"Selamat pagi, Mikayla, selamat datang di Indoraya." Ryo menyambut kedatangan Kayla dengan senyum terukir di bibir."Pagi juga, Pak Ryo," balas Kayla terdengar sedikit kaku. Sebutan Bapak ia kira tidak cocok ditujukan untuk Ryo. Laki-laki itu terlalu muda untuk dipanggil dengan sebutan Bapak."Bisa panggil Ryo saja? Tanpa kata Bapak? Sepertinya kita hampir seumuran," pinta Ryo serius. Seperti punya indra ke enam, dia bisa membaca pikiran Kayla."Baiklah, Ryo." Kayla terlihat kikuk.Ryo melempar senyum. "Kamu sudah tahu ruang kerja kamu yang mana?" tanyanya kemudian.Kayla menggeleng. Semua masih sangat asing baginya."Ayo ikut saya!"Kayla membuntuti Ryo yang berjalan duluan. Menyusuri gedung kantor yang belum terlalu ramai. Sampai di ruangan paling ujung, Ryo membuka pintu. Sebuah ruangan bercat putih yang tidak begitu besar, dipisahkan oleh beberapa partisi sebagai sekat. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja bundar yang mungkin berfungsi untuk meeting internal divisi."Ini ruangan k
Gagal lagi! Nabil tidak mengerti apa yang salah pada dirinya. Lebih satu tahun pernikahannya namun istrinya masih suci bak melati. Alangkah lemah dirinya sebagai laki-laki. Nabil mengutuk dirinya berkali-kali.Suara klakson yang bersahut-sahutan membuat Nabil terkesiap. Lampu lalu lintas yang tadi merah sudah berganti warna hijau. Diliriknya kaca spion, puluhan mobil dan motor tengah antri di belakangnya.Shit! Bisa-bisanya dia melamun di tengah kemacetan. Nabil mengoper gigi dan langsung tancap gas. Dia harus sampai sebelum apel pagi dimulai. Namun sepertinya kali ini dia harus mengalah pada keadaan. Di pertigaan depan, kemacetan panjang menunggunya.Nabil mengambil handphonenya, dia bermaksud menghubungi Ari, mengabari kalau dia akan datang terlambat."Bro, kayaknya aku bakalan telat, macet panjang di sudirman.""Tumben, Bro, jangan-jangan karena telat bangun, berapa ronde semalam?""Rese!""Hahaha."Baru saja Nabil akan menyimpan handphone, sebuah notifikasi pesan singkat dari Kayl
Pagi ini Nabil telat lagi. Mata dan tubuhnya yang berat membuatnya tidak kuat membuka mata. Kalau tidak dipaksa Kayla untuk bangkit, mungkin dia akan melewatkan waktu seharian di tempat tidur.Kemacetan menjadi sahabatnya pagi ini. Nabil hampir frustasi melihat aneka rupa kendaraan di depannya yang jalan di tempat.Perut yang kosong menambah ruwet pikirannya. Sejak menjadi wanita karir, Kayla hampir tidak sempat memasak dan menyiapkan makanan untuknya. Bahkan pagi ini, dia hanya menyesap segelas air putih, tanpa makanan pendamping apa pun. Dia memahami kesibukan istrinya dan tidak ingin terlalu banyak menuntut.Mungkin itu kelemahan Kayla yang kurang pandai dalam manajemen waktu. Tapi kelemahannya sendiri lebih fatal dan sangat berdampak pada kehidupan rumah tangganya.Nabil mengembuskan napas berat.Sekilas diliriknya spion. Dia melihat pantulan wajahnya disana. Hidungnya menjulang tinggi dengan bibir yang terpahat sempurna. Tentang matanya jangan ditanya lagi, disanalah pesonanya b
