Pagi itu, Nadira bangun dengan perasaan resah. Pikirannya terus memutar ulang percakapannya dengan Arka semalam. Kata-kata pria itu seperti teka-teki yang terus menghantuinya.
"Permainan ini bukan hanya tentang balas dendammu. Ini tentang kita berdua." Apa maksud Arka sebenarnya? Nadira tahu ia harus tetap fokus pada tujuannya, tapi semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin sulit rasanya mengabaikan tatapan Arka yang seolah menelanjangi semua rencananya. Di ruang makan, Nadira menemukan Ny. Hartawan sudah duduk, ditemani Arka yang tampak santai membaca koran pagi. Nadira berusaha menenangkan dirinya sebelum mengambil tempat duduk. "Selamat pagi," sapa Nadira, mencoba bersikap biasa. Ny. Hartawan hanya mengangguk, sedangkan Arka meliriknya dengan senyuman kecil. "Tidur nyenyak, Nadira?" tanyanya dengan nada menggoda. "Tentu saja," jawab Nadira singkat. Namun, Ny. Hartawan tampak tidak sabar dengan percakapan ringan ini. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi keras, menarik perhatian keduanya. "Nadira, aku dengar kamu mulai terlibat dengan pekerjaan di perusahaan. Aku harap kamu tahu batasannya." Nadira tersenyum, tidak gentar dengan nada tajam wanita itu. "Tentu, Bu. Aku hanya ingin memahami peran sebagai istri Arka lebih baik." Ny. Hartawan mendengus. "Peran istri seharusnya mendukung suami, bukan mencampuri urusan yang bukan wilayahmu." Arka, yang sejak tadi diam, tiba-tiba menyela. "Biarkan saja, Bu. Nadira punya cara unik untuk belajar. Lagipula, dia tidak akan melakukan apa pun yang merugikan kita, bukan begitu, Sayang?" Nadira menoleh ke Arka, mencoba membaca maksud di balik kalimatnya. "Tentu saja," jawabnya dengan nada datar. Namun, ia tahu ada perang dingin yang sedang berlangsung di meja sarapan itu. Hari itu di kantor, Nadira memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh tentang transaksi mencurigakan yang ia temukan sebelumnya. Kali ini, ia mencoba menggali informasi dari rekan kerja yang tampaknya dekat dengan Arka. Salah satu nama yang mencuat adalah Dennis, tangan kanan Arka yang terkenal loyal. Nadira mengatur pertemuan "tidak sengaja" dengan Dennis di kantin perusahaan. Ia tahu ini langkah beresiko, tapi ia tidak punya pilihan lain. "Dennis, aku dengar kamu sudah lama bekerja dengan Arka," ujar Nadira, membuka pembicaraan. Dennis mengangguk, menyesap kopinya. "Sudah hampir sepuluh tahun. Kenapa tiba-tiba tertarik?" "Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang bagaimana suamiku bekerja. Kamu pasti tahu banyak, kan?" Nadira berusaha terdengar tenang, meskipun sebenarnya ia menyusun kata-kata dengan hati-hati. Dennis tersenyum. "Arka itu orang yang cerdas. Dia tidak pernah membuat keputusan tanpa perhitungan matang." "Termasuk transaksi besar yang melibatkan mitra misterius?" Nadira mencoba memancing, tetapi Dennis langsung memasang wajah waspada. "Aku rasa itu bukan sesuatu yang perlu kamu khawatirkan," jawab Dennis dengan nada dingin. "Saran saya, lebih baik kamu fokus pada peranmu sebagai istri. Beberapa hal lebih baik tidak diketahui." Saat Nadira kembali ke ruangannya, ia menemukan sebuah amplop coklat di atas meja. Tidak ada nama pengirim, hanya tulisan tangan yang samar di bagian depan: “Jika kamu ingin tahu kebenaran, buka ini.” Nadira membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, terdapat beberapa salinan dokumen yang menunjukkan aliran dana mencurigakan dari Hartawan Corp ke sebuah perusahaan