"Kamu yakin mau pergi sendiri?" tanya Nabil saat sarapan pagi. Seandainya pekerjaannya tidak terlalu banyak, Nabil akan menyempatkan menemani Kayla mengantar lamaran kerja.
"Iya Bil, aku bisa sendiri, kok," sahut Kayla sambil meletakkan segelas susu panas di hadapan Nabil. "Baiklah, tapi kamu hati-hati ya, bawa motor jangan terlalu kencang," pesan Nabil setelah menyesap habis susunya. "Iya, Bil," jawab Kayla lagi. "Tapi, apa nggak sebaiknya naik taksi aja?" "Nggak usah, biar aku pakai motor aja, kamu nggak usah cemas, aku pelan-pelan kok," Kayla meyakinkan. "Oke, Sayang, aku berangkat ya," pamit Nabil. Tak lupa dia mengecup kening Kayla. Ritual setiap pagi yang tidak pernah terlewat. Kayla menghadiahi sebuah senyuman manis, membuat semangat Nabil terpompa puluhan kali lipat. Setelah Nabil pergi, Kayla bersiap-siap. Mandi lalu berdandan senatural mungkin. Dia tidak suka riasan yang terlalu berlebihan. Dilihatnya bedak yang tinggal sedikit. Dengan sisa-sisa bedak yang menempel di sponge ternyata masih bisa digunakan untuk mempermanis wajahnya. Lalu Kayla mengoleskan tipis-tipis lipstick bernuansa nude ke bibirnya. Sempurna. Dia merasa puas dengan riasannya yang sederhana dan sangat simpel, yang membuatnya cantik tapi tetap menjadi dirinya sendiri. Jalanan tampak lengang saat Kayla meyusuri kota. Lalu lintas yang biasanya macet sekarang terbilang sepi. Tidak heran, karena sekarang bukanlah jam sibuk. Mayoritas penghuni kota ini sedang berada di kantor atau tempat kerja masing-masing. Hampir dua puluh menit. Akhirnya Kayla sampai di tempat tujuan. Sebuah bangunan bertingkat dua, berpagar besi warna hitam. Di depannya ada plang bertuliskan 'PT. INDORAYA'. Seorang security tersenyum ramah menyambut Kayla. Setelah berbasa-basi sejenak, lelaki bertubuh kekar itu mengarahkan Kayla ke ruang HRD. Tidak berlama-lama, setelah menyerahkan surat lamaran, Kayla pamit pulang. Saat melintasi taman makam pahlawan, entah mengapa mendadak Kayla jadi ingat almarhum Ayah. Rasa rindu tiba-tiba menyergapnya. Gadis itu segera berbalik arah, menuju pemakaman umum. Suasana sepi langsug menyambut begitu Kayla memasuki area pemakaman. Dia langsung menuju tempat peristirahatan terakhir Ayah yang terletak di paling pojok. Gundukan tanah yang masih merah bertabur bunga tampak di sebelah pusara Ayah. Sepertinya masih baru. Mengenang Ayah membuatnya tak kuasa membendung air mata. "Ayah, terima kasih telah memilihkan laki-laki yang sangat baik untukku. Tapi tolong maafkan aku yang masih belum bisa mencintai pilihanmu." *** Sore itu Nabil mengajak Kayla jalan di mall. Selain membuang rasa jenuh, mereka juga sekalian belanja keperluan bulanan. "Kay, kita kesana dulu yuk!" Nabil menunjuk sebuah counter kosmetik. Dahi Kayla berkerut. "Ngapain?" tanyanya keheranan. "Aku lihat bedak kamu sudah habis, sekalian aja kita beli sekarang," jawab Nabil. Kayla tersenyum sumringah. Nabil memang paling mengerti perempuan. Bahkan hal-hal yang paling detail sekali pun tak luput dari perhatiannya. "Lipsticknya nggak sekalian?" tanya Nabil saat Kayla selesai memilih-milih bedak. "Boleh," sahut Kayla. "Skincarenya jangan lupa." Nabil mengingatkan. Kayla menatap sosok Nabil yang berdiri disampingnya. Ada perasaan