"Kamu yakin mau pergi sendiri?" tanya Nabil saat sarapan pagi. Seandainya pekerjaannya tidak terlalu banyak, Nabil akan menyempatkan menemani Kayla mengantar lamaran kerja.
"Iya Bil, aku bisa sendiri, kok," sahut Kayla sambil meletakkan segelas susu panas di hadapan Nabil. "Baiklah, tapi kamu hati-hati ya, bawa motor jangan terlalu kencang," pesan Nabil setelah menyesap habis susunya. "Iya, Bil," jawab Kayla lagi. "Tapi, apa nggak sebaiknya naik taksi aja?" "Nggak usah, biar aku pakai motor aja, kamu nggak usah cemas, aku pelan-pelan kok," Kayla meyakinkan. "Oke, Sayang, aku berangkat ya," pamit Nabil. Tak lupa dia mengecup kening Kayla. Ritual setiap pagi yang tidak pernah terlewat. Kayla menghadiahi sebuah senyuman manis, membuat semangat Nabil terpompa puluhan kali lipat. Setelah Nabil pergi, Kayla bersiap-siap. Mandi lalu berdandan senatural mungkin. Dia tidak suka riasan yang terlalu berlebihan. Dilihatnya bedak yang tinggal sedikit. Dengan sisa-sisa bedak yang menempel di sponge ternyata masih bisa digunakan untuk mempermanis wajahnya. Lalu Kayla mengoleskan tipis-tipis lipstick bernuansa nude ke bibirnya. Sempurna. Dia merasa puas dengan riasannya yang sederhana dan sangat simpel, yang membuatnya cantik tapi tetap menjadi dirinya sendiri. Jalanan tampak lengang saat Kayla meyusuri kota. Lalu lintas yang biasanya macet sekarang terbilang sepi. Tidak heran, karena sekarang bukanlah jam sibuk. Mayoritas penghuni kota ini sedang berada di kantor atau tempat kerja masing-masing. Hampir dua puluh menit. Akhirnya Kayla sampai di tempat tujuan. Sebuah bangunan bertingkat dua, berpagar besi warna hitam. Di depannya ada plang bertuliskan 'PT. INDORAYA'. Seorang security tersenyum ramah menyambut Kayla. Setelah berbasa-basi sejenak, lelaki bertubuh kekar itu mengarahkan Kayla ke ruang HRD. Tidak berlama-lama, setelah menyerahkan surat lamaran, Kayla pamit pulang. Saat melintasi taman makam pahlawan, entah mengapa mendadak Kayla jadi ingat almarhum Ayah. Rasa rindu tiba-tiba menyergapnya. Gadis itu segera berbalik arah, menuju pemakaman umum. Suasana sepi langsug menyambut begitu Kayla memasuki area pemakaman. Dia langsung menuju tempat peristirahatan terakhir Ayah yang terletak di paling pojok. Gundukan tanah yang masih merah bertabur bunga tampak di sebelah pusara Ayah. Sepertinya masih baru. Mengenang Ayah membuatnya tak kuasa membendung air mata. "Ayah, terima kasih telah memilihkan laki-laki yang sangat baik untukku. Tapi tolong maafkan aku yang masih belum bisa mencintai pilihanmu." *** Sore itu Nabil mengajak Kayla jalan di mall. Selain membuang rasa jenuh, mereka juga sekalian belanja keperluan bulanan. "Kay, kita kesana dulu yuk!" Nabil menunjuk sebuah counter kosmetik. Dahi Kayla berkerut. "Ngapain?" tanyanya keheranan. "Aku lihat bedak kamu sudah habis, sekalian aja kita beli sekarang," jawab Nabil. Kayla tersenyum sumringah. Nabil memang paling mengerti perempuan. Bahkan hal-hal yang paling detail sekali pun tak luput dari perhatiannya. "Lipsticknya nggak sekalian?" tanya Nabil saat Kayla selesai memilih-milih bedak. "Boleh," sahut Kayla. "Skincarenya jangan lupa." Nabil mengingatkan. Kayla menatap sosok Nabil yang berdiri disampingnya. Ada perasaan haru yang diam-diam menyelinap. Nabil begitu perhatian dan sangat menyayanginya. Betapa beruntungnya dia bersuamikan Nabil. "Kamu capek, Sayang?" tanya Nabil melihat Kayla yang tampak kelelahan begitu mereka berada di mobil. "Lumayan." Nabil menyalakan mesin mobil. Tak lama mereka membelah jalanan menuju rumah. "Lusa