offshore. Namun, yang membuatnya terkejut adalah nama penerima dana tersebut: Arya Setiabudi, nama mitra lama ayahnya yang ia curigai terlibat dalam kehancuran bisnis keluarganya. Nadira tertegun. Apa hubungan Arya dengan keluarga Hartawan? Dan siapa yang mengirimkan dokumen ini? Sebelum ia sempat mencerna semuanya, pintu ruangannya terbuka. Kali ini, bukan Arka yang muncul, melainkan Ny. Hartawan. "Aku sudah memperingatkanmu, Nadira," kata Ny. Hartawan dingin, menatap amplop di tangan Nadira. "Kamu tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi." Nadira berusaha menyembunyikan amplop itu, tapi Ny. Hartawan terlalu cepat. Wanita itu menariknya dari tangan Nadira dan membaca isinya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Siapa yang memberimu ini?" tanyanya yang sangat tajam. "Aku tidak tahu," jawab Nadira dengan jujur. Ny. Hartawan mendekat, menatap Nadira dengan mata tajam seperti pisau. "Dengar baik-baik, Nadira. Jika kamu ingin selamat, berhenti mencari masalah. Ini peringatan terakhirku." Setelah mengatakan itu, Ny. Hartawan keluar dari ruangan, meninggalkan Nadira yang kini lebih bingung daripada sebelumnya. Nadira terduduk di kursinya, memandangi pintu yang baru saja ditutup oleh Ny. Hartawan. Napasnya memburu. Amplop itu kini hilang dari tangannya, dan ia tahu, ada rahasia besar yang sengaja disembunyikan keluarga Hartawan dari dirinya. "Arya Setiabudi... Kenapa nama itu muncul di dokumen ini?" pikir Nadira. Nama itu tidak asing baginya, karena Arya adalah salah satu mitra bisnis almarhum ayahnya yang paling dipercaya—hingga semuanya hancur. Ia menghela napas, berusaha menenangkan diri. Jika Ny. Hartawan bereaksi sekeras itu, berarti ia benar-benar menyentuh sesuatu yang penting. Tapi siapa yang mengirim amplop itu? Malam itu, Nadira duduk di tepi ranjang dengan perasaan campur aduk. Ia mendengar langkah kaki mendekat ke kamar, dan beberapa saat kemudian pintu terbuka. Arka masuk dengan wajah tenang, seperti biasanya, tetapi Nadira bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. "Kamu kelihatan tegang," ujar Arka sambil melepaskan jasnya dan menggantungnya di kursi. Nadira berpikir cepat, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya lelah." Arka mendekat, duduk di sisi ranjang, tepat di depannya. "Jangan bohong, Nadira. Aku tahu ibuku menemui kamu di kantor tadi." Nadira tersentak, meskipun berusaha menjaga wajahnya tetap netral. "Dia hanya memberikan beberapa saran. Itu saja." Arka tertawa, nada tawanya rendah tetapi tajam. "Ibuku tidak pernah memberikan 'saran'. Kalau dia menemui kamu, itu berarti dia menganggap kamu ancaman." "Ancaman?" Nadira menatapnya. "Kenapa dia harus merasa terancam olehku?" Arka memiringkan kepalanya, menatap Nadira seperti sedang membaca pikirannya. "Kamu bilang kamu tidak akan merugikan keluarga ini. Tapi langkah-langkahmu semakin mencurigakan. Apa yang sebenarnya kamu cari, Nadira?" Nadira menggigit bibirnya, berusaha menahan diri. Ia tahu Arka sudah curiga, tetapi jika ia mengungkapkan semuanya sekarang, itu bisa membahayakan rencananya. "Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang keluarga ini. Apakah itu salah?" jawab Nadira dengan nada datar. Arka mendekatkan wajahnya, matanya menatap tajam ke dalam mata Nadira. "Hati-hati, Nadira. Kebenaran yang kamu cari mungkin bukan sesuatu yang ingin kamu temukan." Keesokan harinya, Nadira memutuskan untuk mencari lebih banyak informasi tentang Arya Setiabudi. Ia