Tiga bulan berlalu.
Hari ini adalah hari pernikahan Kayla dan Nabil. Suasana di ruangan tempat akad nikah akan digelar sudah ramai oleh keluarga dan kerabat yang akan menyaksikan acara sakral itu. Kayla masih berada di kamar. Wajahnya yang cantik semakin memesona dengan riasan ala pengantin. Seharusnya dia sangat bahagia, karena hari ini akan menjadi hari paling bersejarah sepanjang hidupnya. Nadin yang sedari tadi menemani Kayla sangat takjub melihat wajah cantik sahabatnya. Selama ini riasan Kayla begitu sederhana dan sangat natural. Tapi hari ini, aura pengantinnya benar-benar terpancar. "Selamat ya, Kay." Nadin menggenggam tangan Kayla. "Perasaan sudah puluhan kali deh kamu bilang itu." Kayla mencibir. "Ya, maaf... aku hanya terlalu antusias." Kayla tertawa kecil. "Biasa aja kali." "Kok biasa sih?" protes Nadin. "Kamu tahu nggak, Nad? Aku nggak bahagia." Ungkapan jujur Kayla membuat Nadin tersentak. "Jangan main-main, Kayla!" ucap Nadin dengan nada tinggi. "Aku nggak main-main, aku serius!" balas Kayla dengan wajah bersungguh-sungguh. "Jangan bilang kalau kamu ragu sama Nabil." Nadin menatap dalam mata Kayla dengan pandangan menyelidik. "Aku nggak meragukan Nabil, justru aku ragu dengan diriku sendiri," sahut Kayla lirih. "Gimana bisa?" Kayla terdiam sejenak. Lalu mengangkat wajah dan memandang lurus ke depan. "Aku mencintai Radit, bukan Nabil," desisnya pelan. "Gila. Ini benar-benar gila!" Nadin melempar bantal ke arah Kayla. Dia sama sekali tak mengerti jalan pikiran gadis itu. Kayla menerima semua tuduhan Nadin. Nadin benar. Dia memang telah dibuat gila oleh perasaannya sendiri. "Hanya Radit yang bisa membuatku bahagia" cetus Kayla lagi. "Hentikan semua ini, Kay! Sebentar lagi kamu akan menjadi istri Nabil." "Dia boleh memiliki tubuhku, Nad, tapi hati ini selamanya untuk Radit." "Astaga, Kayla!" Nadin tak tahu lagi harus berkata apa. Dia jadi frustrasi sendiri. Sempat-sempatnya Kayla memikirkan laki-laki lain selain calon suaminya di hari pernikahannya sendiri. "Kayla, lipsticknya kayaknya masih kurang, sini biar saya tambah lagi." Perdebatan Kayla dan Nadin terhenti ketika tiba-tiba perias pengantin masuk ke kamar tanpa aba-aba. "Iya, Mbak." Kayla melirik Nadin sekilas, lalu membiarkan dirinya dirias ulang. *** Acara sakral itu akhirnya berlangsung lancar. Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Nabil. Tapi tidak dengan Kayla. Air mukanya terlihat datar dan nyaris tanpa ekspresi. Dia memaksakan sebuah senyuman saat Nabil menggenggam tangannya. Tidak ada pesta yang mewah dan meriah. Setelah akad nikah selesai, Nabil langsung memboyong Kayla ke rumah mereka. Sebuah hunian di pinggir kota, jauh dari hingar bingar dunia. Rumah itu tidak besar, tapi cukup nyaman untuk mereka berdua. Sudah jadi prinsip hidup Nabil, jika dirinya menikah, akan tinggal terpisah dari orang tuanya. Kayla duduk di pinggir tempat tidur. Bola matanya berpendar mengamati setiap sudut kamar. Selain tempat tidur, ada satu set lemari dan meja rias disampingnya. Entah kapan Nabil menyiapkan rumah dan segala perabotannya. Kayla tidak pernah tahu. Yang dia tahu, dia harus menikah dengan Nabil, sesuai amanat Ayah. Tentang hari, tanggal dan segala tetek bengeknya Nabil yang mengurus. "Sayang, lagi mikirin