Senin pagi yang basah. Kayla masih meringkuk di tempat tidur. Derasnya hujan semalam menyisakan hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang, membuatnya malas untuk bergerak. Biasanya pada jam segini, dia tengah bergelut dengan kemacetan di perjalanan menuju kantor.
Sudah seminggu dia resmi menjadi pengangguran. Belum ada rencana apa pun, selain mencoba mengirim lamaran ke sana kemari. Sempat terpikir untuk membuka usaha, namun uang tabungannya belum mencukupi untuk dijadikan modal. Waktu masih bekerja dulu, dia sangat disiplin menyisihkan sepertiga dari penghasilannya untuk disimpan. "Kayla, kamu sudah bangun, nak?" Suara Ayah di depan pintu diiringi dengan ketukan. Kayla menggeliat, lalu bangkit dari pembaringan dan menyeret langkah malas. "Sudah, Yah," jawabnya setelah membuka pintu. "Ayo sarapan, Ayah sudah siapkan." "Ayah duluan aja, nanti aku menyusul. Aku mau mandi dulu." "Apa rencanamu hari ini?" "Belum tahu, Yah, mungkin ke perpustakaan kota, tapi entahlah," ujar Kayla tidak yakin. "Kalau kamu mau ikut Ayah, nanti sore ada acara syukuran rumah baru di rumah teman Ayah." "Di rumah Pak Hadi lagi?" tanya Kayla tidak tertarik. "Bukan, tapi di rumah Pak Heru, mantan anggota DPRD. Sekarang dia sudah pensiun dari dunia politik," jelas Ayah. "Ooo.. mantan pejabat. Dia punya anak laki-laki juga, Yah?" Kayla mengangkat alisnya menggoda Ayah. "Ah, kamu ini, masih saja bercanda." Ayah tertawa terkekeh meninggalkan Kayla. Kayla kembali menghambur ke tempat tidur. Diraihnya handphone yang bersembunyi di bawah bantal. Dia mulai berselancar di dunia maya. Jari jemarinya menari diatas layar sentuh. Gadis manis itu mengetik nama "Danish Raditya" di menu pencarian media sosialnya. Tapi nihil, akun Radit tidak ditemukan. Kayla segera beralih ke aplikasi perpesanan instan, lalu mencari nama Radit di daftar kontak, memulai percakapan. Beberapa menit menunggu hanya sebuah tanda ceklis yang muncul, menandakan pesan sedang dikirim namun tak kunjung sampai pada penerima. Sekali lagi Kayla harus menelan rasa kecewa. Radit telah menutup pintu komunikasi rapat-rapat. Kenapa Radit susah sekali untuk dihubungi? Apakah lelaki itu benar-benar telah melupakannya? Kayla mengutuk dirinya sendiri, yang mencintai Radit secara berlebihan. "Nad, aku kangen Radit," Kayla mengirim pesan untuk Nadin. Hampir setengah jam baru ada jawaban. "Maaf Kay, aku tadi lagi briefing. Ada proyek baru." "Congrat ya, Nad," balas Kayla tulus. Dia ikut senang atas keberhasilan Nadin. "Makasih, Kayla sayang," jawaban dari Nadin disertai emoji pelukan. "Ngomong-ngomong kamu yakin Radit masih sendiri di sana?" Kata-kata Nadin sukses mematahkan hati Kayla. Kenapa dia tak pernah berpikir ke arah itu? Radit begitu jauh untuk digapai. Mereka terpisah ruang dan waktu. Kehidupan luar negeri begitu bebas, bukan tidak mungkin Radit menemukan seseorang yang bisa mengisi hatinya disana. Ah, betapa bodohnya. Kayla melempar handphone, lalu membenamkan diri ke bantal, menangis sejadinya, menumpahkan air mata dan juga sesak di dada. *** Suasana di rumah Pak Heru begitu ramai. Ini untuk kedua kalinya Kayla ikut Ayah ke acara semacam pengajian atau syukuran. Sesuatu yang sebenarnya tidak disukainya. Dia bukan orang yang agamais