Senin pagi yang basah. Kayla masih meringkuk di tempat tidur. Derasnya hujan semalam menyisakan hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang, membuatnya malas untuk bergerak. Biasanya pada jam segini, dia tengah bergelut dengan kemacetan di perjalanan menuju kantor.
Sudah seminggu dia resmi menjadi pengangguran. Belum ada rencana apa pun, selain mencoba mengirim lamaran ke sana kemari. Sempat terpikir untuk membuka usaha, namun uang tabungannya belum mencukupi untuk dijadikan modal. Waktu masih bekerja dulu, dia sangat disiplin menyisihkan sepertiga dari penghasilannya untuk disimpan. "Kayla, kamu sudah bangun, nak?" Suara Ayah di depan pintu diiringi dengan ketukan. Kayla menggeliat, lalu bangkit dari pembaringan dan menyeret langkah malas. "Sudah, Yah," jawabnya setelah membuka pintu. "Ayo sarapan, Ayah sudah siapkan." "Ayah duluan aja, nanti aku menyusul. Aku mau mandi dulu." "Apa rencanamu hari ini?" "Belum tahu, Yah, mungkin ke perpustakaan kota, tapi entahlah," ujar Kayla tidak yakin. "Kalau kamu mau ikut Ayah, nanti sore ada acara syukuran rumah baru di rumah teman Ayah." "Di rumah Pak Hadi lagi?" tanya Kayla tidak tertarik. "Bukan, tapi di rumah Pak Heru, mantan anggota DPRD. Sekarang dia sudah pensiun dari dunia politik," jelas Ayah. "Ooo.. mantan pejabat. Dia punya anak laki-laki juga, Yah?" Kayla mengangkat alisnya menggoda Ayah. "Ah, kamu ini, masih saja bercanda." Ayah tertawa terkekeh meninggalkan Kayla. Kayla kembali menghambur ke tempat tidur. Diraihnya handphone yang bersembunyi di bawah bantal. Dia mulai berselancar di dunia maya. Jari jemarinya menari diatas layar sentuh. Gadis manis itu mengetik nama "Danish Raditya" di menu pencarian media sosialnya. Tapi nihil, akun Radit tidak ditemukan. Kayla segera beralih ke aplikasi perpesanan instan, lalu mencari nama Radit di daftar kontak, memulai percakapan. Beberapa menit menunggu hanya sebuah tanda ceklis yang muncul, menandakan pesan sedang dikirim namun tak kunjung sampai pada penerima. Sekali lagi Kayla harus menelan rasa kecewa. Radit telah menutup pintu komunikasi rapat-rapat. Kenapa Radit susah sekali untuk dihubungi? Apakah lelaki itu benar-benar telah melupakannya? Kayla mengutuk dirinya sendiri, yang mencintai Radit secara berlebihan. "Nad, aku kangen Radit," Kayla mengirim pesan untuk Nadin. Hampir setengah jam baru ada jawaban. "Maaf Kay, aku tadi lagi briefing. Ada proyek baru." "Congrat ya, Nad," balas Kayla tulus. Dia ikut senang atas keberhasilan Nadin. "Makasih, Kayla sayang," jawaban dari Nadin disertai emoji pelukan. "Ngomong-ngomong kamu yakin Radit masih sendiri di sana?" Kata-kata Nadin sukses mematahkan hati Kayla. Kenapa dia tak pernah berpikir ke arah itu? Radit begitu jauh untuk digapai. Mereka terpisah ruang dan waktu. Kehidupan luar negeri begitu bebas, bukan tidak mungkin Radit menemukan seseorang yang bisa mengisi hatinya disana. Ah, betapa bodohnya. Kayla melempar handphone, lalu membenamkan diri ke bantal, menangis sejadinya, menumpahkan air mata dan juga sesak di dada. *** Suasana di rumah Pak Heru begitu ramai. Ini untuk kedua kalinya Kayla ikut Ayah ke acara semacam pengajian atau syukuran. Sesuatu yang sebenarnya tidak disukainya. Dia bukan orang yang agamais seperti Ayahnya. "Nak Kayla ikut juga?" Suara seseorang mengusik pendengaran Kayla saat ia tengah asyik mengambil makanan di prasmanan yang dihidangkan. Kayla