menghubungi salah satu kenalannya yang masih bekerja di lingkaran bisnis lama ayahnya, seorang pria bernama Bima. Pertemuan mereka berlangsung di sebuah kafe, jauh dari kantor Hartawan Corp. "Bima, aku butuh bantuanmu," ujar Nadira langsung setelah mereka duduk. Bima mengangguk, meskipun ekspresinya tampak sedikit ragu. "Aku akan membantu semampuku. Apa yang kamu cari?" "Arya Setiabudi. Apa kamu tahu apa yang dia lakukan sekarang? Atau bagaimana hubungannya dengan keluargaku dulu?" tanya Nadira. Bima terdiam sejenak, seperti mempertimbangkan sesuatu. "Arya... Dia menghilang setelah kejatuhan bisnis ayahmu. Tapi ada desas-desus bahwa dia masih aktif di dunia bisnis, hanya saja dari bayang-bayang." "Bayang-bayang?" Nadira mengernyitkan dahi. "Dia punya jaringan luas. Beberapa orang mengatakan dia terlibat dalam bisnis gelap, dan salah satu mitranya adalah Hartawan Corp," jelas Bima dengan suara pelan. Nadira merasa dadanya sesak. "Kamu yakin tentang itu?" Bima mengangguk. "Aku tidak punya bukti yang kuat, tapi banyak yang mengatakan hubungan mereka sangat kuat. Arka Hartawan dan Arya Setiabudi punya sejarah yang panjang." Pernyataan itu membuat Nadira semakin yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh keluarga Hartawan. Ketika Nadira kembali ke mansion malam itu, suasana terasa berbeda. Rumah besar itu sunyi, tetapi ia merasakan hawa yang tidak biasa. Ia melangkah ke dalam kamarnya dengan hati-hati, tetapi sebelum ia sempat menyalakan lampu, sebuah tangan mencengkram lengannya. "Apa yang kamu lakukan, Nadira?" Suara Arka terdengar dingin di kegelapan. Nadira terlonjak, mencoba menarik tangannya, tetapi cengkeraman Arka terlalu kuat. "Apa maksudmu?" tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. "Aku tahu kamu menemui seseorang hari ini. Jangan berpikir aku tidak memantau langkahmu," ujar Arka dengan nada rendah, nyaris seperti bisikan. Nadira merasa napasnya tercekat. "Jadi sekarang kamu memata-mataiku?" Arka melepaskan tangannya, tetapi langkahnya mendekat, hingga Nadira bisa merasakan panas tubuhnya di kegelapan. "Aku hanya memastikan istriku tidak melakukan sesuatu yang bodoh." "Atau mungkin kamu takut aku menemukan sesuatu yang tidak ingin kamu ungkap," balas Nadira. Arka tertawa, tetapi tawa itu tanpa humor. "Kamu tahu, Nadira, semakin kamu mencoba menggali, semakin kamu menempatkan dirimu dalam bahaya." "Bukan aku yang seharusnya takut, Arka. Tapi kamu," balas Nadira dengan penuh keberanian. Arka diam sejenak, lalu berkata pelan, "Kamu tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi." Ia kemudian berbalik dan meninggalkan kamar, meninggalkan Nadira sendirian dalam kegelapan, dengan pikiran yang semakin kusut dan penuh pertanyaan.Hujan turun deras malam itu. Jalanan kota yang biasanya ramai, mendadak sunyi, hanya suara gemericik air yang terdengar. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, seorang wanita muda berdiri memandang jendela dengan lamunannya."Nad, udah makan belum?" suara ibunya dari dapur terdengar, mengalihkan lamunan Nadira."Belum, Bu. Lagi nggak nafsu," jawab Nadira lemah.Ibunya muncul dari dapur dengan wajah lelah, membawa sepiring nasi dan lauk sederhana. "Kamu nggak boleh gini terus. Masalah itu udah berlalu. Kita harus kuat."Nadira menoleh perlahan. "Berlalu? Gimana mau berlalu kalau semuanya hancur gara-gara mereka?" Nada suaranya naik, matanya mulai berkaca-kaca.Ibunya terdiam. "Nad, dendam itu nggak akan bikin kita bahagia. Kita harus ikhlas.""Ikhlas? Bu, mereka ambil semua yang kita punya! Papa meninggal gara-gara stres, kita diusir dari rumah sendiri, dan sekarang kita hidup begini. Gimana caranya aku ikhlas?" Nadira membanting pintu kamarnya dan terisak di baliknya.Di dalam kamar