seperti Ayahnya. "Nak Kayla ikut juga?" Suara seseorang mengusik pendengaran Kayla saat ia tengah asyik mengambil makanan di prasmanan yang dihidangkan. Kayla menoleh. Ternyata Pak Hadi. "Eh, Bapak, apa kabar?" tanya Kayla berbasa-basi. "Baik. Wah, sayang sekali Nabil tidak ikut," ujar Pak Hadi. Kayla tersenyum seadanya. “Dengar-dengar, kamu sudah berhenti kerja, ya? Kayla sedikit kaget mendengar perkataan Pak Hadi. Darimana lelaki itu bisa tahu? Pasti Ayah yang membocorkannya, pikir Kayla. "Kalau kamu tidak ada kegiatan, coba melamar jadi honorer di kantor Nabil." Ide yang bagus sebenarnya, tapi maraknya para honorer yang demo pada pemerintah karena tidak ada kejelasan status serta gaji yang sangat minim membuat Kayla membuang jauh-jauh pikiran itu. "Terima kasih, Pak, nanti akan saya pikirkan." "Nanti akan saya katakan pada Nabil, mungkin dia bisa membantu," cetus Pak Hadi lagi. "Eh, tidak usah, Pak." Kayla jadi salah tingkah. Dia akan sangat malu jika diterima bekerja hanya karena ada orang dalam dan tanpa melalui tes. "Pak, saya permisi dulu ya, mau gabung di sana," Kayla menunjuk sekelompok ibu-ibu yang tengah makan. Pak Hadi membalas dengan anggukan. Sebenarnya Kayla jadi tidak enak pada Pak Hadi. Mungkinkah teman Ayah itu merasa jika dia ingin cepat-cepat mengakhiri obrolan? Kayla hanya malas bicara. Apalagi jika mengarah pada Nabil. Lelaki yang ingin dijodohkan Ayah untuknya. Dia tak ingin memberi ruang di hatinya kepada lelaki lain. Biarlah hanya Radit seorang yang mengisinya. Cukup lama Kayla menunggu Ayah yang tengah berbicara dengan Pak Hadi. Mereka terlihat sangat serius. Kira-kira apa yang mereka bicarakan? Apakah Ayah sungguh-sungguh ingin menjodohkannya dengan Nabil? Ayah bukan tipe kepala keluarga yang otoriter. Tidak mungkin dia memaksakan kehendaknya pada Kayla. Kayla masih sibuk bergumul dengan pikirannya ketika menyadari seseorang berdiri di hadapannya. Dia terperanjat tatkala melihat sosok itu. "Radit!" Kayla berseru kaget. Lelaki di hadapannya mengernyit. "Kamu sedang apa di sini?" dia bertanya. Kayla mengucek mata, meyakinkan penglihatannya. Dan kini sosok itu terlihat jelas. Lelaki itu ternyata Nabil. Ah, Kayla terhempas ke bumi setelah sepersekian detik sempat melayang. "Aku sedang menunggu Ayah," jawab Kayla sembari berharap tadi Nabil tidak mendengar dia menyebut nama Radit. "Oh iya, tadi kamu panggil aku apa?" Ternyata Nabil mendengar kata-katanya tadi. "Maaf, tadi aku lupa namamu," jawab Kayla berbohong. "Ooo... " Nabil tersenyum tipis. Dia mendengar dengan sangat jelas Kayla mengucapkan nama seseorang, tapi lelaki itu pura-pura tidak tahu. "Kenapa kamu menyusul kesini, Bil? Katanya lembur." Pak Hadi muncul bersama Ayah. "Tidak jadi, Pa, ada teman satu tim yang sakit," jelas Nabil. "Ooo... Kalau begitu kita pulang sama-sama saja, kebetulan Nabil bawa mobil," ujar Pak Hadi pada Ayah. "Boleh, gimana Kay?" Ayah meminta persetujuan Kayla "Terserah Ayah saja," jawab Kayla pasrah. Lumayan, pikir Kayla. Daripada naik taksi. Dia benar-benar harus memperhitungkan sekecil apa pun pengeluaran karena saat ini dirinya adalah seorang pengangguran. Sepanjang perjalanan Kayla hanya diam dan sibuk dengan pikirannya. Sedangkan Ayah tak berhenti terserang batuk yang