Hari-hari pertama Nadira di keluarga Hartawan adalah ujian ketahanan mental. Keluarga besar ini tidak hanya kaya, tetapi juga penuh rahasia gelap. Nadira menyadari bahwa menjadi bagian dari hidup mereka berarti melangkah di atas ladang ranjau.
Malam itu, Nadira memutuskan untuk memulai rencananya. Setelah memastikan semua orang sudah tidur, ia menyelinap keluar dari kamar dan menuju ke ruang kerja Arka. Nadira membuka pintu dengan hati-hati. Ia tahu ruangan ini adalah pusat kekuatan Arka. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran, sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memutar balikkan keadaan. Ia menyalakan lampu kecil di meja kerja, mulai membuka laci-laci. Beberapa dokumen tentang proyek perusahaan, kontrak bisnis, dan peta tanah tergelar di depannya. Tapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah amplop coklat yang diselipkan di bawah dokumen-dokumen itu. Nadira membuka amplop tersebut. Di dalamnya, ada beberapa foto seorang pria yang terlihat akrab di matanya. Pria itu... "Sedang apa kamu di sini?" Suara dingin itu membuat Nadira terkesiap. Ia membalikkan badan dan menemukan Arka berdiri di depan pintu, bersandar dengan tangan terlipat di dada. Matanya menyipit, penuh kecurigaan. "Aku nggak bisa tidur, jadi aku pikir aku akan melihat-lihat," jawab Nadira, berusaha tenang. "Lihat-lihat? Di ruang kerjaku?" Arka mendekat, suaranya semakin dingin. "Kamu pikir aku bodoh?" Nadira menyembunyikan amplop itu di balik punggungnya, tapi gerakannya terlalu lambat. Arka langsung meraih tangannya dan mengambil amplop itu. "Ah, jadi ini yang kamu cari?" Arka membuka amplop itu dan mengeluarkan foto-foto di dalamnya. "Kamu tahu siapa dia?" Nadira diam. Ia tidak ingin memberikan Arka keuntungan dengan menunjukkan rasa penasarannya. Arka tersenyum dingin. "Dia adalah seseorang yang seharusnya tidak kamu pikirkan. Dan aku sarankan, jangan coba-coba mengorek lebih dalam." "Kenapa? Takut aku menemukan sesuatu yang akan merugikanmu?" Nadira membalas dengan suara tajamnya. Arka mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Nadira. "Kamu bisa bermain-main dengan keluargaku, tapi jangan menyentuh hal yang bukan urusanmu, Nadira. Itu peringatan." Tatapan mereka bertemu dalam ketegangan. Nadira tahu, dia harus lebih berhati-hati. Tapi rasa ingin tahunya justru semakin besar lagi. Keesokan Harinya di meja makan pagi itu, Ny. Hartawan seperti biasa melancarkan komentar pedasnya kepada Nadira. "Nadira, apa kamu tahu bahwa menjadi istri seorang Hartawan berarti harus menjaga citra keluarga ini? Aku mendengar kabar bahwa kamu berkeliaran di malam hari. Apa itu benar?" Nadira menatap ibu mertua itu dengan senyuman. "Saya hanya ingin mengenal rumah ini lebih baik, Bu. Lagipula, saya pikir sebagai bagian dari keluarga ini, saya berhak tahu." Ny. Hartawan tersenyum sinis. "Berhak? Kamu harus tahu batasmu, Nadira. Jangan sampai lupa tempatmu." Sebelum Nadira bisa menjawab, Arka berbicara. "Ibu, cukup. Nadira tahu apa yang dia lakukan." Semua orang di meja makan terdiam. Arka jarang sekali membela siapa pun, apalagi Nadira. Tapi Nadira tahu, ini bukan karena pria itu peduli. Arka mungkin hanya melindungi citra keluarganya. Siang itu, Nadira memutuskan untuk keluar dari rumah. Ia meminta Adrian untuk mengantarnya ke sebuah tempat yang disebutkan di salah satu dokumen yang ia temukan tadi malam. "Kenapa tiba-tiba ingin ke sini?" tanya Adrian dengan nada curiga saat mereka tiba di sebuah kompleks bangunan tua. "Kenapa? Nggak boleh?" Nadira sambil tersenyum. Adrian mendesah, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengikutinya