Tiga bulan berlalu.
Hari ini adalah hari pernikahan Kayla dan Nabil. Suasana di ruangan tempat akad nikah akan digelar sudah ramai oleh keluarga dan kerabat yang akan menyaksikan acara sakral itu. Kayla masih berada di kamar. Wajahnya yang cantik semakin memesona dengan riasan ala pengantin. Seharusnya dia sangat bahagia, karena hari ini akan menjadi hari paling bersejarah sepanjang hidupnya. Nadin yang sedari tadi menemani Kayla sangat takjub melihat wajah cantik sahabatnya. Selama ini riasan Kayla begitu sederhana dan sangat natural. Tapi hari ini, aura pengantinnya benar-benar terpancar. "Selamat ya, Kay." Nadin menggenggam tangan Kayla. "Perasaan sudah puluhan kali deh kamu bilang itu." Kayla mencibir. "Ya, maaf... aku hanya terlalu antusias." Kayla tertawa kecil. "Biasa aja kali." "Kok biasa sih?" protes Nadin. "Kamu tahu nggak, Nad? Aku nggak bahagia." Ungkapan jujur Kayla membuat Nadin tersentak. "Jangan main-main, Kayla!" ucap Nadin dengan nada tinggi. "Aku nggak main-main, aku serius!" balas Kayla dengan wajah bersungguh-sungguh. "Jangan bilang kalau kamu ragu sama Nabil." Nadin menatap dalam mata Kayla dengan pandangan menyelidik. "Aku nggak meragukan Nabil, justru aku ragu dengan diriku sendiri," sahut Kayla lirih. "Gimana bisa?" Kayla terdiam sejenak. Lalu mengangkat wajah dan memandang lurus ke depan. "Aku mencintai Radit, bukan Nabil," desisnya pelan. "Gila. Ini benar-benar gila!" Nadin melempar bantal ke arah Kayla. Dia sama sekali tak mengerti jalan pikiran gadis itu. Kayla menerima semua tuduhan Nadin. Nadin benar. Dia memang telah dibuat gila oleh perasaannya sendiri. "Hanya Radit yang bisa membuatku bahagia" cetus Kayla lagi. "Hentikan semua ini, Kay! Sebentar lagi kamu akan menjadi istri Nabil." "Dia boleh memiliki tubuhku, Nad, tapi hati ini selamanya untuk Radit." "Astaga, Kayla!" Nadin tak tahu lagi harus berkata apa. Dia jadi frustrasi sendiri. Sempat-sempatnya Kayla memikirkan laki-laki lain selain calon suaminya di hari pernikahannya sendiri. "Kayla, lipsticknya kayaknya masih kurang, sini biar saya tambah lagi." Perdebatan Kayla dan Nadin terhenti ketika tiba-tiba perias pengantin masuk ke kamar tanpa aba-aba. "Iya, Mbak." Kayla melirik Nadin sekilas, lalu membiarkan dirinya dirias ulang. *** Acara sakral itu akhirnya berlangsung lancar. Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Nabil. Tapi tidak dengan Kayla. Air mukanya terlihat datar dan nyaris tanpa ekspresi. Dia memaksakan sebuah senyuman saat Nabil menggenggam tangannya. Tidak ada pesta yang mewah dan meriah. Setelah akad nikah selesai, Nabil langsung memboyong Kayla ke rumah mereka. Sebuah hunian di pinggir kota, jauh dari hingar bingar dunia. Rumah itu tidak besar, tapi cukup nyaman untuk mereka berdua. Sudah jadi prinsip hidup Nabil, jika dirinya menikah, akan tinggal terpisah dari orang tuanya. Kayla duduk di pinggir tempat tidur. Bola matanya berpendar mengamati setiap sudut kamar. Selain tempat tidur, ada satu set lemari dan meja rias disampingnya. Entah kapan Nabil menyiapkan rumah dan segala perabotannya. Kayla tidak pernah tahu. Yang dia tahu, dia harus menikah dengan Nabil, sesuai amanat