menoleh. Ternyata Pak Hadi. "Eh, Bapak, apa kabar?" tanya Kayla berbasa-basi. "Baik. Wah, sayang sekali Nabil tidak ikut," ujar Pak Hadi. Kayla tersenyum seadanya. “Dengar-dengar, kamu sudah berhenti kerja, ya? Kayla sedikit kaget mendengar perkataan Pak Hadi. Darimana lelaki itu bisa tahu? Pasti Ayah yang membocorkannya, pikir Kayla. "Kalau kamu tidak ada kegiatan, coba melamar jadi honorer di kantor Nabil." Ide yang bagus sebenarnya, tapi maraknya para honorer yang demo pada pemerintah karena tidak ada kejelasan status serta gaji yang sangat minim membuat Kayla membuang jauh-jauh pikiran itu. "Terima kasih, Pak, nanti akan saya pikirkan." "Nanti akan saya katakan pada Nabil, mungkin dia bisa membantu," cetus Pak Hadi lagi. "Eh, tidak usah, Pak." Kayla jadi salah tingkah. Dia akan sangat malu jika diterima bekerja hanya karena ada orang dalam dan tanpa melalui tes. "Pak, saya permisi dulu ya, mau gabung di sana," Kayla menunjuk sekelompok ibu-ibu yang tengah makan. Pak Hadi membalas dengan anggukan. Sebenarnya Kayla jadi tidak enak pada Pak Hadi. Mungkinkah teman Ayah itu merasa jika dia ingin cepat-cepat mengakhiri obrolan? Kayla hanya malas bicara. Apalagi jika mengarah pada Nabil. Lelaki yang ingin dijodohkan Ayah untuknya. Dia tak ingin memberi ruang di hatinya kepada lelaki lain. Biarlah hanya Radit seorang yang mengisinya. Cukup lama Kayla menunggu Ayah yang tengah berbicara dengan Pak Hadi. Mereka terlihat sangat serius. Kira-kira apa yang mereka bicarakan? Apakah Ayah sungguh-sungguh ingin menjodohkannya dengan Nabil? Ayah bukan tipe kepala keluarga yang otoriter. Tidak mungkin dia memaksakan kehendaknya pada Kayla. Kayla masih sibuk bergumul dengan pikirannya ketika menyadari seseorang berdiri di hadapannya. Dia terperanjat tatkala melihat sosok itu. "Radit!" Kayla berseru kaget. Lelaki di hadapannya mengernyit. "Kamu sedang apa di sini?" dia bertanya. Kayla mengucek mata, meyakinkan penglihatannya. Dan kini sosok itu terlihat jelas. Lelaki itu ternyata Nabil. Ah, Kayla terhempas ke bumi setelah sepersekian detik sempat melayang. "Aku sedang menunggu Ayah," jawab Kayla sembari berharap tadi Nabil tidak mendengar dia menyebut nama Radit. "Oh iya, tadi kamu panggil aku apa?" Ternyata Nabil mendengar kata-katanya tadi. "Maaf, tadi aku lupa namamu," jawab Kayla berbohong. "Ooo... " Nabil tersenyum tipis. Dia mendengar dengan sangat jelas Kayla mengucapkan nama seseorang, tapi lelaki itu pura-pura tidak tahu. "Kenapa kamu menyusul kesini, Bil? Katanya lembur." Pak Hadi muncul bersama Ayah. "Tidak jadi, Pa, ada teman satu tim yang sakit," jelas Nabil. "Ooo... Kalau begitu kita pulang sama-sama saja, kebetulan Nabil bawa mobil," ujar Pak Hadi pada Ayah. "Boleh, gimana Kay?" Ayah meminta persetujuan Kayla "Terserah Ayah saja," jawab Kayla pasrah. Lumayan, pikir Kayla. Daripada naik taksi. Dia benar-benar harus memperhitungkan sekecil apa pun pengeluaran karena saat ini dirinya adalah seorang pengangguran. Sepanjang perjalanan Kayla hanya diam dan sibuk dengan pikirannya. Sedangkan Ayah tak berhenti terserang batuk yang saling susul menyusul. Nafas Ayah terlihat sedikit sesak. Sesekali laki-laki tua itu memegang dadanya. Ayah memang perokok berat, bahkan di usianya yang sudah senja. "Habis berapa batang tadi?" tegur Pak Hadi sambil tertawa terkekeh. Ayah melirik Kayla, khawatir anak gadisnya akan murka jika tahu dia mengisap hampir setengah bungkus rokok. "Tidak banyak, cuma sedikit buat ngilangin asam habis makan," Ayah beralasan. Lalu keduanya tertawa bersamaan. Nabil ikut tersenyum. Sedangkan Kayla memasang muka masam. Mereka kemudian terdiam saat mendengar alunan merdu suara Lara Fabian dari handphone Kayla yang berbunyi nyaring. 