aku dinas ke Jakarta," Nabil memberitahu setelah mereka lama saling diam. "Kenapa baru bilang sekarang sih?" protes Kayla. "Aku juga baru dikasih tahu. Tadi waktu kamu lagi di toilet, bosku nelepon." "Berarti aku akan sendirian di rumah?" "Kamu takut?" Nabil menoleh melihat ekspresi istrinya. Kayla menggeleng. "Nggak, kamu tenang aja." "Atau gimana kalau kamu nginap di rumah Papa dulu?" saran Nabil. "Nggak usah, Bil, apa kata orang nanti kalau kami cuma berdua di rumah." "Benar juga," gumam Nabil. *** Kayla menjalani hari-hari sunyi tanpa Nabil. Tidak ada aktivitas berarti yang bisa dilakukannya. Biasanya sebelum subuh dia sudah bangun menyiapkan sarapan dan pakaian kerja Nabil. Dan menjelang siang, dia sudah siap memasak dan membereskan pekerjaan rumah tangga lainnya. Mendadak dia ingat Nabil. Ingin laki-laki itu ada disampingnya lagi. Nabil yang pengertian, penuh kasih sayang dan membuatnya selalu nyaman. Apakah itu yang disebut rindu? Apakah ini tanda kalau diam-diam dia mulai mencintai laki-laki itu? Dengan ragu Kayla meraih handphone yang terletak pasrah diatas meja. Antara ingin dan tak ingin, jarinya bergerak lincah menelusur daftar kontak. Saat menemukan nama Nabil dia langsung menyentuh tombol telepon. Kayla memang tidak menamai Nabil di kontaknya dengan sebutan my husband, suamiku, atau panggilan romantis lain. Selama beberapa detik hanya ada nada terhubung. Kayla ingin memutuskan panggilan. Tapi terlambat, Nabil sudah menerima teleponnya. "Halo, Sayang, apa kabar?" Suara khas Nabil terdengar sangat jelas di telinga Kayla. "Aku baik-baik aja, kamu gimana?" Kayla balik bertanya. "Aku juga." "Masih lama ya kamu pulang?" "Dua hari lagi, kenapa? Kamu kangen ya?" goda Nabil, membuat pipi Kayla bersemu merah. Untung Nabil tidak bisa melihatnya. "Mmm... nggak... eh iya," Kayla tergagap. Alangkah malunya dia, Nabil mengetahui perasaannya. Terdengar tawa kecil di seberang sana. "Aku juga. Jaga diri dan hati-hati di rumah ya." "Oke." "I love you." "....." "Kayla, kamu masih disana?" "Eh, iya, apa Bil?" "I love you, my wife." "Eh, hmm... udah ya, Bil, aku angkat jemuran dulu, kayaknya mau hujan." Kayla buru-buru memutus sambungan telepon sebelum Nabil sempat menjawab. Baru beberapa detik, ada sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Kayla membiarkan handphonenya terus berdering tanpa ingin menjawab. Dia paling malas menerima telepon dari nomor yang tidak ada di kontaknya. Pada panggilan ketiga, Kayla memutuskan untuk menjawab telepon. Dia mulai berpikir kalau saja itu telepon penting dari seseorang. Entah siapa. Benar saja. Ternyata telepon dari PT. Indoraya. Kayla dipanggil untuk wawancara kerja. *** Jauh sebelum subuh Kayla sudah bangun. Entah kenapa tidurnya tidak senyenyak hari-hari sebelumnya. Mungkin karena tidak ada Nabil dan bisa jadi karena perasaannya yang tidak tenang karena hari ini dia akan wawancara kerja. Kayla memakai pakaian terbaik yang dimilikinya. Dia harus tampil prima. Bagaimanapun, kesan pertama sedikit banyak akan berpengaruh untuk sang pewawancara nanti. Setelah mematut dirinya di cermin dan merasa yakin penampilannya sudah pas, Kayla bergegas pergi. Suasana di kantor Indoraya lumayan ramai oleh beberapa orang job seeker yang diundang untuk wawancara. Kayla duduk sendiri di kursi yang sengaja disediakan untuk mereka. Dia sama sekali tidak tertarik untuk berkenalan atau membuka pembicaan dengan salah satu dari mereka. Kayla bukan tipe extrovert yang mudah bergaul dan membuka diri. Rasa resah menderanya. Menunggu seperti ini