Ayah. Tentang hari, tanggal dan segala tetek bengeknya Nabil yang mengurus. "Sayang, lagi mikirin apa?" Tiba-tiba Nabil datang dan duduk disamping Kayla. Kayla merasa canggung mendengar Nabil memanggilnya dengan kata 'sayang'. "Kamu keberatan aku panggil sayang?" Nabil seolah tahu isi pikiran Kayla. Kayla tersenyum tipis lalu menggeleng. "Maaf ya, aku belum bisa cuti, jadi belum bisa bawa kamu honeymoon." "Nggak apa-apa, nggak usah," Kayla merasa tidak enak. Rasanya belum percaya jika saat ini dirinya sudah berstatus sebagai istri. Nabil masih menjadi sosok yang asing baginya. "Ya sudah, sekarang kita tidur aja, yuk!" ajak Nabil. Kayla mendadak merasa badannya jadi panas dingin. Inikah kode dari Nabi jika dia harus melaksanakan tugas pertamanya sebagai istri? Kayla menggigit bibir. Kenapa harus Nabil? Kenapa bukan Radit? Kayla hanya bisa pasrah. Semua telah terjadi. Dia telah menjadi istri sah dari seorang lelaki bernama Nabil. Lelaki yang dipilihkan Ayah untuknya. Nabil membaringkan tubuh disamping Kayla. Dilihatnya wajah Kayla sedikit pucat. Mungkin istriku kelelahan, pikirnya. *** Kriiiiiingggggg... Kriiiiiinggggg..... Suara alarm dari handphone mengagetkan Kayla. Gadis itu mengerjap. Semua masih gelap. Hanya cahaya redup dari lampu tidur menjadi satu-satunya penerangan. Pukul 04.20 pagi. Kayla terkesiap. Nabil tidak ada disampingnya. Apa yang telah terjadi semalam? Nafasnya memburu. Dirinya masih berpakaian lengkap. Anggota tubuhnya juga tidak ada yang sakit atau ngilu, terlebih organ bagian bawah. Kayla bernapas lega. Nabil sedang apa ya? Sepagi ini sudah bangun. Kayla berjalan keluar dari kamar. Harum aroma masakan menyeruak begitu dia mendekati dapur. Dilihatnya Nabil tengah sibuk di depan kompor memasak sesuatu. "Hai, kamu sudah bangun?" Ternyata Nabil menyadari kehadirannya. "Sini, Bil, biar aku saja," Nabil berusaha mengambil sutil dari tangan Nabil. "Nggak usah, biar aku saja," tolak Nabil. "Kamu mandi ya, siap-siap untuk sholat. Nanti kita sholat subuh berjamaah." Kayla mengangguk ragu. Memasak dan menyiapkan sarapan itu kan tugas seorang istri. Tapi Nabil melakukannya tanpa gengsi. Selesai sholat subuh, Nabil membuka Alquran dan membacanya. Suara Nabil begitu merdu. Lantunan ayat suci yang keluar dari mulutnya begitu menenangkan. Kayla terpana. Inikah sosok Nabil sesungguhnya? Lelaki soleh dan pandai memasak. Nabil juga terlihat sangat menghargai wanita. Tak salah jika Ayah memilihkan untuknya. Tapi tunggu dulu, ini baru babak awal rumah tangganya. Masih banyak hal dari diri Nabil yang harus dia gali. Nabil menyiapkan sendiri pakaian kerjanya. Sepatu hitam mengkilat yang sudah disemir juga terletak dengan rapi di dekat pintu. Kayla jadi sungkan sendiri. "Sarapan, yuk!" ajak Nabil pada Kayla yang berdiri kebingungan. Di meja makan telah tersedia dua piring mie goreng. Asap tipis mengepul samar di atasnya, pertanda masih panas. Sungguh mengundang selera. Apalagi bila disantap di pagi yang dingin seperti ini. Kayla menarik kursi disamping Nabil. Dia tidak ingin duduk berhadapan. Situasi seperti itu akan membuatnya grogi karena Nabil pasti akan sering menatapnya. "Kenapa susunya nggak