"Kamu serius masih virgin? Jadi malam pertama kalian ngapain aja?" Nadin membombardir Kayla dengan pertanyaan demi pertanyaan saat mereka janjian bertemu sore itu. Layaknya seorang presenter infotainment yang handal, Nadin menginvestigasi Kayla.
"Sudah dua minggu lho, Kay!" Nadin mengingatkan. Memang sudah dua minggu berlalu sejak pernikahan mereka. Tapi Nabil belum pernah melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami. "Emangnya Kamu nggak curiga?" Dahi Kayla berkerut. "Curiga apa?" "Jangan-jangan ..." Nadin tidak melanjutkan kalimatnya. "Apa sih, Nad?" Kayla mulai kesal. "Jangan-jangan dia gay." Nadin mengecilkan suaranya seraya menoleh ke kanan dan ke kiri, takut ada yang mendengar omongan mereka. “Jangan ngawur!" Kali ini Kayla benar-benar kesal. "Bisa saja kan?" Nadin bertahan dengan pendapatnya. "Nggak mungkin! Nabil itu laki-laki yang normal, soleh, cerdas, pintar masak, rajin mengaji, manly, banyaklah pokoknya." Kayla membela Nabil. Bagaimanapun Nabil adalah suaminya. Dia harus menjaga kehormatan dan harga diri Nabil. "Ya sudah, mungkin aku salah," Nadin akhirnya mengalah. Selama beberapa menit mereka saling diam. Kayla menyeruput cappuccino panas yang dia pesan, sementara Nadin sibuk dengan handphonenya. "Tahu nggak, Nad, sebenarnya aku bersyukur Nabil nggak menyentuhku. Mungkin ini pertanda dari Tuhan kalau suatu saat nanti aku akan bersama Radit." Nadin mendongak. Kaget mendengar Kayla bisa berkata seperti itu. "Jangan macam-macam, Kay! Kamu perempuan bersuami. Nggak adil buat Nabil jika kamu masih saja mikirin dan mengharapkan laki-laki lain." Suara Nadin terdengar sangat ketus. Kali ini dia yang kesal. Kayla benar-benar kelewatan. "Aku cuma berandai-andai," ujar Kayla lirih dengan pandangan kosong. Nadin menggeleng-gelengkan kepalanya. Begitu besarkah cinta Kayla pada Radit? Hingga ikatan penikahan pun tidak sanggup memutuskan rantai cintanya dengan Radit. "Aku nggak bahagia, Nad. Kamu tahu itu kan?" "Baru dua minggu, Kay. Lambat laun kamu pasti bisa mencintai Nabil." Kayla menggigit bibir. Dia teramat tidak yakin akan bisa melakukannya. "Semoga," desisnya pelan. Nadin melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sudah sore, aku pulang dulu, ya, tadi aku janji sama Gizka, nggak akan pulang malam." Gizka adalah anak perempuan Nadin yang berusia tiga tahun. "Oke, salam sama si kecil ya." "Jangan sakiti Nabil, dia laki-laki yang baik." Pesan Nadin sebelum pergi. Kayla tersenyum kecut. *** Nabil memandang layar laptopnya dengan tatapan kosong. Deretan angka-angka disana membuat kepalanya yang pusing semakin sakit. Pekerjaan yang mampu dia selesaikan tepat waktu, kali ini tak mampu dia kerjakan. Bayangan Kayla, istrinya yang pendiam dan menyimpan misteri menari-nari di depan matanya. Mendekati satu bulan pernikahannya, dia belum mampu menundukkan hati perempuan itu. Nabil merasa ada jarak yang sangat lebar diantara mereka. Kayla masih terlihat canggung, padahal mereka adalah pasangan suami istri yang sah menurut agama dan negara. Bahkan Nabil mulai ragu apakah Kayla mencintainya. "Nggak pulang, Bro?" Ari, rekan satu kantor, menepuk pundak Nabil. "Tanggung, dikit lagi," Nabil menunjuk ke layar laptop dengan mulutnya. "Alaaa... kayak nggak bisa besok aja, ayolah, nanti