Seminggu setelah pertemuan dingin itu, hari pernikahan pun tiba. Nadira berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun putih yang terlalu mewah untuk seleranya. Riasan di wajahnya yang sempurna, menutupi segala emosi yang bergejolak di dalam hatinya."Semua sudah siap, Nona Nadira," suara Adrian terdengar dari pintu. "Tamu-tamu sudah berkumpul di aula. Tuan Arka sedang menunggu."Nadira mengangguk pelan. "Ayo kita selesaikan ini."Adrian menatap Nadira sebentar, seolah ingin memastikan bahwa wanita itu siap. "Ingat, tetap tenang. Jangan tunjukkan kelemahan di depan mereka.""Saya tahu apa yang harus saya lakukan," jawab Nadira dengan nada tegas.Di Aula Pernikahan yang begitu megah dipenuhi tamu undangan dari kalangan elit. Para sosialita sibuk berbisik-bisik, membicarakan wanita sederhana yang entah bagaimana berhasil menikahi Arka Hartawan, pria paling dingin di kota itu.Saat Nadira melangkah masuk, semua mata tertuju padanya. Tapi dia tidak peduli. Fokusnya hanya satu, yaitu kep
Hari-hari pertama Nadira di keluarga Hartawan adalah ujian ketahanan mental. Keluarga besar ini tidak hanya kaya, tetapi juga penuh rahasia gelap. Nadira menyadari bahwa menjadi bagian dari hidup mereka berarti melangkah di atas ladang ranjau.Malam itu, Nadira memutuskan untuk memulai rencananya. Setelah memastikan semua orang sudah tidur, ia menyelinap keluar dari kamar dan menuju ke ruang kerja Arka.Nadira membuka pintu dengan hati-hati. Ia tahu ruangan ini adalah pusat kekuatan Arka. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran, sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memutar balikkan keadaan.Ia menyalakan lampu kecil di meja kerja, mulai membuka laci-laci. Beberapa dokumen tentang proyek perusahaan, kontrak bisnis, dan peta tanah tergelar di depannya. Tapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah amplop coklat yang diselipkan di bawah dokumen-dokumen itu.Nadira membuka amplop tersebut. Di dalamnya, ada beberapa foto seorang pria yang terlihat akrab di matanya. Pria itu..."Sedang apa kamu
Malam itu, Nadira tidak bisa tidur. Berkas yang ia terima dari pria tua tadi terus menghantui pikirannya. Fakta bahwa Arka adalah otak di balik transaksi gelap keluarga Hartawan membuatnya semakin yakin bahwa ia tidak bisa mempercayai siapapun di rumah ini.Namun, Nadira juga sadar, menemui dan menanyakan langsung bukanlah pilihan yang bijak. Ia harus memainkan kartu ini dengan cermat.Pagi itu, suasana di meja makan terasa lebih tenang dibandingkan biasanya. Nadira memutuskan untuk memulai permainan barunya."Arka, aku ingin ikut dalam urusan perusahaan," katanya tiba-tiba saat mereka sarapan.Semua orang di meja menatapnya, termasuk Ny. Hartawan yang langsung mendengus."Apa maksudmu 'ikut dalam urusan perusahaan'?" tanya Ny. Hartawan dengan nada sinis. "Kamu pikir kamu mampu?"Nadira tersenyum, tetap tenang. "Sebagai istri Arka, aku rasa wajar jika aku mulai belajar tentang bisnis keluarga ini. Lagipula, aku ingin menjadi bagian yang aktif, bukan hanya duduk diam di rumah."Arka me