haru yang diam-diam menyelinap. Nabil begitu perhatian dan sangat menyayanginya. Betapa beruntungnya dia bersuamikan Nabil. "Kamu capek, Sayang?" tanya Nabil melihat Kayla yang tampak kelelahan begitu mereka berada di mobil. "Lumayan." Nabil menyalakan mesin mobil. Tak lama mereka membelah jalanan menuju rumah. "Lusa aku dinas ke Jakarta," Nabil memberitahu setelah mereka lama saling diam. "Kenapa baru bilang sekarang sih?" protes Kayla. "Aku juga baru dikasih tahu. Tadi waktu kamu lagi di toilet, bosku nelepon." "Berarti aku akan sendirian di rumah?" "Kamu takut?" Nabil menoleh melihat ekspresi istrinya. Kayla menggeleng. "Nggak, kamu tenang aja." "Atau gimana kalau kamu nginap di rumah Papa dulu?" saran Nabil. "Nggak usah, Bil, apa kata orang nanti kalau kami cuma berdua di rumah." "Benar juga," gumam Nabil. *** Kayla menjalani hari-hari sunyi tanpa Nabil. Tidak ada aktivitas berarti yang bisa dilakukannya. Biasanya sebelum subuh dia sudah bangun menyiapkan sarapan dan pakaian kerja Nabil. Dan menjelang siang, dia sudah siap memasak dan membereskan pekerjaan rumah tangga lainnya. Mendadak dia ingat Nabil. Ingin laki-laki itu ada disampingnya lagi. Nabil yang pengertian, penuh kasih sayang dan membuatnya selalu nyaman. Apakah itu yang disebut rindu? Apakah ini tanda kalau diam-diam dia mulai mencintai laki-laki itu? Dengan ragu Kayla meraih handphone yang terletak pasrah diatas meja. Antara ingin dan tak ingin, jarinya bergerak lincah menelusur daftar kontak. Saat menemukan nama Nabil dia langsung menyentuh tombol telepon. Kayla memang tidak menamai Nabil di kontaknya dengan sebutan my husband, suamiku, atau panggilan romantis lain. Selama beberapa detik hanya ada nada terhubung. Kayla ingin memutuskan panggilan. Tapi terlambat, Nabil sudah menerima teleponnya. "Halo, Sayang, apa kabar?" Suara khas Nabil terdengar sangat jelas di telinga Kayla. "Aku baik-baik aja, kamu gimana?" Kayla balik bertanya. "Aku juga." "Masih lama ya kamu pulang?" "Dua hari lagi, kenapa? Kamu kangen ya?" goda Nabil, membuat pipi Kayla bersemu merah. Untung Nabil tidak bisa melihatnya. "Mmm... nggak... eh iya," Kayla tergagap. Alangkah malunya dia, Nabil mengetahui perasaannya. Terdengar tawa kecil di seberang sana. "Aku juga. Jaga diri dan hati-hati di rumah ya." "Oke." "I love you." "....." "Kayla, kamu masih disana?" "Eh, iya, apa Bil?" "I love you, my wife." "Eh, hmm... udah ya, Bil, aku angkat jemuran dulu, kayaknya mau hujan." Kayla buru-buru memutus sambungan telepon sebelum Nabil sempat menjawab. Baru beberapa detik, ada sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Kayla membiarkan handphonenya terus berdering tanpa ingin menjawab. Dia paling malas menerima telepon dari nomor yang tidak ada di kontaknya. Pada panggilan ketiga, Kayla memutuskan untuk menjawab telepon. Dia mulai berpikir kalau saja itu telepon penting dari seseorang. Entah siapa. Benar saja. Ternyata telepon dari PT. Indoraya. Kayla dipanggil untuk wawancara kerja. *** Jauh sebelum subuh Kayla sudah bangun. Entah kenapa tidurnya tidak senyenyak hari-hari sebelumnya. Mungkin karena tidak ada Nabil dan bisa jadi karena perasaannya yang tidak tenang karena hari ini dia akan wawancara kerja. Kayla