'Tell me her name, i want to know, the ways she looks and where you go.' Kayla segera mengambil benda mungil itu dari dalam tas. Sebuah panggilan suara dari Nadin. Kayla ingin menjawabnya, tapi dia urungkan niat itu dan menyimpan kembali handphonenya ke dalam tas setelah terlebih dahulu menekan tombol reject. "Siapa? "tanya Ayah penasaran. “Nadin, Yah. "Terus, kenapa kamu nggak dijawab?" tanya Ayah lagi. "Nanti aja di rumah," jawab Kayla dengan suara pelan. Hampir tiga puluh menit di perjalanan. Rasanya mereka tak kunjung sampai ke rumah. Nabil menyetir dengan sangat pelan. Kayla menjadi bosan. Dia paling tidak suka berkendara seperti ini, mengundang mual di perutnya. Perasaannya juga mendadak tidak enak. Entah kenapa. "Maaf, Bil, bisa lebih kencang lagi?" ujarnya pada Nabil yang tengah konsentrasi menyetir. Nabil tidak menjawab, tapi dia menambah laju kendaraan. "Sudah cukup?" tanyanya kemudian sambil melirik Kayla melalui kaca spion. Kayla mengangguk. Akhirnya mereka masuk ke dalam gang menuju rumah. Jalan yang mereka lalui tampak ramai. Entah kenapa jalanan yang biasanya sepi itu mendadak dilewati banyak kendaraan. Beberapa meter lagi mereka akan sampai. Sudah terbayang empuknya kasur di otak Kayla. Hari ini dia benar-benar lelah. Dirinya tak ingin apa-apa selain beristirahat dan tidur dengan nyenyak. Kerumunan orang-orang yang berkumpul membuat mereka tidak bisa lewat. "Ada apa sih, kok ramai banget?" gumamnya. Kepalanya celingukan. "Biar aku turun dulu," cetus Nabil. "Aku ikut!" Kayla mengikuti Nabil keluar dari mobil. Mereka berjalan menerobos kerumunan orang-orang. Hawa panas mulai menyeruak. Kayla hampir terpekik menyaksikan kobaran api di hadapannya. Si jago merah itu mengamuk, melalap sadis bangunan permanen yang kini telah kehilangan bentuk. "Bil, itu kan rumahku!!!" Kayla menjerit histeris.***
Aroma obat-obatan menusuk hidung Kayla. Dia menggerakkan tangan, memegang kepala yang berdenyut sangat hebat. Matanya yang terkatup rapat terasa sangat berat. Namun dia memaksakan diri agar tak terpejam lagi sembari mengingat apa yang telah terjadi."Kamu sudah sadar?"Sebuah suara mengusik pendengarannya. Bayangan samar di hadapannya kian jelas. Sosok Nabil memandanginya dengan ekspresi yang tidak bisa ia artikan maknanya."Bil, aku di mana?" Suara Kayla terdengar lirih."Di rumah sakit," jawab Nabil singkat."Apa yang terjadi? Aku kenapa?" tanya Kayla memburu.Nabil menghela napas berat. Sulit baginya menjelaskan pada Kayla tentang apa yang telah terjadi."Katakan, Bil!" Kayla menggoyangkan tangan Nabil yang diam terpaku.Lelaki bermata teduh itu masih membatu.Kayla berpikir keras, mencoba mengingat-ingat kejadian buruk apa yang telah menimpanya sehingga berada di tempat yang tidak disukainya itu.Perlahan, bayangan kobaran api yang tengah membara berkelabat di depan matanya."Tida
