Seminggu setelah pertemuan dingin itu, hari pernikahan pun tiba. Nadira berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun putih yang terlalu mewah untuk seleranya. Riasan di wajahnya yang sempurna, menutupi segala emosi yang bergejolak di dalam hatinya.
"Semua sudah siap, Nona Nadira," suara Adrian terdengar dari pintu. "Tamu-tamu sudah berkumpul di aula. Tuan Arka sedang menunggu." Nadira mengangguk pelan. "Ayo kita selesaikan ini." Adrian menatap Nadira sebentar, seolah ingin memastikan bahwa wanita itu siap. "Ingat, tetap tenang. Jangan tunjukkan kelemahan di depan mereka." "Saya tahu apa yang harus saya lakukan," jawab Nadira dengan nada tegas. Di Aula Pernikahan yang begitu megah dipenuhi tamu undangan dari kalangan elit. Para sosialita sibuk berbisik-bisik, membicarakan wanita sederhana yang entah bagaimana berhasil menikahi Arka Hartawan, pria paling dingin di kota itu. Saat Nadira melangkah masuk, semua mata tertuju padanya. Tapi dia tidak peduli. Fokusnya hanya satu, yaitu kepada Arka. Pria itu berdiri di depan altar, mengenakan jas hitam sempurna, dengan senyuman yang tidak bisa ditebak. Saat Nadira mendekat, Arka menyambutnya dengan tatapan penuh arti. "Kamu tampak... lebih baik dari yang kuduga," bisik Arka saat Nadira berdiri di sampingnya. "Kamu juga," jawab Nadira dengan nada datar. "Sayang, senyummu terlihat palsu." Arka tertawa pelan, suaranya hampir tidak terdengar. "Permainan baru saja dimulai, Nadira." Setelah acara pernikahan selesai, Nadira akhirnya tiba di kamar pengantin mereka di salah satu mansion mewah milik keluarga Hartawan. Ia memandangi ruangan besar yang terasa dingin dan kosong, seperti sosok Arka. Arka membuka pintu, masuk dengan santai sambil melepas dasinya. "Hari ini cukup melelahkan, ya?" katanya tanpa memandang Nadira. "Aku sudah biasa lelah," jawab Nadira sambil duduk di tepi tempat tidur. "Tapi sepertinya kamu menikmatinya." Arka tersenyum. "Kamu pintar membaca situasi. Bagus, itu akan membantumu bertahan di sini." "Jadi apa sekarang?" Nadira menatapnya. "Kita pura-pura jadi pasangan bahagia?" "Lebih tepatnya, kamu pura-pura bahagia, dan aku akan sibuk menjalani hidupku. Jangan terlalu berharap lebih," jawab Arka sambil mengambil jaketnya dan melangkah keluar. "Ke mana kamu?" tanya Nadira, mencoba menyembunyikan rasa ingin tahunya. "Urusan bisnis," jawab Arka singkat. "Dan ingat, jangan coba-coba melanggar aturan di rumah ini." Pintu tertutup. Nadira mendengus pelan, menatap kosong ke arah cermin besar di depannya. "Dia pikir aku cuma boneka? Tunggu saja, Arka. Aku akan menunjukkan kalau aku bukan wanita lemah." Nadira memutuskan untuk menjelajahi mansion. Ia berjalan menyusuri lorong-lorong sepi, mendapati dirinya tiba di sebuah ruang kerja besar. Di sana, ia melihat rak penuh dokumen, peta, dan laporan keuangan. "Jadi ini pusat kekuasaan mereka," gumamnya pelan. Saat ia hendak membuka salah satu laci, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Nadira berbalik dengan cepat, menemukan Adrian berdiri di pintu. "Apa yang kamu lakukan di sini, Nona Nadira?" tanya Adrian. Nadira berusaha tenang. "Aku cuma penasaran. Apa ini ruang kerja Arka?" Adrian menatapnya dengan curiga. "Ini bukan tempat untuk Anda. Saya sarankan Anda kembali ke kamar." "Kenapa? Takut aku menemukan sesuatu yang seharusnya tidak kutahu?" Nadira sambil tersenyum, mencoba