Malam itu terasa begitu dingin di kamar Nadira. Meski lampu redup menerangi ruangannya, pikirannya terus berputar. Kata-kata Arka di gudang pelabuhan tadi siang masih terngiang di telinganya."Aku tahu rencanamu sejak awal."Nadira mengatupkan rahangnya, menatap jendela yang menghadap taman belakang. Jika Arka tahu segalanya, kenapa ia masih membiarkannya bergerak bebas?Pagi Hari: Percakapan dengan Ny. HartawanKeesokan paginya, Nadira memutuskan untuk sarapan lebih awal. Namun, ia tidak menduga akan bertemu dengan Ny. Hartawan di ruang makan. Wanita itu sudah duduk dengan elegan di kursinya, menyisipkan teh dengan ekspresi yang selalu angkuh."Kamu tidak biasanya bangun sepagi ini," kata Ny. Hartawan tanpa melihat Nadira.Nadira mengambil tempat duduknya, mencoba menjaga sikap. "Aku hanya merasa harus memulai hariku lebih cepat. Banyak yang harus aku pelajari tentang perusahaan."Ny. Hartawan tersenyum, tetapi senyuman itu penuh sindiran. "Belajar tentang perusahaan atau mencari kel
Pagi itu, Nadira bangun dengan perasaan resah. Pikirannya terus memutar ulang percakapannya dengan Arka semalam. Kata-kata pria itu seperti teka-teki yang terus menghantuinya."Permainan ini bukan hanya tentang balas dendammu. Ini tentang kita berdua."Apa maksud Arka sebenarnya? Nadira tahu ia harus tetap fokus pada tujuannya, tapi semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin sulit rasanya mengabaikan tatapan Arka yang seolah menelanjangi semua rencananya.Di ruang makan, Nadira menemukan Ny. Hartawan sudah duduk, ditemani Arka yang tampak santai membaca koran pagi. Nadira berusaha menenangkan dirinya sebelum mengambil tempat duduk."Selamat pagi," sapa Nadira, mencoba bersikap biasa.Ny. Hartawan hanya mengangguk, sedangkan Arka meliriknya dengan senyuman kecil. "Tidur nyenyak, Nadira?" tanyanya dengan nada menggoda."Tentu saja," jawab Nadira singkat.Namun, Ny. Hartawan tampak tidak sabar dengan percakapan ringan ini. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi keras, menarik perhatian
Malam itu terasa begitu dingin di kamar Nadira. Meski lampu redup menerangi ruangannya, pikirannya terus berputar. Kata-kata Arka di gudang pelabuhan tadi siang masih terngiang di telinganya."Aku tahu rencanamu sejak awal."Nadira mengatupkan rahangnya, menatap jendela yang menghadap taman belakang. Jika Arka tahu segalanya, kenapa ia masih membiarkannya bergerak bebas?Pagi Hari: Percakapan dengan Ny. HartawanKeesokan paginya, Nadira memutuskan untuk sarapan lebih awal. Namun, ia tidak menduga akan bertemu dengan Ny. Hartawan di ruang makan. Wanita itu sudah duduk dengan elegan di kursinya, menyisipkan teh dengan ekspresi yang selalu angkuh."Kamu tidak biasanya bangun sepagi ini," kata Ny. Hartawan tanpa melihat Nadira.Nadira mengambil tempat duduknya, mencoba menjaga sikap. "Aku hanya merasa harus memulai hariku lebih cepat. Banyak yang harus aku pelajari tentang perusahaan."Ny. Hartawan tersenyum, tetapi senyuman itu penuh sindiran. "Belajar tentang perusahaan atau mencari kel
Malam itu, Nadira tidak bisa tidur. Berkas yang ia terima dari pria tua tadi terus menghantui pikirannya. Fakta bahwa Arka adalah otak di balik transaksi gelap keluarga Hartawan membuatnya semakin yakin bahwa ia tidak bisa mempercayai siapapun di rumah ini.Namun, Nadira juga sadar, menemui dan menanyakan langsung bukanlah pilihan yang bijak. Ia harus memainkan kartu ini dengan cermat.Pagi itu, suasana di meja makan terasa lebih tenang dibandingkan biasanya. Nadira memutuskan untuk memulai permainan barunya."Arka, aku ingin ikut dalam urusan perusahaan," katanya tiba-tiba saat mereka sarapan.Semua orang di meja menatapnya, termasuk Ny. Hartawan yang langsung mendengus."Apa maksudmu 'ikut dalam urusan perusahaan'?" tanya Ny. Hartawan dengan nada sinis. "Kamu pikir kamu mampu?"Nadira tersenyum, tetap tenang. "Sebagai istri Arka, aku rasa wajar jika aku mulai belajar tentang bisnis keluarga ini. Lagipula, aku ingin menjadi bagian yang aktif, bukan hanya duduk diam di rumah."Arka me
