Kayla baru saja akan mengetuk pintu, namun pintu berwarna coklat tua itu keburu dibuka dari dalam. Seraut wajah dengan sepasang mata teduh menyembul keluar.
"Kenapa baru pulang?" tanyanya. Raut wajahnya yang mulai keriput tidak bisa menyembunyikan rasa cemas. "Aku lembur, Yah," jawab Kayla sembari melirik jam dinding. Sudah hampir jam 11 malam, wajar jika Ayah mengkhawatirkannya. "Diantar laki-laki itu lagi?" Langkah Kayla menuju kamar terhenti mendengar pertanyaan Ayah. "Namanya Radit, Yah," jawab Kayla kurang senang. Ayah memang tidak menyukai Radit. Dan selalu menyebutnya dengan sebutan 'laki-laki itu'. Radit, laki-laki berkulit terang itu adalah kekasih Kayla. Dia berperawakan tinggi, berbadan tegap dan berwajah tampan sedikit kebulean. Radit juga lulusan universitas ternama di luar negeri. Namun entah apa kurangnya Radit di mata Ayah. "Nanti kamu bisa cepat pulang kan?" tanya Ayah ketika keesokan paginya mereka sarapan bersama. "Hmmm... kayaknya aku nggak bisa, Yah," jawab Kayla setelah menyesap habis secangkir kopi kesukaannya. "Lembur lagi?" "Nggak sih, cuma aku ada janji," ragu-ragu Kayla menjawab. "Dengan laki-laki itu lagi?" kejar Ayah cepat. "Iya. Memang ada apa sih, Yah?" Kayla balik bertanya. "Ayah mau ajak kamu." "Ke mana?" "Nanti malam ada acara pengajian di rumah teman Ayah." Pengajian? Dahi Kayla berkerut. Sejak Ibu meninggal beberapa tahun yang lalu, Kayla hanya tinggal berdua dengan Ayah. Namun Ayah tidak pernah sekali pun membawanya ke acara apa pun. * Setibanya di kantor Kayla tidak menemukan sosok Radit. Ruangannya kosong. "Cieee... yang pagi-pagi cariin yayang..." Kayla terperanjat ketika sebuah tepukan mampir di bahunya. "Duh, kamu bikin aku kaget," Kayla mencubit pelan tangan Nadin, rekan kerjanya. Cewek itu tertawa cekikikan. "Radit kan cuti." Nadin memberitahu tanpa ditanya. "Hahh!!!" "Masa kamu nggak tahu?" Nadin keheranan. Tanpa menunggu lebih lama, Kayla bergegas ke ruangannya. Dia harus segera menghubungi Radit. Namun belum sempat dia mengambil handphone, Pak Surya, atasannya, memanggil. "Kayla, segera ke ruangan meeting ya!" Perintah lelaki itu pelan tapi tegas. "Baik, Pak," Kayla mengangguk patuh. Selama hampir dua jam meeting, Kayla gelisah, dia sama sekali tidak bisa fokus pada materi yang sedang dibahas. Di pikirannya hanya ada Radit dan Radit. Kenapa Radit tidak memberitahunya kalau akan cuti? Padahal semalam dia mengantarkan Kayla pulang. Bahkan sore ini sepulang kerja mereka berjanji akan ngopi bareng di kafe favorit mereka berdua. Tapi sedikit pun dia tidak menyinggung masalah cuti. Akhirnya Kayla bisa bernafas lega setelah meeting berakhir. Setengah berlari dia menuju ruangan, mengambil hp di dalam tas hitam merek terkenal, hadiah dari Radit saat ulang tahunnya bulan lalu. Begitu banyak notifikasi di hpnya, namun tidak satu pun dari Radit. Dengan menahan rasa gelisah, dia menghubungi Radit, namun laki-laki itu tidak bisa dihubungi. Waktu terasa lama berlalu, Kayla sama sekali tidak bisa tenang menyelesaikan pekerjaannya. Hingga menjelang jam pulang kerja, Radit masih belum bisa dihubungi. Kayla