Hujan turun deras malam itu. Jalanan kota yang biasanya ramai, mendadak sunyi, hanya suara gemericik air yang terdengar. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, seorang wanita muda berdiri memandang jendela dengan lamunannya.
"Nad, udah makan belum?" suara ibunya dari dapur terdengar, mengalihkan lamunan Nadira. "Belum, Bu. Lagi nggak nafsu," jawab Nadira lemah. Ibunya muncul dari dapur dengan wajah lelah, membawa sepiring nasi dan lauk sederhana. "Kamu nggak boleh gini terus. Masalah itu udah berlalu. Kita harus kuat." Nadira menoleh perlahan. "Berlalu? Gimana mau berlalu kalau semuanya hancur gara-gara mereka?" Nada suaranya naik, matanya mulai berkaca-kaca. Ibunya terdiam. "Nad, dendam itu nggak akan bikin kita bahagia. Kita harus ikhlas." "Ikhlas? Bu, mereka ambil semua yang kita punya! Papa meninggal gara-gara stres, kita diusir dari rumah sendiri, dan sekarang kita hidup begini. Gimana caranya aku ikhlas?" Nadira membanting pintu kamarnya dan terisak di baliknya. Di dalam kamar kecil itu, Nadira mengingat semua yang terjadi dua tahun lalu. Ayahnya, seorang pengusaha kecil, terjerat utang besar akibat tipu daya keluarga Hartawan—keluarga kaya yang sekarang menguasai separuh kota. Bukan cuma harta yang diambil, tapi juga martabat mereka. Keesokan paginya, Nadira sedang duduk di taman sambil memandangi langit abu-abu. Seorang pria dengan jas mahal berdiri di depannya. "Nadira Putri, kan?" Nadira menengok, heran melihat pria asing itu. "Iya, saya. Siapa ya?" "Saya Adrian. Saya bekerja untuk Tuan Hartawan. Bos saya ingin bertemu dengan Anda," kata pria itu sambil mengulurkan kartu nama. Nama itu membuat darah Nadira mendidih. Hartawan. Keluarga itu lagi. "Ngapain saya harus ketemu sama dia?" Nadira menatap pria itu dengan tajam. "Ini... tentang tawaran kerja. Anda pasti tahu kondisi keluarga Anda sekarang. Bos saya hanya ingin membantu," jawab Adrian dengan nada dingin. Nadira mendengus. "Bantu? Setelah mereka hancurin hidup saya? Suruh dia cari orang lain." Adrian terdiam sesaat sebelum berkata, "Bos saya bilang, tawarannya ini nggak bisa ditolak. Saya akan tunggu jawaban Anda sampai besok." Pria itu pergi meninggalkan Nadira yang masih gemetar karena marah. Tapi di dalam hatinya, ada rasa penasaran. Apa yang sebenarnya diinginkan keluarga Hartawan darinya? Malam itu, Nadira duduk bersama ibunya di ruang tamu yang kecil. "Bu, tadi ada orang suruhan keluarga Hartawan nyari aku." Wajah ibunya langsung tegang. "Mereka mau apa lagi?" "Katanya mau kasih tawaran kerja. Tapi aku yakin ini nggak sesimpel itu." Ibunya menggeleng. "Jangan terlibat sama mereka lagi, Nad. Mereka nggak akan bawa kebaikan." "Tapi gimana kalau ini kesempatan aku untuk balas dendam, Bu? Aku nggak bisa diam aja setelah apa yang mereka lakuin." "Nadira!" Ibunya membentak. "Balas dendam itu nggak akan bikin kamu bahagia. Kamu cuma akan makin terluka." Nadira menatap ibunya dengan mata penuh tekad. "Bu, aku harus ambil kesempatan ini. Kalau nggak, kita akan terus diinjak-injak terus sama mereka." Keesokan harinya, Nadira berdiri di depan gedung megah milik keluarga Hartawan. Tangannya gemetar, tapi tekadnya sudah bulat. "Selamat datang, Nona Nadira," suara Adrian menyambutnya begitu ia masuk ke lobi. "Bos saya sudah menunggu." Nadira mengikuti Adrian ke lantai atas. Ruangan besar