memakai pakaian terbaik yang dimilikinya. Dia harus tampil prima. Bagaimanapun, kesan pertama sedikit banyak akan berpengaruh untuk sang pewawancara nanti. Setelah mematut dirinya di cermin dan merasa yakin penampilannya sudah pas, Kayla bergegas pergi. Suasana di kantor Indoraya lumayan ramai oleh beberapa orang job seeker yang diundang untuk wawancara. Kayla duduk sendiri di kursi yang sengaja disediakan untuk mereka. Dia sama sekali tidak tertarik untuk berkenalan atau membuka pembicaan dengan salah satu dari mereka. Kayla bukan tipe extrovert yang mudah bergaul dan membuka diri. Rasa resah menderanya. Menunggu seperti ini membuatnya bosan. Mendadak ia ingat Radit. Hanya menunggu seorang Raditlah yang tidak membuatnya jenuh. Ah, lagi-lagi Radit. Berkali-kali Kayla mewanti-wanti dirinya kalau dia sudah bersuami. Tapi ingatannya tentang Radit semakin menggila. "Ikut interview juga, Mbak?" sapa seorang perempuan pada Kayla. Kayla menoleh dan membalas senyum ramah perempuan di depannya. "Iya, Mbak," jawabnya. "Saya Chika." Perempuan itu menyebutkan namanya. "Saya Kayla." Mereka pun hanyut dalam pembicaraan panjang. Perempuan yang baru dikenalnya itu sangat supel dan pandai menghangatkan situasi. Berbagai cerita pun mengalir dari mulutnya. "Oh iya, kamu sudah menikah?" Chika bertanya setelah dia melihat cincin berinisial huruf 'N' di jari manis Kayla. Cincin itu adalah cincin kawinnya. Nabil membelikan sepasang untuk mereka berdua. Nabil sendiri memakai cincin berinisial 'K'. "Sudah," jawab Kayla diiringi anggukan. "Sudah punya anak dong?" tebak Chika lagi. Kayla tersentak mendengar pertanyaan itu. Anak. Sesuatu yang selama ini tak terpikirkan olehnya. Mungkin rumah tangganya akan lebih berwarna jika mereka dikaruniai seorang anak. Tapi hal itu sangat mustahil baginya untuk saat ini. Terkadang Kayla ingin bertanya pada Nabil, kenapa hubungan mereka tidak seperti pasangan suami istri pada umumnya. Tapi di sisi lain, Kayla masih belum siap mengakhiri kesuciannya. "Belum," jawab Kayla kemudian. "Kalau kamu gimana?" Kayla balik bertanya. Chika tersenyum getir. "Suamiku baru meninggal dua minggu yang lalu. Meninggalkan aku dan anak yang masih berusia tiga bulan." "Maaf, kalau bikin kamu sedih," ujar Kayla merasa tidak enak. Chika mengusap mata. Ada air mata yang hendak jatuh berusaha ditahannya sekuat tenaga. "Nggak apa-apa kok." Lagi-lagi perempuan itu tersenyum dan berusaha kembali ceria. "Kamu tahu nggak, dulu aku dan suamiku dijodohkan. Aku sama sekali tidak mencintainya. Sekarang saat dia udah nggak ada, aku baru sadar kalau aku sayang sama dia. Tapi semua sudah terlambat." Kayla merasa tersentil. Dia menelan ludah. Kenapa kisah Chika sama dengan cerita cintanya? Mendadak dia ingat Nabil, ada kerinduan yang tak terbendung pada lelaki itu tercipta seketika. Rasa takut menyergapnya. Apa yang akan terjadi jika saja Nabil sudah tiada. Dia akan sebatang kara di dunia ini. Ya, yang dimilikinya sekarang hanya Nabil. Dia tidak ingin kehilangan Nabil seperti Chika kehilangan suaminya. "Ibu Mikayla, ditunggu di ruang HRD." Seorang karyawan datang memberitahu. Pembicaraan mereka terhenti. Padahal Kayla masih ingin mendengar cerita Chika lebih banyak. "Aku duluan ya," pamit