membuatnya bosan. Mendadak ia ingat Radit. Hanya menunggu seorang Raditlah yang tidak membuatnya jenuh. Ah, lagi-lagi Radit. Berkali-kali Kayla mewanti-wanti dirinya kalau dia sudah bersuami. Tapi ingatannya tentang Radit semakin menggila. "Ikut interview juga, Mbak?" sapa seorang perempuan pada Kayla. Kayla menoleh dan membalas senyum ramah perempuan di depannya. "Iya, Mbak," jawabnya. "Saya Chika." Perempuan itu menyebutkan namanya. "Saya Kayla." Mereka pun hanyut dalam pembicaraan panjang. Perempuan yang baru dikenalnya itu sangat supel dan pandai menghangatkan situasi. Berbagai cerita pun mengalir dari mulutnya. "Oh iya, kamu sudah menikah?" Chika bertanya setelah dia melihat cincin berinisial huruf 'N' di jari manis Kayla. Cincin itu adalah cincin kawinnya. Nabil membelikan sepasang untuk mereka berdua. Nabil sendiri memakai cincin berinisial 'K'. "Sudah," jawab Kayla diiringi anggukan. "Sudah punya anak dong?" tebak Chika lagi. Kayla tersentak mendengar pertanyaan itu. Anak. Sesuatu yang selama ini tak terpikirkan olehnya. Mungkin rumah tangganya akan lebih berwarna jika mereka dikaruniai seorang anak. Tapi hal itu sangat mustahil baginya untuk saat ini. Terkadang Kayla ingin bertanya pada Nabil, kenapa hubungan mereka tidak seperti pasangan suami istri pada umumnya. Tapi di sisi lain, Kayla masih belum siap mengakhiri kesuciannya. "Belum," jawab Kayla kemudian. "Kalau kamu gimana?" Kayla balik bertanya. Chika tersenyum getir. "Suamiku baru meninggal dua minggu yang lalu. Meninggalkan aku dan anak yang masih berusia tiga bulan." "Maaf, kalau bikin kamu sedih," ujar Kayla merasa tidak enak. Chika mengusap mata. Ada air mata yang hendak jatuh berusaha ditahannya sekuat tenaga. "Nggak apa-apa kok." Lagi-lagi perempuan itu tersenyum dan berusaha kembali ceria. "Kamu tahu nggak, dulu aku dan suamiku dijodohkan. Aku sama sekali tidak mencintainya. Sekarang saat dia udah nggak ada, aku baru sadar kalau aku sayang sama dia. Tapi semua sudah terlambat." Kayla merasa tersentil. Dia menelan ludah. Kenapa kisah Chika sama dengan cerita cintanya? Mendadak dia ingat Nabil, ada kerinduan yang tak terbendung pada lelaki itu tercipta seketika. Rasa takut menyergapnya. Apa yang akan terjadi jika saja Nabil sudah tiada. Dia akan sebatang kara di dunia ini. Ya, yang dimilikinya sekarang hanya Nabil. Dia tidak ingin kehilangan Nabil seperti Chika kehilangan suaminya. "Ibu Mikayla, ditunggu di ruang HRD." Seorang karyawan datang memberitahu. Pembicaraan mereka terhenti. Padahal Kayla masih ingin mendengar cerita Chika lebih banyak. "Aku duluan ya," pamit Kayla seraya bangkit dari kursi. "Good luck!" Chika tersenyum. Kayla mendadak tegang begitu memasuki ruang HRD. Meskipun bukan pengalaman pertama, tapi sulitnya menaklukkan penyelia baginya tetap menjadi tantangan untuk memasuki dunia kerja. Seorang lelaki muda kira-kira berusia beberapa tahun diatasnya, menyambut ramah. Tegas serta berwibawa dan juga... gagah. Itu kesan pertama yang Kayla tangkap. Sebuah laptop berwarna hitam merek ternama tersaji dengan layar terbuka di hadapannya. "Selamat pagi, Pak," sapa Kayla sopan. "Pagi, silakan duduk." Laki-laki itu mempersilakan dan memberi isyarat dengan tangannya. Kayla menghenyakkan pantatnya yang entah kenapa tiba-tiba terasa pegal. Rasa grogi mulai menyerangnya. Dia mengutuk kelemahan yang tak mampu diubahnya. Kendati demikian, dia bisa melewati rentetan pertanyaan yang diajukan. "Baiklah, saya rasa cukup." Laki-laki berkemeja hitam itu mengakhiri sesi tanya jawab. Kayla tersenyum