dengan jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan kota menjadi latar pertemuannya dengan seorang pria yang duduk di kursi besar. "Ah, akhirnya kita bertemu. Nadira Putri, ya?" Pria itu berdiri dan berjalan mendekat. Nadira langsung mengenalinya. Dia adalah Arka Hartawan, pewaris keluarga yang selama ini menghancurkan hidupnya. Wajah tampannya tidak bisa menutupi aura dingin dan arogan yang terpancar darinya. "Apa maumu?" tanya Nadira tanpa basa-basi. Arka tersenyum. "Langsung ke intinya, ya? Baiklah. Saya ingin kamu menikah dengan saya." Mata Nadira membelalak. "Apa?! Kamu pikir aku mainan yang bisa kamu beli?" Arka tertawa. "Bukan begitu. Ini murni kesepakatan bisnis. Saya butuh istri untuk memperbaiki citra saya di depan media. Dan kamu... well, kamu membutuhkan uang untuk membayar semua utang keluargamu bukan?" Nadira mengepalkan tangan. "Kamu pikir aku bakal mau?" Arka mendekat, menatap Nadira dengan dingin. "Kamu nggak punya pilihan, Nadira. Kalau kamu tolak, saya pastikan sisa hidupmu akan lebih sengsara dari sekarang." Nadira terdiam. Ancaman itu membuatnya sadar bahwa keluarga Hartawan masih memiliki kuasa besar atas hidupnya. Tapi dibalik itu, ia melihat peluang. Jika ia masuk ke dalam keluarga ini, ia bisa menghancurkan mereka dari dalam. "Baik," kata Nadira akhirnya, meskipun suaranya bergetar. "Aku terima. Tapi ingat, ini cuma kesepakatan. Aku nggak akan pernah jadi istri yang tunduk sama kamu." Arka tersenyum sinis. "Kita lihat saja nanti." Nadira menatap Arka dengan sorot mata tajam, menyembunyikan rasa takut yang sebenarnya menggerogoti dirinya. Di balik senyum sinis pria itu, Nadira tahu ia tidak sedang berhadapan dengan orang biasa. Arka adalah pria yang terbiasa mendapatkan apa yang dia mau, dan kini, entah kenapa, dia memilih Nadira sebagai targetnya. Arka berbalik menuju mejanya, mengambil sebuah dokumen tebal. "Ini perjanjian pranikah. Semua sudah diatur. Aku yakin kamu cukup pintar untuk tidak memperumit semuanya." Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, berjalan mendekat sambil menyerahkan pena kepada Nadira. "Tanda tangani di sini, Nona," katanya datar. Nadira memandang dokumen itu. Hatinya berperang antara rasa benci, ketakutan, dan tekad balas dendam. Ia membaca sekilas poin-poin di dalamnya: larangan menyentuh aset keluarga Hartawan tanpa izin, kewajiban menghadiri acara keluarga, dan... larangan cerai selama lima tahun. "Jadi aku cuma boneka, ya?" Nadira berkata dingin sambil menatap Arka. "Bukan boneka, tapi istri kontrak. Bedanya tipis, memang," jawab Arka begitu santai. Nadira merasakan kemarahan menggelegar di dadanya. Tapi ia menahan diri. Ini adalah langkah pertama dari rencana besar yang ia simpan rapat-rapat di dalam hatinya. Dengan tangan gemetar, ia menandatangani dokumen itu. "Bagus," kata Arka sambil menyeringai. "Pernikahan akan diadakan minggu depan. Aku harap kamu siap." Malam itu, Nadira duduk di ruang tamu kecil mereka bersama ibunya. Wajah ibunya terlihat pucat, sementara Nadira masih memegang salinan kontrak yang baru saja ia tandatangani. "Kamu beneran setuju menikah sama dia, Nad?" tanya ibunya dengan suara bergetar. "Iya, Bu. Aku nggak punya pilihan," jawab Nadira, suaranya yang datar. "Tapi, Nadira... mereka itu orang yang udah ngerusak hidup kita! Kamu yakin ini bukan cuma memperburuk