Untuk mengenali lingkungan barunya, Vala memutuskan jalan-jalan ke sekitar. Mumpung tanggal merah juga, namun sang ayah tetap bekerja jadi Vala pergi sendiri.
Vala lajukan skuternya pelan di jalan trotoar, ia perhatikan lagi maps di ponselnya yang mengarahkan jalan ke taman. Banyak juga orang-orang yang berjalan, berlari, bersepeda di sekitarnya. Mereka menikmati waktunya masing-masing. Vala mulai memasuki area taman, ia jalankan kembali skuternya hingga sampai ke kursi taman yang kosong. Ia duduk di sana tak lupa mengambil gambar dan menguploadnya di sosial media. Beberapa DM masuk namun Vala abaikan, kebanyakan menanyakan apakah beneran Vala atau bukan. Pasalnya gadis itu menguncir satu rambutnya, tidak di kepang seperti biasanya. Lebih dewasa dan cantik alami. "Kak Nathan di taman juga?" tanyanya ke diri sendiri saat melihat postingan story lelaki itu yang menandai lokasi taman yang sama. Di sana video singkat Nathan tengah bermain dengan skateboard nya, banyak juga anak-anak lain. Vala celingukan mencari keberadaan Nathan, matanya memicing penasaran di sekitar area. Ketemu! Di kanan taman tempat khusus area skateboard Nathan berada. Vala tak berhenti menatapnya dari sini, kaos putih dan celana hitam panjang yang Nathan pakai tampak begitu keren. "Ganteng banget ya Allah ...," kagumnya tak henti-henti. Gemetaran Vala mengarahkan ponselnya, ia coba foto laki-laki itu dari sini. Karena begitu blur dan tak jelas, Vala memberanikan diri mendekat. Ia naiki skuternya dengan kamera yang menyala merekam, pelan tapi pasti sebentar lagi sampai. "Deg-degan Mak ...," lirihnya. Hampir sampai! Vala matikan sejenak rekamannya, beralih menyenderkan skuternya di bangku kemudian ia duduk di sana. Bangku panjang ini tak terlalu jauh, di sampingnya banyak anak-anak dan remaja seusianya yang menonton. "Anjay Kak Nathan keren!" seru bocah lelaki tak jauh dari Vala, bocah itu memakai perlengkapan skateboard, helm, pengaman siku dan lutut. Nathan masih menggerakkan papan beroda itu naik turun, memutar dan kembali lagi. Ada dua orang yang tengah bermain saling memutari di area itu. Teriakan menggema sepanjang Nathan bermain, sorakan para penggemar istilahnya. Vala terbengong terkejut, saat Nathan berhenti tak jauh di depannya. Mereka saling bertatapan dalam diam, hingga pundak Nathan di tepuk pelan Gio. "Napa bre?" tanya Gio heran, remaja itu juga sedang ber-skateboard tanpa pengaman apapun. Nathan menggeleng pelan, lelaki itu berjalan mendekati Vala dan duduk di sampingnya persis. Vala menahan napasnya ketika aroma vanila masuk ke indra penciumannya. Jangan tanya bagaimana keadaan Vala saat ini, gadis itu mematung bodoh di tempat duduknya. "Lo anak baru itu ya?" tanya Nathan. Vala terkejut lagi, Nathan mengajaknya berbicara? Nathan yang memulai duluan? Batin Vala tak percaya. "Hah?" tanya Vala, otaknya sepertinya konslet seketika. "Lo—," ujar Nathan menatap Vala dalam-dalam seperti mencoba mengingat sesuatu. "Cewe mungil kemarin di perpustakaan kan?" lanjutnya menebak. Vala berkedip kecil, ia menatap Nathan kagum seketika area sekitarnya buram hanya Nathan yang terlihat jelas. Cewe mungil? Batin Vala. "Em, eh. Iya Kak," jawab Vala gugup. Kedua tangannya bertautan satu sama lain, memainkan bandul ponselnya yang berbentuk es krim. Vala menunduk ke bawah memperhatikan sepatunya, jantungnya berdegup kencang. "Lagi nyari angin atau gimana?" tanya lelaki itu lagi. "Em jalan-jalan aja, Kak. Kenalan sama tempat baru," jawab Vala. "Oh, pindah rumah juga?" "Iya, Kak." Demi Tuhan, Vala sangat gugup sekali. Ia paksa tetap duduk tegak, hatinya lemas dan lemah mendengar suara sang pujaan hati. Nathan mengangguk kecil, ia keluarkan ponselnya dan melihat sosial media. Beberapa saat kemudian Nathan terkejut, ia kedipkan matanya berkali-kali memastikan foto yang sedang ia lihat. @vanilla.ice_cream added story "Ternyata Lo?" tanya Nathan, wajahnya cerah seketika entah apa yang lelaki itu rasakan. "Hah? Apanya Kak?" sahut Vala bingung, ia beranikan diri menatap Nathan yang tersenyum menatapnya. Gila! Vala ingin pingsan saja, manis sekali senyuman itu. "Vanila Es Krim, akun Lo