Malam itu terasa begitu dingin di kamar Nadira. Meski lampu redup menerangi ruangannya, pikirannya terus berputar. Kata-kata Arka di gudang pelabuhan tadi siang masih terngiang di telinganya.
"Aku tahu rencanamu sejak awal." Nadira mengatupkan rahangnya, menatap jendela yang menghadap taman belakang. Jika Arka tahu segalanya, kenapa ia masih membiarkannya bergerak bebas? Pagi Hari: Percakapan dengan Ny. Hartawan Keesokan paginya, Nadira memutuskan untuk sarapan lebih awal. Namun, ia tidak menduga akan bertemu dengan Ny. Hartawan di ruang makan. Wanita itu sudah duduk dengan elegan di kursinya, menyisipkan teh dengan ekspresi yang selalu angkuh. "Kamu tidak biasanya bangun sepagi ini," kata Ny. Hartawan tanpa melihat Nadira. Nadira mengambil tempat duduknya, mencoba menjaga sikap. "Aku hanya merasa harus memulai hariku lebih cepat. Banyak yang harus aku pelajari tentang perusahaan." Ny. Hartawan tersenyum, tetapi senyuman itu penuh sindiran. "Belajar tentang perusahaan atau mencari kelemahan? Kamu pikir aku tidak tahu apa yang ada di kepalamu, Nadira?" Nadira menatapnya, terkejut. "Apa maksud Ibu?" Ny. Hartawan meletakkan cangkirnya, menatap Nadira dengan mata tajam. "Aku tahu kamu tidak mencintai Arka. Kamu punya agenda sendiri. Tapi ingat, anakku bukan pria yang mudah dijatuhkan. Jika kamu mencoba mengkhianatinya, kamu akan berurusan denganku." Nadira menahan napas. Meski ia tahu Ny. Hartawan tidak menyukainya sejak awal, ancaman ini terasa lebih serius. "Jangan khawatir, Bu," jawab Nadira dengan nada datar. "Aku tidak akan melakukan apapun yang merugikan keluarga ini. Aku hanya ingin menjadi istri yang baik." Ny. Hartawan terkekeh kecil. "Kita lihat saja sejauh mana kamu bisa berpura-pura, Nadira." Hari itu, Nadira kembali ke kantor Hartawan Corp. Kali ini, ia fokus pada dokumen-dokumen yang diberikan padanya oleh tim manajemen. Meskipun sebagian besar dokumen itu terlihat biasa, instingnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan. Di tengah kesibukannya, Arka masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu. Nadira mendongak, berusaha terlihat tenang meskipun hatinya berdebar. "Kamu kelihatan sibuk," ujar Arka sambil melangkah mendekat. "Aku hanya mencoba memahami bagaimana perusahaan ini bekerja," jawab Nadira. Arka menyeringai. "Kamu tahu, Nadira, kamu bisa belajar dari siapa saja di sini. Tapi kalau kamu ingin tahu bagaimana perusahaan ini benar-benar berjalan, tanyakan langsung padaku." Nadira mendongak, mencoba membaca ekspresi Arka. Apakah ini jebakan? Atau tawaran tulus? "Aku akan melakukannya kalau aku punya pertanyaan," jawab Nadira dengan hati-hati. Arka menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum. "Bagus. Kalau begitu, aku akan menunggumu bertanya." Malam itu, Nadira memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Ia mengakses arsip digital perusahaan menggunakan akses yang ia dapatkan. Selama beberapa jam, ia menyisir dokumen-dokumen lama hingga akhirnya menemukan sesuatu yang mencurigakan: transaksi besar yang dilakukan atas nama perusahaan, tetapi dengan nama penerima yang tidak dikenal. Nadira mencatat semua detailnya, tetapi sebelum ia sempat menutup arsip, pintu ruang kerja kecil itu terbuka. "Sepertinya kamu menemukan sesuatu yang menarik." Suara Arka membuat Nadira terlonjak. Ia berbalik dan menemukan suaminya berdiri di ambang pintu, tangan diselipkan di saku celana. "Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini?" tanya Nadira, mencoba terdengar santai meskipun jantungnya berdegup kencang. "Harusnya aku yang bertanya, Nadira," balas Arka. Ia berjalan mendekat, matanya tertuju pada layar komputer. "Apa yang kamu cari?" Nadira mencoba menutup layar, tetapi Arka lebih cepat. Ia membaca isi dokumen yang terbuka, lalu menatap Nadira dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kamu pintar," ujar