lega. Itu artinya dia bisa segera pulang ke rumah dan bersiap-siap menanti kedatangan Nabil. "Mikayla!" Kayla yang sudah sampai di pintu menghentikan langkah ketika namanya dipanggil. "Iya, Pak," sahut Kayla. Laki-laki itu mendekati Kayla. "Saya Ryo, temannya Azka." "Ooo..." Jadi ini teman Azka yang diceritakan Nadin. Azka adalah suami Nadin. Lelaki bernama Ryo itu tersenyum. "Tapi bukan berarti kamu diistimewakan lho," candanya. "Iya, Pak." Ryo memandang Kayla penuh arti. Kayla tidak mempu menerjemahkan makna tatapan itu. "Pak Ryo, saya permisi ya," pamit Kayla sebelum rasa grogi menyerangnya lebih jauh. "Oke, silakan," jawab Laki-laki berparas rupawan itu menebar senyuman. ***Pukul lima sore. Kayla hilir mudik di teras rumah. Hari ini Nabil pulang dari Jakarta. Seharusnya Nabil sudah sampai sejak satu jam yang lalu. Tapi sampai sekarang Tidak ada kabar dari Nabil. Handphonenya tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak bilang kalau pesawat akan delay.Kayla mendadak resah. Tidak biasanya ia seperti ini. Dia mulai memikirkan dan mengkhawatirkan Nabil.Di meja makan sudah terhidang masakan kesukaan Nabil. Sup daging. Kayla sengaja menyiapkan semuanya. Kemarin di telepon Nabil bilang kangen masakannya."Assalamualaikum ..."Sayup-sayup terdengar suara yang sangat dirindukan Kayla.Kayla bergegas keluar. Spontan dia menghambur ke pelukan Nabil yang melihatnya dengan tatapan rindu."Apa kabar, Sayang?" tanya Nabil setelah melepaskan pelukannya."Aku sepi tanpamu," ucap Kayla jujur dari lubuk hati."Benarkah?" Mata Nabil berbinar-binar.Kayla mengangguk malu. Malu pada Nabil dan perasaannya sendiri."Kamu pasti lapar, aku sudah siapkan makanan kesukaan kamu, kita ma
Kayla memandang jam dinding dengan perasaan gundah. Sudah hampir tengah malam, tetapi Nabil belum juga pulang. Dia sudah mencoba menelepon berkali-kali, tapi Nabil tak mengangkat teleponnya. Terakhir, waktu Kayla menghubunginya lagi, handphone Nabil sudah tidak aktif.Kayla mencoba tidur. Dia mencoba meyakinkan diri, kalau Nabil akan baik-baik saja, toh mereka sudah dewasa. Namun, dia hanya bisa membolak-balikkan badannya di tempat tidur tanpa mampu memejamkan mata sama sekali. Padahal besok dia harus bangun pagi-pagi sekali melebihi biasanya, karena besok hari pertamanya bekerja. Dia tidak ingin datang terlambat dan memberi kesan buruk.Kayla bangkit dari tempat tidur. Mengutak-atik handphone lalu membuka media sosial miliknya. Kabar tentang hiruk pikuk dunia politik pasca pemilu yang mampir di berandanya membuat Kayla bertambah pusing. Dia segera log out. Lalu seperti biasa membuka aplikasi perpesanan instan dan chatting dengan Nadin. Dia meliat Nadin sedang online."Hai Nad, tumb
"Selamat pagi, Mikayla, selamat datang di Indoraya." Ryo menyambut kedatangan Kayla dengan senyum terukir di bibir."Pagi juga, Pak Ryo," balas Kayla terdengar sedikit kaku. Sebutan Bapak ia kira tidak cocok ditujukan untuk Ryo. Laki-laki itu terlalu muda untuk dipanggil dengan sebutan Bapak."Bisa panggil Ryo saja? Tanpa kata Bapak? Sepertinya kita hampir seumuran," pinta Ryo serius. Seperti punya indra ke enam, dia bisa membaca pikiran Kayla."Baiklah, Ryo." Kayla terlihat kikuk.Ryo melempar senyum. "Kamu sudah tahu ruang kerja kamu yang mana?" tanyanya kemudian.Kayla menggeleng. Semua masih sangat asing baginya."Ayo ikut saya!"Kayla membuntuti Ryo yang berjalan duluan. Menyusuri gedung kantor yang belum terlalu ramai. Sampai di ruangan paling ujung, Ryo membuka pintu. Sebuah ruangan bercat putih yang tidak begitu besar, dipisahkan oleh beberapa partisi sebagai sekat. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja bundar yang mungkin berfungsi untuk meeting internal divisi."Ini ruangan k