kan?" tebaknya. Vala langsung memalingkan wajahnya, tak berani menatap lelaki di sampingnya ini. Perlahan ia anggukan kepalanya, tatapan lurus ke depan di mana anak-anak tengah bermain skateboard. Nathan terkekeh geli melihatnya, karena Vala tak mau melihat ke arahnya ia kirimkan pesan ke gadis itu. ------ ( Vala ) @denath_f replied to @vanilla.ice_cream "um, :'(. Jahat banget yang mukul, semoga kak Nath lekas sembuh biar bisa balas mukul orangnya :D." : haha, siap! @denath_f : mau keliling? ------- Vala yang mendengar notifikasi dari ponselnya pun menengok ke bawah, ia cek sebentar sebelum membalas dengan tangan yang gemetaran mengetik. ------ ( Nathan ) @vanilla.ice_cream replied to @denath_f "mau keliling?" : mauu! :D @denath_f : ok ------ Nathan bangun dari duduknya melepas beberapa alat pengaman, ia letakkan skateboard nya di kursi dan tangannya melambai ke Gavi yang tengah minum di depan sana. Gavi yang paham langsung mengacungkan jempolnya, tak lupa kedua alisnya di angkat menggoda Nathan. Ting! Notifikasi di ponsel Nathan berbunyi. ------ ( Gaviera ) @gavigantengaw : cie! PJ bre :b @denath_f : (emoticon middle fingers) ------- Di jauh sana Gavi membalas dengan kedua jari tengahnya di angkat, setelahnya bocah itu tertawa terbahak-bahak. Nathan menggeleng miris, malas menanggapi ia pun menggandeng tangan mungil Vala sebelah kanan dan pergi dari sana. Vala terkejut lagi, ia tatap tangan kanannya yang Nathan gandeng. Tolong bangunkan Vala, mimpi ini terlalu indah ia takut tak mau bangun. Ia cubit pipinya sendiri dengan tangan kirinya untuk memastikan. "Aw!" Nathan langsung menoleh dan melepaskan tangan Vala, mereka berhenti di tengah jalan. "Sorry," ujar Nathan datar. "Oh, i-iya. Kita mau kemana kak?" tanya Vala. Nathan memandang ke seberang jalan sana, di mana sebuah kafe berdiri. "Ke kafe aja," ujarnya. Vala mengangguk dan merekapun berjalan lagi, sampai di jalan raya dengan gentleman Nathan menggandeng tangan Vala lagi. Mereka menyebrang jalan bersama, Vala berkeringat dingin wajahnya sudah merona sejak tadi. Sampai di teras Kafe yang begitu asri mereka berhenti sejenak, Nathan melepaskan tangan Vala. "Mau di lantai atas? Bawah?" tanya Nathan menatap Vala. "Em, atas aja Kak." Nathan mengangguk, mereka berjalan lagi. Kafe ini tak begitu ramai, jadi suasananya nyaman terasa pribadi. Masuk ke dalam kafe yang di dominasi warna putih Nathan mensejajarkan langkahnya, kaki Vala yang pendek membuat gadis itu lama sampai. Nathan menggeleng kecil, ia tak tahu mengapa melakukan hal ini. Bisa-bisanya mengajak jalan anak orang, bahkan ia tak kenal dengan orang itu. Seolah tubuhnya melakukannya sendiri, otak dan hatinya juga sejalan. Nathan menyuruh Vala naik duluan, dari sini bisa ia lihat seberapa pendeknya gadis itu. Mungkin se bahunya atau lebih pendek lagi. Terkekeh kecil memikirkan hal tersebut, Nathan menggeleng cepat mengalihkan pikirannya. Sampailah mereka di lantai atas, lantai dua. Vala langsung menuju bangku pojok dekat jendela luar, ia duduk dengan segera barulah Nathan menyusul. Berdehem kecil sebelum berbincang, Nathan ikut duduk di depan Vala. "Ga ngerepotin Kak Nathan?" tanya Vala, matanya membulat. Nathan menggeleng kecil, "ga tuh. Pesen aja," ujarnya menyodorkan buku menu. Nathan angkat tangan kanannya ke arah pelayan, seorang gadis berseragam pun datang menghampiri mereka. "Silakan mau pesan apa kak?" tanya gadis itu sopan, Vala masih sibuk melihat buku menu. "Avocado toast, apple juice and french fries," pesan Nathan yang kemudian di catat gadis itu. "Baik Kak," ujar gadis itu kemudian menoleh ke sebelah, "kalau kakaknya?" tanya gadis itu yang langsung terkejut saat melihat Vala, gadis itu tampak berbeda dengan rambut kuncir satunya. Vala mendongakkan kepalanya, "loh? Nay!?" serunya. "Vala?" "Kamu kerja disini, Nay?" tanya Vala yang membuat Naya tertegun. Gadis itu hanya kaget, sedikit malu ketika bertemu dengan temannya mengenakan pakaian yang sedikit kotor. "Um, i-iya La. Ka-kamu mau pesen apa?" Vala masih terkejut, senyumnya mengembang melihat Naya di hadapannya. "Aku pesen ini ya, minumnya susu hangat rasa vanila!" tunjuk