diminum?" tanya Nabil melihat Kayla yang mendiamkan segelas susu coklat di hadapannya. "Maaf, Bil, aku nggak suka susu," jawab Kayla dengan perasaan tidak enak. Dia takut Nabil merasa usahanya menyiapkan sarapan tidak dihargai. "Jadi kamu sukanya apa?" "Kopi." Mata Nabil membulat. "Kopi hitam?" Kayla menggeleng. "Bukan, tapi cappuccino." Pandangan Kayla lurus ke depan. Pikirannya mulai mengembara ke memori masa lalu. Dia dan Radit pecinta berat kopi. Hampir setiap sore sepulang kerja mereka akan menghabiskan waktu di kafe favorit mereka berdua hanya untuk menikmati secangkir cappuccino hangat. "Mendingan mulai sekarang kamu kurangi hobi ngopimu, Kay. Nggak bagus untuk kesehatan. Kopi nggak bergizi sama sekali. Lebih baik diganti dengan susu setiap pagi dan sebelum tidur." Kayla menatap Nabil tidak suka. Dia merasa Nabil sudah mulai mengaturnya. Lebih tepatnya menyuruh dia melupakan kenangannya tentang kopi bersama Radit. "Ini masalah kesukaan, Bil, nggak bisa dipaksa," tegas Kayla. "Oh gitu, maaf ya, bukan maksudku memaksa," ujar Nabil merasa bersalah. Kayla buru-buru menghabiskan sarapannya. Moodnya hilang sudah. Hanya karena secangkir kopi. Terlalu lebay memang. "Aku berangkat ya." Nabil berpamitan usai sarapan. Kayla mengangguk. Hatinya masih menyimpan rasa kesal. Nabil mengeluarkan dompet dan mengambil beberapa lembar uang seratus ribu lalu memberikannya pada Kayla. Kayla tertegun. "Uang apa ini, Bil?" tanyanya tidak mengerti. "Kamu pegang aja, mana tahu nanti butuh. Oh iya, semua kebutuhan dapur sudah aku siapkan, ada di kulkas." "Makasih." Nabil tersenyum geli melihat Kayla yang tampak kikuk. Dia mendekatkan wajahnya ke muka Kayla, lalu sebuah kecupan lembut mendarat di kening gadis itu. Kayla membisu. Sebuah gerakan cepat yang dilakukan Nabil membuatnya hanyut dalam kenangan. Bukan dengan Nabil. Tapi Radit. Radit, cinta pertamanya. Laki-laki pertama yang menciumnya secara dewasa. ***"Kamu serius masih virgin? Jadi malam pertama kalian ngapain aja?" Nadin membombardir Kayla dengan pertanyaan demi pertanyaan saat mereka janjian bertemu sore itu. Layaknya seorang presenter infotainment yang handal, Nadin menginvestigasi Kayla."Sudah dua minggu lho, Kay!" Nadin mengingatkan.Memang sudah dua minggu berlalu sejak pernikahan mereka. Tapi Nabil belum pernah melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami."Emangnya Kamu nggak curiga?"Dahi Kayla berkerut. "Curiga apa?""Jangan-jangan ..." Nadin tidak melanjutkan kalimatnya."Apa sih, Nad?" Kayla mulai kesal."Jangan-jangan dia gay." Nadin mengecilkan suaranya seraya menoleh ke kanan dan ke kiri, takut ada yang mendengar omongan mereka.“Jangan ngawur!" Kali ini Kayla benar-benar kesal."Bisa saja kan?" Nadin bertahan dengan pendapatnya."Nggak mungkin! Nabil itu laki-laki yang normal, soleh, cerdas, pintar masak, rajin mengaji, manly, banyaklah pokoknya." Kayla membela Nabil. Bagaimanapun Nabil adalah suaminya. Dia harus m