keadaan?" "Aku tahu, Bu," potong Nadira tegas. "Tapi justru karena itu aku harus masuk ke kehidupan mereka. Aku nggak akan diam aja. Aku akan bikin mereka ngerasain apa yang udah mereka lakuin ke kita." Ibunya menggeleng pelan, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kamu pikir balas dendam itu akan bikin kamu bahagia, Nak? Ibu cuma takut kamu terluka lebih dalam." Nadira menggenggam tangan ibunya. "Bu, aku janji. Aku kuat. Aku cuma butuh Ibu percaya sama aku." Ibunya terdiam, lalu akhirnya mengangguk lemah. "Kalau itu memang keputusanmu, Ibu akan dukung. Tapi hati-hati, Nad. Ingat dunia mereka nggak seperti dunia kita." Seminggu berlalu. Nadira berdiri di depan cermin, mengenakan gaun sederhana yang diberikan Adrian. Wajahnya tampak berbeda—lebih dewasa dan dingin. Adrian menjemputnya pagi itu untuk membawanya ke rumah keluarga Hartawan. "Jangan gugup," ujar Adrian di perjalanan. "Keluarga Hartawan bisa mencium kelemahan dari jarak satu mil." Nadira mendengus. "Aku nggak takut sama mereka." Begitu tiba di rumah megah itu, Nadira disambut oleh tatapan tajam dari para anggota keluarga Hartawan yang berkumpul di ruang tamu. Di sana ada seorang wanita tua dengan wajah dingin, yang Nadira kenali sebagai Ny. Hartawan, ibu Arka. Di sebelahnya, duduk seorang pria paruh baya yang tampak angkuh—ayah Arka. "Jadi ini calon istrimu, Arka?" Ny. Hartawan memandang Nadira dari ujung kepala hingga kaki. "Kenapa memilih dia? Aku pikir kamu punya selera yang lebih tinggi." Arka tersenyum. "Dia lebih dari cukup, Ibu. Lagi pula, ini pernikahan untuk citra, bukan untuk cinta." Komentar itu membuat darah Nadira mendidih, tapi ia menahan diri. Ia hanya menunduk sedikit, berpura-pura sopan. "Aku harap kamu tahu tempatmu," ujar Ny. Hartawan dingin. "Di keluarga ini, wanita hanya punya dua tugas: mendukung suami dan menjaga nama baik keluarga." "Aku paham, Bu," jawab Nadira dengan suara lembut, tapi di dalam hatinya ia berkata, Kita lihat siapa yang sebenarnya harus tunduk nantinya. Pertemuan itu berjalan penuh ketegangan, tapi Nadira berhasil melewatinya tanpa kehilangan kendali. Ia tahu, ini baru permulaan dari permainan berbahaya yang akan ia hadapi.Seminggu setelah pertemuan dingin itu, hari pernikahan pun tiba. Nadira berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun putih yang terlalu mewah untuk seleranya. Riasan di wajahnya yang sempurna, menutupi segala emosi yang bergejolak di dalam hatinya."Semua sudah siap, Nona Nadira," suara Adrian terdengar dari pintu. "Tamu-tamu sudah berkumpul di aula. Tuan Arka sedang menunggu."Nadira mengangguk pelan. "Ayo kita selesaikan ini."Adrian menatap Nadira sebentar, seolah ingin memastikan bahwa wanita itu siap. "Ingat, tetap tenang. Jangan tunjukkan kelemahan di depan mereka.""Saya tahu apa yang harus saya lakukan," jawab Nadira dengan nada tegas.Di Aula Pernikahan yang begitu megah dipenuhi tamu undangan dari kalangan elit. Para sosialita sibuk berbisik-bisik, membicarakan wanita sederhana yang entah bagaimana berhasil menikahi Arka Hartawan, pria paling dingin di kota itu.Saat Nadira melangkah masuk, semua mata tertuju padanya. Tapi dia tidak peduli. Fokusnya hanya satu, yaitu kep