memancing reaksi Adrian. "Tugas saya hanya memastikan Anda tetap berada di jalur, Nona. Jangan buat semuanya lebih rumit," jawab Adrian sebelum melangkah keluar. Nadira menghela napas. Ia tahu, untuk menghadapi keluarga Hartawan, ia harus lebih berhati-hati. Saat Arka kembali larut malam, Nadira sudah duduk di tepi tempat tidur, menunggunya. "Kenapa belum tidur?" tanya Arka dengan nada datar. "Aku cuma ingin tahu, kenapa kamu memilih aku?" tanya Nadira langsung. Arka terdiam sejenak sebelum menjawab, "Karena kamu berbeda. Kamu tidak seperti wanita lain yang mendekatiku hanya karena uang. Kamu punya alasan sendiri untuk tetap di sini, dan aku ingin tahu alasannya." Nadira menyipitkan mata. "Jadi ini cuma permainan untukmu?" "Semua ini memang permainan, Nadira," jawab Arka dengan senyum dinginnya. "Dan aku pastikan aku yang akan menang." Nadira tersenyum, menyembunyikan amarahnya. Kita lihat siapa yang akan menang, Arka. Arka berjalan menuju sofa di sudut kamar dan melepaskan jasnya. Ia terlihat begitu santai, seolah-olah baru saja memenangkan pertempuran kecil melawan Nadira. Namun, Nadira tidak mau kalah begitu saja. "Kamu pikir kamu tahu segalanya tentang aku, ya?" tanya Nadira sambil berdiri, menatap Arka yang sedang menuangkan segelas anggur. Arka mengangkat alis lalu tersenyum. "Aku tahu cukup banyak. Kamu anak perempuan dari seorang pria yang kalah dalam permainan besar. Sekarang, kamu mencoba bertahan hidup di tempat yang jelas bukan duniamu." Nadira mengepalkan tangan. "Kamu boleh bicara apa saja, Arka. Tapi aku janji, aku nggak akan tunduk sama aturan bodohmu." Arka berdiri, mendekat dengan gelas anggur di tangannya. "Kamu salah satu wanita paling keras kepala yang pernah aku temui, Nadira. Itu menarik, tapi juga berbahaya." "Berbahaya buat siapa? Buat aku atau buat kamu?" tantang Nadira. Arka tertawa, suaranya terdengar sangat dingin. "Kita lihat saja nanti. Tapi ingat satu hal, Nadira. Di rumah ini, aku yang memegang kendali. Kamu cuma punya dua pilihan: ikut permainanku atau kamu akan tersingkir." Nadira mendekat, menatapnya langsung. "Kalau begitu, aku akan belajar jadi pemain terbaik di permainanmu, Arka." Mata mereka bertemu dalam tatapan tajam, seolah-olah keduanya sedang mengukur kekuatan satu sama lain. Keesokan harinya, hari pertama Nadira sebagai "Nyonya Hartawan" dimulai dengan jadwal yang padat. Ia dibawa ke ruang makan besar untuk sarapan bersama keluarga Hartawan. Namun, suasana di meja makan jauh dari kata ramah. Ny. Hartawan menatap Nadira dengan dingin. "Jadi, kamu benar-benar menikah dengan anakku. Aku masih tidak mengerti apa yang Arka lihat darimu." Nadira tersenyum, mencoba menahan diri. "Saya mungkin bukan pilihan yang sempurna di mata Ibu. Tapi saya yakin waktu akan membuktikan bahwa saya layak berada di sini." Ny. Hartawan mendengus. "Waktu? Kita lihat saja. Jangan pikir karena kamu menikah dengan Arka, kamu bisa mendapatkan segalanya di keluarga ini." Arka yang duduk di ujung meja hanya diam, membiarkan ibunya berbicara. Nadira meliriknya, berharap ada sedikit pembelaan. Tapi pria itu hanya tersenyum sambil menyeruput kopinya. Setelah selesai makan, Nadira dibawa oleh Adrian ke kantor pusat perusahaan Hartawan untuk diperkenalkan kepada publik sebagai istri Arka. Di sepanjang perjalanan, Nadira mencoba menyusun rencana. "Adrian," panggil Nadira tiba-tiba. "Ya, Nona?" "Kenapa