Pukul lima sore. Kayla hilir mudik di teras rumah. Hari ini Nabil pulang dari Jakarta.
Seharusnya Nabil sudah sampai sejak satu jam yang lalu. Tapi sampai sekarang Tidak ada kabar dari Nabil. Handphonenya tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak bilang kalau pesawat akan delay. Kayla mendadak resah. Tidak biasanya ia seperti ini. Dia mulai memikirkan dan mengkhawatirkan Nabil. Di meja makan sudah terhidang masakan kesukaan Nabil. Sup daging. Kayla sengaja menyiapkan semuanya. Kemarin di telepon Nabil bilang kangen masakannya. "Assalamualaikum ..." Sayup-sayup terdengar suara yang sangat dirindukan Kayla. Kayla bergegas keluar. Spontan dia menghambur ke pelukan Nabil yang melihatnya dengan tatapan rindu. "Apa kabar, Sayang?" tanya Nabil setelah melepaskan pelukannya. "Aku sepi tanpamu," ucap Kayla jujur dari lubuk hati. "Benarkah?" Mata Nabil berbinar-binar. Kayla mengangguk malu. Malu pada Nabil dan perasaannya sendiri. "Kamu pasti lapar, aku sudah siapkan makanan kesukaan kamu, kita makan dulu, yuk!" ajak Kayla. "Nanti saja, aku mau istirahat sebentar." Nabil menunjuk kamar. Kayla mengikuti Nabil menuju kamar. Dia harus menyiapkan baju ganti untuk suaminya. "Saking bosannya tidak ada kegiatan, aku menyetrika hampir seluruh baju di lemari," cerita Kayla. Tangannya sibuk mencarikan baju untuk Nabil di antara susunan pakaian yang terlipat rapi. Nabil diam tak menanggapi. Tiba-tiba Nabil memeluk Kayla dari belakang. "Aku kangen, Sayang," bisik Nabil di telinga Kayla. Embusan napas Nabil menyapu halus tengkuknya, menciptakan sebuah sensasi yang ia tidak tahu namanya. Kayla berbalik. Wajah mereka kini begitu dekat. Perlahan, Nabil menyentuh bibirnya. Indra perasa mereka saling bertaut. Cukup lama. Nabil membawa Kayla ke tempat tidur. Perlahan, tangannya lihai memulai permainan. Jantung Kayla berdegup kencang. Inikah saatnya? "Jangan, Bil!" Tiba-tiba Kayla mendorong tubuh Nabil. Nabil terlihat sangat terkejut atas penolakan Kayla. "Kenapa, Kay?" tanyanya setelah mampu mengatur perasaan. "Ma... maaf, aku belum siap," ucap Kayla dengan bibir bergetar. Buru-buru dia mengambil handuk dan memasang ke tubuhnya. Lalu berlalu menuju kamar mandi, meninggalkan Nabil yang termangu dengan sejuta pertanyaan di benaknya. *** "Welcome back, Bro, oleh-olehnya mana?" tagih Ari saat Nabil sampai di kantor pagi itu. "Sorry Bro, aku lupa," jawab Nabil tak bersemangat. "Payah! Tapi untuk istri nggak lupa kan?" Pertanyaan Ari mengingatkan Nabil pada sesuatu yang dibelinya di Jakarta waktu perjalanan dinas tempo hari belum sempat dia berikan pada Kayla. Kejadian kemarin masih menyisakan rasa kecewa di hatinya. "Heh, kok malah ngelamun?" Ari menepuk pundaknya pelan. "Nggak apa-apa, sarapan yuk!" "Tumben. Biasanya sarapan di rumah. Istri nggak masak?" "Sudah, jangan banyak tanya!" Nabil menyeret Ari ke kantin yang masih berada di lingkungan kantor mereka. Nabil mengunyah nasi goreng yang dipesannya tanpa selera. Sisa-sisa rasa kecewa masih mengakar di hatinya. Sarapan pagi yang dihidangkan Kayla dilewatkannya begitu saja. Dia ingin Kayla tahu bahwa dirinya memprotes sikap Kayla melalui cara itu. Terlalu kekanakan. Tapi dia tidak punya jalan lain untuk menunjukkan perasaannya. Dia tidak ingin marah pada satu-satunya perempuan yang dicintainya. "Bil, kenapa sih sebenarnya? Ada masalah di rumah?" Ari mulai