apa?" Tiba-tiba Nabil datang dan duduk disamping Kayla. Kayla merasa canggung mendengar Nabil memanggilnya dengan kata 'sayang'. "Kamu keberatan aku panggil sayang?" Nabil seolah tahu isi pikiran Kayla. Kayla tersenyum tipis lalu menggeleng. "Maaf ya, aku belum bisa cuti, jadi belum bisa bawa kamu honeymoon." "Nggak apa-apa, nggak usah," Kayla merasa tidak enak. Rasanya belum percaya jika saat ini dirinya sudah berstatus sebagai istri. Nabil masih menjadi sosok yang asing baginya. "Ya sudah, sekarang kita tidur aja, yuk!" ajak Nabil. Kayla mendadak merasa badannya jadi panas dingin. Inikah kode dari Nabi jika dia harus melaksanakan tugas pertamanya sebagai istri? Kayla menggigit bibir. Kenapa harus Nabil? Kenapa bukan Radit? Kayla hanya bisa pasrah. Semua telah terjadi. Dia telah menjadi istri sah dari seorang lelaki bernama Nabil. Lelaki yang dipilihkan Ayah untuknya. Nabil membaringkan tubuh disamping Kayla. Dilihatnya wajah Kayla sedikit pucat. Mungkin istriku kelelahan, pikirnya. *** Kriiiiiingggggg... Kriiiiiinggggg..... Suara alarm dari handphone mengagetkan Kayla. Gadis itu mengerjap. Semua masih gelap. Hanya cahaya redup dari lampu tidur menjadi satu-satunya penerangan. Pukul 04.20 pagi. Kayla terkesiap. Nabil tidak ada disampingnya. Apa yang telah terjadi semalam? Nafasnya memburu. Dirinya masih berpakaian lengkap. Anggota tubuhnya juga tidak ada yang sakit atau ngilu, terlebih organ bagian bawah. Kayla bernapas lega. Nabil sedang apa ya? Sepagi ini sudah bangun. Kayla berjalan keluar dari kamar. Harum aroma masakan menyeruak begitu dia mendekati dapur. Dilihatnya Nabil tengah sibuk di depan kompor memasak sesuatu. "Hai, kamu sudah bangun?" Ternyata Nabil menyadari kehadirannya. "Sini, Bil, biar aku saja," Nabil berusaha mengambil sutil dari tangan Nabil. "Nggak usah, biar aku saja," tolak Nabil. "Kamu mandi ya, siap-siap untuk sholat. Nanti kita sholat subuh berjamaah." Kayla mengangguk ragu. Memasak dan menyiapkan sarapan itu kan tugas seorang istri. Tapi Nabil melakukannya tanpa gengsi. Selesai sholat subuh, Nabil membuka Alquran dan membacanya. Suara Nabil begitu merdu. Lantunan ayat suci yang keluar dari mulutnya begitu menenangkan. Kayla terpana. Inikah sosok Nabil sesungguhnya? Lelaki soleh dan pandai memasak. Nabil juga terlihat sangat menghargai wanita. Tak salah jika Ayah memilihkan untuknya. Tapi tunggu dulu, ini baru babak awal rumah tangganya. Masih banyak hal dari diri Nabil yang harus dia gali. Nabil menyiapkan sendiri pakaian kerjanya. Sepatu hitam mengkilat yang sudah disemir juga terletak dengan rapi di dekat pintu. Kayla jadi sungkan sendiri. "Sarapan, yuk!" ajak Nabil pada Kayla yang berdiri kebingungan. Di meja makan telah tersedia dua piring mie goreng. Asap tipis mengepul samar di atasnya, pertanda masih panas. Sungguh mengundang selera. Apalagi bila disantap di pagi yang dingin seperti ini. Kayla menarik kursi disamping Nabil. Dia tidak ingin duduk berhadapan. Situasi seperti itu akan membuatnya grogi karena Nabil pasti akan sering menatapnya. "Kenapa susunya nggak diminum?" tanya Nabil melihat Kayla yang mendiamkan segelas susu coklat di hadapannya. "Maaf, Bil, aku nggak suka susu," jawab Kayla dengan perasaan tidak enak. Dia takut Nabil merasa usahanya