Gagal lagi! Nabil tidak mengerti apa yang salah pada dirinya. Lebih satu tahun pernikahannya namun istrinya masih suci bak melati. Alangkah lemah dirinya sebagai laki-laki. Nabil mengutuk dirinya berkali-kali.Suara klakson yang bersahut-sahutan membuat Nabil terkesiap. Lampu lalu lintas yang tadi merah sudah berganti warna hijau. Diliriknya kaca spion, puluhan mobil dan motor tengah antri di belakangnya.Shit! Bisa-bisanya dia melamun di tengah kemacetan. Nabil mengoper gigi dan langsung tancap gas. Dia harus sampai sebelum apel pagi dimulai. Namun sepertinya kali ini dia harus mengalah pada keadaan. Di pertigaan depan, kemacetan panjang menunggunya.Nabil mengambil handphonenya, dia bermaksud menghubungi Ari, mengabari kalau dia akan datang terlambat."Bro, kayaknya aku bakalan telat, macet panjang di sudirman.""Tumben, Bro, jangan-jangan karena telat bangun, berapa ronde semalam?""Rese!""Hahaha."Baru saja Nabil akan menyimpan handphone, sebuah notifikasi pesan singkat dari Kayl
Pagi ini Nabil telat lagi. Mata dan tubuhnya yang berat membuatnya tidak kuat membuka mata. Kalau tidak dipaksa Kayla untuk bangkit, mungkin dia akan melewatkan waktu seharian di tempat tidur.Kemacetan menjadi sahabatnya pagi ini. Nabil hampir frustasi melihat aneka rupa kendaraan di depannya yang jalan di tempat.Perut yang kosong menambah ruwet pikirannya. Sejak menjadi wanita karir, Kayla hampir tidak sempat memasak dan menyiapkan makanan untuknya. Bahkan pagi ini, dia hanya menyesap segelas air putih, tanpa makanan pendamping apa pun. Dia memahami kesibukan istrinya dan tidak ingin terlalu banyak menuntut.Mungkin itu kelemahan Kayla yang kurang pandai dalam manajemen waktu. Tapi kelemahannya sendiri lebih fatal dan sangat berdampak pada kehidupan rumah tangganya.Nabil mengembuskan napas berat.Sekilas diliriknya spion. Dia melihat pantulan wajahnya disana. Hidungnya menjulang tinggi dengan bibir yang terpahat sempurna. Tentang matanya jangan ditanya lagi, disanalah pesonanya b
Beberapa hari belakangan Nabil terlihat tidak seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan menghindari Kayla.Kayla bertanya-tanya dalam hati apa gerangan kesalahan yang telah dilakukannya. Tapi sampai buntu pikirannya, ia tetap tidak menemukan jawaban."Bil, boleh aku tanya sesuatu?" Kayla mendekati Nabil yang sedang duduk di sofa ruang tengah lalu duduk di sampingnya."Ada apa, Kay?" Suara Nabil terdengar sangat lirih.Kayla memandang suaminya lekat-lekat. Wajah tampan itu terlihat sedikit pucat."Bil, kamu sakit?" Kayla menyentuh pipi Nabil.Nabil menggeleng pelan. Kepalanya agak berdenyut tapi dia tidak ingin membuat istrinya khawatir."Bil, kenapa sih akhir-akhir ini kamu menghindariku?" "Itu cuma perasaanmu, Kay. Aku tidak menghindari siapa pun," jawab Nabil berkelit."Tapi kamu nggak seperti biasanya," protes Kayla. Entah mengapa dia merindukan Nabil yang selalu menghujaninya dengan perhatian. Nabil yang romantis dan selalu memanjakannya."Emang biasanya aku seperti apa?" Nabil