Tiga bulan berlalu.Hari ini adalah hari pernikahan Kayla dan Nabil.Suasana di ruangan tempat akad nikah akan digelar sudah ramai oleh keluarga dan kerabat yang akan menyaksikan acara sakral itu.Kayla masih berada di kamar. Wajahnya yang cantik semakin memesona dengan riasan ala pengantin. Seharusnya dia sangat bahagia, karena hari ini akan menjadi hari paling bersejarah sepanjang hidupnya.Nadin yang sedari tadi menemani Kayla sangat takjub melihat wajah cantik sahabatnya. Selama ini riasan Kayla begitu sederhana dan sangat natural. Tapi hari ini, aura pengantinnya benar-benar terpancar."Selamat ya, Kay." Nadin menggenggam tangan Kayla."Perasaan sudah puluhan kali deh kamu bilang itu." Kayla mencibir."Ya, maaf... aku hanya terlalu antusias."Kayla tertawa kecil. "Biasa aja kali.""Kok biasa sih?" protes Nadin."Kamu tahu nggak, Nad? Aku nggak bahagia."Ungkapan jujur Kayla membuat Nadin tersentak."Jangan main-main, Kayla!" ucap Nadin dengan nada tinggi."Aku nggak main-main, a
"Kamu serius masih virgin? Jadi malam pertama kalian ngapain aja?" Nadin membombardir Kayla dengan pertanyaan demi pertanyaan saat mereka janjian bertemu sore itu. Layaknya seorang presenter infotainment yang handal, Nadin menginvestigasi Kayla."Sudah dua minggu lho, Kay!" Nadin mengingatkan.Memang sudah dua minggu berlalu sejak pernikahan mereka. Tapi Nabil belum pernah melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami."Emangnya Kamu nggak curiga?"Dahi Kayla berkerut. "Curiga apa?""Jangan-jangan ..." Nadin tidak melanjutkan kalimatnya."Apa sih, Nad?" Kayla mulai kesal."Jangan-jangan dia gay." Nadin mengecilkan suaranya seraya menoleh ke kanan dan ke kiri, takut ada yang mendengar omongan mereka.“Jangan ngawur!" Kali ini Kayla benar-benar kesal."Bisa saja kan?" Nadin bertahan dengan pendapatnya."Nggak mungkin! Nabil itu laki-laki yang normal, soleh, cerdas, pintar masak, rajin mengaji, manly, banyaklah pokoknya." Kayla membela Nabil. Bagaimanapun Nabil adalah suaminya. Dia harus m
"Kamu yakin mau pergi sendiri?" tanya Nabil saat sarapan pagi. Seandainya pekerjaannya tidak terlalu banyak, Nabil akan menyempatkan menemani Kayla mengantar lamaran kerja."Iya Bil, aku bisa sendiri, kok," sahut Kayla sambil meletakkan segelas susu panas di hadapan Nabil."Baiklah, tapi kamu hati-hati ya, bawa motor jangan terlalu kencang," pesan Nabil setelah menyesap habis susunya."Iya, Bil," jawab Kayla lagi."Tapi, apa nggak sebaiknya naik taksi aja?""Nggak usah, biar aku pakai motor aja, kamu nggak usah cemas, aku pelan-pelan kok," Kayla meyakinkan."Oke, Sayang, aku berangkat ya," pamit Nabil. Tak lupa dia mengecup kening Kayla. Ritual setiap pagi yang tidak pernah terlewat.Kayla menghadiahi sebuah senyuman manis, membuat semangat Nabil terpompa puluhan kali lipat.Setelah Nabil pergi, Kayla bersiap-siap. Mandi lalu berdandan senatural mungkin. Dia tidak suka riasan yang terlalu berlebihan. Dilihatnya bedak yang tinggal sedikit. Dengan sisa-sisa bedak yang menempel di spong
Pukul lima sore. Kayla hilir mudik di teras rumah. Hari ini Nabil pulang dari Jakarta. Seharusnya Nabil sudah sampai sejak satu jam yang lalu. Tapi sampai sekarang Tidak ada kabar dari Nabil. Handphonenya tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak bilang kalau pesawat akan delay.Kayla mendadak resah. Tidak biasanya ia seperti ini. Dia mulai memikirkan dan mengkhawatirkan Nabil.Di meja makan sudah terhidang masakan kesukaan Nabil. Sup daging. Kayla sengaja menyiapkan semuanya. Kemarin di telepon Nabil bilang kangen masakannya."Assalamualaikum ..."Sayup-sayup terdengar suara yang sangat dirindukan Kayla.Kayla bergegas keluar. Spontan dia menghambur ke pelukan Nabil yang melihatnya dengan tatapan rindu."Apa kabar, Sayang?" tanya Nabil setelah melepaskan pelukannya."Aku sepi tanpamu," ucap Kayla jujur dari lubuk hati."Benarkah?" Mata Nabil berbinar-binar.Kayla mengangguk malu. Malu pada Nabil dan perasaannya sendiri."Kamu pasti lapar, aku sudah siapkan makanan kesukaan kamu, kita ma