menyiapkan sarapan tidak dihargai. "Jadi kamu sukanya apa?" "Kopi." Mata Nabil membulat. "Kopi hitam?" Kayla menggeleng. "Bukan, tapi cappuccino." Pandangan Kayla lurus ke depan. Pikirannya mulai mengembara ke memori masa lalu. Dia dan Radit pecinta berat kopi. Hampir setiap sore sepulang kerja mereka akan menghabiskan waktu di kafe favorit mereka berdua hanya untuk menikmati secangkir cappuccino hangat. "Mendingan mulai sekarang kamu kurangi hobi ngopimu, Kay. Nggak bagus untuk kesehatan. Kopi nggak bergizi sama sekali. Lebih baik diganti dengan susu setiap pagi dan sebelum tidur." Kayla menatap Nabil tidak suka. Dia merasa Nabil sudah mulai mengaturnya. Lebih tepatnya menyuruh dia melupakan kenangannya tentang kopi bersama Radit. "Ini masalah kesukaan, Bil, nggak bisa dipaksa," tegas Kayla. "Oh gitu, maaf ya, bukan maksudku memaksa," ujar Nabil merasa bersalah. Kayla buru-buru menghabiskan sarapannya. Moodnya hilang sudah. Hanya karena secangkir kopi. Terlalu lebay memang. "Aku berangkat ya." Nabil berpamitan usai sarapan. Kayla mengangguk. Hatinya masih menyimpan rasa kesal. Nabil mengeluarkan dompet dan mengambil beberapa lembar uang seratus ribu lalu memberikannya pada Kayla. Kayla tertegun. "Uang apa ini, Bil?" tanyanya tidak mengerti. "Kamu pegang aja, mana tahu nanti butuh. Oh iya, semua kebutuhan dapur sudah aku siapkan, ada di kulkas." "Makasih." Nabil tersenyum geli melihat Kayla yang tampak kikuk. Dia mendekatkan wajahnya ke muka Kayla, lalu sebuah kecupan lembut mendarat di kening gadis itu. Kayla membisu. Sebuah gerakan cepat yang dilakukan Nabil membuatnya hanyut dalam kenangan. Bukan dengan Nabil. Tapi Radit. Radit, cinta pertamanya. Laki-laki pertama yang menciumnya secara dewasa. ***"Kamu serius masih virgin? Jadi malam pertama kalian ngapain aja?" Nadin membombardir Kayla dengan pertanyaan demi pertanyaan saat mereka janjian bertemu sore itu. Layaknya seorang presenter infotainment yang handal, Nadin menginvestigasi Kayla."Sudah dua minggu lho, Kay!" Nadin mengingatkan.Memang sudah dua minggu berlalu sejak pernikahan mereka. Tapi Nabil belum pernah melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami."Emangnya Kamu nggak curiga?"Dahi Kayla berkerut. "Curiga apa?""Jangan-jangan ..." Nadin tidak melanjutkan kalimatnya."Apa sih, Nad?" Kayla mulai kesal."Jangan-jangan dia gay." Nadin mengecilkan suaranya seraya menoleh ke kanan dan ke kiri, takut ada yang mendengar omongan mereka.“Jangan ngawur!" Kali ini Kayla benar-benar kesal."Bisa saja kan?" Nadin bertahan dengan pendapatnya."Nggak mungkin! Nabil itu laki-laki yang normal, soleh, cerdas, pintar masak, rajin mengaji, manly, banyaklah pokoknya." Kayla membela Nabil. Bagaimanapun Nabil adalah suaminya. Dia harus m
"Kamu yakin mau pergi sendiri?" tanya Nabil saat sarapan pagi. Seandainya pekerjaannya tidak terlalu banyak, Nabil akan menyempatkan menemani Kayla mengantar lamaran kerja."Iya Bil, aku bisa sendiri, kok," sahut Kayla sambil meletakkan segelas susu panas di hadapan Nabil."Baiklah, tapi kamu hati-hati ya, bawa motor jangan terlalu kencang," pesan Nabil setelah menyesap habis susunya."Iya, Bil," jawab Kayla lagi."Tapi, apa nggak sebaiknya naik taksi aja?""Nggak usah, biar aku pakai motor aja, kamu nggak usah cemas, aku pelan-pelan kok," Kayla meyakinkan."Oke, Sayang, aku berangkat ya," pamit Nabil. Tak lupa dia mengecup kening Kayla. Ritual setiap pagi yang tidak pernah terlewat.Kayla menghadiahi sebuah senyuman manis, membuat semangat Nabil terpompa puluhan kali lipat.Setelah Nabil pergi, Kayla bersiap-siap. Mandi lalu berdandan senatural mungkin. Dia tidak suka riasan yang terlalu berlebihan. Dilihatnya bedak yang tinggal sedikit. Dengan sisa-sisa bedak yang menempel di spong