saling susul menyusul. Nafas Ayah terlihat sedikit sesak. Sesekali laki-laki tua itu memegang dadanya. Ayah memang perokok berat, bahkan di usianya yang sudah senja. "Habis berapa batang tadi?" tegur Pak Hadi sambil tertawa terkekeh. Ayah melirik Kayla, khawatir anak gadisnya akan murka jika tahu dia mengisap hampir setengah bungkus rokok. "Tidak banyak, cuma sedikit buat ngilangin asam habis makan," Ayah beralasan. Lalu keduanya tertawa bersamaan. Nabil ikut tersenyum. Sedangkan Kayla memasang muka masam. Mereka kemudian terdiam saat mendengar alunan merdu suara Lara Fabian dari handphone Kayla yang berbunyi nyaring. 'Tell me her name, i want to know, the ways she looks and where you go.' Kayla segera mengambil benda mungil itu dari dalam tas. Sebuah panggilan suara dari Nadin. Kayla ingin menjawabnya, tapi dia urungkan niat itu dan menyimpan kembali handphonenya ke dalam tas setelah terlebih dahulu menekan tombol reject. "Siapa? "tanya Ayah penasaran. “Nadin, Yah. "Terus, kenapa kamu nggak dijawab?" tanya Ayah lagi. "Nanti aja di rumah," jawab Kayla dengan suara pelan. Hampir tiga puluh menit di perjalanan. Rasanya mereka tak kunjung sampai ke rumah. Nabil menyetir dengan sangat pelan. Kayla menjadi bosan. Dia paling tidak suka berkendara seperti ini, mengundang mual di perutnya. Perasaannya juga mendadak tidak enak. Entah kenapa. "Maaf, Bil, bisa lebih kencang lagi?" ujarnya pada Nabil yang tengah konsentrasi menyetir. Nabil tidak menjawab, tapi dia menambah laju kendaraan. "Sudah cukup?" tanyanya kemudian sambil melirik Kayla melalui kaca spion. Kayla mengangguk. Akhirnya mereka masuk ke dalam gang menuju rumah. Jalan yang mereka lalui tampak ramai. Entah kenapa jalanan yang biasanya sepi itu mendadak dilewati banyak kendaraan. Beberapa meter lagi mereka akan sampai. Sudah terbayang empuknya kasur di otak Kayla. Hari ini dia benar-benar lelah. Dirinya tak ingin apa-apa selain beristirahat dan tidur dengan nyenyak. Kerumunan orang-orang yang berkumpul membuat mereka tidak bisa lewat. "Ada apa sih, kok ramai banget?" gumamnya. Kepalanya celingukan. "Biar aku turun dulu," cetus Nabil. "Aku ikut!" Kayla mengikuti Nabil keluar dari mobil. Mereka berjalan menerobos kerumunan orang-orang. Hawa panas mulai menyeruak. Kayla hampir terpekik menyaksikan kobaran api di hadapannya. Si jago merah itu mengamuk, melalap sadis bangunan permanen yang kini telah kehilangan bentuk. "Bil, itu kan rumahku!!!" Kayla menjerit histeris.***
Aroma obat-obatan menusuk hidung Kayla. Dia menggerakkan tangan, memegang kepala yang berdenyut sangat hebat. Matanya yang terkatup rapat terasa sangat berat. Namun dia memaksakan diri agar tak terpejam lagi sembari mengingat apa yang telah terjadi."Kamu sudah sadar?"Sebuah suara mengusik pendengarannya. Bayangan samar di hadapannya kian jelas. Sosok Nabil memandanginya dengan ekspresi yang tidak bisa ia artikan maknanya."Bil, aku di mana?" Suara Kayla terdengar lirih."Di rumah sakit," jawab Nabil singkat."Apa yang terjadi? Aku kenapa?" tanya Kayla memburu.Nabil menghela napas berat. Sulit baginya menjelaskan pada Kayla tentang apa yang telah terjadi."Katakan, Bil!" Kayla menggoyangkan tangan Nabil yang diam terpaku.Lelaki bermata teduh itu masih membatu.Kayla berpikir keras, mencoba mengingat-ingat kejadian buruk apa yang telah menimpanya sehingga berada di tempat yang tidak disukainya itu.Perlahan, bayangan kobaran api yang tengah membara berkelabat di depan matanya."Tida
