu ponselnya, saat ini dirinya sedang di luar kota untuk interview kerja. Tentu ditolak karena Naya memalsukan data diri, usianya di bawah umur untuk dipekerjakan. Naya menangis seorang diri di halte, ia akan pulang hari ini. Dirinya begitu lelah sekali, apalagi pesan dari seseorang membuat dirinya semakin takut saja. ------ ( Stella ) @stella.cantik : inget! gue ga bakal diem aja, dimana pun lo saat ini gue pastiin setelah ini hidup lo ga aman lagi! diem ya cantik, lo diem lo aman!! @reyy.nayy : iya kak @stella.cantik : gue pantau lo! ------ Bus sudah datang, Naya bergegas naik ke dalam dan mencari bangku dekat jendela yang kosong. Dapat, Naya duduk di bangku nomor 3 ia pegang erat tas nya dan menyenderkan punggungnya kemudian berusaha untuk tidur. Guncangan yang kuat membuat Naya terbangun, gadis itu sedikit pusing karena posisi tidurnya yang tak nyaman. Ia perhatikan sekitarnya yang sepi, sepertinya sudah pada turun. Melongok ke jendela ternyata bu
Di sebuah ruangan luas berisi berbagai box besar barang yang sudah siap untuk dikirimkan. Seorang pria sedang mengecek satu-persatu laporan dari bawahannya. "Tuan, malam ini pengiriman barang ke Somalia, ada 10 kontainer yang akan di kirimkan." Arsa mengangguk sekali sebagai respon. Pria itu beranjak mendekati salah satu kontainer yang masih terbuka. "Bagus, bagaimana dengan badak itu?" tanya Arsa tanpa memperhatikan bawahannya. "Kurang satu ekor lagi tuan," sahut pria itu. "Lebih cepat lebih baik, lanjutkan tugasmu!" "Baik Tuan, Saya permisi." Arsa mengangguk membiarkan Oscar pergi. Arsa berjalan pelan ke luar, orang-orang sibuk bekerja ia hanya memperhatikan mereka dan meminum anggurnya dengan tenang. Setelah itu Arsa kembali ke dalam dan mengambil kunci mobilnya, sebelum pergi ia sudah mengirimkan pesan ke Oscar untuk mengurus sisanya. Mobil mahal itu melaju membelah hutan di siang yang sunyi, hari tampak mendung dengan sinar matahari yang tertutup awan. Hingga sampai
Naya menatap lesu ponselnya, saat ini dirinya sedang di luar kota untuk interview kerja. Tentu ditolak karena Naya memalsukan data diri, usianya di bawah umur untuk dipekerjakan. Naya menangis seorang diri di halte, ia akan pulang hari ini. Dirinya begitu lelah sekali, apalagi pesan dari seseorang membuat dirinya semakin takut saja. ------ ( Stella ) @stella.cantik : inget! gue ga bakal diem aja, dimana pun lo saat ini gue pastiin setelah ini hidup lo ga aman lagi! diem ya cantik, lo diem lo aman!! @reyy.nayy : iya kak @stella.cantik : gue pantau lo! ------ Bus sudah datang, Naya bergegas naik ke dalam dan mencari bangku dekat jendela yang kosong. Dapat, Naya duduk di bangku nomor 3 ia pegang erat tas nya dan menyenderkan punggungnya kemudian berusaha untuk tidur. Guncangan yang kuat membuat Naya terbangun, gadis itu sedikit pusing karena posisi tidurnya yang tak nyaman. Ia perhatikan sekitarnya yang sepi, sepertinya sudah pada turun. Melongok ke jendela ternyata bu