Arka akhirnya. "Tapi kamu harus lebih hati-hati. Kalau aku menemukanmu mengorek terlalu dalam, aku mungkin tidak akan sebaik ini." "Kalau begitu, kenapa kamu tidak menghentikanku sekarang?" balas Nadira, menatap Arka dengan keberanian yang dipaksakan. Arka mendekat, berdiri hanya beberapa inci darinya. "Karena aku ingin tahu sejauh mana kamu berani melangkah, Nadira. Dan sejujurnya, aku menikmati melihatmu mencoba." Nadira terdiam, merasa dirinya terperangkap dalam permainan yang semakin rumit. Nadira merasa jantungnya berdentam keras. Arka berdiri begitu dekat, cukup untuk membuat nadinya bergetar bukan hanya karena gugup, tapi karena tatapan tajam yang tidak bisa ia artikan. "Apa maksudmu menikmati ini?" Nadira akhirnya bertanya, mencoba mengalihkan perasaannya yang campur aduk. Arka tersenyum, sebuah senyuman yang tidak memberi rasa nyaman. "Kamu mungkin berpikir kamu sedang mengendalikan permainan ini, Nadira. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal—aku tidak pernah bermain tanpa mengetahui aturan." Nadira menelan ludah. Ia tahu Arka penuh rahasia, tapi cara pria itu menyampaikannya terasa seperti ancaman terselubung. "Kamu bisa mengatakan apa saja, Arka. Tapi kamu tidak tahu seberapa jauh aku bisa melangkah," balas Nadira dengan tegas, mencoba menutupi ketakutannya. Arka mendekat, menyisakan jarak yang hanya beberapa inci di antara mereka. Tangannya bertumpu pada meja di belakang Nadira, memerangkapnya tanpa menyentuh. "Seberapa jauh, Nadira? Coba aku dengar rencanamu." Nadira mengatur napas, tidak ingin terlihat lemah. "Rencanaku? Aku ingin memastikan kebenaran keluar ke permukaan, apapun yang terjadi." Arka terkekeh pelan. "Kebenaran? Kamu yakin kebenaran itu akan menguntungkanmu? Atau kamu hanya ingin membuktikan bahwa aku adalah monster yang kamu yakini?" Nadira membalas tatapannya. "Mungkin kamu benar. Tapi bukankah sudah jelas kalau aku tidak akan menyerah sebelum semuanya terbukti?" Arka mengangguk, seperti mengakui keberanian Nadira. "Kamu menarik, Nadira. Tapi hati-hati, permainan ini bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih dari yang kamu sanggup tangani." Malam semakin larut, dan Nadira akhirnya berhasil keluar dari ruangan itu setelah Arka meninggalkannya dengan senyuman penuh arti. Tapi ia tahu, ini bukan akhir dari perdebatan mereka. Di kamarnya, Nadira kembali memikirkan percakapan tadi. Arka jelas sedang menguji batasnya, mencoba melihat apakah ia akan mundur. Tapi Nadira bukan wanita yang mudah dikalahkan. "Kalau dia pikir aku akan takut, dia salah besar," pikir Nadira sambil menatap langit-langit. Namun, dalam hatinya, sebuah pertanyaan lain muncul. Apa yang sebenarnya diinginkan Arka darinya? Kenapa pria itu terlihat seperti sengaja memberinya ruang untuk menggali lebih jauh, meski ia tahu apa yang sedang Nadira lakukan? Di sisi lain mansion, Arka duduk di ruang kerjanya dengan segelas anggur di tangan. Ia memandangi dokumen di mejanya, tetapi pikirannya tidak bisa lepas dari sosok Nadira. "Dia lebih tangguh daripada yang aku kira," gumamnya pelan. Arka memutar gelas di tangannya, memikirkan langkah selanjutnya. Ia tahu Nadira memiliki tujuan yang jelas, tetapi ia juga tahu bahwa wanita itu mulai terjerat dalam sesuatu yang lebih besar. Hari-hari berikutnya, Nadira mulai menggali lebih dalam. Ia tidak hanya mempelajari dokumen perusahaan, tetapi juga mencoba mencari tahu siapa orang-orang yang bekerja paling dekat dengan Arka. Ia mulai berbicara dengan beberapa karyawan lama, mencari celah yang bisa dimanfaatkan. Namun, setiap langkah yang ia ambil terasa seperti semakin mendekatkan dirinya pada bahaya. Beberapa kali, ia merasa sedang diawasi, tetapi tidak pernah bisa menemukan siapa yang melakukannya. Sementara itu, Arka terus mengawasi dari jauh, memastikan Nadira tidak melangkah terlalu jauh tanpa sepengetahuannya. Beberapa