Share

Takdir

Aroma obat-obatan menusuk hidung Kayla. Dia menggerakkan tangan, memegang kepala yang berdenyut sangat hebat. Matanya yang terkatup rapat terasa sangat berat. Namun dia memaksakan diri agar tak terpejam lagi sembari mengingat apa yang telah terjadi.

"Kamu sudah sadar?"

Sebuah suara mengusik pendengarannya. Bayangan samar di hadapannya kian jelas. Sosok Nabil memandanginya dengan ekspresi yang tidak bisa ia artikan maknanya.

"Bil, aku di mana?" Suara Kayla terdengar lirih.

"Di rumah sakit," jawab Nabil singkat.

"Apa yang terjadi? Aku kenapa?" tanya Kayla memburu.

Nabil menghela napas berat. Sulit baginya menjelaskan pada Kayla tentang apa yang telah terjadi.

"Katakan, Bil!" Kayla menggoyangkan tangan Nabil yang diam terpaku.

Lelaki bermata teduh itu masih membatu.

Kayla berpikir keras, mencoba mengingat-ingat kejadian buruk apa yang telah menimpanya sehingga berada di tempat yang tidak disukainya itu.

Perlahan, bayangan kobaran api yang tengah membara berkelabat di depan matanya.

"Tidak.... Tidak mungkin!" Tanpa sadar Kayla berteriak. Untung saat ini dia dirawat di ruangan VIP, sehingga tidak ada pasien lain yang terganggu dengan teriakannya.

“Kayla, tenang dulu!" seru Nabil. Dia hampir saja memeluk gadis itu.

Dia tahu, saat ini Kayla butuh tempat untuk bersandar. Ingin sekali dipinjamkannya bahu atau dada bidangnya agar gadis itu menumpahkan segala rasa, namun pada akhirnya dia hanya bisa membisu.

"Ayah mana?" tanya Kayla mulai terisak.

Lama Nabil terdiam. Dia tak ingin perasaan Kayla semakin hancur, seperti hatinya yang saat ini berderai, saat tahu kenyataan pahit yang akan dia ungkapkan.

"Ayahmu kena serangan jantung, Kay. Sekarang ada di ruang ICU."

Tangis Kayla mengencang mendengar penuturan Nabil.

"Bil, tolong antarkan aku ke tempat Ayah." Kayla merengek seperti seorang anak kecil.

Nabil mengangguk pelan lalu membantu Kayla bangkit dari tempat tidur.

Suasana rumah sakit siang itu tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa orang perawat yang hilir mudik membawa pasien.

Kayla menyusuri koridor rumah sakit dengan perasaan tak menentu. Badannya serasa melayang. Kakinya bagai tak menapak di bumi. Beribu pikiran berkecamuk di benaknya. Tentang rumah yang kini tinggal cerita, serta Ayah yang kini sedang bertarung dengan maut.

Mereka sampai di ruang ICU bersamaan dengan keluarnya seorang perawat dari ruangan bercat putih itu.

"Sus, gimana keadaan Ayah saya?" tanya Kayla tidak bisa menyembunyikan rasa cemas.

"Pasien masih koma, Mbak," jawab sang perawat.

"Tapi Ayah segera sadar kan, Sus?" Kayla menyimpan harapan. Berharap semua akan baik-baik saja.

"Kita sama-sama berdoa ya, Mbak," ucap perawat itu sebelum berlalu.

Tangis Kayla pecah. Harapan yang ia bangun menjadi berantakan. Ucapan perawat itu persis dengan adegan sinetron yang hadir setiap malam.

Nabil hanya bisa memandangi Kayla dengan perasaan sedih. Tak ada yang bisa ia katakan lagi. Kata-kata penghibur dan kalimat penenang telah habis ia sampaikan.

Hampir satu jam mereka menunggu di depan ruang ICU. Sepasang mata Kayla terlihat sembab akibat menangis berkepanjangan. Sisa-sisa air mata membayang samar di pipi mulusnya.

"Kay, sebaiknya kita kembali ke kamar tempat kamu dirawat," Nabil membuka pembicaraan setelah lama hening.