keburu maghrib. Atau jangan-jangan lagi kejar setoran nih?" goda Ari sembari mengangkat alis. Nabil tertawa kecil. "Ya udah deh." Nabil mematikan laptop dan mengemasi barang-barangnya. Dua lelaki itu berjalan bersisian menuju tempat parkir. "Ngomong-ngomong, gimana istri, sudah ada tanda-tanda belum?" tanya Ari pada Nabil yang lebih banyak diam. "Tanda-tanda?" Ari mencibir. "Nggak usah pura-pura bego!" "Maksudnya tanda-tanda apa?" Nabil masih belum paham. "Nabil junior." "Ooo ..." Cuma itu yang bisa diucapkan Nabil. Gimana bisa ada Nabil junior, sedangkan Kayla tak pernah disentuhnya. Hujan yang mendadak turun ditambah lampu lalu lintas yang enggan menyala menciptakan macet seketika. Para pemakai jalan bergegas memacu kendaraannya masing-masing. Suara klakson motor bersahut-sahutan tatkala ada mobil yang melaju lamban. Tak heran, mereka ingin menyelamatkan diri dari serangan hujan. Di perempatan jalan, Nabil menepikan mobilnya. Sebuah warung kecil yang menjual sate padang menggodanya untuk turun. Dia ingat Kayla yang sangat suka masakan padang. Mungkin istrinya itu akan senang jika dia membawakan kesukaannya. Warung sate padang yang satu itu sudah jadi langganan Nabil. Meski berukuran kecil, namun tak pernah sepi pembeli. Cukup lama Nabil antri. Dari sudut matanya Nabil melihat ada yang sedang memperhatikannya. Seorang anak perempuan di gendongan ibunya. Matanya bulat dengan bulu mata yang lentik tampak sangat menarik. Alangkah bahagianya jika memiliki seorang anak, Nabil membatin. Apalagi anak itu dari Kayla, perempuan kesayangannya. Sampai di rumah, Kayla telah menyambutnya dengan segelas teh hangat dan sepiring kecil pisang goreng. "Ini kamu yang bikin?" Nabil mencomot sepotong pisang goreng yang terlihat menggiurkan. "Bukan, tadi aku beli di gang depan," jawab Kayla. "Aku juga bawa ini," Nabil menyodorkan dua bungkus sate yang dibelinya. "Makasih ya, Bil." Ah, Kayla selalu bilang terima kasih atas pemberiannya. Bukannya biasa saja seorang istri menerima pemberian dari suami. Nabil merasa Kayla masih menganggapnya sebagai orang lain. Entah kapan jurang pemisah itu akan hilang. Udara dingin membuat kantuk menyerang lebih awal. Kayla menguap berkali-kali. Sementara Nabil masih berkutat di depan laptopnya. Pekerjaan kantor yang belum sempat dia kerjakan harus segera diselesaikannya. Dia paling tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Hatinya tidak akan bisa tenang sebelum semua beres. "Bil, boleh aku ngomong sesuatu?" Kayla datang mendekat dan duduk disamping Nabil. Nabil mengalihkan pandangan ke arah Kayla. Tak biasanya Kayla seserius itu. "Ada apa, Sayang?" tanyanya lembut. "Aku ingin kerja lagi, Bil," ucap Kayla to the point. "Kamu yakin?" Nabil menatap Kayla lekat-lekat. Kayla mengangguk. Rona wajahnya tak berubah. Serius dan bersungguh-sungguh. "Aku bosan di rumah terus." "Memangnya kamu mau kerja di mana?" "Nadin bilang, di kantor teman suaminya lagi butuh karyawan untuk posisi accounting. Kayaknya cocok sama aku." Kayla menjelaskan panjang lebar. Dalam hati dia berharap agar Nabil memberikannya izin. Nabil tercenung untuk beberapa saat. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Seperti sebuah dorongan untuk melarang Kayla. "Boleh kan, Bil?" Kayla menunggu jawaban. "Boleh," putus Nabil akhirnya. "Lakukan apa yang membuat kamu senang." Kayla tersenyum senang. Nabil benar-benar pengertian. Syukurlah laki-laki itu bukan tipe suami yang mengharuskan istri untuk tetap tinggal di rumah. "Ya udah, aku tidur duluan ya," ujar Kayla sebelum beranjak menuju kamar. "Iya, aku mau lanjutin ini sedikit lagi." Nabil kembali beralih ke laptopnya. Lebih dari satu jam Kayla menunggu Nabil masuk ke kamar. Begitu Nabil datang, Kayla buru-buru memejamkan matanya. Dia ingin melihat reaksi Nabil begitu dia tertidur. Semua jauh dari yang dibayangkannya. Begitu melihat Kayla yang tertidur lelap, Nabil langsung menarik selimut dan sama sekali tidak menyentuhnya. Perlahan Kayla membuka mata saat dia yakin Nabil sudah benar-benar terlelap. Suaminya itu tidur miring menghadapnya. Kayla memandangi wajah Nabil jengkal demi jengkal. Wajah teduh itu begitu menenangkan. Nabil, laki-laki baik yang punya banyak kelebihan. Mungkin bagi sebagian perempuan Nabil adalah tipe suami idaman. Nabil bisa membuat nyaman siapa saja di dekatnya. Tapi entah kenapa benih-benih cinta itu susah sekali untuk tumbuh. Getaran handphone di atas meja mengalihkan perhatian Kayla. Dia bangkit dan meraih benda itu. Di layar tampak notifikasi pesan dari Nadin. "Sudah tidur belum, Kay?" "Belum." "Nabil?" "Sudah dari tadi." "Kalian nggak ngapa-ngapain?" "Apaan sih!" "Hehe." "Tapi aku mulai curiga, jangan-jangan kamu benar." Tidak ada balasan lagi dari Nadin. Kayla kembali mengamati wajah Nabil, kali ini lebih dekat. Rasanya tidak mungkin seorang Nabil berkepribadian menyimpang. Tapi apa alasan Nabil membiarkan istrinya hingga saat ini masih suci? Kayla berusaha memecahkan teka-teki itu, sampai kantuk menyerangnya bertubi-tubi dan dia tak sanggup lagi bertahan. Dia pun berlayar di samudera mimpi. ***"Kamu yakin mau pergi sendiri?" tanya Nabil saat sarapan pagi. Seandainya pekerjaannya tidak terlalu banyak, Nabil akan menyempatkan menemani Kayla mengantar lamaran kerja."Iya Bil, aku bisa sendiri, kok," sahut Kayla sambil meletakkan segelas susu panas di hadapan Nabil."Baiklah, tapi kamu hati-hati ya, bawa motor jangan terlalu kencang," pesan Nabil setelah menyesap habis susunya."Iya, Bil," jawab Kayla lagi."Tapi, apa nggak sebaiknya naik taksi aja?""Nggak usah, biar aku pakai motor aja, kamu nggak usah cemas, aku pelan-pelan kok," Kayla meyakinkan."Oke, Sayang, aku berangkat ya," pamit Nabil. Tak lupa dia mengecup kening Kayla. Ritual setiap pagi yang tidak pernah terlewat.Kayla menghadiahi sebuah senyuman manis, membuat semangat Nabil terpompa puluhan kali lipat.Setelah Nabil pergi, Kayla bersiap-siap. Mandi lalu berdandan senatural mungkin. Dia tidak suka riasan yang terlalu berlebihan. Dilihatnya bedak yang tinggal sedikit. Dengan sisa-sisa bedak yang menempel di spong