"Kamu yakin mau pergi sendiri?" tanya Nabil saat sarapan pagi. Seandainya pekerjaannya tidak terlalu banyak, Nabil akan menyempatkan menemani Kayla mengantar lamaran kerja."Iya Bil, aku bisa sendiri, kok," sahut Kayla sambil meletakkan segelas susu panas di hadapan Nabil."Baiklah, tapi kamu hati-hati ya, bawa motor jangan terlalu kencang," pesan Nabil setelah menyesap habis susunya."Iya, Bil," jawab Kayla lagi."Tapi, apa nggak sebaiknya naik taksi aja?""Nggak usah, biar aku pakai motor aja, kamu nggak usah cemas, aku pelan-pelan kok," Kayla meyakinkan."Oke, Sayang, aku berangkat ya," pamit Nabil. Tak lupa dia mengecup kening Kayla. Ritual setiap pagi yang tidak pernah terlewat.Kayla menghadiahi sebuah senyuman manis, membuat semangat Nabil terpompa puluhan kali lipat.Setelah Nabil pergi, Kayla bersiap-siap. Mandi lalu berdandan senatural mungkin. Dia tidak suka riasan yang terlalu berlebihan. Dilihatnya bedak yang tinggal sedikit. Dengan sisa-sisa bedak yang menempel di spong
Pukul lima sore. Kayla hilir mudik di teras rumah. Hari ini Nabil pulang dari Jakarta. Seharusnya Nabil sudah sampai sejak satu jam yang lalu. Tapi sampai sekarang Tidak ada kabar dari Nabil. Handphonenya tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak bilang kalau pesawat akan delay.Kayla mendadak resah. Tidak biasanya ia seperti ini. Dia mulai memikirkan dan mengkhawatirkan Nabil.Di meja makan sudah terhidang masakan kesukaan Nabil. Sup daging. Kayla sengaja menyiapkan semuanya. Kemarin di telepon Nabil bilang kangen masakannya."Assalamualaikum ..."Sayup-sayup terdengar suara yang sangat dirindukan Kayla.Kayla bergegas keluar. Spontan dia menghambur ke pelukan Nabil yang melihatnya dengan tatapan rindu."Apa kabar, Sayang?" tanya Nabil setelah melepaskan pelukannya."Aku sepi tanpamu," ucap Kayla jujur dari lubuk hati."Benarkah?" Mata Nabil berbinar-binar.Kayla mengangguk malu. Malu pada Nabil dan perasaannya sendiri."Kamu pasti lapar, aku sudah siapkan makanan kesukaan kamu, kita ma
Kayla memandang jam dinding dengan perasaan gundah. Sudah hampir tengah malam, tetapi Nabil belum juga pulang. Dia sudah mencoba menelepon berkali-kali, tapi Nabil tak mengangkat teleponnya. Terakhir, waktu Kayla menghubunginya lagi, handphone Nabil sudah tidak aktif.Kayla mencoba tidur. Dia mencoba meyakinkan diri, kalau Nabil akan baik-baik saja, toh mereka sudah dewasa. Namun, dia hanya bisa membolak-balikkan badannya di tempat tidur tanpa mampu memejamkan mata sama sekali. Padahal besok dia harus bangun pagi-pagi sekali melebihi biasanya, karena besok hari pertamanya bekerja. Dia tidak ingin datang terlambat dan memberi kesan buruk.Kayla bangkit dari tempat tidur. Mengutak-atik handphone lalu membuka media sosial miliknya. Kabar tentang hiruk pikuk dunia politik pasca pemilu yang mampir di berandanya membuat Kayla bertambah pusing. Dia segera log out. Lalu seperti biasa membuka aplikasi perpesanan instan dan chatting dengan Nadin. Dia meliat Nadin sedang online."Hai Nad, tumb