Kayla yang duduk di lantai sambil memeluk lutut, hanya diam. Dia tak ingin beranjak dari tempat itu. Dia tak akan ke mana-mana sebelum Ayah sadar. Tapi sesaat kemudian, dia ingat tentang biaya rumah sakit. Bagaimana dia harus membayarnya sedangkan dia tak punya apa-apa lagi selain pakaian yang melekat di badan.

"Bil, aku mau ke kasir dulu." Kayla bangun dari duduknya.

"Nggak usah, Kay," cegah Nabil.

Dahi Kayla berkerut.

"Masalah administrasi sudah aku urus. Kamu tenang saja."

"Tapi, Bil!"

Nabil tersenyum tipis.

"Makasih ya, nanti pasti aku ganti," ujar Kayla. Di dalam hati dia mengira-ngira jumlah pembayaran rumah sakit dan mengingat sisa tabungannya.

Dari jauh Pak Hadi terlihat berjalan dengan cepat. Tangannya menenteng kantong plastik berisi dua bungkus nasi.

"Kayla, sebaiknya kamu makan dulu," kata Pak Hadi setelah sampai di depan ruang ICU.

"Kamu juga, Bil. Biar Papa yang tunggu disini." Pak Hadi menyodorkan bungkusan yang dibawanya kepada Nabil.

"Ayo, Kay," ajak Nabil.

Kayla mengangguk pasrah.

Sampai di ruangan tempatnya dirawat, Kayla melihat sepiring Nasi dengan sepotong ikan goreng dan sayur diatasnya, yang telah disediakan rumah sakit. Kayla tak berselera. Dia lebih tertarik dengan nasi Padang yang dibelikan Pak Hadi. Apalagi aroma khas rendang menyeruak setelah

Nabil membuka bungkusnya. Benar-benar menggugah selera. Terlebih untuk perutnya yang keroncongan dan butuh asupan.

Sesudah makan, Nabil pergi meninggalkan Kayla. Dalam kesendiriannya Kayla kembali teringat Radit. Radit yang jauh disana, di belahan dunia bagian utara. Radit yang meninggalkannya dengan ketidakpastian, dan Kayla yang begitu bodoh masih menunggunya. Kayla mengutuk dirinya sendiri.

Bahkan disaat seperti ini dia masih sempat memikirkan lelaki itu.

Pikiran Kayla beralih pada Nadin. Apakah sahabatnya itu tahu musibah yang telah menimpanya?

Kayla ingin mengabari Nadin. Ingin rasanya memeluk dan menangis tanpa malu di hadapan Nadin. Tapi bukankah dirinya juga menangis tanpa kenal situasi saat bersama Nabil tadi? Bahkan dia hampir meraung di hadapan pria itu.

Tunggu dulu!

Kayla baru sadar kalau tasnya yang berisi dompet dan handphone telah raib. Saat terakhir benda berharga itu ada di genggamannya adalah saat peristiwa kebakaran. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa, tahu-tahu saat bangun dia sudah berada di rumah sakit.

"Kayla, Ayah sudah sadar, sekarang ingin ketemu kamu." Suara Nabil yang datang tiba-tiba mengagetkannya.

Kayla mengucap syukur tak terhingga dan mengusap mukanya.

Mereka bergegas menuju ruang tempat Ayah dirawat. Kayla berjalan setengah berlari. Di belakangnya Nabil mengikuti dengan langkah yang tak kalah cepat.

"Ayah!"

Kayla langsung menghambur begitu membuka pintu. Disana, di ranjang besi khas rumah sakit, Ayah terbaring lemah dengan sorot mata tanpa ekspresi. Wajahnya yang masih menyisakan ketampanan masa lalu terlihat pucat.

Kayla menggenggam tangan Ayah yang terasa dingin.

"Ayah baik-baik saja, kan?" Kayla bertanya dengan perasaan cemas.

Ayah memaksakan sebuah senyuman. Bibirnya terlihat bergerak seperti ingin mengatakan sesuatu. Pak Hadi yang dari tadi duduk agak jauh, datang merapat, begitu juga dengan Nabil.