Pukul lima sore. Kayla hilir mudik di teras rumah. Hari ini Nabil pulang dari Jakarta. Seharusnya Nabil sudah sampai sejak satu jam yang lalu. Tapi sampai sekarang Tidak ada kabar dari Nabil. Handphonenya tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak bilang kalau pesawat akan delay.Kayla mendadak resah. Tidak biasanya ia seperti ini. Dia mulai memikirkan dan mengkhawatirkan Nabil.Di meja makan sudah terhidang masakan kesukaan Nabil. Sup daging. Kayla sengaja menyiapkan semuanya. Kemarin di telepon Nabil bilang kangen masakannya."Assalamualaikum ..."Sayup-sayup terdengar suara yang sangat dirindukan Kayla.Kayla bergegas keluar. Spontan dia menghambur ke pelukan Nabil yang melihatnya dengan tatapan rindu."Apa kabar, Sayang?" tanya Nabil setelah melepaskan pelukannya."Aku sepi tanpamu," ucap Kayla jujur dari lubuk hati."Benarkah?" Mata Nabil berbinar-binar.Kayla mengangguk malu. Malu pada Nabil dan perasaannya sendiri."Kamu pasti lapar, aku sudah siapkan makanan kesukaan kamu, kita ma
Kayla memandang jam dinding dengan perasaan gundah. Sudah hampir tengah malam, tetapi Nabil belum juga pulang. Dia sudah mencoba menelepon berkali-kali, tapi Nabil tak mengangkat teleponnya. Terakhir, waktu Kayla menghubunginya lagi, handphone Nabil sudah tidak aktif.Kayla mencoba tidur. Dia mencoba meyakinkan diri, kalau Nabil akan baik-baik saja, toh mereka sudah dewasa. Namun, dia hanya bisa membolak-balikkan badannya di tempat tidur tanpa mampu memejamkan mata sama sekali. Padahal besok dia harus bangun pagi-pagi sekali melebihi biasanya, karena besok hari pertamanya bekerja. Dia tidak ingin datang terlambat dan memberi kesan buruk.Kayla bangkit dari tempat tidur. Mengutak-atik handphone lalu membuka media sosial miliknya. Kabar tentang hiruk pikuk dunia politik pasca pemilu yang mampir di berandanya membuat Kayla bertambah pusing. Dia segera log out. Lalu seperti biasa membuka aplikasi perpesanan instan dan chatting dengan Nadin. Dia meliat Nadin sedang online."Hai Nad, tumb
"Selamat pagi, Mikayla, selamat datang di Indoraya." Ryo menyambut kedatangan Kayla dengan senyum terukir di bibir."Pagi juga, Pak Ryo," balas Kayla terdengar sedikit kaku. Sebutan Bapak ia kira tidak cocok ditujukan untuk Ryo. Laki-laki itu terlalu muda untuk dipanggil dengan sebutan Bapak."Bisa panggil Ryo saja? Tanpa kata Bapak? Sepertinya kita hampir seumuran," pinta Ryo serius. Seperti punya indra ke enam, dia bisa membaca pikiran Kayla."Baiklah, Ryo." Kayla terlihat kikuk.Ryo melempar senyum. "Kamu sudah tahu ruang kerja kamu yang mana?" tanyanya kemudian.Kayla menggeleng. Semua masih sangat asing baginya."Ayo ikut saya!"Kayla membuntuti Ryo yang berjalan duluan. Menyusuri gedung kantor yang belum terlalu ramai. Sampai di ruangan paling ujung, Ryo membuka pintu. Sebuah ruangan bercat putih yang tidak begitu besar, dipisahkan oleh beberapa partisi sebagai sekat. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja bundar yang mungkin berfungsi untuk meeting internal divisi."Ini ruangan k
Gagal lagi! Nabil tidak mengerti apa yang salah pada dirinya. Lebih satu tahun pernikahannya namun istrinya masih suci bak melati. Alangkah lemah dirinya sebagai laki-laki. Nabil mengutuk dirinya berkali-kali.Suara klakson yang bersahut-sahutan membuat Nabil terkesiap. Lampu lalu lintas yang tadi merah sudah berganti warna hijau. Diliriknya kaca spion, puluhan mobil dan motor tengah antri di belakangnya.Shit! Bisa-bisanya dia melamun di tengah kemacetan. Nabil mengoper gigi dan langsung tancap gas. Dia harus sampai sebelum apel pagi dimulai. Namun sepertinya kali ini dia harus mengalah pada keadaan. Di pertigaan depan, kemacetan panjang menunggunya.Nabil mengambil handphonenya, dia bermaksud menghubungi Ari, mengabari kalau dia akan datang terlambat."Bro, kayaknya aku bakalan telat, macet panjang di sudirman.""Tumben, Bro, jangan-jangan karena telat bangun, berapa ronde semalam?""Rese!""Hahaha."Baru saja Nabil akan menyimpan handphone, sebuah notifikasi pesan singkat dari Kayl