Kayla memandang tumpukan binder dan kertas-kertas yang teronggok di atas meja kerja dengan lemas. Pekerjaannya seakan tiada habis. Bahkan onggokan itu terasa bertambah tinggi.Diliriknya meja Raisa yang berada di seberang. Tidak jauh berbeda dengan pemandangan di atas meja kerjanya. Bahkan wajah Raisa hampir tenggelam oleh gunungan barang-barang diatas mejanya."Kayaknya hari ini kita bakalan lembur lagi," ujar Chicco, rekan kerjanya yang berpembawaan kemayu.Beberapa hari belakangan mereka disibukkan dengan laporan akhir bulan yang harus segera diselesaikan. Delapan jam kerja efektif hampir setiap hari ternyata tidak cukup untuk menuntaskan semuanya. Ditambah lagi dengan keterbatasan sumber daya manusia. Mau tidak mau mereka harus mengorbankan waktu untuk lembur di kantor."Kay, suamimu nggak marah kalau sering lembur?" tanya Raisa tanpa menoleh.Kayla yang sedang memeriksa beberapa berkas menghentikan sejenak aktivitasnya. Diantara mereka bertiga, hanya Kayla yang sudah menikah. Oto
Laki-laki itu langsung duduk di tempat yang ditunjuk Ryo. Setelah memberi kata sambutan, dia memperkenalkan diri sebagai branch manager yang baru di kantor Kayla.Kayla masih berusaha menguasai perasaannya yang belum stabil. Dia gelisah sepanjang acara. Waktu terasa sangat lama berlalu. Hingga di menit ke lima puluh lima acara selesai. Sebagian karyawan meninggalkan ruangan untuk kembali bekerja dan melaksanakan tugas masing-masing."Untuk divisi keuangan, HRD dan procurement, diharapkan tetap tinggal karena akan ada meeting internal dengan Bapak Radit." Ryo memberi pengumuman sebelum semuanya bubar.Tidak dapat dihindarkan lagi, akhirnya pandangan mereka beradu, Kayla merasa darahnya berdesir hebat. Sementara Radit, ada keterkejutan yang teramat sangat tersirat di wajahnya. Namun dia cepat-cepat menguasai keadaan dan bersikap sewajarnya.Kayla benar-benar mati kutu dan merasa bagaikan seorang pesakitan. Dia yang biasanya selalu aktif sumbang pendapat, kali ini hanya terdiam seribu
Dea berdiri di depan cermin di kamarnya. Ia memandang refleksi dirinya disana. Sepasang matanya yang besar dan berbulu lentik berpendar menlusuri setiap inci bagian wajahnya. Dea masih belum menemukan kekurangan yang berarti pada fisiknya. Manusia normal dan mempunyai kewarasan pasti tidak akan mengingkari keindahan yang disematkan sang pencipta padanya."Aku kurang apalagi? Apakah aku kurang cantik? Apakah aku tidak menarik? Apakah penampilanku biasa saja?" Dea bertanya sendiri pada dirinya. Dea merasa dirinya masih sangat layak untuk mendampingi Nabil. Tapi kenapa Nabil menutup hati untuknya?"Kenapa Nabil bisa bikin aku hancur kayak gini? Apa hebatnya dia? Dia pikir cuma dia laki-laki di dunia ini?"Dari tadi Dea berbicara sendiri pada dirinya. Dea sudah tidak tahan lagi. Dirinya sudah berada di titik kulminasi. Dea lelah dengan perasaan dan hidupnya yang kacau. Semua ini harus ia akhiri sebelum kewarasannya patut dipertanyakan. Ia harus menjadi pribadi baru yang jauh lebih baik
Nabil bukannya tidak punya perasaan dengan terang-terangan mengatakan pada Dea bahwa mungkin sudah ada yang menggantikannya. Nabil berharap dengan ketegasan sikapnya itu Dea tidak lagi menyimpan harapan padanya. Tapi sepertinya Dea masih belum menyerah meski Nabil sudah menolak dengan berbagai cara mulai dari cara yang paling halus sampai cara frontal seperti kemarin.Nabil menyadari sekarang, mungkin karena pada dasarnya ia memang tidak mencintai Dea, jadi seperti apapun cara Dea merebut hatinya, Nabil tidak akan luluh. Lain halnya jika ia mencintai dari awal. Nabil memang sempat mencintai Dea, dan itu begitu dirasakannya saat Dea berjuang mempertaruhkan nyawa saat melahirkan anak mereka. Tapi kembali lagi, jika prinsipnya hanya karena cinta yang terbiasa, bukan karena cinta pada pandangan pertama, maka rasa itu sangat cepat memudar. Nabil tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Kayla dulu juga ia cintai karena telah terbiasa hidup bersama. Namun perasaannya pada Kayla begitu meleka