menggali keterangan atas sikap Nabil yang tidak seperti biasanya. Nabil menggeleng dan terus mengunyah makanan yang tanpa rasa di lidahnya. "Jangan gitu lah, Bro, aku tahu kamu bohong. Cerita dong! Kita kan sohib." Berat rasanya menyimpan masalah ini sendiri di hati. Dia ingin berbagi, apalagi Ari sudah senior dan sudah lama menikah. Tapi, paling pantang bagi Nabil mengumbar masalah rumah tangga, terlebih masalah ranjang. "Nggak ada apa-apa, Bro. Semua aman dan terkendali," Nabil meyakinkan. Panggilan masuk di handphone Nabil memutuskan percakapan mereka. Dari Kayla. Nabil enggan menjawab. Dia membiarkan handphonenya terus berdering, hingga akhirnya dia menekan tombol reject, yang berarti Kayla akan tahu kalau dia tidak ingin menerima telepon darinya. Sementara itu Ari semakin curiga dan mengerti sekarang. "Masalah dalam rumah tangga itu biasa, tapi jangan dibiarkan berlarut-larut. Akhirnya akan buruk," Ari menasihati. "Iya, aku tahu, tapi aku butuh waktu." "Jangan sampai kelamaan," timpal Ari lagi. Nabil tidak menanggapi nasihat Ari, tapi di dalam hati dia membenarkan. Handphonenya berdering lagi. Kali ini sebuah pesan dari Kayla. "Bil, aku diterima kerja di PT. Indoraya." "Selamat ya." Nabil membalas tanpa kata 'sayang' yang sering ia ucapkan. "Bil!" "Ya." "Aku minta maaf atas kejadian semalam." "Sudahlah, jangan dibahas." "Aku tahu kamu marah. Buktinya kamu nggak sarapan di rumah." Lama Nabil terpekur menatap layar handphone. Sebelum akhirnya ia mengirim sebuah pesan panjang. "Kayla... apakah kamu tahu, aku sudah lama menanti saat-saat kita memadu kasih, menjadi suami istri yang sesungguhnya. Selama ini aku sengaja memberi kamu waktu untuk benar-benar mencintaiku. Aku tidak mau kamu terpaksa melakukannya. Di saat aku yakin hatimu hanya untukku, ternyata aku salah. Kamu belum siap menerimaku. Ternyata kamu belum benar-benar mencintaiku. Kamu tahu, Kay, di dalam agama kita menolak seorang suami adalah sebuah dosa. Aku tidak ingin kamu jatuh dalam dosa itu. Biarlah, aku akan menunggu sampai kamu benar-benar siap menerimaku." ***Kayla memandang jam dinding dengan perasaan gundah. Sudah hampir tengah malam, tetapi Nabil belum juga pulang. Dia sudah mencoba menelepon berkali-kali, tapi Nabil tak mengangkat teleponnya. Terakhir, waktu Kayla menghubunginya lagi, handphone Nabil sudah tidak aktif.Kayla mencoba tidur. Dia mencoba meyakinkan diri, kalau Nabil akan baik-baik saja, toh mereka sudah dewasa. Namun, dia hanya bisa membolak-balikkan badannya di tempat tidur tanpa mampu memejamkan mata sama sekali. Padahal besok dia harus bangun pagi-pagi sekali melebihi biasanya, karena besok hari pertamanya bekerja. Dia tidak ingin datang terlambat dan memberi kesan buruk.Kayla bangkit dari tempat tidur. Mengutak-atik handphone lalu membuka media sosial miliknya. Kabar tentang hiruk pikuk dunia politik pasca pemilu yang mampir di berandanya membuat Kayla bertambah pusing. Dia segera log out. Lalu seperti biasa membuka aplikasi perpesanan instan dan chatting dengan Nadin. Dia meliat Nadin sedang online."Hai Nad, tumb