"Selamat pagi, Mikayla, selamat datang di Indoraya." Ryo menyambut kedatangan Kayla dengan senyum terukir di bibir."Pagi juga, Pak Ryo," balas Kayla terdengar sedikit kaku. Sebutan Bapak ia kira tidak cocok ditujukan untuk Ryo. Laki-laki itu terlalu muda untuk dipanggil dengan sebutan Bapak."Bisa panggil Ryo saja? Tanpa kata Bapak? Sepertinya kita hampir seumuran," pinta Ryo serius. Seperti punya indra ke enam, dia bisa membaca pikiran Kayla."Baiklah, Ryo." Kayla terlihat kikuk.Ryo melempar senyum. "Kamu sudah tahu ruang kerja kamu yang mana?" tanyanya kemudian.Kayla menggeleng. Semua masih sangat asing baginya."Ayo ikut saya!"Kayla membuntuti Ryo yang berjalan duluan. Menyusuri gedung kantor yang belum terlalu ramai. Sampai di ruangan paling ujung, Ryo membuka pintu. Sebuah ruangan bercat putih yang tidak begitu besar, dipisahkan oleh beberapa partisi sebagai sekat. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja bundar yang mungkin berfungsi untuk meeting internal divisi."Ini ruangan k
Gagal lagi! Nabil tidak mengerti apa yang salah pada dirinya. Lebih satu tahun pernikahannya namun istrinya masih suci bak melati. Alangkah lemah dirinya sebagai laki-laki. Nabil mengutuk dirinya berkali-kali.Suara klakson yang bersahut-sahutan membuat Nabil terkesiap. Lampu lalu lintas yang tadi merah sudah berganti warna hijau. Diliriknya kaca spion, puluhan mobil dan motor tengah antri di belakangnya.Shit! Bisa-bisanya dia melamun di tengah kemacetan. Nabil mengoper gigi dan langsung tancap gas. Dia harus sampai sebelum apel pagi dimulai. Namun sepertinya kali ini dia harus mengalah pada keadaan. Di pertigaan depan, kemacetan panjang menunggunya.Nabil mengambil handphonenya, dia bermaksud menghubungi Ari, mengabari kalau dia akan datang terlambat."Bro, kayaknya aku bakalan telat, macet panjang di sudirman.""Tumben, Bro, jangan-jangan karena telat bangun, berapa ronde semalam?""Rese!""Hahaha."Baru saja Nabil akan menyimpan handphone, sebuah notifikasi pesan singkat dari Kayl
Pagi ini Nabil telat lagi. Mata dan tubuhnya yang berat membuatnya tidak kuat membuka mata. Kalau tidak dipaksa Kayla untuk bangkit, mungkin dia akan melewatkan waktu seharian di tempat tidur.Kemacetan menjadi sahabatnya pagi ini. Nabil hampir frustasi melihat aneka rupa kendaraan di depannya yang jalan di tempat.Perut yang kosong menambah ruwet pikirannya. Sejak menjadi wanita karir, Kayla hampir tidak sempat memasak dan menyiapkan makanan untuknya. Bahkan pagi ini, dia hanya menyesap segelas air putih, tanpa makanan pendamping apa pun. Dia memahami kesibukan istrinya dan tidak ingin terlalu banyak menuntut.Mungkin itu kelemahan Kayla yang kurang pandai dalam manajemen waktu. Tapi kelemahannya sendiri lebih fatal dan sangat berdampak pada kehidupan rumah tangganya.Nabil mengembuskan napas berat.Sekilas diliriknya spion. Dia melihat pantulan wajahnya disana. Hidungnya menjulang tinggi dengan bibir yang terpahat sempurna. Tentang matanya jangan ditanya lagi, disanalah pesonanya b
Beberapa hari belakangan Nabil terlihat tidak seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan menghindari Kayla.Kayla bertanya-tanya dalam hati apa gerangan kesalahan yang telah dilakukannya. Tapi sampai buntu pikirannya, ia tetap tidak menemukan jawaban."Bil, boleh aku tanya sesuatu?" Kayla mendekati Nabil yang sedang duduk di sofa ruang tengah lalu duduk di sampingnya."Ada apa, Kay?" Suara Nabil terdengar sangat lirih.Kayla memandang suaminya lekat-lekat. Wajah tampan itu terlihat sedikit pucat."Bil, kamu