dari belakang. Nadira berjalan memasuki salah satu bangunan itu, sebuah kantor kecil yang terlihat sangat usang. Di dalamnya, ia menemukan seorang pria tua yang langsung mengenali dirinya. "Kamu Nadira?" tanya pria itu. "Iya," jawab Nadira. "Dan Anda siapa?" Pria itu tersenyum. "Aku adalah teman baik ayahmu. Aku tahu apa yang mereka lakukan pada keluargamu." Nadira tertegun. "Kamu tahu?" Pria itu mengangguk. "Tapi berhati-hatilah. Jika kamu berniat melawan mereka, kamu harus tahu bahwa keluarga Hartawan tidak akan membiarkan siapapun untuk menang." Nadira mengepalkan tangan. "Itu resiko yang aku siap tanggung." Pria itu mengeluarkan sebuah dokumen tua dari laci mejanya. "Ini adalah bukti yang mungkin kamu butuhkan. Tapi ingat, semakin dalam kamu masuk, semakin besar bahaya yang menunggu kamu." Nadira menerima dokumen itu dengan hati-hati. Ia tahu, ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Setelah kembali ke rumah, malam hari Nadira mengunci dirinya di kamar. Ia membuka dokumen itu, yang berisi informasi tentang transaksi mencurigakan yang melibatkan nama keluarga Hartawan. Saat ia sedang membaca, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Arka masuk tanpa mengetuk, seperti biasa. "Kamu kelihatan sibuk," ujarnya sambil berjalan mendekat. Nadira buru-buru menyembunyikan dokumen itu. "Apa kamu nggak bisa belajar mengetuk pintu?" Arka menyeringai. "Kenapa? Kamu menyembunyikan sesuatu?" "Tidak semua hal perlu kamu tahu, Arka," jawab Nadira. Arka duduk di tepi tempat tidur, menatapnya dengan intens. "Kamu mungkin berpikir kamu cerdas, Nadira. Tapi aku tahu kamu menyimpan sesuatu. Dan aku akan mencari tahu apa itu." Nadira membalas tatapannya tanpa rasa takut. "Kamu boleh mencoba, Arka. Tapi jangan lupa, aku juga tahu cara bermain." Arka tersenyum, lalu berdiri dan keluar dari kamar. Di balik pintu yang tertutup, Nadira menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, permainan ini semakin rumit. Tapi ia tidak akan mundur. "Arka, kamu pikir kamu yang memegang kendali? Tunggu saja. Ini baru permulaan." Malam itu, Nadira terus menatap dokumen di tangannya, memeriksa setiap detail dengan hati-hati. Bukti transaksi gelap yang melibatkan nama Hartawan itu terasa seperti awal dari semua rahasia yang selama ini tersembunyi. Tapi ia tahu, langkah selanjutnya harus lebih hati-hati. Keesokan harinya saat sarapan pagi, suasana di meja makan terasa lebih tegang dari biasanya. Nadira berusaha bersikap biasa, meskipun ia merasa tatapan Arka terus mengikuti setiap gerakannya. "Kamu terlihat lelah, Nadira," ujar Ny. Hartawan dengan nada menyindir. "Apa semalam kamu terlalu sibuk untuk tidur?" Nadira tersenyum. "Hanya memikirkan banyak hal, Bu." Arka, yang duduk di ujung meja, hanya mengangkat alis, tidak berkata apa-apa. Tapi Nadira bisa merasakan bahwa pria itu sedang menganalisis setiap ucapannya. Setelah selesai makan, Nadira berjalan menuju kamar, tapi langkahnya terhenti ketika Arka tiba-tiba muncul di depannya. "Kita perlu bicara," katanya singkat. Nadira menatapnya tanpa rasa gentar. "Apalagi sekarang, Arka?" Arka membawa Nadira ke ruang kerja, menutup pintu dengan tegas di belakang mereka. Ia menyandarkan tubuhnya ke meja, menatap Nadira dengan begitu intens. "Apa yang sebenarnya kamu cari di sini?