Hari-hari pertama Nadira di keluarga Hartawan adalah ujian ketahanan mental. Keluarga besar ini tidak hanya kaya, tetapi juga penuh rahasia gelap. Nadira menyadari bahwa menjadi bagian dari hidup mereka berarti melangkah di atas ladang ranjau.Malam itu, Nadira memutuskan untuk memulai rencananya. Setelah memastikan semua orang sudah tidur, ia menyelinap keluar dari kamar dan menuju ke ruang kerja Arka.Nadira membuka pintu dengan hati-hati. Ia tahu ruangan ini adalah pusat kekuatan Arka. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran, sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memutar balikkan keadaan.Ia menyalakan lampu kecil di meja kerja, mulai membuka laci-laci. Beberapa dokumen tentang proyek perusahaan, kontrak bisnis, dan peta tanah tergelar di depannya. Tapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah amplop coklat yang diselipkan di bawah dokumen-dokumen itu.Nadira membuka amplop tersebut. Di dalamnya, ada beberapa foto seorang pria yang terlihat akrab di matanya. Pria itu..."Sedang apa kamu
Malam itu, Nadira tidak bisa tidur. Berkas yang ia terima dari pria tua tadi terus menghantui pikirannya. Fakta bahwa Arka adalah otak di balik transaksi gelap keluarga Hartawan membuatnya semakin yakin bahwa ia tidak bisa mempercayai siapapun di rumah ini.Namun, Nadira juga sadar, menemui dan menanyakan langsung bukanlah pilihan yang bijak. Ia harus memainkan kartu ini dengan cermat.Pagi itu, suasana di meja makan terasa lebih tenang dibandingkan biasanya. Nadira memutuskan untuk memulai permainan barunya."Arka, aku ingin ikut dalam urusan perusahaan," katanya tiba-tiba saat mereka sarapan.Semua orang di meja menatapnya, termasuk Ny. Hartawan yang langsung mendengus."Apa maksudmu 'ikut dalam urusan perusahaan'?" tanya Ny. Hartawan dengan nada sinis. "Kamu pikir kamu mampu?"Nadira tersenyum, tetap tenang. "Sebagai istri Arka, aku rasa wajar jika aku mulai belajar tentang bisnis keluarga ini. Lagipula, aku ingin menjadi bagian yang aktif, bukan hanya duduk diam di rumah."Arka me
Malam itu terasa begitu dingin di kamar Nadira. Meski lampu redup menerangi ruangannya, pikirannya terus berputar. Kata-kata Arka di gudang pelabuhan tadi siang masih terngiang di telinganya."Aku tahu rencanamu sejak awal."Nadira mengatupkan rahangnya, menatap jendela yang menghadap taman belakang. Jika Arka tahu segalanya, kenapa ia masih membiarkannya bergerak bebas?Pagi Hari: Percakapan dengan Ny. HartawanKeesokan paginya, Nadira memutuskan untuk sarapan lebih awal. Namun, ia tidak menduga akan bertemu dengan Ny. Hartawan di ruang makan. Wanita itu sudah duduk dengan elegan di kursinya, menyisipkan teh dengan ekspresi yang selalu angkuh."Kamu tidak biasanya bangun sepagi ini," kata Ny. Hartawan tanpa melihat Nadira.Nadira mengambil tempat duduknya, mencoba menjaga sikap. "Aku hanya merasa harus memulai hariku lebih cepat. Banyak yang harus aku pelajari tentang perusahaan."Ny. Hartawan tersenyum, tetapi senyuman itu penuh sindiran. "Belajar tentang perusahaan atau mencari kel