"Selamat pagi, Mikayla, selamat datang di Indoraya." Ryo menyambut kedatangan Kayla dengan senyum terukir di bibir."Pagi juga, Pak Ryo," balas Kayla terdengar sedikit kaku. Sebutan Bapak ia kira tidak cocok ditujukan untuk Ryo. Laki-laki itu terlalu muda untuk dipanggil dengan sebutan Bapak."Bisa panggil Ryo saja? Tanpa kata Bapak? Sepertinya kita hampir seumuran," pinta Ryo serius. Seperti punya indra ke enam, dia bisa membaca pikiran Kayla."Baiklah, Ryo." Kayla terlihat kikuk.Ryo melempar senyum. "Kamu sudah tahu ruang kerja kamu yang mana?" tanyanya kemudian.Kayla menggeleng. Semua masih sangat asing baginya."Ayo ikut saya!"Kayla membuntuti Ryo yang berjalan duluan. Menyusuri gedung kantor yang belum terlalu ramai. Sampai di ruangan paling ujung, Ryo membuka pintu. Sebuah ruangan bercat putih yang tidak begitu besar, dipisahkan oleh beberapa partisi sebagai sekat. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja bundar yang mungkin berfungsi untuk meeting internal divisi."Ini ruangan k
Gagal lagi! Nabil tidak mengerti apa yang salah pada dirinya. Lebih satu tahun pernikahannya namun istrinya masih suci bak melati. Alangkah lemah dirinya sebagai laki-laki. Nabil mengutuk dirinya berkali-kali.Suara klakson yang bersahut-sahutan membuat Nabil terkesiap. Lampu lalu lintas yang tadi merah sudah berganti warna hijau. Diliriknya kaca spion, puluhan mobil dan motor tengah antri di belakangnya.Shit! Bisa-bisanya dia melamun di tengah kemacetan. Nabil mengoper gigi dan langsung tancap gas. Dia harus sampai sebelum apel pagi dimulai. Namun sepertinya kali ini dia harus mengalah pada keadaan. Di pertigaan depan, kemacetan panjang menunggunya.Nabil mengambil handphonenya, dia bermaksud menghubungi Ari, mengabari kalau dia akan datang terlambat."Bro, kayaknya aku bakalan telat, macet panjang di sudirman.""Tumben, Bro, jangan-jangan karena telat bangun, berapa ronde semalam?""Rese!""Hahaha."Baru saja Nabil akan menyimpan handphone, sebuah notifikasi pesan singkat dari Kayl
Pagi ini Nabil telat lagi. Mata dan tubuhnya yang berat membuatnya tidak kuat membuka mata. Kalau tidak dipaksa Kayla untuk bangkit, mungkin dia akan melewatkan waktu seharian di tempat tidur.Kemacetan menjadi sahabatnya pagi ini. Nabil hampir frustasi melihat aneka rupa kendaraan di depannya yang jalan di tempat.Perut yang kosong menambah ruwet pikirannya. Sejak menjadi wanita karir, Kayla hampir tidak sempat memasak dan menyiapkan makanan untuknya. Bahkan pagi ini, dia hanya menyesap segelas air putih, tanpa makanan pendamping apa pun. Dia memahami kesibukan istrinya dan tidak ingin terlalu banyak menuntut.Mungkin itu kelemahan Kayla yang kurang pandai dalam manajemen waktu. Tapi kelemahannya sendiri lebih fatal dan sangat berdampak pada kehidupan rumah tangganya.Nabil mengembuskan napas berat.Sekilas diliriknya spion. Dia melihat pantulan wajahnya disana. Hidungnya menjulang tinggi dengan bibir yang terpahat sempurna. Tentang matanya jangan ditanya lagi, disanalah pesonanya b
Beberapa hari belakangan Nabil terlihat tidak seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan menghindari Kayla.Kayla bertanya-tanya dalam hati apa gerangan kesalahan yang telah dilakukannya. Tapi sampai buntu pikirannya, ia tetap tidak menemukan jawaban."Bil, boleh aku tanya sesuatu?" Kayla mendekati Nabil yang sedang duduk di sofa ruang tengah lalu duduk di sampingnya."Ada apa, Kay?" Suara Nabil terdengar sangat lirih.Kayla memandang suaminya lekat-lekat. Wajah tampan itu terlihat sedikit pucat."Bil, kamu sakit?" Kayla menyentuh pipi Nabil.Nabil menggeleng pelan. Kepalanya agak berdenyut tapi dia tidak ingin membuat istrinya khawatir."Bil, kenapa sih akhir-akhir ini kamu menghindariku?" "Itu cuma perasaanmu, Kay. Aku tidak menghindari siapa pun," jawab Nabil berkelit."Tapi kamu nggak seperti biasanya," protes Kayla. Entah mengapa dia merindukan Nabil yang selalu menghujaninya dengan perhatian. Nabil yang romantis dan selalu memanjakannya."Emang biasanya aku seperti apa?" Nabil