termenung di mejanya. Pandangannya kosong, tapi pikirannya menerawang. Apa yang telah terjadi? Kenapa Radit bersikap tak biasa? Rentetan pertanyaan itu antri di kepala Kayla dan menuntut jawaban segera mungkin. Pulang kerja, Kayla mampir di rumah Radit, namun pagar besi rumah Radit yang berdiri kokoh terkunci rapat. Kayla hanya bisa menelan rasa kecewa. Akhirnya Kayla memilih menemani Ayah ke acara pengajian. Mungkin sekarang itu adalah pilihan yang bijak daripada berada di rumah yang hanya akan membuat dirinya tersiksa karena terbelenggu rasa gelisah. Acara pengajian dimulai setelah sholat maghrib berjamaah. Dilanjutkan acara makan bersama. Hidangan yang disuguhkan tuan rumah begitu membangkitkan selera, tapi di lidah Kayla semua itu tak berasa. Selera makannya menguap. Pikirannya masih mengembara. Selesai makan, Kayla menunggu Ayah di luar. Lelaki lebih dari separuh baya itu masih terlihat asyik bercengkerama entah dengan siapa. "Kayla, kesini dulu!" Dari jauh Ayah memanggilnya. Kayla menyeret langkah malas mendekati Ayah. Sebenarnya dia lelah dan ingin cepat-cepat pulang. "Ini lho Pak, anak gadis saya satu-satunya yang pernah saya ceritakan," ucap Ayah pada lelaki yang duduk di hadapannya. "Kayla, kenalkan ini Pak Hadi, teman Ayah waktu mengajar dulu." Kayla tersenyum sekadarnya, lalu menyalami teman Ayah. "Saya Kayla, Pak," ucapnya penuh hormat. "Cantik sekali kamu, nak," puji Pak Hadi yang membuat Kayla tersipu malu. "Oh iya, kenalkan ini anak saya." Pak Hadi menyikut seorang laki-laki muda yang sedang sibuk dengan gawainya. Laki-laki itu mendongak dan menatap wajah Kayla. "Nabil." Dia imemperkenalkan diri dengan mengulurkan tangannya ke arah Kayla. Naluri Kayla sebagai seorang wanita mulai berkerja. Dia menilai dalam hati sosok laki-laki di depannya. Laki-laki bernama Nabil itu sepertinya sangat beruntung. Dia dianugerahi wajah yang gagah. Tinggi badannya melampaui lelaki kebanyakan. Warna kulitnya cenderung gelap namun itu membuatnya terlihat eksotis. Tapi tetap saja tidak lebih baik dari Radit. Ah, lagi-lagi Radit! Kayla mengutuk dirinya sendiri di dalam hati. "Pak Hadi itu teman Ayah dari kecil dulu, dan kebetulan kami mengajar di sekolah yang sama. Sampai akhirnya kami berpisah karena beliau ditugaskan ke daerah 3T." Ayah bercerita di dalam taksi saat perjalanan pulang. Dulu di masa mudanya Ayah memang berprofesi sebagai seorang abdi negara. Kayla tampak tidak tertarik mendengar cerita Ayah dan hanya manggut-manggut. Radit masih membuat pikirannya kacau. "Dia sama seperti kita." Ucapan Ayah menyadarkannya dari lamunan. "Maksud Ayah?" tanyanya tak mengerti. "Pak Hadi hanya tinggal berdua dengan anaknya." "Istrinya mana?" "Mereka sudah lama bercerai. Anak pertama ikut dia, anak yang lain ikut istrinya," Ayah menjelaskan. "Ooo..." Kayla manggut-manggut lagi. Didalam hati dia membatin, 'Tidak penting, Yah. Yang penting sekarang adalah keberadaan Radit.' *** Tiga hari berlalu, namun tetap tidak ada kabar dari Radit. Sore ini sepulang kerja Kayla bertekad akan menemukan Radit. Dia akan menunggu Radit di rumahnya sampai