Vala ke martabak keju dibuku menu. Naya langsung mencatat pesanan Vala itu, gadis itu entahlah senang dan malu bercampur menjadi satu. "Baik kalau gitu di tunggu ya kak, permisi." Naya bergegas pergi dari sana. "Semangat Nay! Ku tunggu di sini!" seru Vala dengan cengiran khasnya. Melihat Vala yang antusias membuat Nathan penasaran. "Temen?" tanya Nathan. Ah iya, Vala lupa jika didepannya ini ada sang pujaan hati. Ia berdehem kecil guna menetralkan perasannya, kembali ke sikap sok jaga penampilan. "Iya, Kak. Kami temen sebangku!" Nathan mengangguk paham, "kapan pindah?" lanjutnya bertanya. Vala sudah tidak gugup lagi, namun tangannya yang berada di bawah meja menggenggam erat celananya. "Seminggu lalu, Kak." Nathan mengangguk. "Kak Nathan, em. Abis ini mau ngapain?" tanya Vala. "Renang, ikut?" Vala tersedak ludahnya sendiri, matanya mendelik yang malah tampak lucu bagi Nathan. "Hahha, ada-ada aja Kak. Emang kalau aku ikut beneran boleh?" tanya Vala canggung. "Boleh aja," jawab lelaki itu. Sudah cukup, Vala ingin pulang. Malu dan malu, tak sanggup ia disini dengan Nathan. Ia yakin wajahnya sudah memerah saat ini. "Panas?" tanya Nathan. "Padahal ada ac, deket jendela juga." Vala geram dan gemas, tak tahukah jika penyebab dirinya memerah karena lelaki itu. "Huh, sst. Diem Kak! Cukup," pasrah Vala. "Oke," sahut Nathan. Vala ternganga tak bisa berkata-kata, ia ingin merah, kesal, jengkel. Entahlah semua nya ingin ia lampiaskan. Rasa kagumnya berkurang sedikit, namun kembali naik saat Nathan mengungkapkan sesuatu. "Lo, lucu." Tuh kan, Vala mengigit bibirnya menahan jeritan. Tangannya di bawah mengepal kuat ingin menonjok sesuatu. Hening beberapa menit di antara mereka, Nathan yang sibuk memandangi Vala, dan Vala yang sibuk menggeser foto di ponselnya. Naya datang seperti penyelamat bagi Vala, suasana aneh penuh hawa panas tergantikan seketika. Naya menurunkan nampan dan menyerahkan pesanan masing-masing. "Selamat di nikmati," ujar Naya yang langsung Vala genggam tangannya. "Nay, temenin dong! Plis, ya ya ya!" bisiknya lirih namun tetap terdengar hingga telinga Nathan. "Aku bayar deh, plis! Nay ....," pintanya dengan manyun. Naya tergagap seketika, "duh, aku lagi kerja La. Ga enak sama yang lain," ucap Naya perlahan melepaskan tangannya. Mata Vala berkedip lucu, membulat memohon penuh harap di depan Naya. Naya yang gemas tak tahan, namun demi keprofesionalan ia pamit dari sana dengan cepat. Nathan terkekeh geli melihatnya, gadis di depannya ini lucu sekali. "Relax, Va." Va? Nathan memanggilnya dengan Va? Batin Vala heboh. Mereka menikmati makanannya masing-masing, sejak tadi Vala curi-curi pandang ke arah Nathan dan ketahuan. Semakin lucu saja gadis itu di matanya. Kini tinggal minuman mereka yang tersisa, Vala kenyang sekali menghabiskan martabak satu porsi. "Lo suka gue ya?" Vala langsung tersedak, ia sedang minum susunya di tanyai secara tiba-tiba. "Uhuk uhuk!" "Pelan-pelan," ucap Nathan lembut. Ia ambil tisu dan mengusap pelan sisa susu yang menempel di sudut bibir Vala. Vala mematung, ia tak bisa bergerak rasanya berat sekali. Tatapan lembut Nathan dan usapan di wajahnya begitu meruntuhkan jiwanya. Tiba-tiba terlintas ingin menikah adat apa, ia memikirkan saat sepasang pengantin yang saling menyuapi. Menggeleng kecil menyadarkan diri, Vala menjauh dan mengambil tisu dari tangan Nathan. "Ekhem, makasih Kak." Hening sejenak keduanya tengah hanyut dalam pikirannya masing-masing. Nathan meneguk jus nya hingga habis, ia angkat tangan kanannya memanggil pelayan. Naya datang kembali ke sana dan menerima uang yang Nathan bayarkan. "Kak, kok dibayarin si?" tanya Vala, ia sudah membuka casing hapenya untuk mencari sisa-sisa uang. "Why not?" Naya menatap keduanya canggung, tangan gadis itu di tarik Vala di paksa duduk. "La!" tegur Naya, ia celingukan menatap takut. "Sst, duduk diem! Nanti aku yang ngadepin bos kamu kalau dia ngamuk!" jelas Vala. Vala memandang Nathan serius, ini saatnya menanyakan sesuatu yang sudah ia pendam sejak tadi. Ia sangat penasaran dengan hal ini. "Kak Nath, aku mau tanya sesuatu, boleh?" tanya Vala, sudah ia siapkan