sakit?" Kayla menyentuh pipi Nabil.Nabil menggeleng pelan. Kepalanya agak berdenyut tapi dia tidak ingin membuat istrinya khawatir."Bil, kenapa sih akhir-akhir ini kamu menghindariku?" "Itu cuma perasaanmu, Kay. Aku tidak menghindari siapa pun," jawab Nabil berkelit."Tapi kamu nggak seperti biasanya," protes Kayla. Entah mengapa dia merindukan Nabil yang selalu menghujaninya dengan perhatian. Nabil yang romantis dan selalu memanjakannya."Emang biasanya aku seperti apa?" Nabil
Dea berdiri di depan cermin di kamarnya. Ia memandang refleksi dirinya disana. Sepasang matanya yang besar dan berbulu lentik berpendar menlusuri setiap inci bagian wajahnya. Dea masih belum menemukan kekurangan yang berarti pada fisiknya. Manusia normal dan mempunyai kewarasan pasti tidak akan mengingkari keindahan yang disematkan sang pencipta padanya."Aku kurang apalagi? Apakah aku kurang cantik? Apakah aku tidak menarik? Apakah penampilanku biasa saja?" Dea bertanya sendiri pada dirinya. Dea merasa dirinya masih sangat layak untuk mendampingi Nabil. Tapi kenapa Nabil menutup hati untuknya?"Kenapa Nabil bisa bikin aku hancur kayak gini? Apa hebatnya dia? Dia pikir cuma dia laki-laki di dunia ini?"Dari tadi Dea berbicara sendiri pada dirinya. Dea sudah tidak tahan lagi. Dirinya sudah berada di titik kulminasi. Dea lelah dengan perasaan dan hidupnya yang kacau. Semua ini harus ia akhiri sebelum kewarasannya patut dipertanyakan. Ia harus menjadi pribadi baru yang jauh lebih baik
Nabil bukannya tidak punya perasaan dengan terang-terangan mengatakan pada Dea bahwa mungkin sudah ada yang menggantikannya. Nabil berharap dengan ketegasan sikapnya itu Dea tidak lagi menyimpan harapan padanya. Tapi sepertinya Dea masih belum menyerah meski Nabil sudah menolak dengan berbagai cara mulai dari cara yang paling halus sampai cara frontal seperti kemarin.Nabil menyadari sekarang, mungkin karena pada dasarnya ia memang tidak mencintai Dea, jadi seperti apapun cara Dea merebut hatinya, Nabil tidak akan luluh. Lain halnya jika ia mencintai dari awal. Nabil memang sempat mencintai Dea, dan itu begitu dirasakannya saat Dea berjuang mempertaruhkan nyawa saat melahirkan anak mereka. Tapi kembali lagi, jika prinsipnya hanya karena cinta yang terbiasa, bukan karena cinta pada pandangan pertama, maka rasa itu sangat cepat memudar. Nabil tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Kayla dulu juga ia cintai karena telah terbiasa hidup bersama. Namun perasaannya pada Kayla begitu meleka
Rasanya sudah terlalu lama Dea meratapi diri dan menyesali nasib. "Have you ever seen the sun after the heartbreak? Frozen somewhere in time. Have you ever seen the stars after the word goodbye?" Kalimat itu benar adanya. Dea sudah merasakan dan membuktikannyta sendiri. Ia tidak melihat matahari dan bintang lagi setelah berpisah dengan Nabil. Siang dan malam sudah tak bisa dibedakannya karena semua membeku pada satu waktu,Dea merasa sebentar lagi akan kehilangan kewarasannya jika terus-terusan bersikap begini. Penyesalan terbesar dalam hidup Dea adalah karena tetap nekat pergi meski Nabil sudah melarangnya waktu itu. Padahal Nabil sudah memberinya kode keras. Nabil yang selama ini lunak padanya dan kerap luluh ketika Dea menyerang kelemahannya, ternyata bisa keras juga. Dan kerasnya tidak main-main. Jika saja waktu bisa diputar dan diulang ke belakang, Dea akan memperbaiki semuanya. Ia akan berpikir sebelum bertindak. Dea akan membuang jauh-jauh sifat buruknya. Termasuk pada K