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Nadira mengangkat alis. "Aku tidak tahu maksudmu." "Jangan berpura-pura bodoh, Nadira. Aku tahu kamu bukan tipe wanita yang hanya duduk diam menikmati kemewahan. Kamu punya agenda sendiri." Nadira mendekat, menyilangkan tangan di depan dada. "Kalau memang aku punya agenda, kenapa kamu peduli? Bukankah kamu sendiri bilang aku hanya bagian dari permainan ini?" Arka tersenyum, tapi matanya sangat dingin. "Aku tidak peduli apapun rencanamu, selama itu tidak menyentuh keluargaku atau perusahaanku. Tapi kalau kamu melewati batas..." "Kalau aku melewati batas, apa yang akan kamu lakukan?" potong Nadira, menantang. Arka mendekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. "Aku akan memastikan kamu menyesal telah melibatkan dirimu dalam permainan ini." Setelah pertemuan tegang itu, Nadira tahu bahwa Arka semakin curiga. Ia harus bergerak lebih cepat. Malam itu, ia diam-diam menghubungi pria tua yang memberinya dokumen. "Aku butuh informasi lebih banyak," kata Nadira melalui telepon. "Informasi apa yang kamu cari?" tanya pria itu. "Semua hal tentang transaksi yang melibatkan nama Hartawan. Aku tahu ini hanya puncak gunung es." Pria itu terdiam sejenak. "Itu resiko besar, Nadira. Kalau mereka tahu kamu mengorek ini, nyawamu dalam bahaya." "Aku tidak peduli. Aku akan pastikan keluarga ini membayar apa yang mereka lakukan pada ayahku." Disisi lain telepon, pria itu menghela napas. "Baiklah. Besok malam, datang ke tempat yang sama. Aku akan memberimu apa yang kamu butuhkan." Keesokan malamnya, Nadira keluar diam-diam dari mansion dengan alasan ingin bertemu teman lamanya. Adrian, seperti biasa, menjadi pengawalnya. "Kamu sering pergi keluar akhir-akhir ini," ujar Adrian saat mereka memasuki mobil. Nadira tersenyum. "Aku hanya butuh udara segar." Adrian tidak menjawab, tapi matanya terus mengawasi Nadira melalui kaca spion. Ketika mereka tiba di tempat itu, Nadira meminta Adrian menunggu di mobil. "Aku tidak akan lama." "Kalau ada masalah, hubungi saya," kata Adrian sebelum Nadira keluar. Di dalam, pria tua itu sudah menunggu. Ia menyerahkan sebuah berkas kepada Nadira. "Ini adalah daftar orang-orang yang terlibat dalam transaksi ilegal keluarga Hartawan," katanya. "Dan ada satu nama yang mungkin mengejutkanmu." Nadira membuka berkas itu. Matanya melebar saat membaca salah satu nama di dalamnya. "Arka Hartawan..." gumamnya. "Dia tidak hanya tahu tentang transaksi ini, Nadira. Dia adalah otaknya," ujar pria itu. Nadira merasa dadanya sesak. Selama ini, ia mengira Arka hanya pion dalam permainan ini. Tapi ternyata, pria itu lebih dari sekedar pewaris dingin. Saat kembali ke mansion, Nadira mencoba menyembunyikan perasaannya. Namun, saat ia membuka pintu kamar, Arka sudah menunggunya. "Kamu pergi ke mana?" tanyanya, suaranya rendah tapi penuh ancaman. Nadira menelan ludah. "Aku bilang, aku pergi bertemu teman." "Teman macam apa yang membutuhkanmu keluar larut malam seperti ini?" Nadira mencoba tetap tenang. "Kenapa? Kamu cemburu?" Arka tersenyum, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. "Jangan bermain-main denganku, Nadira. Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu." "Kalau kamu tahu, kenapa kamu tidak langsung menuduhku?" tantang Nadira. Tatapan Arka semakin tajam. "Karena aku ingin melihat sejauh mana kamu akan melangkah. Tapi ingat, Nadira. Dalam permainan ini, aku selalu berada satu langkah di depan." Nadira membalas tatapannya, berusaha menyembunyikan rasa takut dan amarah yang berkecamuk di dalam dirinya. "Kita lihat saja, Arka. Permainan ini belum selesai."Malam itu, Nadira tidak bisa tidur. Berkas yang ia terima dari pria tua tadi terus menghantui pikirannya. Fakta bahwa Arka adalah otak di balik transaksi gelap keluarga Hartawan membuatnya semakin yakin bahwa ia tidak bisa mempercayai siapapun di rumah ini.Namun, Nadira juga sadar, menemui dan