Pandangan Ayah beralih ke arah Nabil. Nabil menggeser posisi berdiri dan ikut menggenggam tangan Ayah seperti Kayla.

"Nabil, menikahlah dengan anak saya." Suara Ayah sangat lemah, seperti menggumam dan hampir tidak kedengaran.

Rona wajah Nabil seketika berubah. Permintaan sahabat baik Papanya itu sesuatu yang berat baginya. Kayla, gadis yang dikenalnya sepintas lalu, dan hanya beberapa kali bertemu. Apakah mungkin dia memilih pasangan hidup tanpa tahu karakternya sama sekali?

Kayla yang dia kenal adalah seorang gadis manis berkulit kuning langsat dengan lesung pipit di pipi. Karakter Kayla masih samar baginya. Yang dia tahu Kayla pendiam dan tidak banyak bicara.

Ayah masih menanti jawaban Nabil yang tak kunjung bersuara. Pandangannya kian redup. Dia merasa jantungnya yang berdetak kian lambat tinggal menunggu waktu untuk mengakhiri tugasnya.

Pak Hadi memberi Nabil isyarat melalui matanya. Dia berfirasat, Andi, sahabat baiknya, teman seperjuangan di waktu muda, waktunya tidak akan lama lagi.

"Baiklah, Om, saya akan menikahi Kayla," ucap Nabil pelan tapi tegas.

Hening. Tidak ada suara apa pun. Semua membatu, termasuk Kayla yang dari tadi berkaca-berkaca. Perasaan dan pikirannya bergejolak.

Ayah memejamkan matanya. Lengkungan garis di bibirnya membentuk sebuah senyuman, kendati samar.

"Sekarang Ayah jangan banyak pikiran lagi. Aku akan mengikuti semua kemauan Ayah, tapi Ayah harus sehat dulu ya." Kayla berbisik pelan di telinga Ayah.

Ayah tak bereaksi. Kayla mengecup lembut kening Ayah. Begitu dingin. Kayla lalu memegang tangan Ayah yang tak kalah dinginnya. Perasaannya mendadak tidak enak.

"Ayah jangan tidur dulu, aku masih mau bicara." Kayla mengguncang-guncang tubuh Ayah, namun lelaki itu tetap diam tak bergerak.

Nabil memegang pergelangan tangan Ayah. Nadinya tak berdenyut lagi. Nabil menatap Pak Hadi dengan muka tegang. Pak Hadi memahami isyarat dari Nabil dan ikut menyentuh pergelangan tangan Ayah. Lelaki itu menarik napas berat. Seberat berita yang akan ia sampaikan.

"Kayla, Ayahmu sudah tidak ada."

***

Hujan gerimis mengiringi pemakaman Ayah. Langit seakan berduka dan turut menangis.

Satu demi satu para pelayat sudah mulai pulang. Takut terkena gerimis yang akan menjelma menjadi hujan deras.

Kayla masih terpaku memandangi gundukan tanah di hadapannya. Satu-satunya keluarga yang dimilikinya di dunia telah tiada. Dirinya kini sebatang kara. Tak punya apa pun, termasuk tempat untuk berteduh.

"Ayo kita pulang, Kay!" ajak Nabil.

"Aku harus pulang ke mana?" Kayla menjawab tanpa memandang laki-laki itu.

"Ke rumah kita." Nabil menekan nada suaranya pada kata 'kita'.

Kayla menoleh, dan seketika pandangan mereka bertemu. Dia merasakan darahnya berdesir. Cepat-cepat ia menetralisir perasaannya dengan menundukkan wajah.

"Kamu pulang aja duluan, Bil."

Nabil mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Areal pemakaman sudah sepi. Hanya tinggal mereka berdua di tempat itu.

"Nggak mungkin aku ninggalin kamu disini, Kay," tolak Nabil.

"Aku masih ingin bersama Ayah," Kayla bersikeras.

"Aku akan temani."

Lagi-lagi bola mata mereka beradu. Sepasang mata itu memancarkan keteduhan, mengingatkan Kayla pada seseorang. Radit.

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status