Hari-hari pertama Nadira di keluarga Hartawan adalah ujian ketahanan mental. Keluarga besar ini tidak hanya kaya, tetapi juga penuh rahasia gelap. Nadira menyadari bahwa menjadi bagian dari hidup mereka berarti melangkah di atas ladang ranjau.Malam itu, Nadira memutuskan untuk memulai rencananya. Setelah memastikan semua orang sudah tidur, ia menyelinap keluar dari kamar dan menuju ke ruang kerja Arka.Nadira membuka pintu dengan hati-hati. Ia tahu ruangan ini adalah pusat kekuatan Arka. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran, sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memutar balikkan keadaan.Ia menyalakan lampu kecil di meja kerja, mulai membuka laci-laci. Beberapa dokumen tentang proyek perusahaan, kontrak bisnis, dan peta tanah tergelar di depannya. Tapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah amplop coklat yang diselipkan di bawah dokumen-dokumen itu.Nadira membuka amplop tersebut. Di dalamnya, ada beberapa foto seorang pria yang terlihat akrab di matanya. Pria itu..."Sedang apa kamu
Seminggu setelah pertemuan dingin itu, hari pernikahan pun tiba. Nadira berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun putih yang terlalu mewah untuk seleranya. Riasan di wajahnya yang sempurna, menutupi segala emosi yang bergejolak di dalam hatinya."Semua sudah siap, Nona Nadira," suara Adrian terdengar dari pintu. "Tamu-tamu sudah berkumpul di aula. Tuan Arka sedang menunggu."Nadira mengangguk pelan. "Ayo kita selesaikan ini."Adrian menatap Nadira sebentar, seolah ingin memastikan bahwa wanita itu siap. "Ingat, tetap tenang. Jangan tunjukkan kelemahan di depan mereka.""Saya tahu apa yang harus saya lakukan," jawab Nadira dengan nada tegas.Di Aula Pernikahan yang begitu megah dipenuhi tamu undangan dari kalangan elit. Para sosialita sibuk berbisik-bisik, membicarakan wanita sederhana yang entah bagaimana berhasil menikahi Arka Hartawan, pria paling dingin di kota itu.Saat Nadira melangkah masuk, semua mata tertuju padanya. Tapi dia tidak peduli. Fokusnya hanya satu, yaitu kep
Hujan turun deras malam itu. Jalanan kota yang biasanya ramai, mendadak sunyi, hanya suara gemericik air yang terdengar. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, seorang wanita muda berdiri memandang jendela dengan lamunannya."Nad, udah makan belum?" suara ibunya dari dapur terdengar, mengalihkan lamunan Nadira."Belum, Bu. Lagi nggak nafsu," jawab Nadira lemah.Ibunya muncul dari dapur dengan wajah lelah, membawa sepiring nasi dan lauk sederhana. "Kamu nggak boleh gini terus. Masalah itu udah berlalu. Kita harus kuat."Nadira menoleh perlahan. "Berlalu? Gimana mau berlalu kalau semuanya hancur gara-gara mereka?" Nada suaranya naik, matanya mulai berkaca-kaca.Ibunya terdiam. "Nad, dendam itu nggak akan bikin kita bahagia. Kita harus ikhlas.""Ikhlas? Bu, mereka ambil semua yang kita punya! Papa meninggal gara-gara stres, kita diusir dari rumah sendiri, dan sekarang kita hidup begini. Gimana caranya aku ikhlas?" Nadira membanting pintu kamarnya dan terisak di baliknya.Di dalam kamar