kamu begitu setia sama Arka?" tanyanya, mencoba mencari celah. Adrian menatapnya sekilas melalui kaca spion. "Tugas saya bukan untuk menjawab pertanyaan pribadi. Saya di sini hanya menjalankan pekerjaan." Nadira tersenyum. "Pekerjaan, ya? Aku penasaran apa yang akan terjadi kalau suatu hari kamu harus memilih antara pekerjaan dan hati nurani." Adrian tidak menjawab, tapi Nadira bisa melihat rahangnya mengeras. Ia tahu, ada sesuatu di balik sikap dingin pria itu, dan ia berencana untuk menemukannya. Setelah sampai di kantor Hartawan Corp acara pengenalan istri Arka berlangsung di aula besar perusahaan. Para wartawan berkumpul, kamera mengarah ke Nadira dan Arka yang berdiri berdampingan. "Selamat atas pernikahan Anda, Tuan Arka," ucap salah satu wartawan. "Boleh kami tahu, apa alasan Anda memilih Nona Nadira sebagai istri?" Arka tersenyum sambil memegang tangan Nadira seolah-olah mereka pasangan bahagia. "Nadira adalah wanita yang berbeda dari yang lain. Dia tidak melihat saya hanya sebagai pewaris keluarga Hartawan. Dan itu salah satu alasan yang membuatnya istimewa." Nadira hampir tertawa mendengar jawaban itu, tapi ia menahannya dan memberikan senyuman. "Dan saya merasa sangat beruntung menjadi bagian dari keluarga ini," tambahnya, mencoba terdengar tulus. Acara berlangsung lancar, meskipun Nadira merasa seperti boneka yang dipamerkan. Di akhir acara, Arka mendekat padanya dan berbisik, "Bagus. Kamu cepat belajar." Nadira memandangnya dengan senyum dinginnya. "Aku hanya memanfaatkan pelajaran yang kamu berikan." Setelah hari yang panjang, malam hari Nadira kembali ke kamar mereka. Arka sedang duduk di kursi dengan laptop di depannya. "Kamu berhasil bertahan hari ini," ucap Arka tanpa menoleh. "Tentu saja," jawab Nadira sambil melepaskan sepatunya. "Aku bukan orang yang mudah dijatuhkan, Arka." Arka menutup laptopnya dan menatapnya. "Kamu punya keberanian, Nadira. Tapi ingat, di permainan ini, keberanian saja tidak cukup." Nadira mendekat, menatapnya langsung. "Dan kamu juga harus ingat, Arka. Permainan ini bukan cuma milikmu. Aku juga pemain di sini." Tatapan mereka bertemu lagi, penuh dengan ketegangan yang tidak terucap. Nadira tahu, perjalanannya masih begitu panjang. Tapi ia bertekad untuk tidak kalah, dan tidak peduli seberapa berat rintangan yang ada di depannya.Hari-hari pertama Nadira di keluarga Hartawan adalah ujian ketahanan mental. Keluarga besar ini tidak hanya kaya, tetapi juga penuh rahasia gelap. Nadira menyadari bahwa menjadi bagian dari hidup mereka berarti melangkah di atas ladang ranjau.Malam itu, Nadira memutuskan untuk memulai rencananya. Setelah memastikan semua orang sudah tidur, ia menyelinap keluar dari kamar dan menuju ke ruang kerja Arka.Nadira membuka pintu dengan hati-hati. Ia tahu ruangan ini adalah pusat kekuatan Arka. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran, sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memutar balikkan keadaan.Ia menyalakan lampu kecil di meja kerja, mulai membuka laci-laci. Beberapa dokumen tentang proyek perusahaan, kontrak bisnis, dan peta tanah tergelar di depannya. Tapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah amplop coklat yang diselipkan di bawah dokumen-dokumen itu.Nadira membuka amplop tersebut. Di dalamnya, ada beberapa foto seorang pria yang terlihat akrab di matanya. Pria itu..."Sedang apa kamu