laki-laki itu kembali. Rasa dalam hatinya bergejolak tanpa bisa dibendung lagi. Dia merindukan sosok lelaki itu dengan sangat. Radit yang penuh pesona. Radit yang membuatnya tergila-gila dengan kharismanya. Kayla membuka pagar yang kali ini tidak terkunci dengan hati-hati begitu sampai di rumah Radit. Perasaannya mulai tidak menentu. Jantungnya berdebar kencang. Dia begitu merindukan lelaki itu. Rasanya tidak sabar menatap wajahnya yang meneduhkan. Tiga kali Kayla memencet bel, namun tidak ada jawaban. Sepi. Seperti tidak ada kehidupan. Radit memang tinggal sendiri di rumah mungilnya nan asri. Kayla mencoba mengintip ke dalam melalui kaca jendela, tapi pandangannya terhalang oleh kain gorden. Dengan perasaan resah, Kayla mengambil handphonenya dan mencoba menelepon Radit, dan seperti sebelumnya tetap tidak bisa dihubungi. Kayla terduduk lemas di depan pintu rumah Radit. Dia menelan rasa kecewa. Rasa rindu ini sudah tak terbendung. Air matanya membuncah keluar. Apa yang harus dilakukannya lagi? "Kayla!" Kayla mengangkat wajah begitu mendengar seseorang memanggil namanya. Seakan tak percaya ia melihat Radit berada tepat di hadapannya. Refleks ia berdiri dan memeluk tubuh Radit. Sekian detik Radit tak bereaksi, namun akhirnya membalas pelukan Kayla. "Maaf," Kayla akhirnya sadar atas sikapnya yang diluar kendali. Perlahan ia menjauhkan diri dari tubuh Radit. "Kamu menangis?" tanya Radit melihat mata Kayla yang sembab. Kayla mengusap matanya. Masih ada sisa air bening disana. "Kenapa?" Radit kembali bertanya. Kenapa? Tidakkah lelaki itu peka dengan perasaannya? Tidakkah ia menyadari tiga hari belakangan dunia Kayla menjadi jungkir balik? Seolah tidak terjadi apa-apa dia malah bertanya seperti itu. "Baru juga tiga hari aku nggak ada kabar, gimana kalau tiga tahun?" ledek Radit. "Masuk, yuk! Ada yang mau aku omongin," Radit menggandeng tangan Kayla. "Beberapa hari ini aku sibuk mengurus sesuatu," Radit memulai penjelasannya setelah mereka duduk di ruang tamu. "Sesuatu apa, Dit? Sebegitu sibukkah sampai kamu tidak punya waktu untuk menelepon aku? Kamu kan bisa chat atau sms," ucap Kayla berapi-api. Radit tersenyum tipis dan duduk mendekat ke samping Kayla. "Sebenarnya beberapa hari ini aku cuti buat ngurus visa dan surat-surat penting lainnya. Aku akan resign, Kay. Aku mendapat tawaran kerja di luar negeri." "Kamu nggak lagi main-main kan, Dit?" Kayla tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Nggak, Kay, aku serius," jawab Radit tegas. "Tapi kenapa harus ke luar negeri? Karir kamu disini kan sudah bagus." "Kayla, jika ingin sukses, kita harus berani keluar dari comfort zone. Kesempatan tidak akan datang dua kali," Radit berargumen, berharap Kayla menerima penjelasannya. "Berapa lama?" tanya Kayla dengan nada lemah. "Mungkin sekitar satu, dua atau tiga tahun atau bisa jadi lima tahunan." "Selama itu?" Kayla terkesiap. Radit tak menjawab, hanya memandang Kayla yang kelihatan panik. "Aku nggak akan sanggup," suara Kayla hampir tak terdengar. Matanya mulai berkaca-kaca. "Kamu pasti bisa," Radit meyakinkan. Dirangkulnya tubuh Kayla dan