Pagi ini Nabil telat lagi. Mata dan tubuhnya yang berat membuatnya tidak kuat membuka mata. Kalau tidak dipaksa Kayla untuk bangkit, mungkin dia akan melewatkan waktu seharian di tempat tidur.Kemacetan menjadi sahabatnya pagi ini. Nabil hampir frustasi melihat aneka rupa kendaraan di depannya yang jalan di tempat.Perut yang kosong menambah ruwet pikirannya. Sejak menjadi wanita karir, Kayla hampir tidak sempat memasak dan menyiapkan makanan untuknya. Bahkan pagi ini, dia hanya menyesap segelas air putih, tanpa makanan pendamping apa pun. Dia memahami kesibukan istrinya dan tidak ingin terlalu banyak menuntut.Mungkin itu kelemahan Kayla yang kurang pandai dalam manajemen waktu. Tapi kelemahannya sendiri lebih fatal dan sangat berdampak pada kehidupan rumah tangganya.Nabil mengembuskan napas berat.Sekilas diliriknya spion. Dia melihat pantulan wajahnya disana. Hidungnya menjulang tinggi dengan bibir yang terpahat sempurna. Tentang matanya jangan ditanya lagi, disanalah pesonanya b
Beberapa hari belakangan Nabil terlihat tidak seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan menghindari Kayla.Kayla bertanya-tanya dalam hati apa gerangan kesalahan yang telah dilakukannya. Tapi sampai buntu pikirannya, ia tetap tidak menemukan jawaban."Bil, boleh aku tanya sesuatu?" Kayla mendekati Nabil yang sedang duduk di sofa ruang tengah lalu duduk di sampingnya."Ada apa, Kay?" Suara Nabil terdengar sangat lirih.Kayla memandang suaminya lekat-lekat. Wajah tampan itu terlihat sedikit pucat."Bil, kamu sakit?" Kayla menyentuh pipi Nabil.Nabil menggeleng pelan. Kepalanya agak berdenyut tapi dia tidak ingin membuat istrinya khawatir."Bil, kenapa sih akhir-akhir ini kamu menghindariku?" "Itu cuma perasaanmu, Kay. Aku tidak menghindari siapa pun," jawab Nabil berkelit."Tapi kamu nggak seperti biasanya," protes Kayla. Entah mengapa dia merindukan Nabil yang selalu menghujaninya dengan perhatian. Nabil yang romantis dan selalu memanjakannya."Emang biasanya aku seperti apa?" Nabil
Kayla baru saja akan mengetuk pintu, namun pintu berwarna coklat tua itu keburu dibuka dari dalam. Seraut wajah dengan sepasang mata teduh menyembul keluar."Kenapa baru pulang?" tanyanya. Raut wajahnya yang mulai keriput tidak bisa menyembunyikan rasa cemas."Aku lembur, Yah," jawab Kayla sembari melirik jam dinding. Sudah hampir jam 11 malam, wajar jika Ayah mengkhawatirkannya."Diantar laki-laki itu lagi?"Langkah Kayla menuju kamar terhenti mendengar pertanyaan Ayah."Namanya Radit, Yah," jawab Kayla kurang senang.Ayah memang tidak menyukai Radit. Dan selalu menyebutnya dengan sebutan 'laki-laki itu'. Radit, laki-laki berkulit terang itu adalah kekasih Kayla. Dia berperawakan tinggi, berbadan tegap dan berwajah tampan sedikit kebulean. Radit juga lulusan universitas ternama di luar negeri. Namun entah apa kurangnya Radit di mata Ayah."Nanti kamu bisa cepat pulang kan?" tanya Ayah ketika keesokan paginya mereka sarapan bersama."Hmmm... kayaknya aku nggak bisa, Yah," jawab Kayla