hati dan mentalnya untuk hal ini. "Sure," sahut Nathan. "Kakak tau tentang Hilda? Atau mungkin Kak Stella?" Naya mendelik mendengar hal itu, ia melihat Vala dengan tatapan penuh protes. Tangannya mencubit kecil paha gadis itu, yang langsung Vala tepis. "Hilda?" tanya Nathan, lelaki itu tampak berpikir. "Iya Kak, Hilda Huzaifa. Atau kalau ngga Kak Stella aja deh," jelas Vala. Nathan diam sejenak sebelum menjawab, "tau, kenapa?" tanyanya. Vala menatap tajam Naya yang mencubit cubit kecil pahanya, ia geplak tangan usil itu. "Ceritain!" seru Vala bersemangat. Nathan menyandarkan punggungnya kemudian bersedekap, ia jilat bibir atasnya perlahan dan berdecak kecil. "Kenapa ga Lo cari tau sendiri," sarannya. Vala mendengus malas dengan bibir mengerucut, ia tatap Nathan penuh permusuhan. Nathan menahan diri untuk tidak tertawa, wajah itu sangat menggemaskan. "Ya ini lagi nyari tau sendiri, ga mungkin kan aku tanya ke kak Stella. Yang ada bonyok!" Nathan tertawa pelan mendengar hal itu, Naya hanya menunduk tak bersuara. "Nay, bilang Nay. Siapa tau kak Nathan bisa bantu!" ujar Vala menyentil pelan lengan Naya. Naya menggeleng cepat, gadis itu ketakutan. "Ah Naya mah!" gerutunya. Vala beralih menatap Nathan kembali dan mulai berbicara. "Kak, Hilda gila karena kak Stella. Kak Stella suka sama kak Nathan kan? Tolong dong buat kak Stella tanggung jawab, plis. Kasian Hilda, dia masih kecil. Masa depannya masih panjang!" jelasnya perlahan, mata Vala sudah berkaca-kaca. Kedua tangannya memohon di atas meja. "Dia di rumah sakit jiwa sekarang, ga mau di rehab. Ketakutan setiap saat, harusnya dia masih main, jalan-jalan, sekolah, tapi malah di kurung di ruangan gelap itu!" Luruh sudah air mata Vala, Naya mendekat mengusap pelan pipi Vala. Hatinya ikut nyeri, padahal Vala tak begitu kenal dan baru pertama kali bertemu dengan Hilda. Namun, gadis itu seolah seperti sahabat yang tak tega melihat keadaan Hilda saat ini. Nathan diam menatap sendu Vala dapat ia lihat ketulusan dari mata gadis itu. Ini mengagetkan dirinya, pertemuan yang sedikit berbeda. Nathan didepan sana, lelaki itu tampak berpikir keras. Ia tegakkan badan dan menatap Vala serius. "Gue bantu sebisanya, gue usahakan!" tegasnya. Vala langsung tersenyum, ia usap sendiri wajahnya dan menatap dua orang itu bergantian. "Janji ya?" Vala acungkan jari kelingkingnya di tengah-tengah mereka bertiga. Nathan ikut mengaitkan jari kelingkingnya, "promise!" janjinya. Vala menatap Naya memohon, Naya akhirnya ikut mengaitkan jari kelingkingnya. Mereka bertiga saling mengucapkan janji, untuk saling membantu satu sama lain. Vala tersenyum lega, Nathan pun sama. Naya harus kembali bekerja, ia pamit dari sana. "Makasih banyak Kak Nath," ungkap Vala yang mendapat anggukan dari Nathan. "Oh ya, besok kapan-kapan gantian aku yang traktir kakak ya?" jelasnya. "Pengen ketemu lagi ya?" sahut Nathan dengan nada menggoda. Vala terkesiap, bukan itu maksudnya. "Bukan ih! Kan biar imbang!" elaknya. Nathan mengangguk saja, ia tak bisa menahan senyumannya saat ini. "Ayo pulang kak," ajak Vala. "Ayo." Mereka berdua turun dari lantai atas, kembali ke bawah dan menyebrang jalan. Nathan gandeng lagi tangan Vala, Vala tak bisa menahan senyumannya, gadis itu cengengesan sejak tadi. Gavi yang melihat dua orang itu dari kejauhan pun mengabadikan momen mereka, ia rekam dua orang itu tak lupa mengeditnya agar tampak lebih romantis. "Pasti gempar si ini! Hahha!" Gavi memandangi hasil videonya dengan bangga, seperti editor profesional saja rasanya, padahal hanya ia beri emot love dan lagu viral romantis. "Gila, beneran booming!" Mata Gavi melotot melihat video itu tersebar dengan cepat, padahal ia hanya mengunggahnya di story i***a. Oh atau mungkin dia lupa pengikutnya bejibun dari berbagai pihak. "Mati gue!" panik Gavi saat melihat Nathan menatap dirinya tajam dengan ponsel di tangannya dari kejauhan.Jeritan menggema di seluruh sudut ruangan, bagai orang gila Stella meraung-raung di dalam kamarnya. Ia tinju berkali-kali bantal guling nya, rambutnya sudah seperti singa, acak-acakan. "Argh! Bangsat! Cewe cupu sialan! Masih anak baru udah