Pukul lima sore. Kayla hilir mudik di teras rumah. Hari ini Nabil pulang dari Jakarta. Seharusnya Nabil sudah sampai sejak satu jam yang lalu. Tapi sampai sekarang Tidak ada kabar dari Nabil. Handphonenya tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak bilang kalau pesawat akan delay.Kayla mendadak resah. Tidak biasanya ia seperti ini. Dia mulai memikirkan dan mengkhawatirkan Nabil.Di meja makan sudah terhidang masakan kesukaan Nabil. Sup daging. Kayla sengaja menyiapkan semuanya. Kemarin di telepon Nabil bilang kangen masakannya."Assalamualaikum ..."Sayup-sayup terdengar suara yang sangat dirindukan Kayla.Kayla bergegas keluar. Spontan dia menghambur ke pelukan Nabil yang melihatnya dengan tatapan rindu."Apa kabar, Sayang?" tanya Nabil setelah melepaskan pelukannya."Aku sepi tanpamu," ucap Kayla jujur dari lubuk hati."Benarkah?" Mata Nabil berbinar-binar.Kayla mengangguk malu. Malu pada Nabil dan perasaannya sendiri."Kamu pasti lapar, aku sudah siapkan makanan kesukaan kamu, kita ma
Kayla memandang jam dinding dengan perasaan gundah. Sudah hampir tengah malam, tetapi Nabil belum juga pulang. Dia sudah mencoba menelepon berkali-kali, tapi Nabil tak mengangkat teleponnya. Terakhir, waktu Kayla menghubunginya lagi, handphone Nabil sudah tidak aktif.Kayla mencoba tidur. Dia mencoba meyakinkan diri, kalau Nabil akan baik-baik saja, toh mereka sudah dewasa. Namun, dia hanya bisa membolak-balikkan badannya di tempat tidur tanpa mampu memejamkan mata sama sekali. Padahal besok dia harus bangun pagi-pagi sekali melebihi biasanya, karena besok hari pertamanya bekerja. Dia tidak ingin datang terlambat dan memberi kesan buruk.Kayla bangkit dari tempat tidur. Mengutak-atik handphone lalu membuka media sosial miliknya. Kabar tentang hiruk pikuk dunia politik pasca pemilu yang mampir di berandanya membuat Kayla bertambah pusing. Dia segera log out. Lalu seperti biasa membuka aplikasi perpesanan instan dan chatting dengan Nadin. Dia meliat Nadin sedang online."Hai Nad, tumb
"Selamat pagi, Mikayla, selamat datang di Indoraya." Ryo menyambut kedatangan Kayla dengan senyum terukir di bibir."Pagi juga, Pak Ryo," balas Kayla terdengar sedikit kaku. Sebutan Bapak ia kira tidak cocok ditujukan untuk Ryo. Laki-laki itu terlalu muda untuk dipanggil dengan sebutan Bapak."Bisa panggil Ryo saja? Tanpa kata Bapak? Sepertinya kita hampir seumuran," pinta Ryo serius. Seperti punya indra ke enam, dia bisa membaca pikiran Kayla."Baiklah, Ryo." Kayla terlihat kikuk.Ryo melempar senyum. "Kamu sudah tahu ruang kerja kamu yang mana?" tanyanya kemudian.Kayla menggeleng. Semua masih sangat asing baginya."Ayo ikut saya!"Kayla membuntuti Ryo yang berjalan duluan. Menyusuri gedung kantor yang belum terlalu ramai. Sampai di ruangan paling ujung, Ryo membuka pintu. Sebuah ruangan bercat putih yang tidak begitu besar, dipisahkan oleh beberapa partisi sebagai sekat. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja bundar yang mungkin berfungsi untuk meeting internal divisi."Ini ruangan k