membiarkan gadis itu meluapkan perasaannya. Basah sudah bajunya oleh air mata Kayla. "Aku akan tunggu kamu, Dit," ucap Kayla di sela tangisan. Radit melepaskan Kayla dari dekapannya. "Jangan, Kay! Jangan menunggu untuk sesuatu yang tidak pasti!" "Tapi kamu bisa kasih aku kepastian," Kayla bersikeras. "Maaf, Kayla, aku nggak mau kamu kecewa jika nanti hati kita tidak lagi sama." Kayla memandang Radit seakan tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Otaknya mencoba mencerna makna kata demi kata yg diucapkan Radit. Hingga ia sampai pada suatu kesimpulan. Radit tidak menginginkannya. "Jadi kamu nggak cinta aku lagi?" tanya Kayla lirih. Dia berusaha menahan luapan emosi yang bercampur baur. Hening. Tidak ada kata, apalagi bahasa. Radit hanya bisa menunduk. Sungguh dia tidak ingin menyakiti satu-satunya wanita yang dicintainya. Tapi di sisi lain, dorongan ambisi mengalahkan segalanya. Tanpa membuang waktu lagi, Kayla segera berlalu meninggalkan Radit dengan membawa segunung rasa kecewa. "Kayla!" Radit berteriak memanggil Kayla yang semakin menjauh. Namun gadis itu tak menghiraukannya. "I will miss you!" Sayup-sayup Kayla mendengar teriakan Radit. Hatinya mendadak luluh, namun dia tak ingin berbalik, dia tak ingin terluka semakin dalam. ***Hampir enam bulan sejak kepergian Radit. Hari-hari terasa lama berlalu. Waktu berputar lebih lambat dari semestinya. Kayla merasa hatinya hampa. Apa pun yang dilakukan terasa sangat menjemukan. Dia kehilangan gairah untuk hidup."Kamu harus move on, Kay," ujar Nadin pada suatu hari."Aku nggak bisa, Nad. Tidak ada yang bisa menggantikan Radit disini," lirih Kayla berkata seraya menunjuk dadanya."Sudah cukup. Sudah terlalu lama. Hentikan kebodohan itu, Kay!""Aku memang bodoh. Sangat bodoh. Mencintai orang yang mungkin tidak menginginkanku. Aku..." Kayla tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Matanya berkaca-kaca, dan tidak lama bendungan itu bobol. Air bening mulai terjun bebas, membasahi pipinya yang tirus.Setiap hal tentang Radit selalu mengundang air matanya.Nadin mengusap-usap punggung Kayla. Dia ikut merasakan kesedihan sahabatnya itu. Kayla sangat mencintai Radit dengan tulus. Cintanya pada lelaki itu sangat besar. Tak tergambar dan tak bisa dibandingkan, bahkan dengan cinta Ju
Senin pagi yang basah. Kayla masih meringkuk di tempat tidur. Derasnya hujan semalam menyisakan hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang, membuatnya malas untuk bergerak. Biasanya pada jam segini, dia tengah bergelut dengan kemacetan di perjalanan menuju kantor.Sudah seminggu dia resmi menjadi pengangguran. Belum ada rencana apa pun, selain mencoba mengirim lamaran ke sana kemari. Sempat terpikir untuk membuka usaha, namun uang tabungannya belum mencukupi untuk dijadikan modal. Waktu masih bekerja dulu, dia sangat disiplin menyisihkan sepertiga dari penghasilannya untuk disimpan."Kayla, kamu sudah bangun, nak?" Suara Ayah di depan pintu diiringi dengan ketukan.Kayla menggeliat, lalu bangkit dari pembaringan dan menyeret langkah malas."Sudah, Yah," jawabnya setelah membuka pintu."Ayo sarapan, Ayah sudah siapkan.""Ayah duluan aja, nanti aku menyusul. Aku mau mandi dulu.""Apa rencanamu hari ini?""Belum tahu, Yah, mungkin ke perpustakaan kota, tapi entahlah," ujar Kayla tidak yak