Tiga bulan berlalu.Hari ini adalah hari pernikahan Kayla dan Nabil.Suasana di ruangan tempat akad nikah akan digelar sudah ramai oleh keluarga dan kerabat yang akan menyaksikan acara sakral itu.Kayla masih berada di kamar. Wajahnya yang cantik semakin memesona dengan riasan ala pengantin. Seharusnya dia sangat bahagia, karena hari ini akan menjadi hari paling bersejarah sepanjang hidupnya.Nadin yang sedari tadi menemani Kayla sangat takjub melihat wajah cantik sahabatnya. Selama ini riasan Kayla begitu sederhana dan sangat natural. Tapi hari ini, aura pengantinnya benar-benar terpancar."Selamat ya, Kay." Nadin menggenggam tangan Kayla."Perasaan sudah puluhan kali deh kamu bilang itu." Kayla mencibir."Ya, maaf... aku hanya terlalu antusias."Kayla tertawa kecil. "Biasa aja kali.""Kok biasa sih?" protes Nadin."Kamu tahu nggak, Nad? Aku nggak bahagia."Ungkapan jujur Kayla membuat Nadin tersentak."Jangan main-main, Kayla!" ucap Nadin dengan nada tinggi."Aku nggak main-main, a
"Kamu serius masih virgin? Jadi malam pertama kalian ngapain aja?" Nadin membombardir Kayla dengan pertanyaan demi pertanyaan saat mereka janjian bertemu sore itu. Layaknya seorang presenter infotainment yang handal, Nadin menginvestigasi Kayla."Sudah dua minggu lho, Kay!" Nadin mengingatkan.Memang sudah dua minggu berlalu sejak pernikahan mereka. Tapi Nabil belum pernah melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami."Emangnya Kamu nggak curiga?"Dahi Kayla berkerut. "Curiga apa?""Jangan-jangan ..." Nadin tidak melanjutkan kalimatnya."Apa sih, Nad?" Kayla mulai kesal."Jangan-jangan dia gay." Nadin mengecilkan suaranya seraya menoleh ke kanan dan ke kiri, takut ada yang mendengar omongan mereka.“Jangan ngawur!" Kali ini Kayla benar-benar kesal."Bisa saja kan?" Nadin bertahan dengan pendapatnya."Nggak mungkin! Nabil itu laki-laki yang normal, soleh, cerdas, pintar masak, rajin mengaji, manly, banyaklah pokoknya." Kayla membela Nabil. Bagaimanapun Nabil adalah suaminya. Dia harus m
"Kamu yakin mau pergi sendiri?" tanya Nabil saat sarapan pagi. Seandainya pekerjaannya tidak terlalu banyak, Nabil akan menyempatkan menemani Kayla mengantar lamaran kerja."Iya Bil, aku bisa sendiri, kok," sahut Kayla sambil meletakkan segelas susu panas di hadapan Nabil."Baiklah, tapi kamu hati-hati ya, bawa motor jangan terlalu kencang," pesan Nabil setelah menyesap habis susunya."Iya, Bil," jawab Kayla lagi."Tapi, apa nggak sebaiknya naik taksi aja?""Nggak usah, biar aku pakai motor aja, kamu nggak usah cemas, aku pelan-pelan kok," Kayla meyakinkan."Oke, Sayang, aku berangkat ya," pamit Nabil. Tak lupa dia mengecup kening Kayla. Ritual setiap pagi yang tidak pernah terlewat.Kayla menghadiahi sebuah senyuman manis, membuat semangat Nabil terpompa puluhan kali lipat.Setelah Nabil pergi, Kayla bersiap-siap. Mandi lalu berdandan senatural mungkin. Dia tidak suka riasan yang terlalu berlebihan. Dilihatnya bedak yang tinggal sedikit. Dengan sisa-sisa bedak yang menempel di spong