Gagal lagi! Nabil tidak mengerti apa yang salah pada dirinya. Lebih satu tahun pernikahannya namun istrinya masih suci bak melati. Alangkah lemah dirinya sebagai laki-laki. Nabil mengutuk dirinya berkali-kali.Suara klakson yang bersahut-sahutan membuat Nabil terkesiap. Lampu lalu lintas yang tadi merah sudah berganti warna hijau. Diliriknya kaca spion, puluhan mobil dan motor tengah antri di belakangnya.Shit! Bisa-bisanya dia melamun di tengah kemacetan. Nabil mengoper gigi dan langsung tancap gas. Dia harus sampai sebelum apel pagi dimulai. Namun sepertinya kali ini dia harus mengalah pada keadaan. Di pertigaan depan, kemacetan panjang menunggunya.Nabil mengambil handphonenya, dia bermaksud menghubungi Ari, mengabari kalau dia akan datang terlambat."Bro, kayaknya aku bakalan telat, macet panjang di sudirman.""Tumben, Bro, jangan-jangan karena telat bangun, berapa ronde semalam?""Rese!""Hahaha."Baru saja Nabil akan menyimpan handphone, sebuah notifikasi pesan singkat dari Kayl
Pagi ini Nabil telat lagi. Mata dan tubuhnya yang berat membuatnya tidak kuat membuka mata. Kalau tidak dipaksa Kayla untuk bangkit, mungkin dia akan melewatkan waktu seharian di tempat tidur.Kemacetan menjadi sahabatnya pagi ini. Nabil hampir frustasi melihat aneka rupa kendaraan di depannya yang jalan di tempat.Perut yang kosong menambah ruwet pikirannya. Sejak menjadi wanita karir, Kayla hampir tidak sempat memasak dan menyiapkan makanan untuknya. Bahkan pagi ini, dia hanya menyesap segelas air putih, tanpa makanan pendamping apa pun. Dia memahami kesibukan istrinya dan tidak ingin terlalu banyak menuntut.Mungkin itu kelemahan Kayla yang kurang pandai dalam manajemen waktu. Tapi kelemahannya sendiri lebih fatal dan sangat berdampak pada kehidupan rumah tangganya.Nabil mengembuskan napas berat.Sekilas diliriknya spion. Dia melihat pantulan wajahnya disana. Hidungnya menjulang tinggi dengan bibir yang terpahat sempurna. Tentang matanya jangan ditanya lagi, disanalah pesonanya b
Beberapa hari belakangan Nabil terlihat tidak seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan menghindari Kayla.Kayla bertanya-tanya dalam hati apa gerangan kesalahan yang telah dilakukannya. Tapi sampai buntu pikirannya, ia tetap tidak menemukan jawaban."Bil, boleh aku tanya sesuatu?" Kayla mendekati Nabil yang sedang duduk di sofa ruang tengah lalu duduk di sampingnya."Ada apa, Kay?" Suara Nabil terdengar sangat lirih.Kayla memandang suaminya lekat-lekat. Wajah tampan itu terlihat sedikit pucat."Bil, kamu sakit?" Kayla menyentuh pipi Nabil.Nabil menggeleng pelan. Kepalanya agak berdenyut tapi dia tidak ingin membuat istrinya khawatir."Bil, kenapa sih akhir-akhir ini kamu menghindariku?" "Itu cuma perasaanmu, Kay. Aku tidak menghindari siapa pun," jawab Nabil berkelit."Tapi kamu nggak seperti biasanya," protes Kayla. Entah mengapa dia merindukan Nabil yang selalu menghujaninya dengan perhatian. Nabil yang romantis dan selalu memanjakannya."Emang biasanya aku seperti apa?" Nabil