Aroma obat-obatan menusuk hidung Kayla. Dia menggerakkan tangan, memegang kepala yang berdenyut sangat hebat. Matanya yang terkatup rapat terasa sangat berat. Namun dia memaksakan diri agar tak terpejam lagi sembari mengingat apa yang telah terjadi."Kamu sudah sadar?"Sebuah suara mengusik pendengarannya. Bayangan samar di hadapannya kian jelas. Sosok Nabil memandanginya dengan ekspresi yang tidak bisa ia artikan maknanya."Bil, aku di mana?" Suara Kayla terdengar lirih."Di rumah sakit," jawab Nabil singkat."Apa yang terjadi? Aku kenapa?" tanya Kayla memburu.Nabil menghela napas berat. Sulit baginya menjelaskan pada Kayla tentang apa yang telah terjadi."Katakan, Bil!" Kayla menggoyangkan tangan Nabil yang diam terpaku.Lelaki bermata teduh itu masih membatu.Kayla berpikir keras, mencoba mengingat-ingat kejadian buruk apa yang telah menimpanya sehingga berada di tempat yang tidak disukainya itu.Perlahan, bayangan kobaran api yang tengah membara berkelabat di depan matanya."Tida
Tiga bulan berlalu.Hari ini adalah hari pernikahan Kayla dan Nabil.Suasana di ruangan tempat akad nikah akan digelar sudah ramai oleh keluarga dan kerabat yang akan menyaksikan acara sakral itu.Kayla masih berada di kamar. Wajahnya yang cantik semakin memesona dengan riasan ala pengantin. Seharusnya dia sangat bahagia, karena hari ini akan menjadi hari paling bersejarah sepanjang hidupnya.Nadin yang sedari tadi menemani Kayla sangat takjub melihat wajah cantik sahabatnya. Selama ini riasan Kayla begitu sederhana dan sangat natural. Tapi hari ini, aura pengantinnya benar-benar terpancar."Selamat ya, Kay." Nadin menggenggam tangan Kayla."Perasaan sudah puluhan kali deh kamu bilang itu." Kayla mencibir."Ya, maaf... aku hanya terlalu antusias."Kayla tertawa kecil. "Biasa aja kali.""Kok biasa sih?" protes Nadin."Kamu tahu nggak, Nad? Aku nggak bahagia."Ungkapan jujur Kayla membuat Nadin tersentak."Jangan main-main, Kayla!" ucap Nadin dengan nada tinggi."Aku nggak main-main, a
"Kamu serius masih virgin? Jadi malam pertama kalian ngapain aja?" Nadin membombardir Kayla dengan pertanyaan demi pertanyaan saat mereka janjian bertemu sore itu. Layaknya seorang presenter infotainment yang handal, Nadin menginvestigasi Kayla."Sudah dua minggu lho, Kay!" Nadin mengingatkan.Memang sudah dua minggu berlalu sejak pernikahan mereka. Tapi Nabil belum pernah melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami."Emangnya Kamu nggak curiga?"Dahi Kayla berkerut. "Curiga apa?""Jangan-jangan ..." Nadin tidak melanjutkan kalimatnya."Apa sih, Nad?" Kayla mulai kesal."Jangan-jangan dia gay." Nadin mengecilkan suaranya seraya menoleh ke kanan dan ke kiri, takut ada yang mendengar omongan mereka.“Jangan ngawur!" Kali ini Kayla benar-benar kesal."Bisa saja kan?" Nadin bertahan dengan pendapatnya."Nggak mungkin! Nabil itu laki-laki yang normal, soleh, cerdas, pintar masak, rajin mengaji, manly, banyaklah pokoknya." Kayla membela Nabil. Bagaimanapun Nabil adalah suaminya. Dia harus m