Kayla seraya bangkit dari kursi. "Good luck!" Chika tersenyum. Kayla mendadak tegang begitu memasuki ruang HRD. Meskipun bukan pengalaman pertama, tapi sulitnya menaklukkan penyelia baginya tetap menjadi tantangan untuk memasuki dunia kerja. Seorang lelaki muda kira-kira berusia beberapa tahun diatasnya, menyambut ramah. Tegas serta berwibawa dan juga... gagah. Itu kesan pertama yang Kayla tangkap. Sebuah laptop berwarna hitam merek ternama tersaji dengan layar terbuka di hadapannya. "Selamat pagi, Pak," sapa Kayla sopan. "Pagi, silakan duduk." Laki-laki itu mempersilakan dan memberi isyarat dengan tangannya. Kayla menghenyakkan pantatnya yang entah kenapa tiba-tiba terasa pegal. Rasa grogi mulai menyerangnya. Dia mengutuk kelemahan yang tak mampu diubahnya. Kendati demikian, dia bisa melewati rentetan pertanyaan yang diajukan. "Baiklah, saya rasa cukup." Laki-laki berkemeja hitam itu mengakhiri sesi tanya jawab. Kayla tersenyum lega. Itu artinya dia bisa segera pulang ke rumah dan bersiap-siap menanti kedatangan Nabil. "Mikayla!" Kayla yang sudah sampai di pintu menghentikan langkah ketika namanya dipanggil. "Iya, Pak," sahut Kayla. Laki-laki itu mendekati Kayla. "Saya Ryo, temannya Azka." "Ooo..." Jadi ini teman Azka yang diceritakan Nadin. Azka adalah suami Nadin. Lelaki bernama Ryo itu tersenyum. "Tapi bukan berarti kamu diistimewakan lho," candanya. "Iya, Pak." Ryo memandang Kayla penuh arti. Kayla tidak mempu menerjemahkan makna tatapan itu. "Pak Ryo, saya permisi ya," pamit Kayla sebelum rasa grogi menyerangnya lebih jauh. "Oke, silakan," jawab Laki-laki berparas rupawan itu menebar senyuman. ***Pukul lima sore. Kayla hilir mudik di teras rumah. Hari ini Nabil pulang dari Jakarta. Seharusnya Nabil sudah sampai sejak satu jam yang lalu. Tapi sampai sekarang Tidak ada kabar dari Nabil. Handphonenya tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak bilang kalau pesawat akan delay.Kayla mendadak resah. Tidak biasanya ia seperti ini. Dia mulai memikirkan dan mengkhawatirkan Nabil.Di meja makan sudah terhidang masakan kesukaan Nabil. Sup daging. Kayla sengaja menyiapkan semuanya. Kemarin di telepon Nabil bilang kangen masakannya."Assalamualaikum ..."Sayup-sayup terdengar suara yang sangat dirindukan Kayla.Kayla bergegas keluar. Spontan dia menghambur ke pelukan Nabil yang melihatnya dengan tatapan rindu."Apa kabar, Sayang?" tanya Nabil setelah melepaskan pelukannya."Aku sepi tanpamu," ucap Kayla jujur dari lubuk hati."Benarkah?" Mata Nabil berbinar-binar.Kayla mengangguk malu. Malu pada Nabil dan perasaannya sendiri."Kamu pasti lapar, aku sudah siapkan makanan kesukaan kamu, kita ma
Kayla memandang jam dinding dengan perasaan gundah. Sudah hampir tengah malam, tetapi Nabil belum juga pulang. Dia sudah mencoba menelepon berkali-kali, tapi Nabil tak mengangkat teleponnya. Terakhir, waktu Kayla menghubunginya lagi, handphone Nabil sudah tidak aktif.Kayla mencoba tidur. Dia mencoba meyakinkan diri, kalau Nabil akan baik-baik saja, toh mereka sudah dewasa. Namun, dia hanya bisa membolak-balikkan badannya di tempat tidur tanpa mampu memejamkan mata sama sekali. Padahal besok dia harus bangun pagi-pagi sekali melebihi biasanya, karena besok hari pertamanya bekerja. Dia tidak ingin datang terlambat dan memberi kesan buruk.Kayla bangkit dari tempat tidur. Mengutak-atik handphone lalu membuka media sosial miliknya. Kabar tentang hiruk pikuk dunia politik pasca pemilu yang mampir di berandanya membuat Kayla bertambah pusing. Dia segera log out. Lalu seperti biasa membuka aplikasi perpesanan instan dan chatting dengan Nadin. Dia meliat Nadin sedang online."Hai Nad, tumb