Pukul lima sore. Kayla hilir mudik di teras rumah. Hari ini Nabil pulang dari Jakarta. Seharusnya Nabil sudah sampai sejak satu jam yang lalu. Tapi sampai sekarang Tidak ada kabar dari Nabil. Handphonenya tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak bilang kalau pesawat akan delay.Kayla mendadak resah. Tidak biasanya ia seperti ini. Dia mulai memikirkan dan mengkhawatirkan Nabil.Di meja makan sudah terhidang masakan kesukaan Nabil. Sup daging. Kayla sengaja menyiapkan semuanya. Kemarin di telepon Nabil bilang kangen masakannya."Assalamualaikum ..."Sayup-sayup terdengar suara yang sangat dirindukan Kayla.Kayla bergegas keluar. Spontan dia menghambur ke pelukan Nabil yang melihatnya dengan tatapan rindu."Apa kabar, Sayang?" tanya Nabil setelah melepaskan pelukannya."Aku sepi tanpamu," ucap Kayla jujur dari lubuk hati."Benarkah?" Mata Nabil berbinar-binar.Kayla mengangguk malu. Malu pada Nabil dan perasaannya sendiri."Kamu pasti lapar, aku sudah siapkan makanan kesukaan kamu, kita ma
Kayla memandang jam dinding dengan perasaan gundah. Sudah hampir tengah malam, tetapi Nabil belum juga pulang. Dia sudah mencoba menelepon berkali-kali, tapi Nabil tak mengangkat teleponnya. Terakhir, waktu Kayla menghubunginya lagi, handphone Nabil sudah tidak aktif.Kayla mencoba tidur. Dia mencoba meyakinkan diri, kalau Nabil akan baik-baik saja, toh mereka sudah dewasa. Namun, dia hanya bisa membolak-balikkan badannya di tempat tidur tanpa mampu memejamkan mata sama sekali. Padahal besok dia harus bangun pagi-pagi sekali melebihi biasanya, karena besok hari pertamanya bekerja. Dia tidak ingin datang terlambat dan memberi kesan buruk.Kayla bangkit dari tempat tidur. Mengutak-atik handphone lalu membuka media sosial miliknya. Kabar tentang hiruk pikuk dunia politik pasca pemilu yang mampir di berandanya membuat Kayla bertambah pusing. Dia segera log out. Lalu seperti biasa membuka aplikasi perpesanan instan dan chatting dengan Nadin. Dia meliat Nadin sedang online."Hai Nad, tumb
"Selamat pagi, Mikayla, selamat datang di Indoraya." Ryo menyambut kedatangan Kayla dengan senyum terukir di bibir."Pagi juga, Pak Ryo," balas Kayla terdengar sedikit kaku. Sebutan Bapak ia kira tidak cocok ditujukan untuk Ryo. Laki-laki itu terlalu muda untuk dipanggil dengan sebutan Bapak."Bisa panggil Ryo saja? Tanpa kata Bapak? Sepertinya kita hampir seumuran," pinta Ryo serius. Seperti punya indra ke enam, dia bisa membaca pikiran Kayla."Baiklah, Ryo." Kayla terlihat kikuk.Ryo melempar senyum. "Kamu sudah tahu ruang kerja kamu yang mana?" tanyanya kemudian.Kayla menggeleng. Semua masih sangat asing baginya."Ayo ikut saya!"Kayla membuntuti Ryo yang berjalan duluan. Menyusuri gedung kantor yang belum terlalu ramai. Sampai di ruangan paling ujung, Ryo membuka pintu. Sebuah ruangan bercat putih yang tidak begitu besar, dipisahkan oleh beberapa partisi sebagai sekat. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja bundar yang mungkin berfungsi untuk meeting internal divisi."Ini ruangan k