malam kemudian, Nadira memutuskan untuk kembali mengakses arsip digital di kantor, kali ini dengan lebih hati-hati. Namun, saat ia sedang mencatat informasi penting, sebuah suara yang sangat dikenalnya membuat darahnya membeku. "Kamu benar-benar keras kepala, Nadira." Nadira berbalik, menemukan Arka berdiri di ambang pintu, dengan senyuman yang sama seperti sebelumnya. "Aku hanya mencoba memahami suamiku lebih baik," jawab Nadira, mencoba terdengar tenang meskipun jelas ia sedang tertangkap basah. Arka berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya. "Dan cara terbaik untuk memahami suamimu adalah dengan mencuri informasi perusahaan? Kamu benar-benar menarik." Nadira menatapnya, tidak berniat mundur. "Kalau kamu merasa terganggu, kenapa kamu tidak menghentikanku? Kenapa kamu selalu muncul saat aku sudah hampir menemukan sesuatu?" Arka tersenyum, mendekati Nadira dengan langkah lambat. "Karena aku ingin melihat apa yang akan kamu lakukan, Nadira. Aku ingin tahu seberapa jauh kamu berani melangkah sebelum kamu menyadari bahwa kamu sedang bermain di wilayahku." Nadira merasa dirinya terperangkap lagi, tapi kali ini ia tidak ingin membiarkan Arka menang begitu saja. "Kalau ini wilayahmu, kenapa kamu terlihat seperti menikmatinya? Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Arka?" Arka berhenti beberapa langkah darinya, menatapnya dalam-dalam. "Yang aku inginkan, Nadira? Aku ingin kamu sadar bahwa permainan ini bukan hanya tentang balas dendammu. Ini tentang kita berdua." Nadira tercengang. Kata-kata Arka terdengar ambigu, tapi cukup untuk membuatnya kembali mempertanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi di antara mereka.Pagi itu, Nadira bangun dengan perasaan resah. Pikirannya terus memutar ulang percakapannya dengan Arka semalam. Kata-kata pria itu seperti teka-teki yang terus menghantuinya."Permainan ini bukan hanya tentang balas dendammu. Ini tentang kita berdua."Apa maksud Arka sebenarnya? Nadira tahu ia harus tetap fokus pada tujuannya, tapi semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin sulit rasanya mengabaikan tatapan Arka yang seolah menelanjangi semua rencananya.Di ruang makan, Nadira menemukan Ny. Hartawan sudah duduk, ditemani Arka yang tampak santai membaca koran pagi. Nadira berusaha menenangkan dirinya sebelum mengambil tempat duduk."Selamat pagi," sapa Nadira, mencoba bersikap biasa.Ny. Hartawan hanya mengangguk, sedangkan Arka meliriknya dengan senyuman kecil. "Tidur nyenyak, Nadira?" tanyanya dengan nada menggoda."Tentu saja," jawab Nadira singkat.Namun, Ny. Hartawan tampak tidak sabar dengan percakapan ringan ini. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi keras, menarik perhatian
Hujan turun deras malam itu. Jalanan kota yang biasanya ramai, mendadak sunyi, hanya suara gemericik air yang terdengar. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, seorang wanita muda berdiri memandang jendela dengan lamunannya."Nad, udah makan belum?" suara ibunya dari dapur terdengar, mengalihkan lamunan Nadira."Belum, Bu. Lagi nggak nafsu," jawab Nadira lemah.Ibunya muncul dari dapur dengan wajah lelah, membawa sepiring nasi dan lauk sederhana. "Kamu nggak boleh gini terus. Masalah itu udah berlalu. Kita harus kuat."Nadira menoleh perlahan. "Berlalu? Gimana mau berlalu kalau semuanya hancur gara-gara mereka?" Nada suaranya naik, matanya mulai berkaca-kaca.Ibunya terdiam. "Nad, dendam itu nggak akan bikin kita bahagia. Kita harus ikhlas.""Ikhlas? Bu, mereka ambil semua yang kita punya! Papa meninggal gara-gara stres, kita diusir dari rumah sendiri, dan sekarang kita hidup begini. Gimana caranya aku ikhlas?" Nadira membanting pintu kamarnya dan terisak di baliknya.Di dalam kamar