"Selamat pagi, Mikayla, selamat datang di Indoraya." Ryo menyambut kedatangan Kayla dengan senyum terukir di bibir."Pagi juga, Pak Ryo," balas Kayla terdengar sedikit kaku. Sebutan Bapak ia kira tidak cocok ditujukan untuk Ryo. Laki-laki itu terlalu muda untuk dipanggil dengan sebutan Bapak."Bisa panggil Ryo saja? Tanpa kata Bapak? Sepertinya kita hampir seumuran," pinta Ryo serius. Seperti punya indra ke enam, dia bisa membaca pikiran Kayla."Baiklah, Ryo." Kayla terlihat kikuk.Ryo melempar senyum. "Kamu sudah tahu ruang kerja kamu yang mana?" tanyanya kemudian.Kayla menggeleng. Semua masih sangat asing baginya."Ayo ikut saya!"Kayla membuntuti Ryo yang berjalan duluan. Menyusuri gedung kantor yang belum terlalu ramai. Sampai di ruangan paling ujung, Ryo membuka pintu. Sebuah ruangan bercat putih yang tidak begitu besar, dipisahkan oleh beberapa partisi sebagai sekat. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja bundar yang mungkin berfungsi untuk meeting internal divisi."Ini ruangan k
Gagal lagi! Nabil tidak mengerti apa yang salah pada dirinya. Lebih satu tahun pernikahannya namun istrinya masih suci bak melati. Alangkah lemah dirinya sebagai laki-laki. Nabil mengutuk dirinya berkali-kali.Suara klakson yang bersahut-sahutan membuat Nabil terkesiap. Lampu lalu lintas yang tadi merah sudah berganti warna hijau. Diliriknya kaca spion, puluhan mobil dan motor tengah antri di belakangnya.Shit! Bisa-bisanya dia melamun di tengah kemacetan. Nabil mengoper gigi dan langsung tancap gas. Dia harus sampai sebelum apel pagi dimulai. Namun sepertinya kali ini dia harus mengalah pada keadaan. Di pertigaan depan, kemacetan panjang menunggunya.Nabil mengambil handphonenya, dia bermaksud menghubungi Ari, mengabari kalau dia akan datang terlambat."Bro, kayaknya aku bakalan telat, macet panjang di sudirman.""Tumben, Bro, jangan-jangan karena telat bangun, berapa ronde semalam?""Rese!""Hahaha."Baru saja Nabil akan menyimpan handphone, sebuah notifikasi pesan singkat dari Kayl
Pagi ini Nabil telat lagi. Mata dan tubuhnya yang berat membuatnya tidak kuat membuka mata. Kalau tidak dipaksa Kayla untuk bangkit, mungkin dia akan melewatkan waktu seharian di tempat tidur.Kemacetan menjadi sahabatnya pagi ini. Nabil hampir frustasi melihat aneka rupa kendaraan di depannya yang jalan di tempat.Perut yang kosong menambah ruwet pikirannya. Sejak menjadi wanita karir, Kayla hampir tidak sempat memasak dan menyiapkan makanan untuknya. Bahkan pagi ini, dia hanya menyesap segelas air putih, tanpa makanan pendamping apa pun. Dia memahami kesibukan istrinya dan tidak ingin terlalu banyak menuntut.Mungkin itu kelemahan Kayla yang kurang pandai dalam manajemen waktu. Tapi kelemahannya sendiri lebih fatal dan sangat berdampak pada kehidupan rumah tangganya.Nabil mengembuskan napas berat.Sekilas diliriknya spion. Dia melihat pantulan wajahnya disana. Hidungnya menjulang tinggi dengan bibir yang terpahat sempurna. Tentang matanya jangan ditanya lagi, disanalah pesonanya b