Di sebuah ruangan luas nan gelap karena didominasi warna hitam, seorang pria tengah duduk di kursi kebesarannya. Ia teguk wine nya dengan pelan sembari menatap tajam pada layar gambar yang menampilkan seorang remaja.Pyar!Pria itu melempar gelas kacanya ke lantai, pandangan menghunus tajam ke depan. Ia amati dengan seksama, tangannya mengepal kuat."Little devil," gumam si pria lirih."Kenapa harus terjatuh juga, saya membuatnya khusus untukmu!" geramnya.Ia pantau dua titik yang berkedip dalam jarak sangat dekat, dan itu berada di areanya."Panggil Adhisti kemari!" titah Arsa melalui penghubung suara.Ya, pria itu adalah Arsa. Ayah dari gadis bernama Stella si tantrum. Arsa sudah memantau Wildan sejak pertama kali duda itu bekerja dengan Dirga, dan perihal gelang yang ia berikan kepada Vala tentu sudah ia rencanakan.Gelang itu bukan gelang biasa, di sana terpasang GPS yang tidak akan habis daya nya karena ene
Vala mengganti seragamnya dengan kaos putih kebesaran bergambar kuda poni besar di depannya, gadis itu berencana ke kafe tempat Naya bekerja untuk bertanya. Pasalnya ia belum tahu dimana rumah Naya, niatnya untuk menjenguk temannya itu.Dengan simpel Vala berpakaian, kaos di padukan dengan celana selutut coklat. Ditambah topi hitam di kepalanya, rambutnya ia kepang satu belakang. Vala turun ke bawah menuju dapur, mengambil sekantung jajanan yang ia simpan dan beberapa buah. Ia masukkan juga minuman susu kaleng dan obat demam."Let's go!" Vala keluarkan ponselnya dari tas samping kecil, jarinya mencari kontak Naya. Vala kesal karena masih centang satu, nomor Naya terakhir dilihat pagi tadi."Masih tidur kali ya?" gumamnya.Vala pun beranjak ke garasi mengambil skuternya, ia jalankan menuju kafe kemarin. "Hm panas, untung pake topi," ungkapnya saat berjalan keluar.Cerah berawan di siang ini, Vala kenakan kacamata hitam sembari menjalankan skuter. Kafe berada di seberang jalan, Vala
Jeritan menggema di seluruh sudut ruangan, bagai orang gila Stella meraung-raung di dalam kamarnya. Ia tinju berkali-kali bantal guling nya, rambutnya sudah seperti singa, acak-acakan. "Argh! Bangsat! Cewe cupu sialan! Masih anak baru udah belagu!" Ia keluarkan semua umpatannya, tak cukup sampai situ Stella lempar boneka-bonekanya ke sembarang arah. Kamarnya sudah seperti kapal pecah, berhamburan isinya. Tidak, ia tidak menangis. Stella marah, kesal, cemburu, dan sedih bercampur menjadi satu. Rekaman yang Gio upload sudah ia lihat karena dirinya mengikuti akun bocah itu. "Awas Lo, cupu! Liat aja besok di sekolah!" geramnya melototi wajah bahagia di ponsel itu. Stella bangun dan pergi ke kamar mandi, kamar mandinya yang di dominasi warna merah dengan aroma mawar itu menjadi tempatnya bersemedi. Duduk di bathub menghangatkan badan dari berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. "Vala ..., ck. Awas Lo!" lirihnya gusar. Pikirannya melayang tertuju gadis bernama Vala itu, penam
Untuk mengenali lingkungan barunya, Vala memutuskan jalan-jalan ke sekitar. Mumpung tanggal merah juga, namun sang ayah tetap bekerja jadi Vala pergi sendiri. Vala lajukan skuternya pelan di jalan trotoar, ia perhatikan lagi maps di ponselnya yang mengarahkan jalan ke taman. Banyak juga orang-orang yang berjalan, berlari, bersepeda di sekitarnya. Mereka menikmati waktunya masing-masing. Vala mulai memasuki area taman, ia jalankan kembali skuternya hingga sampai ke kursi taman yang kosong. Ia duduk di sana tak lupa mengambil gambar dan menguploadnya di sosial media. Beberapa DM masuk namun Vala abaikan, kebanyakan menanyakan apakah beneran Vala atau bukan. Pasalnya gadis itu menguncir satu rambutnya, tidak di kepang seperti biasanya. Lebih dewasa dan cantik alami."Kak Nathan di taman juga?" tanyanya ke diri sendiri saat melihat postingan story lelaki itu yang menandai lokasi taman yang sama.Di sana video singkat Nathan tengah bermain dengan skateboard nya, banyak juga anak-anak la