Kayla memandang jam dinding dengan perasaan gundah. Sudah hampir tengah malam, tetapi Nabil belum juga pulang. Dia sudah mencoba menelepon berkali-kali, tapi Nabil tak mengangkat teleponnya. Terakhir, waktu Kayla menghubunginya lagi, handphone Nabil sudah tidak aktif.Kayla mencoba tidur. Dia mencoba meyakinkan diri, kalau Nabil akan baik-baik saja, toh mereka sudah dewasa. Namun, dia hanya bisa membolak-balikkan badannya di tempat tidur tanpa mampu memejamkan mata sama sekali. Padahal besok dia harus bangun pagi-pagi sekali melebihi biasanya, karena besok hari pertamanya bekerja. Dia tidak ingin datang terlambat dan memberi kesan buruk.Kayla bangkit dari tempat tidur. Mengutak-atik handphone lalu membuka media sosial miliknya. Kabar tentang hiruk pikuk dunia politik pasca pemilu yang mampir di berandanya membuat Kayla bertambah pusing. Dia segera log out. Lalu seperti biasa membuka aplikasi perpesanan instan dan chatting dengan Nadin. Dia meliat Nadin sedang online."Hai Nad, tumb
"Selamat pagi, Mikayla, selamat datang di Indoraya." Ryo menyambut kedatangan Kayla dengan senyum terukir di bibir."Pagi juga, Pak Ryo," balas Kayla terdengar sedikit kaku. Sebutan Bapak ia kira tidak cocok ditujukan untuk Ryo. Laki-laki itu terlalu muda untuk dipanggil dengan sebutan Bapak."Bisa panggil Ryo saja? Tanpa kata Bapak? Sepertinya kita hampir seumuran," pinta Ryo serius. Seperti punya indra ke enam, dia bisa membaca pikiran Kayla."Baiklah, Ryo." Kayla terlihat kikuk.Ryo melempar senyum. "Kamu sudah tahu ruang kerja kamu yang mana?" tanyanya kemudian.Kayla menggeleng. Semua masih sangat asing baginya."Ayo ikut saya!"Kayla membuntuti Ryo yang berjalan duluan. Menyusuri gedung kantor yang belum terlalu ramai. Sampai di ruangan paling ujung, Ryo membuka pintu. Sebuah ruangan bercat putih yang tidak begitu besar, dipisahkan oleh beberapa partisi sebagai sekat. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja bundar yang mungkin berfungsi untuk meeting internal divisi."Ini ruangan k
Gagal lagi! Nabil tidak mengerti apa yang salah pada dirinya. Lebih satu tahun pernikahannya namun istrinya masih suci bak melati. Alangkah lemah dirinya sebagai laki-laki. Nabil mengutuk dirinya berkali-kali.Suara klakson yang bersahut-sahutan membuat Nabil terkesiap. Lampu lalu lintas yang tadi merah sudah berganti warna hijau. Diliriknya kaca spion, puluhan mobil dan motor tengah antri di belakangnya.Shit! Bisa-bisanya dia melamun di tengah kemacetan. Nabil mengoper gigi dan langsung tancap gas. Dia harus sampai sebelum apel pagi dimulai. Namun sepertinya kali ini dia harus mengalah pada keadaan. Di pertigaan depan, kemacetan panjang menunggunya.Nabil mengambil handphonenya, dia bermaksud menghubungi Ari, mengabari kalau dia akan datang terlambat."Bro, kayaknya aku bakalan telat, macet panjang di sudirman.""Tumben, Bro, jangan-jangan karena telat bangun, berapa ronde semalam?""Rese!""Hahaha."Baru saja Nabil akan menyimpan handphone, sebuah notifikasi pesan singkat dari Kayl