Hari itu Alan datang ke kediaman Kayla dan Radit. Begitu melihat Alan, rahang Radit langsung mengeras. Radit tidak tahu apa tujuan Alan menemuinya. Tapi melihatnya saja emosinya sudah tersulut."Dit, bisa minta waktunya sebentar?" Alan cepat-cepat bertanya begitu Radit ingin pergi menghindar.Radit ingin menghiraukannya tapi Kayla cepat-cepat memberi isyarat dengan matanya agar Radit segera duduk di sebelahnya.Karena Kayla yang meminta, Radit pun menurutinya walau dengan malas-malasan dan hati berat."Apa kabar, Dit?" sapa Alan berbasa-basi."Baik," jawab Radit singkat."Aku kesini mau ajak kamu bekerja lagi di kantorku," kata Alan menjelaskan tujuan kedatangannya.Radit diam saja. Matanya tidak menatap Alan, namun telinganya mendengar dengan jelas apa yang dikatakan laki-laki itu."Aku butuh kamu, Dit. Aku butuh tenaga porofesional seperti kamu," kata Alan lagi."Masih banyak yang lebih profesional. Bukan hanya aku," ujar Radit menanggapi."Memang banyak, Dit, tapi aku mau yang kine
Berkutat dengan pekerjaan seharian ini membuat Keyzia merasa butuh refreshing. Pikirannya sudah tersita banyak oleh pekerjaan dan tenaganya pun ikut terforsir. Keyzia ingin memanjakan matanya dengan yang indah-indah. Seperti kebanyakan wanita pada umumnya, defenisi kata indah disini adalah tidak jauh-jauh dari baju, tas, dan sepatu. Keyzia menjatuhkan pilihannya pada Kayra Boutique. Sejak awak berbelanja disana, Keyzia sudah merasa cocok. Saat ini juga Keyzia memutuskan untuk pergi ke sana.Beberapa menit duduk di lobi, taksi yang dipesan Keyzia pun datang. Setelah menyebutkan tujuannya dengan jelas, taksi pun bergerak dengan kecepatan sedang. Di dalam taksi Keyzia melamun dan merenungi diri. Sepertinya ia mulai termakan kata-katanya sendiri. Keyzia paling anti menyukai laki-laki yang sudah menjadi milik orang dan sudah pernah menikah. Tapi yang terjadi, dirinya malah menyukai Radit yang notabene sudah memiliki istri. Keyzia tidak mau menjadi orang ketiga. Karma pelakor itu sangat me
Pagi ini Keyzia memutuskan berangkat sendiri ke kantornya menggunakan taksi. Keyzia merasa tidak enak jika tiap hari harus merepotkan Nabil. Sebenarnya bukan hanya itu alasannya. Setelah percakapan mereka di mobil waktu itu, Keyzia merasa Nabil menyimpan rasa tak biasa padanya. Bisa jadi Nabil menyukainya. Dan hal itu membuat Keyzia merasa tidak nyaman. Keyzia takut hatinya tidak kuat dan ikut membalas perasaan Nabil. Tidak ada yang salah jika pada akhirnya ia juga menyukai Nabil. Namun itu sama artinya dengan menjilat ludahnya sendiri. Yang membuat Keyzia heran, karakter Nabil jauh dari yang pernah diceritakan Putri padanya. Adiknya itu bilang, Nabil itu cool, irit bicara, dan cenderung cuek. Tapi fakta yang dihadapi Keyzia, semua itu jauh dari gambaran Putri. Sikap Nabil begitu hangat dan manis. Mereka bisa membicarakan topik apa saja, dan Nabil mampu mengimbanginya. Pertanyaannya sekarang, apakah Nabil bersikap demikian hanya saat bersama dirinya?Keyzia melangkah cepat dengan ket