belagu!" Ia keluarkan semua umpatannya, tak cukup sampai situ Stella lempar boneka-bonekanya ke sembarang arah. Kamarnya sudah seperti kapal pecah, berhamburan isinya. Tidak, ia tidak menangis. Stella marah, kesal, cemburu, dan sedih bercampur menjadi satu. Rekaman yang Gio upload sudah ia lihat karena dirinya mengikuti akun bocah itu. "Awas Lo, cupu! Liat aja besok di sekolah!" geramnya melototi wajah bahagia di ponsel itu. Stella bangun dan pergi ke kamar mandi, kamar mandinya yang di dominasi warna merah dengan aroma mawar itu menjadi tempatnya bersemedi. Duduk di bathub menghangatkan badan dari berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. "Vala ..., ck. Awas Lo!" lirihnya gusar. Pikirannya melayang tertuju gadis bernama Vala itu, penam
Vala mengganti seragamnya dengan kaos putih kebesaran bergambar kuda poni besar di depannya, gadis itu berencana ke kafe tempat Naya bekerja untuk bertanya. Pasalnya ia belum tahu dimana rumah Naya, niatnya untuk menjenguk temannya itu.Dengan simpel Vala berpakaian, kaos di padukan dengan celana selutut coklat. Ditambah topi hitam di kepalanya, rambutnya ia kepang satu belakang. Vala turun ke bawah menuju dapur, mengambil sekantung jajanan yang ia simpan dan beberapa buah. Ia masukkan juga minuman susu kaleng dan obat demam."Let's go!" Vala keluarkan ponselnya dari tas samping kecil, jarinya mencari kontak Naya. Vala kesal karena masih centang satu, nomor Naya terakhir dilihat pagi tadi."Masih tidur kali ya?" gumamnya.Vala pun beranjak ke garasi mengambil skuternya, ia jalankan menuju kafe kemarin. "Hm panas, untung pake topi," ungkapnya saat berjalan keluar.Cerah berawan di siang ini, Vala kenakan kacamata hitam sembari menjalankan skuter. Kafe berada di seberang jalan, Vala
Di sebuah ruangan luas nan gelap karena didominasi warna hitam, seorang pria tengah duduk di kursi kebesarannya. Ia teguk wine nya dengan pelan sembari menatap tajam pada layar gambar yang menampilkan seorang remaja.Pyar!Pria itu melempar gelas kacanya ke lantai, pandangan menghunus tajam ke depan. Ia amati dengan seksama, tangannya mengepal kuat."Little devil," gumam si pria lirih."Kenapa harus terjatuh juga, saya membuatnya khusus untukmu!" geramnya.Ia pantau dua titik yang berkedip dalam jarak sangat dekat, dan itu berada di areanya."Panggil Adhisti kemari!" titah Arsa melalui penghubung suara.Ya, pria itu adalah Arsa. Ayah dari gadis bernama Stella si tantrum. Arsa sudah memantau Wildan sejak pertama kali duda itu bekerja dengan Dirga, dan perihal gelang yang ia berikan kepada Vala tentu sudah ia rencanakan.Gelang itu bukan gelang biasa, di sana terpasang GPS yang tidak akan habis daya nya karena ene
Naya menatap lesu ponselnya, saat ini dirinya sedang di luar kota untuk interview kerja. Tentu ditolak karena Naya memalsukan data diri, usianya di bawah umur untuk dipekerjakan. Naya menangis seorang diri di halte, ia akan pulang hari ini. Dirinya begitu lelah sekali, apalagi pesan dari seseorang membuat dirinya semakin takut saja. ------ ( Stella ) @stella.cantik : inget! gue ga bakal diem aja, dimana pun lo saat ini gue pastiin setelah ini hidup lo ga aman lagi! diem ya cantik, lo diem lo aman!! @reyy.nayy : iya kak @stella.cantik : gue pantau lo! ------ Bus sudah datang, Naya bergegas naik ke dalam dan mencari bangku dekat jendela yang kosong. Dapat, Naya duduk di bangku nomor 3 ia pegang erat tas nya dan menyenderkan punggungnya kemudian berusaha untuk tidur. Guncangan yang kuat membuat Naya terbangun, gadis itu sedikit pusing karena posisi tidurnya yang tak nyaman. Ia perhatikan sekitarnya yang sepi, sepertinya sudah pada turun. Melongok ke jendela ternyata bu