Rasanya sudah terlalu lama Dea meratapi diri dan menyesali nasib. "Have you ever seen the sun after the heartbreak? Frozen somewhere in time. Have you ever seen the stars after the word goodbye?" Kalimat itu benar adanya. Dea sudah merasakan dan membuktikannyta sendiri. Ia tidak melihat matahari dan bintang lagi setelah berpisah dengan Nabil. Siang dan malam sudah tak bisa dibedakannya karena semua membeku pada satu waktu,Dea merasa sebentar lagi akan kehilangan kewarasannya jika terus-terusan bersikap begini. Penyesalan terbesar dalam hidup Dea adalah karena tetap nekat pergi meski Nabil sudah melarangnya waktu itu. Padahal Nabil sudah memberinya kode keras. Nabil yang selama ini lunak padanya dan kerap luluh ketika Dea menyerang kelemahannya, ternyata bisa keras juga. Dan kerasnya tidak main-main. Jika saja waktu bisa diputar dan diulang ke belakang, Dea akan memperbaiki semuanya. Ia akan berpikir sebelum bertindak. Dea akan membuang jauh-jauh sifat buruknya. Termasuk pada K
Hari itu Alan datang ke kediaman Kayla dan Radit. Begitu melihat Alan, rahang Radit langsung mengeras. Radit tidak tahu apa tujuan Alan menemuinya. Tapi melihatnya saja emosinya sudah tersulut."Dit, bisa minta waktunya sebentar?" Alan cepat-cepat bertanya begitu Radit ingin pergi menghindar.Radit ingin menghiraukannya tapi Kayla cepat-cepat memberi isyarat dengan matanya agar Radit segera duduk di sebelahnya.Karena Kayla yang meminta, Radit pun menurutinya walau dengan malas-malasan dan hati berat."Apa kabar, Dit?" sapa Alan berbasa-basi."Baik," jawab Radit singkat."Aku kesini mau ajak kamu bekerja lagi di kantorku," kata Alan menjelaskan tujuan kedatangannya.Radit diam saja. Matanya tidak menatap Alan, namun telinganya mendengar dengan jelas apa yang dikatakan laki-laki itu."Aku butuh kamu, Dit. Aku butuh tenaga porofesional seperti kamu," kata Alan lagi."Masih banyak yang lebih profesional. Bukan hanya aku," ujar Radit menanggapi."Memang banyak, Dit, tapi aku mau yang kine
Berkutat dengan pekerjaan seharian ini membuat Keyzia merasa butuh refreshing. Pikirannya sudah tersita banyak oleh pekerjaan dan tenaganya pun ikut terforsir. Keyzia ingin memanjakan matanya dengan yang indah-indah. Seperti kebanyakan wanita pada umumnya, defenisi kata indah disini adalah tidak jauh-jauh dari baju, tas, dan sepatu. Keyzia menjatuhkan pilihannya pada Kayra Boutique. Sejak awak berbelanja disana, Keyzia sudah merasa cocok. Saat ini juga Keyzia memutuskan untuk pergi ke sana.Beberapa menit duduk di lobi, taksi yang dipesan Keyzia pun datang. Setelah menyebutkan tujuannya dengan jelas, taksi pun bergerak dengan kecepatan sedang. Di dalam taksi Keyzia melamun dan merenungi diri. Sepertinya ia mulai termakan kata-katanya sendiri. Keyzia paling anti menyukai laki-laki yang sudah menjadi milik orang dan sudah pernah menikah. Tapi yang terjadi, dirinya malah menyukai Radit yang notabene sudah memiliki istri. Keyzia tidak mau menjadi orang ketiga. Karma pelakor itu sangat me