Gagal lagi! Nabil tidak mengerti apa yang salah pada dirinya. Lebih satu tahun pernikahannya namun istrinya masih suci bak melati. Alangkah lemah dirinya sebagai laki-laki. Nabil mengutuk dirinya berkali-kali.Suara klakson yang bersahut-sahutan membuat Nabil terkesiap. Lampu lalu lintas yang tadi merah sudah berganti warna hijau. Diliriknya kaca spion, puluhan mobil dan motor tengah antri di belakangnya.Shit! Bisa-bisanya dia melamun di tengah kemacetan. Nabil mengoper gigi dan langsung tancap gas. Dia harus sampai sebelum apel pagi dimulai. Namun sepertinya kali ini dia harus mengalah pada keadaan. Di pertigaan depan, kemacetan panjang menunggunya.Nabil mengambil handphonenya, dia bermaksud menghubungi Ari, mengabari kalau dia akan datang terlambat."Bro, kayaknya aku bakalan telat, macet panjang di sudirman.""Tumben, Bro, jangan-jangan karena telat bangun, berapa ronde semalam?""Rese!""Hahaha."Baru saja Nabil akan menyimpan handphone, sebuah notifikasi pesan singkat dari Kayl
Dea berdiri di depan cermin di kamarnya. Ia memandang refleksi dirinya disana. Sepasang matanya yang besar dan berbulu lentik berpendar menlusuri setiap inci bagian wajahnya. Dea masih belum menemukan kekurangan yang berarti pada fisiknya. Manusia normal dan mempunyai kewarasan pasti tidak akan mengingkari keindahan yang disematkan sang pencipta padanya."Aku kurang apalagi? Apakah aku kurang cantik? Apakah aku tidak menarik? Apakah penampilanku biasa saja?" Dea bertanya sendiri pada dirinya. Dea merasa dirinya masih sangat layak untuk mendampingi Nabil. Tapi kenapa Nabil menutup hati untuknya?"Kenapa Nabil bisa bikin aku hancur kayak gini? Apa hebatnya dia? Dia pikir cuma dia laki-laki di dunia ini?"Dari tadi Dea berbicara sendiri pada dirinya. Dea sudah tidak tahan lagi. Dirinya sudah berada di titik kulminasi. Dea lelah dengan perasaan dan hidupnya yang kacau. Semua ini harus ia akhiri sebelum kewarasannya patut dipertanyakan. Ia harus menjadi pribadi baru yang jauh lebih baik
Nabil bukannya tidak punya perasaan dengan terang-terangan mengatakan pada Dea bahwa mungkin sudah ada yang menggantikannya. Nabil berharap dengan ketegasan sikapnya itu Dea tidak lagi menyimpan harapan padanya. Tapi sepertinya Dea masih belum menyerah meski Nabil sudah menolak dengan berbagai cara mulai dari cara yang paling halus sampai cara frontal seperti kemarin.Nabil menyadari sekarang, mungkin karena pada dasarnya ia memang tidak mencintai Dea, jadi seperti apapun cara Dea merebut hatinya, Nabil tidak akan luluh. Lain halnya jika ia mencintai dari awal. Nabil memang sempat mencintai Dea, dan itu begitu dirasakannya saat Dea berjuang mempertaruhkan nyawa saat melahirkan anak mereka. Tapi kembali lagi, jika prinsipnya hanya karena cinta yang terbiasa, bukan karena cinta pada pandangan pertama, maka rasa itu sangat cepat memudar. Nabil tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Kayla dulu juga ia cintai karena telah terbiasa hidup bersama. Namun perasaannya pada Kayla begitu meleka
Rasanya sudah terlalu lama Dea meratapi diri dan menyesali nasib. "Have you ever seen the sun after the heartbreak? Frozen somewhere in time. Have you ever seen the stars after the word goodbye?" Kalimat itu benar adanya. Dea sudah merasakan dan membuktikannyta sendiri. Ia tidak melihat matahari dan bintang lagi setelah berpisah dengan Nabil. Siang dan malam sudah tak bisa dibedakannya karena semua membeku pada satu waktu,Dea merasa sebentar lagi akan kehilangan kewarasannya jika