Malam itu, Nadira tidak bisa tidur. Berkas yang ia terima dari pria tua tadi terus menghantui pikirannya. Fakta bahwa Arka adalah otak di balik transaksi gelap keluarga Hartawan membuatnya semakin yakin bahwa ia tidak bisa mempercayai siapapun di rumah ini.Namun, Nadira juga sadar, menemui dan menanyakan langsung bukanlah pilihan yang bijak. Ia harus memainkan kartu ini dengan cermat.Pagi itu, suasana di meja makan terasa lebih tenang dibandingkan biasanya. Nadira memutuskan untuk memulai permainan barunya."Arka, aku ingin ikut dalam urusan perusahaan," katanya tiba-tiba saat mereka sarapan.Semua orang di meja menatapnya, termasuk Ny. Hartawan yang langsung mendengus."Apa maksudmu 'ikut dalam urusan perusahaan'?" tanya Ny. Hartawan dengan nada sinis. "Kamu pikir kamu mampu?"Nadira tersenyum, tetap tenang. "Sebagai istri Arka, aku rasa wajar jika aku mulai belajar tentang bisnis keluarga ini. Lagipula, aku ingin menjadi bagian yang aktif, bukan hanya duduk diam di rumah."Arka me
Malam itu terasa begitu dingin di kamar Nadira. Meski lampu redup menerangi ruangannya, pikirannya terus berputar. Kata-kata Arka di gudang pelabuhan tadi siang masih terngiang di telinganya."Aku tahu rencanamu sejak awal."Nadira mengatupkan rahangnya, menatap jendela yang menghadap taman belakang. Jika Arka tahu segalanya, kenapa ia masih membiarkannya bergerak bebas?Pagi Hari: Percakapan dengan Ny. HartawanKeesokan paginya, Nadira memutuskan untuk sarapan lebih awal. Namun, ia tidak menduga akan bertemu dengan Ny. Hartawan di ruang makan. Wanita itu sudah duduk dengan elegan di kursinya, menyisipkan teh dengan ekspresi yang selalu angkuh."Kamu tidak biasanya bangun sepagi ini," kata Ny. Hartawan tanpa melihat Nadira.Nadira mengambil tempat duduknya, mencoba menjaga sikap. "Aku hanya merasa harus memulai hariku lebih cepat. Banyak yang harus aku pelajari tentang perusahaan."Ny. Hartawan tersenyum, tetapi senyuman itu penuh sindiran. "Belajar tentang perusahaan atau mencari kel
Pagi itu, Nadira bangun dengan perasaan resah. Pikirannya terus memutar ulang percakapannya dengan Arka semalam. Kata-kata pria itu seperti teka-teki yang terus menghantuinya."Permainan ini bukan hanya tentang balas dendammu. Ini tentang kita berdua."Apa maksud Arka sebenarnya? Nadira tahu ia harus tetap fokus pada tujuannya, tapi semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin sulit rasanya mengabaikan tatapan Arka yang seolah menelanjangi semua rencananya.Di ruang makan, Nadira menemukan Ny. Hartawan sudah duduk, ditemani Arka yang tampak santai membaca koran pagi. Nadira berusaha menenangkan dirinya sebelum mengambil tempat duduk."Selamat pagi," sapa Nadira, mencoba bersikap biasa.Ny. Hartawan hanya mengangguk, sedangkan Arka meliriknya dengan senyuman kecil. "Tidur nyenyak, Nadira?" tanyanya dengan nada menggoda."Tentu saja," jawab Nadira singkat.Namun, Ny. Hartawan tampak tidak sabar dengan percakapan ringan ini. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi keras, menarik perhatian