Pagi ini Keyzia memutuskan berangkat sendiri ke kantornya menggunakan taksi. Keyzia merasa tidak enak jika tiap hari harus merepotkan Nabil. Sebenarnya bukan hanya itu alasannya. Setelah percakapan mereka di mobil waktu itu, Keyzia merasa Nabil menyimpan rasa tak biasa padanya. Bisa jadi Nabil menyukainya. Dan hal itu membuat Keyzia merasa tidak nyaman. Keyzia takut hatinya tidak kuat dan ikut membalas perasaan Nabil. Tidak ada yang salah jika pada akhirnya ia juga menyukai Nabil. Namun itu sama artinya dengan menjilat ludahnya sendiri. Yang membuat Keyzia heran, karakter Nabil jauh dari yang pernah diceritakan Putri padanya. Adiknya itu bilang, Nabil itu cool, irit bicara, dan cenderung cuek. Tapi fakta yang dihadapi Keyzia, semua itu jauh dari gambaran Putri. Sikap Nabil begitu hangat dan manis. Mereka bisa membicarakan topik apa saja, dan Nabil mampu mengimbanginya. Pertanyaannya sekarang, apakah Nabil bersikap demikian hanya saat bersama dirinya?Keyzia melangkah cepat dengan ket
Nabil duduk sendiri di teras rumah sambil menatap langit malam. Tidak ada bintang atau pun bulan yang tertangkap oleh matanya. Semilir angin dingin yang menusuk sampai ke tulang tak dirasakannya.Sejak pulang dari pusara Deana tadi, sedetik pun Nabil tidak berhenti memikirkan Dea. Rasa bersalah semakin menusuk hatinya. Nabil seolah kembali mendapatkan akal sehatnya yang hilang.Rentetan peristiwa yang telah terjadi, sekarang membayang kembali. Sama seperti di pusara tadi, semua seperti adegan slow motion yang terus berulang-ulang.Nabil tidak mengerti kenapa baru sekarang perasaan itu hadir, di saat semuanya sudah berakhir. Nabil merasa perlu untuk meminta maaf pada Dea. Ia sudah banyak menyakiti hatinya. Dan sialnya baru sekarang kesadaran untuk itu muncul. Apa mungkin tuhan sudah membukakan hatinya melalui perantara Deana yang sudah menyatu dengan tanah?Nabil memandang ponsel yang berada di genggamannya dengan tatapan ragu. Sejak iphonenya hilang dan ia mengganti nomor selulernya d
Nabil yang sudah grogi bertambah gelagapan mendengar pertanyaan tak terduga itu. Semua diluar prediksinya. Harus secepat inikah prosesnya?"Kalo misalnya aku suka sama kamu, boleh?" Akhirnya terlontar juga kalimat itu dari bibirnya. Nabil mengucapkannya dengan begitu hati-hati.Keyzia tertegun. Tidak percaya dengan pendengarannya sendiri, serta tidak tahu harus mengucapkan apa."Kalo cuma suka apa salahnya? Masa nggak boleh?""Kalo lebih?" Nabil merutuki dirinya sendiri yang seperti mendapat kekuatan untuk bicara lebih banyak.Keyzia kembali terdiam. Itu maksudnya apa?Di tengah ketermanguannya, telinga Keyzia menangkap suara Nabil."Hehe, Key, aku becanda kok," ralat Nabil demi menyalamatkan mukanya.Keyzia mengerjap, setelah beberapa saat yang lalu ia tak berkedip.Dan sepanjang sisa perjalanan, mereka menghabiskan waktu dengan berbicara pada hati masing-masing. Hingga tanpa terasa mereka sampai di kantor Keyzia."Key, kayaknya aku nggak bisa jemput kamu nanti sore," kata Nabil sebe
Ketika pagi menjelang, Radit dan Kayla masih berada di pembaringan mereka yang nyaman. Radit semakin mempererat dekapannya ketika merasakan tubuh istrinya itu mulai bergerak. Radit masih belum ingin mengakhiri kebersamaan mereka yang dirasanya terlalu singkat.Kayla juga merasakan hal yang sama dengan Radit. Kayla enggan beranjak dan lebih memilih membenamkan wajahnya di dada Radit yang bidang. Disana, Kayla bisa mendengar dengan jelas irama jantung Radit yang begitu teratur, sangat kontras dengan semalam, ketika mereka sama-sama mengayun rasa.Kenyamanan yang dirasakan Kayla mulai terusik ketika rasa mual kembali menyerang seperti hari-hari sebelumnya.Dengan gerakan pelan Kayla menggeser tangan Radit yang melingkarinya. Ia harus ke kamar mandi sebelum terlambat karena desakan dari dalam perutnya semakin memberontak ingin keluar.Mengetahui Kayla tidak lagi berada dalam dekapannya, Radit membuka mata. “Yang, kamu dimana?” panggilnya.Karena tidak ada sahutan dari Kayla, Radit turun