Pagi itu, Nadira bangun dengan perasaan resah. Pikirannya terus memutar ulang percakapannya dengan Arka semalam. Kata-kata pria itu seperti teka-teki yang terus menghantuinya."Permainan ini bukan hanya tentang balas dendammu. Ini tentang kita berdua."Apa maksud Arka sebenarnya? Nadira tahu ia harus tetap fokus pada tujuannya, tapi semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin sulit rasanya mengabaikan tatapan Arka yang seolah menelanjangi semua rencananya.Di ruang makan, Nadira menemukan Ny. Hartawan sudah duduk, ditemani Arka yang tampak santai membaca koran pagi. Nadira berusaha menenangkan dirinya sebelum mengambil tempat duduk."Selamat pagi," sapa Nadira, mencoba bersikap biasa.Ny. Hartawan hanya mengangguk, sedangkan Arka meliriknya dengan senyuman kecil. "Tidur nyenyak, Nadira?" tanyanya dengan nada menggoda."Tentu saja," jawab Nadira singkat.Namun, Ny. Hartawan tampak tidak sabar dengan percakapan ringan ini. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi keras, menarik perhatian
Pagi itu, Nadira bangun dengan perasaan resah. Pikirannya terus memutar ulang percakapannya dengan Arka semalam. Kata-kata pria itu seperti teka-teki yang terus menghantuinya."Permainan ini bukan hanya tentang balas dendammu. Ini tentang kita berdua."Apa maksud Arka sebenarnya? Nadira tahu ia harus tetap fokus pada tujuannya, tapi semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin sulit rasanya mengabaikan tatapan Arka yang seolah menelanjangi semua rencananya.Di ruang makan, Nadira menemukan Ny. Hartawan sudah duduk, ditemani Arka yang tampak santai membaca koran pagi. Nadira berusaha menenangkan dirinya sebelum mengambil tempat duduk."Selamat pagi," sapa Nadira, mencoba bersikap biasa.Ny. Hartawan hanya mengangguk, sedangkan Arka meliriknya dengan senyuman kecil. "Tidur nyenyak, Nadira?" tanyanya dengan nada menggoda."Tentu saja," jawab Nadira singkat.Namun, Ny. Hartawan tampak tidak sabar dengan percakapan ringan ini. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi keras, menarik perhatian
Malam itu terasa begitu dingin di kamar Nadira. Meski lampu redup menerangi ruangannya, pikirannya terus berputar. Kata-kata Arka di gudang pelabuhan tadi siang masih terngiang di telinganya."Aku tahu rencanamu sejak awal."Nadira mengatupkan rahangnya, menatap jendela yang menghadap taman belakang. Jika Arka tahu segalanya, kenapa ia masih membiarkannya bergerak bebas?Pagi Hari: Percakapan dengan Ny. HartawanKeesokan paginya, Nadira memutuskan untuk sarapan lebih awal. Namun, ia tidak menduga akan bertemu dengan Ny. Hartawan di ruang makan. Wanita itu sudah duduk dengan elegan di kursinya, menyisipkan teh dengan ekspresi yang selalu angkuh."Kamu tidak biasanya bangun sepagi ini," kata Ny. Hartawan tanpa melihat Nadira.Nadira mengambil tempat duduknya, mencoba menjaga sikap. "Aku hanya merasa harus memulai hariku lebih cepat. Banyak yang harus aku pelajari tentang perusahaan."Ny. Hartawan tersenyum, tetapi senyuman itu penuh sindiran. "Belajar tentang perusahaan atau mencari kel
Malam itu, Nadira tidak bisa tidur. Berkas yang ia terima dari pria tua tadi terus menghantui pikirannya. Fakta bahwa Arka adalah otak di balik transaksi gelap keluarga Hartawan membuatnya semakin yakin bahwa ia tidak bisa mempercayai siapapun di rumah ini.Namun, Nadira juga sadar, menemui dan menanyakan langsung bukanlah pilihan yang bijak. Ia harus memainkan kartu ini dengan cermat.Pagi itu, suasana di meja makan terasa lebih tenang dibandingkan biasanya. Nadira memutuskan untuk memulai permainan barunya."Arka, aku ingin ikut dalam urusan perusahaan," katanya tiba-tiba saat mereka sarapan.Semua orang di meja menatapnya, termasuk Ny. Hartawan yang langsung mendengus."Apa maksudmu 'ikut dalam urusan perusahaan'?" tanya Ny. Hartawan dengan nada sinis. "Kamu pikir kamu mampu?"Nadira tersenyum, tetap tenang. "Sebagai istri Arka, aku rasa wajar jika aku mulai belajar tentang bisnis keluarga ini. Lagipula, aku ingin menjadi bagian yang aktif, bukan hanya duduk diam di rumah."Arka me