Kayla baru saja akan mengetuk pintu, namun pintu berwarna coklat tua itu keburu dibuka dari dalam. Seraut wajah dengan sepasang mata teduh menyembul keluar."Kenapa baru pulang?" tanyanya. Raut wajahnya yang mulai keriput tidak bisa menyembunyikan rasa cemas."Aku lembur, Yah," jawab Kayla sembari melirik jam dinding. Sudah hampir jam 11 malam, wajar jika Ayah mengkhawatirkannya."Diantar laki-laki itu lagi?"Langkah Kayla menuju kamar terhenti mendengar pertanyaan Ayah."Namanya Radit, Yah," jawab Kayla kurang senang.Ayah memang tidak menyukai Radit. Dan selalu menyebutnya dengan sebutan 'laki-laki itu'. Radit, laki-laki berkulit terang itu adalah kekasih Kayla. Dia berperawakan tinggi, berbadan tegap dan berwajah tampan sedikit kebulean. Radit juga lulusan universitas ternama di luar negeri. Namun entah apa kurangnya Radit di mata Ayah."Nanti kamu bisa cepat pulang kan?" tanya Ayah ketika keesokan paginya mereka sarapan bersama."Hmmm... kayaknya aku nggak bisa, Yah," jawab Kayla
Hampir enam bulan sejak kepergian Radit. Hari-hari terasa lama berlalu. Waktu berputar lebih lambat dari semestinya. Kayla merasa hatinya hampa. Apa pun yang dilakukan terasa sangat menjemukan. Dia kehilangan gairah untuk hidup."Kamu harus move on, Kay," ujar Nadin pada suatu hari."Aku nggak bisa, Nad. Tidak ada yang bisa menggantikan Radit disini," lirih Kayla berkata seraya menunjuk dadanya."Sudah cukup. Sudah terlalu lama. Hentikan kebodohan itu, Kay!""Aku memang bodoh. Sangat bodoh. Mencintai orang yang mungkin tidak menginginkanku. Aku..." Kayla tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Matanya berkaca-kaca, dan tidak lama bendungan itu bobol. Air bening mulai terjun bebas, membasahi pipinya yang tirus.Setiap hal tentang Radit selalu mengundang air matanya.Nadin mengusap-usap punggung Kayla. Dia ikut merasakan kesedihan sahabatnya itu. Kayla sangat mencintai Radit dengan tulus. Cintanya pada lelaki itu sangat besar. Tak tergambar dan tak bisa dibandingkan, bahkan dengan cinta Ju
Senin pagi yang basah. Kayla masih meringkuk di tempat tidur. Derasnya hujan semalam menyisakan hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang, membuatnya malas untuk bergerak. Biasanya pada jam segini, dia tengah bergelut dengan kemacetan di perjalanan menuju kantor.Sudah seminggu dia resmi menjadi pengangguran. Belum ada rencana apa pun, selain mencoba mengirim lamaran ke sana kemari. Sempat terpikir untuk membuka usaha, namun uang tabungannya belum mencukupi untuk dijadikan modal. Waktu masih bekerja dulu, dia sangat disiplin menyisihkan sepertiga dari penghasilannya untuk disimpan."Kayla, kamu sudah bangun, nak?" Suara Ayah di depan pintu diiringi dengan ketukan.Kayla menggeliat, lalu bangkit dari pembaringan dan menyeret langkah malas."Sudah, Yah," jawabnya setelah membuka pintu."Ayo sarapan, Ayah sudah siapkan.""Ayah duluan aja, nanti aku menyusul. Aku mau mandi dulu.""Apa rencanamu hari ini?""Belum tahu, Yah, mungkin ke perpustakaan kota, tapi entahlah," ujar Kayla tidak yak