Beberapa hari belakangan Nabil terlihat tidak seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan menghindari Kayla.Kayla bertanya-tanya dalam hati apa gerangan kesalahan yang telah dilakukannya. Tapi sampai buntu pikirannya, ia tetap tidak menemukan jawaban."Bil, boleh aku tanya sesuatu?" Kayla mendekati Nabil yang sedang duduk di sofa ruang tengah lalu duduk di sampingnya."Ada apa, Kay?" Suara Nabil terdengar sangat lirih.Kayla memandang suaminya lekat-lekat. Wajah tampan itu terlihat sedikit pucat."Bil, kamu sakit?" Kayla menyentuh pipi Nabil.Nabil menggeleng pelan. Kepalanya agak berdenyut tapi dia tidak ingin membuat istrinya khawatir."Bil, kenapa sih akhir-akhir ini kamu menghindariku?" "Itu cuma perasaanmu, Kay. Aku tidak menghindari siapa pun," jawab Nabil berkelit."Tapi kamu nggak seperti biasanya," protes Kayla. Entah mengapa dia merindukan Nabil yang selalu menghujaninya dengan perhatian. Nabil yang romantis dan selalu memanjakannya."Emang biasanya aku seperti apa?" Nabil
Kayla memandang tumpukan binder dan kertas-kertas yang teronggok di atas meja kerja dengan lemas. Pekerjaannya seakan tiada habis. Bahkan onggokan itu terasa bertambah tinggi.Diliriknya meja Raisa yang berada di seberang. Tidak jauh berbeda dengan pemandangan di atas meja kerjanya. Bahkan wajah Raisa hampir tenggelam oleh gunungan barang-barang diatas mejanya."Kayaknya hari ini kita bakalan lembur lagi," ujar Chicco, rekan kerjanya yang berpembawaan kemayu.Beberapa hari belakangan mereka disibukkan dengan laporan akhir bulan yang harus segera diselesaikan. Delapan jam kerja efektif hampir setiap hari ternyata tidak cukup untuk menuntaskan semuanya. Ditambah lagi dengan keterbatasan sumber daya manusia. Mau tidak mau mereka harus mengorbankan waktu untuk lembur di kantor."Kay, suamimu nggak marah kalau sering lembur?" tanya Raisa tanpa menoleh.Kayla yang sedang memeriksa beberapa berkas menghentikan sejenak aktivitasnya. Diantara mereka bertiga, hanya Kayla yang sudah menikah. Oto
Laki-laki itu langsung duduk di tempat yang ditunjuk Ryo. Setelah memberi kata sambutan, dia memperkenalkan diri sebagai branch manager yang baru di kantor Kayla.Kayla masih berusaha menguasai perasaannya yang belum stabil. Dia gelisah sepanjang acara. Waktu terasa sangat lama berlalu. Hingga di menit ke lima puluh lima acara selesai. Sebagian karyawan meninggalkan ruangan untuk kembali bekerja dan melaksanakan tugas masing-masing."Untuk divisi keuangan, HRD dan procurement, diharapkan tetap tinggal karena akan ada meeting internal dengan Bapak Radit." Ryo memberi pengumuman sebelum semuanya bubar.Tidak dapat dihindarkan lagi, akhirnya pandangan mereka beradu, Kayla merasa darahnya berdesir hebat. Sementara Radit, ada keterkejutan yang teramat sangat tersirat di wajahnya. Namun dia cepat-cepat menguasai keadaan dan bersikap sewajarnya.Kayla benar-benar mati kutu dan merasa bagaikan seorang pesakitan. Dia yang biasanya selalu aktif sumbang pendapat, kali ini hanya terdiam seribu
Kayla merasa tubuhnya membeku saat mereka tinggal berdua. Laki-laki yang dulu pernah dicintainya sampai mati, kini berada tepat di depannya. Radit masih seperti dulu, pesonanya belum pudar malahan semakin berkibar. Laki-laki itu tetap berhasil memukaunya, membuat hatinya meleleh.Tak ada yang berubah dari seorang Radit. Ia masih terlihat gagah dan manly. Bahkan kumis tipis yang tumbuh kasar diatas bibirnya membuatnya kian menawan.Dia masih Radit yang sama seperti dulu. Entah dengan hatinya."Apa kabar, Kayla? Aku nggak menyangka kita bakalan ketemu di sini." Radit membuka suara."Ehm.. ba.. ba.. baik," jawab Kayla gugup.Radit menatapnya lekat-lekat dan tak berkedip. Kayla menunduk, menghindar dari tatapan itu."Kamu nggak berubah, masih sama seperti dulu. Kamu tetap Kaylaku yang cantik."Kayla mendongak. Apa maksud Radit berkata seperti itu?"Aku bukan Kaylamu, aku bukan milikmu lagi," Kayla menyangkal. Hatinya perih mengingat perpisahan mereka yang menyisakan luka."Jangan begit