Di sebuah ruangan luas berisi berbagai box besar barang yang sudah siap untuk dikirimkan. Seorang pria sedang mengecek satu-persatu laporan dari bawahannya. "Tuan, malam ini pengiriman barang ke Somalia, ada 10 kontainer yang akan di kirimkan." Arsa mengangguk sekali sebagai respon. Pria itu beranjak mendekati salah satu kontainer yang masih terbuka. "Bagus, bagaimana dengan badak itu?" tanya Arsa tanpa memperhatikan bawahannya. "Kurang satu ekor lagi tuan," sahut pria itu. "Lebih cepat lebih baik, lanjutkan tugasmu!" "Baik Tuan, Saya permisi." Arsa mengangguk membiarkan Oscar pergi. Arsa berjalan pelan ke luar, orang-orang sibuk bekerja ia hanya memperhatikan mereka dan meminum anggurnya dengan tenang. Setelah itu Arsa kembali ke dalam dan mengambil kunci mobilnya, sebelum pergi ia sudah mengirimkan pesan ke Oscar untuk mengurus sisanya. Mobil mahal itu melaju membelah hutan di siang yang sunyi, hari tampak mendung dengan sinar matahari yang tertutup awan. Hingga sampai
Hari ini adalah hari ke tiga Vala bersekolah di tempat baru, ia pindah karena pekerjaan sang Ayah yang mengharuskan mereka pindah kota. Terkadang Vala sedih ketika mengingat rumah lamanya."Yah, kapan kita ke makam ibu?" tanya Vala saat sarapan.Wildan, pria itu tersenyum dan mengusap lembut kepala Vala. "Gimana kalau setiap tanggal 17?" tawar Wildan yang mendapat anggukan antusias dari Vala."Iya Yah, siap!" Vala selalu berangkat sendirian, ayahnya ke kantor lebih awal karena pekerjaannya sebagai sekretaris. Semalam sang ayah bercerita tentang pemuda putra atasannya yang memukau. Hanya mendengar cerita saja Vala sudah terkagum sendiri."Hah, katanya masih sekolah ya. Pinter banget si!" gumamnya kagum mengingat cerita sang ayah tentang pemuda itu."Harus rajin belajar biar jadi bos!" teguh Vala dalam hati.Jarak ke sekolah tak terlalu jauh, Vala naik angkutan umum ke sana. Setibanya di sekolah Vala terpaku pada mobil hitam mengkilat di depan gerbang. Seorang lelaki keluar dari sana d
Vala menahan diri untuk tidak menangis saat ini, ia cengkram kuat rok sekolahnya dengan menggigit bibir. Matanya sudah berkaca-kaca sejak memperhatikan gadis berambut hitam duduk di depan sana, tatapannya kosong seolah tak memiliki cahaya kehidupan.Naya bercerita singkat mengenai gadis itu, ia adalah teman sebangkunya sebelum Vala datang. Baru sekitar 4 bulan bersekolah, gadis lugu itu dinyatakan gila dan harus di rawat di sini. "Mereka jahat banget, Nay. Kita ga bisa diem aja. Bakal ada korban selanjutnya kalau dibiarkan!" Naya yang duduk di seberang Vala hanya diam menanggapi, gadis itu menunduk tanpa kata. Helaan napas berhembus kecil, ia usap pelan sisa-sisa tangisnya."Ga bisa, kita ga punya apa-apa. Mereka orang berada, Va." Vala berkedip kecil, keduanya diam dengan pikirannya masing-masing. "Nay, kamu bilang Hilda di bully kan?" tanya Vala yang mendapat anggukan dari Naya."Sebenarnya tadi aku ketemu mereka, dan di mataku mereka biasa aja."Naya langsung menengok ke arah V
Begitu sunyi dan sepi suasana di rumah besar nan mewah itu, tiap-tiap langkah kaki pun terdengar menggema hingga ke sudut ruangan sangking sepinya. Tap, tap, tap. Derap langkah kaki terdengar dari atas, seorang lelaki turun dengan kaos basket beserta bola di tangan kirinya. Nathan, lelaki itu tampak sejuk di pandang, indah perangainya dan juga nyaman kala berada didekatnya.Ponsel Nathan berdering, ia hentikan langkah nya di tengah tangga. Sebelum memutuskan untuk mengangkat teleponnya, ia pastikan nama itu. Gavi, teman kelasnya menelpon."Ya? Gimana bre?" tanya Nathan mengawali pembicaraan."Buku catatan gue, Lo yang bawa kan?" tanya remaja di seberang sana."Hah? Catatan yang mana?""Catatan bahasa inggris," ucap Gavi membuat Nathan bingung."Ga inget, ntar Gue cari deh. Mau berangkat nih," sahut Nathan."Ya elah, cari dulu sekalian bawain!" "Ck, iya-iya!" Telepon di matikan sepihak oleh Gavi, Nathan dengan malas kembali ke atas, ke kamarnya. Sampai di kamar pemuda itu ia letakka
Di sebuah ruangan luas berisi berbagai box besar barang yang sudah siap untuk dikirimkan. Seorang pria sedang mengecek satu-persatu laporan dari bawahannya. "Tuan, malam ini pengiriman barang ke Somalia, ada 10 kontainer yang akan di kirimkan." Arsa mengangguk sekali sebagai respon. Pria itu beranjak mendekati salah satu kontainer yang masih terbuka. "Bagus, bagaimana dengan badak itu?" tanya Arsa tanpa memperhatikan bawahannya. "Kurang satu ekor lagi tuan," sahut pria itu. "Lebih cepat lebih baik, lanjutkan tugasmu!" "Baik Tuan, Saya permisi." Arsa mengangguk membiarkan Oscar pergi. Arsa berjalan pelan ke luar, orang-orang sibuk bekerja ia hanya memperhatikan mereka dan meminum anggurnya dengan tenang. Setelah itu Arsa kembali ke dalam dan mengambil kunci mobilnya, sebelum pergi ia sudah mengirimkan pesan ke Oscar untuk mengurus sisanya. Mobil mahal itu melaju membelah hutan di siang yang sunyi, hari tampak mendung dengan sinar matahari yang tertutup awan. Hingga sampai