"Kamu yakin mau pergi sendiri?" tanya Nabil saat sarapan pagi. Seandainya pekerjaannya tidak terlalu banyak, Nabil akan menyempatkan menemani Kayla mengantar lamaran kerja."Iya Bil, aku bisa sendiri, kok," sahut Kayla sambil meletakkan segelas susu panas di hadapan Nabil."Baiklah, tapi kamu hati-hati ya, bawa motor jangan terlalu kencang," pesan Nabil setelah menyesap habis susunya."Iya, Bil," jawab Kayla lagi."Tapi, apa nggak sebaiknya naik taksi aja?""Nggak usah, biar aku pakai motor aja, kamu nggak usah cemas, aku pelan-pelan kok," Kayla meyakinkan."Oke, Sayang, aku berangkat ya," pamit Nabil. Tak lupa dia mengecup kening Kayla. Ritual setiap pagi yang tidak pernah terlewat.Kayla menghadiahi sebuah senyuman manis, membuat semangat Nabil terpompa puluhan kali lipat.Setelah Nabil pergi, Kayla bersiap-siap. Mandi lalu berdandan senatural mungkin. Dia tidak suka riasan yang terlalu berlebihan. Dilihatnya bedak yang tinggal sedikit. Dengan sisa-sisa bedak yang menempel di spong
Pukul lima sore. Kayla hilir mudik di teras rumah. Hari ini Nabil pulang dari Jakarta. Seharusnya Nabil sudah sampai sejak satu jam yang lalu. Tapi sampai sekarang Tidak ada kabar dari Nabil. Handphonenya tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak bilang kalau pesawat akan delay.Kayla mendadak resah. Tidak biasanya ia seperti ini. Dia mulai memikirkan dan mengkhawatirkan Nabil.Di meja makan sudah terhidang masakan kesukaan Nabil. Sup daging. Kayla sengaja menyiapkan semuanya. Kemarin di telepon Nabil bilang kangen masakannya."Assalamualaikum ..."Sayup-sayup terdengar suara yang sangat dirindukan Kayla.Kayla bergegas keluar. Spontan dia menghambur ke pelukan Nabil yang melihatnya dengan tatapan rindu."Apa kabar, Sayang?" tanya Nabil setelah melepaskan pelukannya."Aku sepi tanpamu," ucap Kayla jujur dari lubuk hati."Benarkah?" Mata Nabil berbinar-binar.Kayla mengangguk malu. Malu pada Nabil dan perasaannya sendiri."Kamu pasti lapar, aku sudah siapkan makanan kesukaan kamu, kita ma
Kayla memandang jam dinding dengan perasaan gundah. Sudah hampir tengah malam, tetapi Nabil belum juga pulang. Dia sudah mencoba menelepon berkali-kali, tapi Nabil tak mengangkat teleponnya. Terakhir, waktu Kayla menghubunginya lagi, handphone Nabil sudah tidak aktif.Kayla mencoba tidur. Dia mencoba meyakinkan diri, kalau Nabil akan baik-baik saja, toh mereka sudah dewasa. Namun, dia hanya bisa membolak-balikkan badannya di tempat tidur tanpa mampu memejamkan mata sama sekali. Padahal besok dia harus bangun pagi-pagi sekali melebihi biasanya, karena besok hari pertamanya bekerja. Dia tidak ingin datang terlambat dan memberi kesan buruk.Kayla bangkit dari tempat tidur. Mengutak-atik handphone lalu membuka media sosial miliknya. Kabar tentang hiruk pikuk dunia politik pasca pemilu yang mampir di berandanya membuat Kayla bertambah pusing. Dia segera log out. Lalu seperti biasa membuka aplikasi perpesanan instan dan chatting dengan Nadin. Dia meliat Nadin sedang online."Hai Nad, tumb