Desember 2016.Vancouver, Canada. Radit menyembunyikan tubuhnya dalam selimut tebal yang hangat. Hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang membuatnya malas melakukan aktivitas apa pun. Suhu udara yang nyaris mencapai minus 45 derajat celcius membuatnya hampir membeku.Bahkan, kementrian lingkungan Kanada telah merilis peringatan cuaca ekstrem untuk enam dari sepuluh provinsi di negara itu. Satu diantaranya temasuk British Columbia, provinsi tempat dirinya berada sekarang.Suara ponsel yang terus berbunyi membuatnya harus menggerakkan badan. Masih dalam posisi berbaring dia meraih benda itu yang terletak di atas meja mungil disamping tempat tidur.Dengan mata yang masih setengah terpejam, dilihatnya nama yang muncul di layar ponsel.'Kimberly'Gadis itu lagi! Tetangga sebelah apartemennya. Entah mengapa Radit tidak suka pada gadis bermata abu-abu kehijauan itu. Sikapnya yang terlalu agresif membuat Radit gerah. Terlebih Radit menilainya masih kekanakan meskipun saat ini ia tercatat s
Penolakan dan perpisahan dengan Nabil merupakan pukulan telak bagi Dea. Baru hari pertama disini tapi sudah kenyataan pahit seperti ini yang dihadapinya. Lalu bagaimana bisa Dea menjalani hari-hari selanjutnya? Dea sudah berusaha menjadi perempuan yang kuat namun cinta kembali membuatnya lemah."Ada masalah?" Tita bertanya saat melihat Dea pulang dengan mata sembab dan merah.Dea menggeleng dan berusaha menampilkan senyum tapi gagal. Bibirnya terlalu berat, bahkan untuk seulas senyum palsu sekalipun. Tapi Dea tidak ingin mengumbar pada siapa-siapa. Biarkan semua ini menjadi rahasianya. Cukup ia simpan di dalam hati karena jika pun diceritakan tetap tidak akan berpengaruh apa-apa. "Mulut bisa bohong, tapi mata tidak akan pernah bisa berbohong," vonis Tita menunjuk mata Dea yang mengecil.Dea mengusap mukanya, lalu melihat pantulan dirinya di kaca yang menempel di lemari yang ada di kamar Tita. Jejak-jejak panjang air mata masih membekas jelas disana. Rona sedih di mukanya mungkin tid
Keyzia langsung turun tanpa berkata apa-apa begitu Nabil menghentikan mobil tepat di depan rumahnya. Rasa kecewanya yang terlalu besar membuat mulutnya sulit digerakkan.Nabil juga hanya diam, tak ingin mengusik Keyzia yaang sedang menikmati perasaannya. Entah perasaan apa, mungkin marah, kecewa, atau kesal. Atau mungkin gabungan semuanya.Keyzia langsung masuk ke kamar tanpa sedikit pun menghiraukan Putri yang memandangnya penuh tanda tanya saat melihat Keyzia memasang muka murung.Putri tidak tahu masalah apa yang menimpa Keyzia, dan ia juga tidak ingin mengusiknya. Biar Keyzia sendiri yang menceritakannya nanti jika dia ingin.Keyzia mengunci pintu kamar, lalu menghempaskan badan ke pembaringan. Dadanya sesak oleh rasa yang mendesak. Rasa sedih, kesal, kecewa, serta marah membaur menjadi satu. Ekpektasinya yang berlebihan pada Nabil membuatnya menjadi sakit sendiri.Keyzia sangat jarang menangis, bahkan bisa dikatakan hampir tidak pernah. Tapi kali ini Nabil membuatnya mengeluarkan
Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, Keyzia lebih memilih bermain dengan pikirannya sendiri. Mulutnya terkatup rapat, matanya kosong menatap jalanan melalui kaca mobil yang berada di sebelahnya.Sesekali Nabil melirik padanya. Dan ekspresi Keyzia tetap sama.Nabil pun memilih untuk tidak bersuara. Ia takut salah bicara. Nabil masih meraba-raba karakter dan sisi lain Keyzia yang belum diketahuinya. Semoga saja Keyzia jauh dari sifat-sifat buruk yang tidak diinginkannya.Keyzia menunggu Nabil bicara untuk memberi penjelasan. Namun tidak ada tanda-tanda kalau dia akan melakukan hal itu. Dari pada terbunuh rasa penasaran dan kesal sendiri, Keyzia pun berinisiatif untuk membuka mulut."Bil, bisa kasih penjelasan untuk yang tadi?" Nabil menggerakkan kepala, menoleh pada Keyzia yang sedang memandangnya."Namanya Dea, dia mantan istriku." Nabil menunggu respon Keyzia sebelum kembali bicara."Trus?"Muka dan suara Keyzia yang datar membuat Nabil tidak ragu utuk melanjutkan kata-katanya. T
Nabil menelan saliva. Ia mati kutu sekarang. Dea mendekapnya begitu erat, seolah tidak akan melepasnya lagi. Sementara itu, Keyzia memandangnya dengan tatapan penuh protes dan keberatan.Nabil semakin serba salah. Perasaan siapa yang harus dijaganya? Dea, wanita dari masa lalu, atau Keyzia, perempuan untuk masa depannya?Nabil membalas tatapan Keyzia dengan sorot mata meminta pengertian,Keyzia membuang muka. Tidak ingin melihat pemandangan itu. Nabil mencoba melepaskan diri dari Dea. Tapi Dea masih belum rela melepaskannya."Aku pulang aja, Bil," putus Keyzia saat melihat Nabil yang masih berada dalam dekapan Dea.Keyzia memutar tubuh lalu bergegas pergi.Melihat hal itu Nabil segera bertindak. "Dea, tolong lepasin aku dulu," pinta Nabil dan berharap Dea menjauhkan diri darinya.Begitu merasakan gerakan tubuh Nabil yang memberontak. Dea pun melepaskannya. Dea menyadari kebodohannya. Nabil memang tidak menginginkannya. Buktinya tadi, ia tidak membalas rangkulannya. Dea menatap nana
Dea melepaskan napas lega setelah menyiapkan barang-baranng yang akan dibawanya. Tidak banyak yang dibawa Dea. Hanya pakaian serta beberapa dokumen penting. Karena pada dasarnya tujuannya hanya itu melanjutkan kuliah, dan setelah itu ia akan kembali.Dea juga sudah mengubungi Tita, temannya dulu. Tita bersedia untuk menampungnya sementara sampai Dea mendapatkan tempat tinggal. Dan untuk transportasi disana, Dea bisa menggunakan sepeda motornya dulu yang masih berada di rumah Nabil. Mau tidak mau, Dea akan bertemu dengan Nabil.Dea memandang sedih pada setiap penjuru kamarnya. Ia akan meninggalkan tempat yang selama ini menampung literan air matanya. Dea juga sudah mengajukan pengunduran diri pada EO tempatnya bekerja freelance. Tama, Riri, dan teman-teman yang lain berusaha mencegah. Namun tekad Dea sudah bulat. Saat ini pendidikan adalah nomnor satu demi mencapai masa depan yang lebih baik, jadi orang-orang tidak akan bisa merendahkannya lagi. "Sudah siap, Kak?" Dion datang ke kama
Dea berdiri di depan cermin di kamarnya. Ia memandang refleksi dirinya disana. Sepasang matanya yang besar dan berbulu lentik berpendar menlusuri setiap inci bagian wajahnya. Dea masih belum menemukan kekurangan yang berarti pada fisiknya. Manusia normal dan mempunyai kewarasan pasti tidak akan mengingkari keindahan yang disematkan sang pencipta padanya."Aku kurang apalagi? Apakah aku kurang cantik? Apakah aku tidak menarik? Apakah penampilanku biasa saja?" Dea bertanya sendiri pada dirinya. Dea merasa dirinya masih sangat layak untuk mendampingi Nabil. Tapi kenapa Nabil menutup hati untuknya?"Kenapa Nabil bisa bikin aku hancur kayak gini? Apa hebatnya dia? Dia pikir cuma dia laki-laki di dunia ini?"Dari tadi Dea berbicara sendiri pada dirinya. Dea sudah tidak tahan lagi. Dirinya sudah berada di titik kulminasi. Dea lelah dengan perasaan dan hidupnya yang kacau. Semua ini harus ia akhiri sebelum kewarasannya patut dipertanyakan. Ia harus menjadi pribadi baru yang jauh lebih baik