Seminggu setelah pertemuan dingin itu, hari pernikahan pun tiba. Nadira berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun putih yang terlalu mewah untuk seleranya. Riasan di wajahnya yang sempurna, menutupi segala emosi yang bergejolak di dalam hatinya."Semua sudah siap, Nona Nadira," suara Adrian terdengar dari pintu. "Tamu-tamu sudah berkumpul di aula. Tuan Arka sedang menunggu."Nadira mengangguk pelan. "Ayo kita selesaikan ini."Adrian menatap Nadira sebentar, seolah ingin memastikan bahwa wanita itu siap. "Ingat, tetap tenang. Jangan tunjukkan kelemahan di depan mereka.""Saya tahu apa yang harus saya lakukan," jawab Nadira dengan nada tegas.Di Aula Pernikahan yang begitu megah dipenuhi tamu undangan dari kalangan elit. Para sosialita sibuk berbisik-bisik, membicarakan wanita sederhana yang entah bagaimana berhasil menikahi Arka Hartawan, pria paling dingin di kota itu.Saat Nadira melangkah masuk, semua mata tertuju padanya. Tapi dia tidak peduli. Fokusnya hanya satu, yaitu kep
Hari-hari pertama Nadira di keluarga Hartawan adalah ujian ketahanan mental. Keluarga besar ini tidak hanya kaya, tetapi juga penuh rahasia gelap. Nadira menyadari bahwa menjadi bagian dari hidup mereka berarti melangkah di atas ladang ranjau.Malam itu, Nadira memutuskan untuk memulai rencananya. Setelah memastikan semua orang sudah tidur, ia menyelinap keluar dari kamar dan menuju ke ruang kerja Arka.Nadira membuka pintu dengan hati-hati. Ia tahu ruangan ini adalah pusat kekuatan Arka. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran, sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memutar balikkan keadaan.Ia menyalakan lampu kecil di meja kerja, mulai membuka laci-laci. Beberapa dokumen tentang proyek perusahaan, kontrak bisnis, dan peta tanah tergelar di depannya. Tapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah amplop coklat yang diselipkan di bawah dokumen-dokumen itu.Nadira membuka amplop tersebut. Di dalamnya, ada beberapa foto seorang pria yang terlihat akrab di matanya. Pria itu..."Sedang apa kamu
Malam itu, Nadira tidak bisa tidur. Berkas yang ia terima dari pria tua tadi terus menghantui pikirannya. Fakta bahwa Arka adalah otak di balik transaksi gelap keluarga Hartawan membuatnya semakin yakin bahwa ia tidak bisa mempercayai siapapun di rumah ini.Namun, Nadira juga sadar, menemui dan menanyakan langsung bukanlah pilihan yang bijak. Ia harus memainkan kartu ini dengan cermat.Pagi itu, suasana di meja makan terasa lebih tenang dibandingkan biasanya. Nadira memutuskan untuk memulai permainan barunya."Arka, aku ingin ikut dalam urusan perusahaan," katanya tiba-tiba saat mereka sarapan.Semua orang di meja menatapnya, termasuk Ny. Hartawan yang langsung mendengus."Apa maksudmu 'ikut dalam urusan perusahaan'?" tanya Ny. Hartawan dengan nada sinis. "Kamu pikir kamu mampu?"Nadira tersenyum, tetap tenang. "Sebagai istri Arka, aku rasa wajar jika aku mulai belajar tentang bisnis keluarga ini. Lagipula, aku ingin menjadi bagian yang aktif, bukan hanya duduk diam di rumah."Arka me
Pagi itu, Nadira bangun dengan perasaan resah. Pikirannya terus memutar ulang percakapannya dengan Arka semalam. Kata-kata pria itu seperti teka-teki yang terus menghantuinya."Permainan ini bukan hanya tentang balas dendammu. Ini tentang kita berdua."Apa maksud Arka sebenarnya? Nadira tahu ia harus tetap fokus pada tujuannya, tapi semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin sulit rasanya mengabaikan tatapan Arka yang seolah menelanjangi semua rencananya.Di ruang makan, Nadira menemukan Ny. Hartawan sudah duduk, ditemani Arka yang tampak santai membaca koran pagi. Nadira berusaha menenangkan dirinya sebelum mengambil tempat duduk."Selamat pagi," sapa Nadira, mencoba bersikap biasa.Ny. Hartawan hanya mengangguk, sedangkan Arka meliriknya dengan senyuman kecil. "Tidur nyenyak, Nadira?" tanyanya dengan nada menggoda."Tentu saja," jawab Nadira singkat.Namun, Ny. Hartawan tampak tidak sabar dengan percakapan ringan ini. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi keras, menarik perhatian