menanyakan langsung bukanlah pilihan yang bijak. Ia harus memainkan kartu ini dengan cermat.Pagi itu, suasana di meja makan terasa lebih tenang dibandingkan biasanya. Nadira memutuskan untuk memulai permainan barunya."Arka, aku ingin ikut dalam urusan perusahaan," katanya tiba-tiba saat mereka sarapan.Semua orang di meja menatapnya, termasuk Ny. Hartawan yang langsung mendengus."Apa maksudmu 'ikut dalam urusan perusahaan'?" tanya Ny. Hartawan dengan nada sinis. "Kamu pikir kamu mampu?"Nadira tersenyum, tetap tenang. "Sebagai istri Arka, aku rasa wajar jika aku mulai belajar tentang bisnis keluarga ini. Lagipula, aku ingin menjadi bagian yang aktif, bukan hanya duduk diam di rumah."Arka me
Malam itu terasa begitu dingin di kamar Nadira. Meski lampu redup menerangi ruangannya, pikirannya terus berputar. Kata-kata Arka di gudang pelabuhan tadi siang masih terngiang di telinganya."Aku tahu rencanamu sejak awal."Nadira mengatupkan rahangnya, menatap jendela yang menghadap taman belakang. Jika Arka tahu segalanya, kenapa ia masih membiarkannya bergerak bebas?Pagi Hari: Percakapan dengan Ny. HartawanKeesokan paginya, Nadira memutuskan untuk sarapan lebih awal. Namun, ia tidak menduga akan bertemu dengan Ny. Hartawan di ruang makan. Wanita itu sudah duduk dengan elegan di kursinya, menyisipkan teh dengan ekspresi yang selalu angkuh."Kamu tidak biasanya bangun sepagi ini," kata Ny. Hartawan tanpa melihat Nadira.Nadira mengambil tempat duduknya, mencoba menjaga sikap. "Aku hanya merasa harus memulai hariku lebih cepat. Banyak yang harus aku pelajari tentang perusahaan."Ny. Hartawan tersenyum, tetapi senyuman itu penuh sindiran. "Belajar tentang perusahaan atau mencari kel
Pagi itu, Nadira bangun dengan perasaan resah. Pikirannya terus memutar ulang percakapannya dengan Arka semalam. Kata-kata pria itu seperti teka-teki yang terus menghantuinya."Permainan ini bukan hanya tentang balas dendammu. Ini tentang kita berdua."Apa maksud Arka sebenarnya? Nadira tahu ia harus tetap fokus pada tujuannya, tapi semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin sulit rasanya mengabaikan tatapan Arka yang seolah menelanjangi semua rencananya.Di ruang makan, Nadira menemukan Ny. Hartawan sudah duduk, ditemani Arka yang tampak santai membaca koran pagi. Nadira berusaha menenangkan dirinya sebelum mengambil tempat duduk."Selamat pagi," sapa Nadira, mencoba bersikap biasa.Ny. Hartawan hanya mengangguk, sedangkan Arka meliriknya dengan senyuman kecil. "Tidur nyenyak, Nadira?" tanyanya dengan nada menggoda."Tentu saja," jawab Nadira singkat.Namun, Ny. Hartawan tampak tidak sabar dengan percakapan ringan ini. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi keras, menarik perhatian
Hujan turun deras malam itu. Jalanan kota yang biasanya ramai, mendadak sunyi, hanya suara gemericik air yang terdengar. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, seorang wanita muda berdiri memandang jendela dengan lamunannya."Nad, udah makan belum?" suara ibunya dari dapur terdengar, mengalihkan lamunan Nadira."Belum, Bu. Lagi nggak nafsu," jawab Nadira lemah.Ibunya muncul dari dapur dengan wajah lelah, membawa sepiring nasi dan lauk sederhana. "Kamu nggak boleh gini terus. Masalah itu udah berlalu. Kita harus kuat."Nadira menoleh perlahan. "Berlalu? Gimana mau berlalu kalau semuanya hancur gara-gara mereka?" Nada suaranya naik, matanya mulai berkaca-kaca.Ibunya terdiam. "Nad, dendam itu nggak akan bikin kita bahagia. Kita harus ikhlas.""Ikhlas? Bu, mereka ambil semua yang kita punya! Papa meninggal gara-gara stres, kita diusir dari rumah sendiri, dan sekarang kita hidup begini. Gimana caranya aku ikhlas?" Nadira membanting pintu kamarnya dan terisak di baliknya.Di dalam kamar