Nabil bukannya tidak punya perasaan dengan terang-terangan mengatakan pada Dea bahwa mungkin sudah ada yang menggantikannya. Nabil berharap dengan ketegasan sikapnya itu Dea tidak lagi menyimpan harapan padanya. Tapi sepertinya Dea masih belum menyerah meski Nabil sudah menolak dengan berbagai cara mulai dari cara yang paling halus sampai cara frontal seperti kemarin.Nabil menyadari sekarang, mungkin karena pada dasarnya ia memang tidak mencintai Dea, jadi seperti apapun cara Dea merebut hatinya, Nabil tidak akan luluh. Lain halnya jika ia mencintai dari awal. Nabil memang sempat mencintai Dea, dan itu begitu dirasakannya saat Dea berjuang mempertaruhkan nyawa saat melahirkan anak mereka. Tapi kembali lagi, jika prinsipnya hanya karena cinta yang terbiasa, bukan karena cinta pada pandangan pertama, maka rasa itu sangat cepat memudar. Nabil tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Kayla dulu juga ia cintai karena telah terbiasa hidup bersama. Namun perasaannya pada Kayla begitu meleka
Rasanya sudah terlalu lama Dea meratapi diri dan menyesali nasib. "Have you ever seen the sun after the heartbreak? Frozen somewhere in time. Have you ever seen the stars after the word goodbye?" Kalimat itu benar adanya. Dea sudah merasakan dan membuktikannyta sendiri. Ia tidak melihat matahari dan bintang lagi setelah berpisah dengan Nabil. Siang dan malam sudah tak bisa dibedakannya karena semua membeku pada satu waktu,Dea merasa sebentar lagi akan kehilangan kewarasannya jika terus-terusan bersikap begini. Penyesalan terbesar dalam hidup Dea adalah karena tetap nekat pergi meski Nabil sudah melarangnya waktu itu. Padahal Nabil sudah memberinya kode keras. Nabil yang selama ini lunak padanya dan kerap luluh ketika Dea menyerang kelemahannya, ternyata bisa keras juga. Dan kerasnya tidak main-main. Jika saja waktu bisa diputar dan diulang ke belakang, Dea akan memperbaiki semuanya. Ia akan berpikir sebelum bertindak. Dea akan membuang jauh-jauh sifat buruknya. Termasuk pada K
Hari itu Alan datang ke kediaman Kayla dan Radit. Begitu melihat Alan, rahang Radit langsung mengeras. Radit tidak tahu apa tujuan Alan menemuinya. Tapi melihatnya saja emosinya sudah tersulut."Dit, bisa minta waktunya sebentar?" Alan cepat-cepat bertanya begitu Radit ingin pergi menghindar.Radit ingin menghiraukannya tapi Kayla cepat-cepat memberi isyarat dengan matanya agar Radit segera duduk di sebelahnya.Karena Kayla yang meminta, Radit pun menurutinya walau dengan malas-malasan dan hati berat."Apa kabar, Dit?" sapa Alan berbasa-basi."Baik," jawab Radit singkat."Aku kesini mau ajak kamu bekerja lagi di kantorku," kata Alan menjelaskan tujuan kedatangannya.Radit diam saja. Matanya tidak menatap Alan, namun telinganya mendengar dengan jelas apa yang dikatakan laki-laki itu."Aku butuh kamu, Dit. Aku butuh tenaga porofesional seperti kamu," kata Alan lagi."Masih banyak yang lebih profesional. Bukan hanya aku," ujar Radit menanggapi."Memang banyak, Dit, tapi aku mau yang kine