Beberapa hari belakangan Nabil terlihat tidak seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan menghindari Kayla.Kayla bertanya-tanya dalam hati apa gerangan kesalahan yang telah dilakukannya. Tapi sampai buntu pikirannya, ia tetap tidak menemukan jawaban."Bil, boleh aku tanya sesuatu?" Kayla mendekati Nabil yang sedang duduk di sofa ruang tengah lalu duduk di sampingnya."Ada apa, Kay?" Suara Nabil terdengar sangat lirih.Kayla memandang suaminya lekat-lekat. Wajah tampan itu terlihat sedikit pucat."Bil, kamu sakit?" Kayla menyentuh pipi Nabil.Nabil menggeleng pelan. Kepalanya agak berdenyut tapi dia tidak ingin membuat istrinya khawatir."Bil, kenapa sih akhir-akhir ini kamu menghindariku?" "Itu cuma perasaanmu, Kay. Aku tidak menghindari siapa pun," jawab Nabil berkelit."Tapi kamu nggak seperti biasanya," protes Kayla. Entah mengapa dia merindukan Nabil yang selalu menghujaninya dengan perhatian. Nabil yang romantis dan selalu memanjakannya."Emang biasanya aku seperti apa?" Nabil
Kayla baru saja akan mengetuk pintu, namun pintu berwarna coklat tua itu keburu dibuka dari dalam. Seraut wajah dengan sepasang mata teduh menyembul keluar."Kenapa baru pulang?" tanyanya. Raut wajahnya yang mulai keriput tidak bisa menyembunyikan rasa cemas."Aku lembur, Yah," jawab Kayla sembari melirik jam dinding. Sudah hampir jam 11 malam, wajar jika Ayah mengkhawatirkannya."Diantar laki-laki itu lagi?"Langkah Kayla menuju kamar terhenti mendengar pertanyaan Ayah."Namanya Radit, Yah," jawab Kayla kurang senang.Ayah memang tidak menyukai Radit. Dan selalu menyebutnya dengan sebutan 'laki-laki itu'. Radit, laki-laki berkulit terang itu adalah kekasih Kayla. Dia berperawakan tinggi, berbadan tegap dan berwajah tampan sedikit kebulean. Radit juga lulusan universitas ternama di luar negeri. Namun entah apa kurangnya Radit di mata Ayah."Nanti kamu bisa cepat pulang kan?" tanya Ayah ketika keesokan paginya mereka sarapan bersama."Hmmm... kayaknya aku nggak bisa, Yah," jawab Kayla
Hampir enam bulan sejak kepergian Radit. Hari-hari terasa lama berlalu. Waktu berputar lebih lambat dari semestinya. Kayla merasa hatinya hampa. Apa pun yang dilakukan terasa sangat menjemukan. Dia kehilangan gairah untuk hidup."Kamu harus move on, Kay," ujar Nadin pada suatu hari."Aku nggak bisa, Nad. Tidak ada yang bisa menggantikan Radit disini," lirih Kayla berkata seraya menunjuk dadanya."Sudah cukup. Sudah terlalu lama. Hentikan kebodohan itu, Kay!""Aku memang bodoh. Sangat bodoh. Mencintai orang yang mungkin tidak menginginkanku. Aku..." Kayla tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Matanya berkaca-kaca, dan tidak lama bendungan itu bobol. Air bening mulai terjun bebas, membasahi pipinya yang tirus.Setiap hal tentang Radit selalu mengundang air matanya.Nadin mengusap-usap punggung Kayla. Dia ikut merasakan kesedihan sahabatnya itu. Kayla sangat mencintai Radit dengan tulus. Cintanya pada lelaki itu sangat besar. Tak tergambar dan tak bisa dibandingkan, bahkan dengan cinta Ju