Seminggu setelah pertemuan dingin itu, hari pernikahan pun tiba. Nadira berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun putih yang terlalu mewah untuk seleranya. Riasan di wajahnya yang sempurna, menutupi segala emosi yang bergejolak di dalam hatinya."Semua sudah siap, Nona Nadira," suara Adrian terdengar dari pintu. "Tamu-tamu sudah berkumpul di aula. Tuan Arka sedang menunggu."Nadira mengangguk pelan. "Ayo kita selesaikan ini."Adrian menatap Nadira sebentar, seolah ingin memastikan bahwa wanita itu siap. "Ingat, tetap tenang. Jangan tunjukkan kelemahan di depan mereka.""Saya tahu apa yang harus saya lakukan," jawab Nadira dengan nada tegas.Di Aula Pernikahan yang begitu megah dipenuhi tamu undangan dari kalangan elit. Para sosialita sibuk berbisik-bisik, membicarakan wanita sederhana yang entah bagaimana berhasil menikahi Arka Hartawan, pria paling dingin di kota itu.Saat Nadira melangkah masuk, semua mata tertuju padanya. Tapi dia tidak peduli. Fokusnya hanya satu, yaitu kep
Pagi itu, Nadira bangun dengan perasaan resah. Pikirannya terus memutar ulang percakapannya dengan Arka semalam. Kata-kata pria itu seperti teka-teki yang terus menghantuinya."Permainan ini bukan hanya tentang balas dendammu. Ini tentang kita berdua."Apa maksud Arka sebenarnya? Nadira tahu ia harus tetap fokus pada tujuannya, tapi semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin sulit rasanya mengabaikan tatapan Arka yang seolah menelanjangi semua rencananya.Di ruang makan, Nadira menemukan Ny. Hartawan sudah duduk, ditemani Arka yang tampak santai membaca koran pagi. Nadira berusaha menenangkan dirinya sebelum mengambil tempat duduk."Selamat pagi," sapa Nadira, mencoba bersikap biasa.Ny. Hartawan hanya mengangguk, sedangkan Arka meliriknya dengan senyuman kecil. "Tidur nyenyak, Nadira?" tanyanya dengan nada menggoda."Tentu saja," jawab Nadira singkat.Namun, Ny. Hartawan tampak tidak sabar dengan percakapan ringan ini. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi keras, menarik perhatian
Malam itu terasa begitu dingin di kamar Nadira. Meski lampu redup menerangi ruangannya, pikirannya terus berputar. Kata-kata Arka di gudang pelabuhan tadi siang masih terngiang di telinganya."Aku tahu rencanamu sejak awal."Nadira mengatupkan rahangnya, menatap jendela yang menghadap taman belakang. Jika Arka tahu segalanya, kenapa ia masih membiarkannya bergerak bebas?Pagi Hari: Percakapan dengan Ny. HartawanKeesokan paginya, Nadira memutuskan untuk sarapan lebih awal. Namun, ia tidak menduga akan bertemu dengan Ny. Hartawan di ruang makan. Wanita itu sudah duduk dengan elegan di kursinya, menyisipkan teh dengan ekspresi yang selalu angkuh."Kamu tidak biasanya bangun sepagi ini," kata Ny. Hartawan tanpa melihat Nadira.Nadira mengambil tempat duduknya, mencoba menjaga sikap. "Aku hanya merasa harus memulai hariku lebih cepat. Banyak yang harus aku pelajari tentang perusahaan."Ny. Hartawan tersenyum, tetapi senyuman itu penuh sindiran. "Belajar tentang perusahaan atau mencari kel