Hari-hari pertama Nadira di keluarga Hartawan adalah ujian ketahanan mental. Keluarga besar ini tidak hanya kaya, tetapi juga penuh rahasia gelap. Nadira menyadari bahwa menjadi bagian dari hidup mereka berarti melangkah di atas ladang ranjau.Malam itu, Nadira memutuskan untuk memulai rencananya. Setelah memastikan semua orang sudah tidur, ia menyelinap keluar dari kamar dan menuju ke ruang kerja Arka.Nadira membuka pintu dengan hati-hati. Ia tahu ruangan ini adalah pusat kekuatan Arka. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran, sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memutar balikkan keadaan.Ia menyalakan lampu kecil di meja kerja, mulai membuka laci-laci. Beberapa dokumen tentang proyek perusahaan, kontrak bisnis, dan peta tanah tergelar di depannya. Tapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah amplop coklat yang diselipkan di bawah dokumen-dokumen itu.Nadira membuka amplop tersebut. Di dalamnya, ada beberapa foto seorang pria yang terlihat akrab di matanya. Pria itu..."Sedang apa kamu
Seminggu setelah pertemuan dingin itu, hari pernikahan pun tiba. Nadira berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun putih yang terlalu mewah untuk seleranya. Riasan di wajahnya yang sempurna, menutupi segala emosi yang bergejolak di dalam hatinya."Semua sudah siap, Nona Nadira," suara Adrian terdengar dari pintu. "Tamu-tamu sudah berkumpul di aula. Tuan Arka sedang menunggu."Nadira mengangguk pelan. "Ayo kita selesaikan ini."Adrian menatap Nadira sebentar, seolah ingin memastikan bahwa wanita itu siap. "Ingat, tetap tenang. Jangan tunjukkan kelemahan di depan mereka.""Saya tahu apa yang harus saya lakukan," jawab Nadira dengan nada tegas.Di Aula Pernikahan yang begitu megah dipenuhi tamu undangan dari kalangan elit. Para sosialita sibuk berbisik-bisik, membicarakan wanita sederhana yang entah bagaimana berhasil menikahi Arka Hartawan, pria paling dingin di kota itu.Saat Nadira melangkah masuk, semua mata tertuju padanya. Tapi dia tidak peduli. Fokusnya hanya satu, yaitu kep
Hujan turun deras malam itu. Jalanan kota yang biasanya ramai, mendadak sunyi, hanya suara gemericik air yang terdengar. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, seorang wanita muda berdiri memandang jendela dengan lamunannya."Nad, udah makan belum?" suara ibunya dari dapur terdengar, mengalihkan lamunan Nadira."Belum, Bu. Lagi nggak nafsu," jawab Nadira lemah.Ibunya muncul dari dapur dengan wajah lelah, membawa sepiring nasi dan lauk sederhana. "Kamu nggak boleh gini terus. Masalah itu udah berlalu. Kita harus kuat."Nadira menoleh perlahan. "Berlalu? Gimana mau berlalu kalau semuanya hancur gara-gara mereka?" Nada suaranya naik, matanya mulai berkaca-kaca.Ibunya terdiam. "Nad, dendam itu nggak akan bikin kita bahagia. Kita harus ikhlas.""Ikhlas? Bu, mereka ambil semua yang kita punya! Papa meninggal gara-gara stres, kita diusir dari rumah sendiri, dan sekarang kita hidup begini. Gimana caranya aku ikhlas?" Nadira membanting pintu kamarnya dan terisak di baliknya.Di dalam kamar