terus-terusan bersikap begini. Penyesalan terbesar dalam hidup Dea adalah karena tetap nekat pergi meski Nabil sudah melarangnya waktu itu. Padahal Nabil sudah memberinya kode keras. Nabil yang selama ini lunak padanya dan kerap luluh ketika Dea menyerang kelemahannya, ternyata bisa keras juga. Dan kerasnya tidak main-main. Jika saja waktu bisa diputar dan diulang ke belakang, Dea akan memperbaiki semuanya. Ia akan berpikir sebelum bertindak. Dea akan membuang jauh-jauh sifat buruknya. Termasuk pada K
Hari itu Alan datang ke kediaman Kayla dan Radit. Begitu melihat Alan, rahang Radit langsung mengeras. Radit tidak tahu apa tujuan Alan menemuinya. Tapi melihatnya saja emosinya sudah tersulut."Dit, bisa minta waktunya sebentar?" Alan cepat-cepat bertanya begitu Radit ingin pergi menghindar.Radit ingin menghiraukannya tapi Kayla cepat-cepat memberi isyarat dengan matanya agar Radit segera duduk di sebelahnya.Karena Kayla yang meminta, Radit pun menurutinya walau dengan malas-malasan dan hati berat."Apa kabar, Dit?" sapa Alan berbasa-basi."Baik," jawab Radit singkat."Aku kesini mau ajak kamu bekerja lagi di kantorku," kata Alan menjelaskan tujuan kedatangannya.Radit diam saja. Matanya tidak menatap Alan, namun telinganya mendengar dengan jelas apa yang dikatakan laki-laki itu."Aku butuh kamu, Dit. Aku butuh tenaga porofesional seperti kamu," kata Alan lagi."Masih banyak yang lebih profesional. Bukan hanya aku," ujar Radit menanggapi."Memang banyak, Dit, tapi aku mau yang kine
Berkutat dengan pekerjaan seharian ini membuat Keyzia merasa butuh refreshing. Pikirannya sudah tersita banyak oleh pekerjaan dan tenaganya pun ikut terforsir. Keyzia ingin memanjakan matanya dengan yang indah-indah. Seperti kebanyakan wanita pada umumnya, defenisi kata indah disini adalah tidak jauh-jauh dari baju, tas, dan sepatu. Keyzia menjatuhkan pilihannya pada Kayra Boutique. Sejak awak berbelanja disana, Keyzia sudah merasa cocok. Saat ini juga Keyzia memutuskan untuk pergi ke sana.Beberapa menit duduk di lobi, taksi yang dipesan Keyzia pun datang. Setelah menyebutkan tujuannya dengan jelas, taksi pun bergerak dengan kecepatan sedang. Di dalam taksi Keyzia melamun dan merenungi diri. Sepertinya ia mulai termakan kata-katanya sendiri. Keyzia paling anti menyukai laki-laki yang sudah menjadi milik orang dan sudah pernah menikah. Tapi yang terjadi, dirinya malah menyukai Radit yang notabene sudah memiliki istri. Keyzia tidak mau menjadi orang ketiga. Karma pelakor itu sangat me
Pagi ini Keyzia memutuskan berangkat sendiri ke kantornya menggunakan taksi. Keyzia merasa tidak enak jika tiap hari harus merepotkan Nabil. Sebenarnya bukan hanya itu alasannya. Setelah percakapan mereka di mobil waktu itu, Keyzia merasa Nabil menyimpan rasa tak biasa padanya. Bisa jadi Nabil menyukainya. Dan hal itu membuat Keyzia merasa tidak nyaman. Keyzia takut hatinya tidak kuat dan ikut membalas perasaan Nabil. Tidak ada yang salah jika pada akhirnya ia juga menyukai Nabil. Namun itu sama artinya dengan menjilat ludahnya sendiri. Yang membuat Keyzia heran, karakter Nabil jauh dari yang pernah diceritakan Putri padanya. Adiknya itu bilang, Nabil itu cool, irit bicara, dan cenderung cuek. Tapi fakta yang dihadapi Keyzia, semua itu jauh dari gambaran Putri. Sikap Nabil begitu hangat dan manis. Mereka bisa membicarakan topik apa saja, dan Nabil mampu mengimbanginya. Pertanyaannya sekarang, apakah Nabil bersikap demikian hanya saat bersama dirinya?Keyzia melangkah cepat dengan ket