Suasana kelas 10 MIPA 2 yang berisik, teman-teman Vala sibuk menyalin jawaban karena ada PR kimia di jam pertama. Ada yang tengah bersandar sembari menunggu dituliskan, ada yang rebahan, ada pula yang sedang make-up an, dipojok sana kumpulan lelaki tengah bermain game viral. Vala yang baru 5 hari sekolah tak tahu bila ada pr, karena itu di tugaskan Minggu lalu. Ia mendapat contekan dari Huza, sang ketua kelas yang baik dan manis. "Nih, salin aja." "Wih, thanks kalau gitu!" Dengan semangat 45 Vala menyalin jawabannya, ia tak tahu bila Huza yang duduk di bangku depan memperhatikan dirinya sejak tadi. Naya yang menyadari hal itu pun berdehem kecil. "Ekhem, uhuk-uhuk!" "Kamu kenapa, Nay?" tanya Vala masih tetap melakukan tugasnya, ia hanya sekedar melirik Naya yang tampak ingin berbicara sesuatu. "Ekhem, ga papa kok." Naya melirik lirik kecil ke Huza dan Vala, tak sadarkah gadis itu bila ia sangat lucu dengan rambut kepang duanya. Naya tersenyum senang, ia sangat ber
Begitu sunyi dan sepi suasana di rumah besar nan mewah itu, tiap-tiap langkah kaki pun terdengar menggema hingga ke sudut ruangan sangking sepinya. Tap, tap, tap. Derap langkah kaki terdengar dari atas, seorang lelaki turun dengan kaos basket beserta bola di tangan kirinya. Nathan, lelaki itu tampak sejuk di pandang, indah perangainya dan juga nyaman kala berada didekatnya.Ponsel Nathan berdering, ia hentikan langkah nya di tengah tangga. Sebelum memutuskan untuk mengangkat teleponnya, ia pastikan nama itu. Gavi, teman kelasnya menelpon."Ya? Gimana bre?" tanya Nathan mengawali pembicaraan."Buku catatan gue, Lo yang bawa kan?" tanya remaja di seberang sana."Hah? Catatan yang mana?""Catatan bahasa inggris," ucap Gavi membuat Nathan bingung."Ga inget, ntar Gue cari deh. Mau berangkat nih," sahut Nathan."Ya elah, cari dulu sekalian bawain!" "Ck, iya-iya!" Telepon di matikan sepihak oleh Gavi, Nathan dengan malas kembali ke atas, ke kamarnya. Sampai di kamar pemuda itu ia letakka
Vala menahan diri untuk tidak menangis saat ini, ia cengkram kuat rok sekolahnya dengan menggigit bibir. Matanya sudah berkaca-kaca sejak memperhatikan gadis berambut hitam duduk di depan sana, tatapannya kosong seolah tak memiliki cahaya kehidupan.Naya bercerita singkat mengenai gadis itu, ia adalah teman sebangkunya sebelum Vala datang. Baru sekitar 4 bulan bersekolah, gadis lugu itu dinyatakan gila dan harus di rawat di sini. "Mereka jahat banget, Nay. Kita ga bisa diem aja. Bakal ada korban selanjutnya kalau dibiarkan!" Naya yang duduk di seberang Vala hanya diam menanggapi, gadis itu menunduk tanpa kata. Helaan napas berhembus kecil, ia usap pelan sisa-sisa tangisnya."Ga bisa, kita ga punya apa-apa. Mereka orang berada, Va." Vala berkedip kecil, keduanya diam dengan pikirannya masing-masing. "Nay, kamu bilang Hilda di bully kan?" tanya Vala yang mendapat anggukan dari Naya."Sebenarnya tadi aku ketemu mereka, dan di mataku mereka biasa aja."Naya langsung menengok ke arah V