Nabil duduk sendiri di teras rumah sambil menatap langit malam. Tidak ada bintang atau pun bulan yang tertangkap oleh matanya. Semilir angin dingin yang menusuk sampai ke tulang tak dirasakannya.Sejak pulang dari pusara Deana tadi, sedetik pun Nabil tidak berhenti memikirkan Dea. Rasa bersalah semakin menusuk hatinya. Nabil seolah kembali mendapatkan akal sehatnya yang hilang.Rentetan peristiwa yang telah terjadi, sekarang membayang kembali. Sama seperti di pusara tadi, semua seperti adegan slow motion yang terus berulang-ulang.Nabil tidak mengerti kenapa baru sekarang perasaan itu hadir, di saat semuanya sudah berakhir. Nabil merasa perlu untuk meminta maaf pada Dea. Ia sudah banyak menyakiti hatinya. Dan sialnya baru sekarang kesadaran untuk itu muncul. Apa mungkin tuhan sudah membukakan hatinya melalui perantara Deana yang sudah menyatu dengan tanah?Nabil memandang ponsel yang berada di genggamannya dengan tatapan ragu. Sejak iphonenya hilang dan ia mengganti nomor selulernya d
Nabil yang sudah grogi bertambah gelagapan mendengar pertanyaan tak terduga itu. Semua diluar prediksinya. Harus secepat inikah prosesnya?"Kalo misalnya aku suka sama kamu, boleh?" Akhirnya terlontar juga kalimat itu dari bibirnya. Nabil mengucapkannya dengan begitu hati-hati.Keyzia tertegun. Tidak percaya dengan pendengarannya sendiri, serta tidak tahu harus mengucapkan apa."Kalo cuma suka apa salahnya? Masa nggak boleh?""Kalo lebih?" Nabil merutuki dirinya sendiri yang seperti mendapat kekuatan untuk bicara lebih banyak.Keyzia kembali terdiam. Itu maksudnya apa?Di tengah ketermanguannya, telinga Keyzia menangkap suara Nabil."Hehe, Key, aku becanda kok," ralat Nabil demi menyalamatkan mukanya.Keyzia mengerjap, setelah beberapa saat yang lalu ia tak berkedip.Dan sepanjang sisa perjalanan, mereka menghabiskan waktu dengan berbicara pada hati masing-masing. Hingga tanpa terasa mereka sampai di kantor Keyzia."Key, kayaknya aku nggak bisa jemput kamu nanti sore," kata Nabil sebe
Ketika pagi menjelang, Radit dan Kayla masih berada di pembaringan mereka yang nyaman. Radit semakin mempererat dekapannya ketika merasakan tubuh istrinya itu mulai bergerak. Radit masih belum ingin mengakhiri kebersamaan mereka yang dirasanya terlalu singkat.Kayla juga merasakan hal yang sama dengan Radit. Kayla enggan beranjak dan lebih memilih membenamkan wajahnya di dada Radit yang bidang. Disana, Kayla bisa mendengar dengan jelas irama jantung Radit yang begitu teratur, sangat kontras dengan semalam, ketika mereka sama-sama mengayun rasa.Kenyamanan yang dirasakan Kayla mulai terusik ketika rasa mual kembali menyerang seperti hari-hari sebelumnya.Dengan gerakan pelan Kayla menggeser tangan Radit yang melingkarinya. Ia harus ke kamar mandi sebelum terlambat karena desakan dari dalam perutnya semakin memberontak ingin keluar.Mengetahui Kayla tidak lagi berada dalam dekapannya, Radit membuka mata. “Yang, kamu dimana?” panggilnya.Karena tidak ada sahutan dari Kayla, Radit turun