Malam itu, Nadira tidak bisa tidur. Berkas yang ia terima dari pria tua tadi terus menghantui pikirannya. Fakta bahwa Arka adalah otak di balik transaksi gelap keluarga Hartawan membuatnya semakin yakin bahwa ia tidak bisa mempercayai siapapun di rumah ini.Namun, Nadira juga sadar, menemui dan menanyakan langsung bukanlah pilihan yang bijak. Ia harus memainkan kartu ini dengan cermat.Pagi itu, suasana di meja makan terasa lebih tenang dibandingkan biasanya. Nadira memutuskan untuk memulai permainan barunya."Arka, aku ingin ikut dalam urusan perusahaan," katanya tiba-tiba saat mereka sarapan.Semua orang di meja menatapnya, termasuk Ny. Hartawan yang langsung mendengus."Apa maksudmu 'ikut dalam urusan perusahaan'?" tanya Ny. Hartawan dengan nada sinis. "Kamu pikir kamu mampu?"Nadira tersenyum, tetap tenang. "Sebagai istri Arka, aku rasa wajar jika aku mulai belajar tentang bisnis keluarga ini. Lagipula, aku ingin menjadi bagian yang aktif, bukan hanya duduk diam di rumah."Arka me
Hari-hari pertama Nadira di keluarga Hartawan adalah ujian ketahanan mental. Keluarga besar ini tidak hanya kaya, tetapi juga penuh rahasia gelap. Nadira menyadari bahwa menjadi bagian dari hidup mereka berarti melangkah di atas ladang ranjau.Malam itu, Nadira memutuskan untuk memulai rencananya. Setelah memastikan semua orang sudah tidur, ia menyelinap keluar dari kamar dan menuju ke ruang kerja Arka.Nadira membuka pintu dengan hati-hati. Ia tahu ruangan ini adalah pusat kekuatan Arka. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran, sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memutar balikkan keadaan.Ia menyalakan lampu kecil di meja kerja, mulai membuka laci-laci. Beberapa dokumen tentang proyek perusahaan, kontrak bisnis, dan peta tanah tergelar di depannya. Tapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah amplop coklat yang diselipkan di bawah dokumen-dokumen itu.Nadira membuka amplop tersebut. Di dalamnya, ada beberapa foto seorang pria yang terlihat akrab di matanya. Pria itu..."Sedang apa kamu
Seminggu setelah pertemuan dingin itu, hari pernikahan pun tiba. Nadira berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun putih yang terlalu mewah untuk seleranya. Riasan di wajahnya yang sempurna, menutupi segala emosi yang bergejolak di dalam hatinya."Semua sudah siap, Nona Nadira," suara Adrian terdengar dari pintu. "Tamu-tamu sudah berkumpul di aula. Tuan Arka sedang menunggu."Nadira mengangguk pelan. "Ayo kita selesaikan ini."Adrian menatap Nadira sebentar, seolah ingin memastikan bahwa wanita itu siap. "Ingat, tetap tenang. Jangan tunjukkan kelemahan di depan mereka.""Saya tahu apa yang harus saya lakukan," jawab Nadira dengan nada tegas.Di Aula Pernikahan yang begitu megah dipenuhi tamu undangan dari kalangan elit. Para sosialita sibuk berbisik-bisik, membicarakan wanita sederhana yang entah bagaimana berhasil menikahi Arka Hartawan, pria paling dingin di kota itu.Saat Nadira melangkah masuk, semua mata tertuju padanya. Tapi dia tidak peduli. Fokusnya hanya satu, yaitu kep
Hujan turun deras malam itu. Jalanan kota yang biasanya ramai, mendadak sunyi, hanya suara gemericik air yang terdengar. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, seorang wanita muda berdiri memandang jendela dengan lamunannya."Nad, udah makan belum?" suara ibunya dari dapur terdengar, mengalihkan lamunan Nadira."Belum, Bu. Lagi nggak nafsu," jawab Nadira lemah.Ibunya muncul dari dapur dengan wajah lelah, membawa sepiring nasi dan lauk sederhana. "Kamu nggak boleh gini terus. Masalah itu udah berlalu. Kita harus kuat."Nadira menoleh perlahan. "Berlalu? Gimana mau berlalu kalau semuanya hancur gara-gara mereka?" Nada suaranya naik, matanya mulai berkaca-kaca.Ibunya terdiam. "Nad, dendam itu nggak akan bikin kita bahagia. Kita harus ikhlas.""Ikhlas? Bu, mereka ambil semua yang kita punya! Papa meninggal gara-gara stres, kita diusir dari rumah sendiri, dan sekarang kita hidup begini. Gimana caranya aku ikhlas?" Nadira membanting pintu kamarnya dan terisak di baliknya.Di dalam kamar