Hujan turun deras malam itu. Jalanan kota yang biasanya ramai, mendadak sunyi, hanya suara gemericik air yang terdengar. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, seorang wanita muda berdiri memandang jendela dengan lamunannya."Nad, udah makan belum?" suara ibunya dari dapur terdengar, mengalihkan lamunan Nadira."Belum, Bu. Lagi nggak nafsu," jawab Nadira lemah.Ibunya muncul dari dapur dengan wajah lelah, membawa sepiring nasi dan lauk sederhana. "Kamu nggak boleh gini terus. Masalah itu udah berlalu. Kita harus kuat."Nadira menoleh perlahan. "Berlalu? Gimana mau berlalu kalau semuanya hancur gara-gara mereka?" Nada suaranya naik, matanya mulai berkaca-kaca.Ibunya terdiam. "Nad, dendam itu nggak akan bikin kita bahagia. Kita harus ikhlas.""Ikhlas? Bu, mereka ambil semua yang kita punya! Papa meninggal gara-gara stres, kita diusir dari rumah sendiri, dan sekarang kita hidup begini. Gimana caranya aku ikhlas?" Nadira membanting pintu kamarnya dan terisak di baliknya.Di dalam kamar
Pagi itu, Nadira bangun dengan perasaan resah. Pikirannya terus memutar ulang percakapannya dengan Arka semalam. Kata-kata pria itu seperti teka-teki yang terus menghantuinya."Permainan ini bukan hanya tentang balas dendammu. Ini tentang kita berdua."Apa maksud Arka sebenarnya? Nadira tahu ia harus tetap fokus pada tujuannya, tapi semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin sulit rasanya mengabaikan tatapan Arka yang seolah menelanjangi semua rencananya.Di ruang makan, Nadira menemukan Ny. Hartawan sudah duduk, ditemani Arka yang tampak santai membaca koran pagi. Nadira berusaha menenangkan dirinya sebelum mengambil tempat duduk."Selamat pagi," sapa Nadira, mencoba bersikap biasa.Ny. Hartawan hanya mengangguk, sedangkan Arka meliriknya dengan senyuman kecil. "Tidur nyenyak, Nadira?" tanyanya dengan nada menggoda."Tentu saja," jawab Nadira singkat.Namun, Ny. Hartawan tampak tidak sabar dengan percakapan ringan ini. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi keras, menarik perhatian
Malam itu terasa begitu dingin di kamar Nadira. Meski lampu redup menerangi ruangannya, pikirannya terus berputar. Kata-kata Arka di gudang pelabuhan tadi siang masih terngiang di telinganya."Aku tahu rencanamu sejak awal."Nadira mengatupkan rahangnya, menatap jendela yang menghadap taman belakang. Jika Arka tahu segalanya, kenapa ia masih membiarkannya bergerak bebas?Pagi Hari: Percakapan dengan Ny. HartawanKeesokan paginya, Nadira memutuskan untuk sarapan lebih awal. Namun, ia tidak menduga akan bertemu dengan Ny. Hartawan di ruang makan. Wanita itu sudah duduk dengan elegan di kursinya, menyisipkan teh dengan ekspresi yang selalu angkuh."Kamu tidak biasanya bangun sepagi ini," kata Ny. Hartawan tanpa melihat Nadira.Nadira mengambil tempat duduknya, mencoba menjaga sikap. "Aku hanya merasa harus memulai hariku lebih cepat. Banyak yang harus aku pelajari tentang perusahaan."Ny. Hartawan tersenyum, tetapi senyuman itu penuh sindiran. "Belajar tentang perusahaan atau mencari kel
Malam itu, Nadira tidak bisa tidur. Berkas yang ia terima dari pria tua tadi terus menghantui pikirannya. Fakta bahwa Arka adalah otak di balik transaksi gelap keluarga Hartawan membuatnya semakin yakin bahwa ia tidak bisa mempercayai siapapun di rumah ini.Namun, Nadira juga sadar, menemui dan menanyakan langsung bukanlah pilihan yang bijak. Ia harus memainkan kartu ini dengan cermat.Pagi itu, suasana di meja makan terasa lebih tenang dibandingkan biasanya. Nadira memutuskan untuk memulai permainan barunya."Arka, aku ingin ikut dalam urusan perusahaan," katanya tiba-tiba saat mereka sarapan.Semua orang di meja menatapnya, termasuk Ny. Hartawan yang langsung mendengus."Apa maksudmu 'ikut dalam urusan perusahaan'?" tanya Ny. Hartawan dengan nada sinis. "Kamu pikir kamu mampu?"Nadira tersenyum, tetap tenang. "Sebagai istri Arka, aku rasa wajar jika aku mulai belajar tentang bisnis keluarga ini. Lagipula, aku ingin menjadi bagian yang aktif, bukan hanya duduk diam di rumah."Arka me