Naya menatap lesu ponselnya, saat ini dirinya sedang di luar kota untuk interview kerja. Tentu ditolak karena Naya memalsukan data diri, usianya di bawah umur untuk dipekerjakan. Naya menangis seorang diri di halte, ia akan pulang hari ini. Dirinya begitu lelah sekali, apalagi pesan dari seseorang membuat dirinya semakin takut saja. ------ ( Stella ) @stella.cantik : inget! gue ga bakal diem aja, dimana pun lo saat ini gue pastiin setelah ini hidup lo ga aman lagi! diem ya cantik, lo diem lo aman!! @reyy.nayy : iya kak @stella.cantik : gue pantau lo! ------ Bus sudah datang, Naya bergegas naik ke dalam dan mencari bangku dekat jendela yang kosong. Dapat, Naya duduk di bangku nomor 3 ia pegang erat tas nya dan menyenderkan punggungnya kemudian berusaha untuk tidur. Guncangan yang kuat membuat Naya terbangun, gadis itu sedikit pusing karena posisi tidurnya yang tak nyaman. Ia perhatikan sekitarnya yang sepi, sepertinya sudah pada turun. Melongok ke jendela ternyata bu
Di sebuah ruangan luas nan gelap karena didominasi warna hitam, seorang pria tengah duduk di kursi kebesarannya. Ia teguk wine nya dengan pelan sembari menatap tajam pada layar gambar yang menampilkan seorang remaja.Pyar!Pria itu melempar gelas kacanya ke lantai, pandangan menghunus tajam ke depan. Ia amati dengan seksama, tangannya mengepal kuat."Little devil," gumam si pria lirih."Kenapa harus terjatuh juga, saya membuatnya khusus untukmu!" geramnya.Ia pantau dua titik yang berkedip dalam jarak sangat dekat, dan itu berada di areanya."Panggil Adhisti kemari!" titah Arsa melalui penghubung suara.Ya, pria itu adalah Arsa. Ayah dari gadis bernama Stella si tantrum. Arsa sudah memantau Wildan sejak pertama kali duda itu bekerja dengan Dirga, dan perihal gelang yang ia berikan kepada Vala tentu sudah ia rencanakan.Gelang itu bukan gelang biasa, di sana terpasang GPS yang tidak akan habis daya nya karena ene
Vala mengganti seragamnya dengan kaos putih kebesaran bergambar kuda poni besar di depannya, gadis itu berencana ke kafe tempat Naya bekerja untuk bertanya. Pasalnya ia belum tahu dimana rumah Naya, niatnya untuk menjenguk temannya itu.Dengan simpel Vala berpakaian, kaos di padukan dengan celana selutut coklat. Ditambah topi hitam di kepalanya, rambutnya ia kepang satu belakang. Vala turun ke bawah menuju dapur, mengambil sekantung jajanan yang ia simpan dan beberapa buah. Ia masukkan juga minuman susu kaleng dan obat demam."Let's go!" Vala keluarkan ponselnya dari tas samping kecil, jarinya mencari kontak Naya. Vala kesal karena masih centang satu, nomor Naya terakhir dilihat pagi tadi."Masih tidur kali ya?" gumamnya.Vala pun beranjak ke garasi mengambil skuternya, ia jalankan menuju kafe kemarin. "Hm panas, untung pake topi," ungkapnya saat berjalan keluar.Cerah berawan di siang ini, Vala kenakan kacamata hitam sembari menjalankan skuter. Kafe berada di seberang jalan, Vala
Jeritan menggema di seluruh sudut ruangan, bagai orang gila Stella meraung-raung di dalam kamarnya. Ia tinju berkali-kali bantal guling nya, rambutnya sudah seperti singa, acak-acakan. "Argh! Bangsat! Cewe cupu sialan! Masih anak baru udah belagu!" Ia keluarkan semua umpatannya, tak cukup sampai situ Stella lempar boneka-bonekanya ke sembarang arah. Kamarnya sudah seperti kapal pecah, berhamburan isinya. Tidak, ia tidak menangis. Stella marah, kesal, cemburu, dan sedih bercampur menjadi satu. Rekaman yang Gio upload sudah ia lihat karena dirinya mengikuti akun bocah itu. "Awas Lo, cupu! Liat aja besok di sekolah!" geramnya melototi wajah bahagia di ponsel itu. Stella bangun dan pergi ke kamar mandi, kamar mandinya yang di dominasi warna merah dengan aroma mawar itu menjadi tempatnya bersemedi. Duduk di bathub menghangatkan badan dari berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. "Vala ..., ck. Awas Lo!" lirihnya gusar. Pikirannya melayang tertuju gadis bernama Vala itu, penam