Nabil duduk sendiri di teras rumah sambil menatap langit malam. Tidak ada bintang atau pun bulan yang tertangkap oleh matanya. Semilir angin dingin yang menusuk sampai ke tulang tak dirasakannya.Sejak pulang dari pusara Deana tadi, sedetik pun Nabil tidak berhenti memikirkan Dea. Rasa bersalah semakin menusuk hatinya. Nabil seolah kembali mendapatkan akal sehatnya yang hilang.Rentetan peristiwa yang telah terjadi, sekarang membayang kembali. Sama seperti di pusara tadi, semua seperti adegan slow motion yang terus berulang-ulang.Nabil tidak mengerti kenapa baru sekarang perasaan itu hadir, di saat semuanya sudah berakhir. Nabil merasa perlu untuk meminta maaf pada Dea. Ia sudah banyak menyakiti hatinya. Dan sialnya baru sekarang kesadaran untuk itu muncul. Apa mungkin tuhan sudah membukakan hatinya melalui perantara Deana yang sudah menyatu dengan tanah?Nabil memandang ponsel yang berada di genggamannya dengan tatapan ragu. Sejak iphonenya hilang dan ia mengganti nomor selulernya d
Nabil yang sudah grogi bertambah gelagapan mendengar pertanyaan tak terduga itu. Semua diluar prediksinya. Harus secepat inikah prosesnya?"Kalo misalnya aku suka sama kamu, boleh?" Akhirnya terlontar juga kalimat itu dari bibirnya. Nabil mengucapkannya dengan begitu hati-hati.Keyzia tertegun. Tidak percaya dengan pendengarannya sendiri, serta tidak tahu harus mengucapkan apa."Kalo cuma suka apa salahnya? Masa nggak boleh?""Kalo lebih?" Nabil merutuki dirinya sendiri yang seperti mendapat kekuatan untuk bicara lebih banyak.Keyzia kembali terdiam. Itu maksudnya apa?Di tengah ketermanguannya, telinga Keyzia menangkap suara Nabil."Hehe, Key, aku becanda kok," ralat Nabil demi menyalamatkan mukanya.Keyzia mengerjap, setelah beberapa saat yang lalu ia tak berkedip.Dan sepanjang sisa perjalanan, mereka menghabiskan waktu dengan berbicara pada hati masing-masing. Hingga tanpa terasa mereka sampai di kantor Keyzia."Key, kayaknya aku nggak bisa jemput kamu nanti sore," kata Nabil sebe
Ketika pagi menjelang, Radit dan Kayla masih berada di pembaringan mereka yang nyaman. Radit semakin mempererat dekapannya ketika merasakan tubuh istrinya itu mulai bergerak. Radit masih belum ingin mengakhiri kebersamaan mereka yang dirasanya terlalu singkat.Kayla juga merasakan hal yang sama dengan Radit. Kayla enggan beranjak dan lebih memilih membenamkan wajahnya di dada Radit yang bidang. Disana, Kayla bisa mendengar dengan jelas irama jantung Radit yang begitu teratur, sangat kontras dengan semalam, ketika mereka sama-sama mengayun rasa.Kenyamanan yang dirasakan Kayla mulai terusik ketika rasa mual kembali menyerang seperti hari-hari sebelumnya.Dengan gerakan pelan Kayla menggeser tangan Radit yang melingkarinya. Ia harus ke kamar mandi sebelum terlambat karena desakan dari dalam perutnya semakin memberontak ingin keluar.Mengetahui Kayla tidak lagi berada dalam dekapannya, Radit membuka mata. “Yang, kamu dimana?” panggilnya.Karena tidak ada sahutan dari Kayla, Radit turun