Hari-hari pertama Nadira di keluarga Hartawan adalah ujian ketahanan mental. Keluarga besar ini tidak hanya kaya, tetapi juga penuh rahasia gelap. Nadira menyadari bahwa menjadi bagian dari hidup mereka berarti melangkah di atas ladang ranjau.Malam itu, Nadira memutuskan untuk memulai rencananya. Setelah memastikan semua orang sudah tidur, ia menyelinap keluar dari kamar dan menuju ke ruang kerja Arka.Nadira membuka pintu dengan hati-hati. Ia tahu ruangan ini adalah pusat kekuatan Arka. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran, sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memutar balikkan keadaan.Ia menyalakan lampu kecil di meja kerja, mulai membuka laci-laci. Beberapa dokumen tentang proyek perusahaan, kontrak bisnis, dan peta tanah tergelar di depannya. Tapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah amplop coklat yang diselipkan di bawah dokumen-dokumen itu.Nadira membuka amplop tersebut. Di dalamnya, ada beberapa foto seorang pria yang terlihat akrab di matanya. Pria itu..."Sedang apa kamu
Seminggu setelah pertemuan dingin itu, hari pernikahan pun tiba. Nadira berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun putih yang terlalu mewah untuk seleranya. Riasan di wajahnya yang sempurna, menutupi segala emosi yang bergejolak di dalam hatinya."Semua sudah siap, Nona Nadira," suara Adrian terdengar dari pintu. "Tamu-tamu sudah berkumpul di aula. Tuan Arka sedang menunggu."Nadira mengangguk pelan. "Ayo kita selesaikan ini."Adrian menatap Nadira sebentar, seolah ingin memastikan bahwa wanita itu siap. "Ingat, tetap tenang. Jangan tunjukkan kelemahan di depan mereka.""Saya tahu apa yang harus saya lakukan," jawab Nadira dengan nada tegas.Di Aula Pernikahan yang begitu megah dipenuhi tamu undangan dari kalangan elit. Para sosialita sibuk berbisik-bisik, membicarakan wanita sederhana yang entah bagaimana berhasil menikahi Arka Hartawan, pria paling dingin di kota itu.Saat Nadira melangkah masuk, semua mata tertuju padanya. Tapi dia tidak peduli. Fokusnya hanya satu, yaitu kep
Hujan turun deras malam itu. Jalanan kota yang biasanya ramai, mendadak sunyi, hanya suara gemericik air yang terdengar. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, seorang wanita muda berdiri memandang jendela dengan lamunannya."Nad, udah makan belum?" suara ibunya dari dapur terdengar, mengalihkan lamunan Nadira."Belum, Bu. Lagi nggak nafsu," jawab Nadira lemah.Ibunya muncul dari dapur dengan wajah lelah, membawa sepiring nasi dan lauk sederhana. "Kamu nggak boleh gini terus. Masalah itu udah berlalu. Kita harus kuat."Nadira menoleh perlahan. "Berlalu? Gimana mau berlalu kalau semuanya hancur gara-gara mereka?" Nada suaranya naik, matanya mulai berkaca-kaca.Ibunya terdiam. "Nad, dendam itu nggak akan bikin kita bahagia. Kita harus ikhlas.""Ikhlas? Bu, mereka ambil semua yang kita punya! Papa meninggal gara-gara stres, kita diusir dari rumah sendiri, dan sekarang kita hidup begini. Gimana caranya aku ikhlas?" Nadira membanting pintu kamarnya dan terisak di baliknya.Di dalam kamar