Untuk mengenali lingkungan barunya, Vala memutuskan jalan-jalan ke sekitar. Mumpung tanggal merah juga, namun sang ayah tetap bekerja jadi Vala pergi sendiri. Vala lajukan skuternya pelan di jalan trotoar, ia perhatikan lagi maps di ponselnya yang mengarahkan jalan ke taman. Banyak juga orang-orang yang berjalan, berlari, bersepeda di sekitarnya. Mereka menikmati waktunya masing-masing. Vala mulai memasuki area taman, ia jalankan kembali skuternya hingga sampai ke kursi taman yang kosong. Ia duduk di sana tak lupa mengambil gambar dan menguploadnya di sosial media. Beberapa DM masuk namun Vala abaikan, kebanyakan menanyakan apakah beneran Vala atau bukan. Pasalnya gadis itu menguncir satu rambutnya, tidak di kepang seperti biasanya. Lebih dewasa dan cantik alami."Kak Nathan di taman juga?" tanyanya ke diri sendiri saat melihat postingan story lelaki itu yang menandai lokasi taman yang sama.Di sana video singkat Nathan tengah bermain dengan skateboard nya, banyak juga anak-anak la
Suasana kelas 10 MIPA 2 yang berisik, teman-teman Vala sibuk menyalin jawaban karena ada PR kimia di jam pertama. Ada yang tengah bersandar sembari menunggu dituliskan, ada yang rebahan, ada pula yang sedang make-up an, dipojok sana kumpulan lelaki tengah bermain game viral. Vala yang baru 5 hari sekolah tak tahu bila ada pr, karena itu di tugaskan Minggu lalu. Ia mendapat contekan dari Huza, sang ketua kelas yang baik dan manis. "Nih, salin aja." "Wih, thanks kalau gitu!" Dengan semangat 45 Vala menyalin jawabannya, ia tak tahu bila Huza yang duduk di bangku depan memperhatikan dirinya sejak tadi. Naya yang menyadari hal itu pun berdehem kecil. "Ekhem, uhuk-uhuk!" "Kamu kenapa, Nay?" tanya Vala masih tetap melakukan tugasnya, ia hanya sekedar melirik Naya yang tampak ingin berbicara sesuatu. "Ekhem, ga papa kok." Naya melirik lirik kecil ke Huza dan Vala, tak sadarkah gadis itu bila ia sangat lucu dengan rambut kepang duanya. Naya tersenyum senang, ia sangat ber
Begitu sunyi dan sepi suasana di rumah besar nan mewah itu, tiap-tiap langkah kaki pun terdengar menggema hingga ke sudut ruangan sangking sepinya. Tap, tap, tap. Derap langkah kaki terdengar dari atas, seorang lelaki turun dengan kaos basket beserta bola di tangan kirinya. Nathan, lelaki itu tampak sejuk di pandang, indah perangainya dan juga nyaman kala berada didekatnya.Ponsel Nathan berdering, ia hentikan langkah nya di tengah tangga. Sebelum memutuskan untuk mengangkat teleponnya, ia pastikan nama itu. Gavi, teman kelasnya menelpon."Ya? Gimana bre?" tanya Nathan mengawali pembicaraan."Buku catatan gue, Lo yang bawa kan?" tanya remaja di seberang sana."Hah? Catatan yang mana?""Catatan bahasa inggris," ucap Gavi membuat Nathan bingung."Ga inget, ntar Gue cari deh. Mau berangkat nih," sahut Nathan."Ya elah, cari dulu sekalian bawain!" "Ck, iya-iya!" Telepon di matikan sepihak oleh Gavi, Nathan dengan malas kembali ke atas, ke kamarnya. Sampai di kamar pemuda itu ia letakka
Vala menahan diri untuk tidak menangis saat ini, ia cengkram kuat rok sekolahnya dengan menggigit bibir. Matanya sudah berkaca-kaca sejak memperhatikan gadis berambut hitam duduk di depan sana, tatapannya kosong seolah tak memiliki cahaya kehidupan.Naya bercerita singkat mengenai gadis itu, ia adalah teman sebangkunya sebelum Vala datang. Baru sekitar 4 bulan bersekolah, gadis lugu itu dinyatakan gila dan harus di rawat di sini. "Mereka jahat banget, Nay. Kita ga bisa diem aja. Bakal ada korban selanjutnya kalau dibiarkan!" Naya yang duduk di seberang Vala hanya diam menanggapi, gadis itu menunduk tanpa kata. Helaan napas berhembus kecil, ia usap pelan sisa-sisa tangisnya."Ga bisa, kita ga punya apa-apa. Mereka orang berada, Va." Vala berkedip kecil, keduanya diam dengan pikirannya masing-masing. "Nay, kamu bilang Hilda di bully kan?" tanya Vala yang mendapat anggukan dari Naya."Sebenarnya tadi aku ketemu mereka, dan di mataku mereka biasa aja."Naya langsung menengok ke arah V