Malam itu terasa begitu dingin di kamar Nadira. Meski lampu redup menerangi ruangannya, pikirannya terus berputar. Kata-kata Arka di gudang pelabuhan tadi siang masih terngiang di telinganya."Aku tahu rencanamu sejak awal."Nadira mengatupkan rahangnya, menatap jendela yang menghadap taman belakang. Jika Arka tahu segalanya, kenapa ia masih membiarkannya bergerak bebas?Pagi Hari: Percakapan dengan Ny. HartawanKeesokan paginya, Nadira memutuskan untuk sarapan lebih awal. Namun, ia tidak menduga akan bertemu dengan Ny. Hartawan di ruang makan. Wanita itu sudah duduk dengan elegan di kursinya, menyisipkan teh dengan ekspresi yang selalu angkuh."Kamu tidak biasanya bangun sepagi ini," kata Ny. Hartawan tanpa melihat Nadira.Nadira mengambil tempat duduknya, mencoba menjaga sikap. "Aku hanya merasa harus memulai hariku lebih cepat. Banyak yang harus aku pelajari tentang perusahaan."Ny. Hartawan tersenyum, tetapi senyuman itu penuh sindiran. "Belajar tentang perusahaan atau mencari kel
Malam itu, Nadira tidak bisa tidur. Berkas yang ia terima dari pria tua tadi terus menghantui pikirannya. Fakta bahwa Arka adalah otak di balik transaksi gelap keluarga Hartawan membuatnya semakin yakin bahwa ia tidak bisa mempercayai siapapun di rumah ini.Namun, Nadira juga sadar, menemui dan menanyakan langsung bukanlah pilihan yang bijak. Ia harus memainkan kartu ini dengan cermat.Pagi itu, suasana di meja makan terasa lebih tenang dibandingkan biasanya. Nadira memutuskan untuk memulai permainan barunya."Arka, aku ingin ikut dalam urusan perusahaan," katanya tiba-tiba saat mereka sarapan.Semua orang di meja menatapnya, termasuk Ny. Hartawan yang langsung mendengus."Apa maksudmu 'ikut dalam urusan perusahaan'?" tanya Ny. Hartawan dengan nada sinis. "Kamu pikir kamu mampu?"Nadira tersenyum, tetap tenang. "Sebagai istri Arka, aku rasa wajar jika aku mulai belajar tentang bisnis keluarga ini. Lagipula, aku ingin menjadi bagian yang aktif, bukan hanya duduk diam di rumah."Arka me
Hari-hari pertama Nadira di keluarga Hartawan adalah ujian ketahanan mental. Keluarga besar ini tidak hanya kaya, tetapi juga penuh rahasia gelap. Nadira menyadari bahwa menjadi bagian dari hidup mereka berarti melangkah di atas ladang ranjau.Malam itu, Nadira memutuskan untuk memulai rencananya. Setelah memastikan semua orang sudah tidur, ia menyelinap keluar dari kamar dan menuju ke ruang kerja Arka.Nadira membuka pintu dengan hati-hati. Ia tahu ruangan ini adalah pusat kekuatan Arka. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran, sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memutar balikkan keadaan.Ia menyalakan lampu kecil di meja kerja, mulai membuka laci-laci. Beberapa dokumen tentang proyek perusahaan, kontrak bisnis, dan peta tanah tergelar di depannya. Tapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah amplop coklat yang diselipkan di bawah dokumen-dokumen itu.Nadira membuka amplop tersebut. Di dalamnya, ada beberapa foto seorang pria yang terlihat akrab di matanya. Pria itu..."Sedang apa kamu
Seminggu setelah pertemuan dingin itu, hari pernikahan pun tiba. Nadira berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun putih yang terlalu mewah untuk seleranya. Riasan di wajahnya yang sempurna, menutupi segala emosi yang bergejolak di dalam hatinya."Semua sudah siap, Nona Nadira," suara Adrian terdengar dari pintu. "Tamu-tamu sudah berkumpul di aula. Tuan Arka sedang menunggu."Nadira mengangguk pelan. "Ayo kita selesaikan ini."Adrian menatap Nadira sebentar, seolah ingin memastikan bahwa wanita itu siap. "Ingat, tetap tenang. Jangan tunjukkan kelemahan di depan mereka.""Saya tahu apa yang harus saya lakukan," jawab Nadira dengan nada tegas.Di Aula Pernikahan yang begitu megah dipenuhi tamu undangan dari kalangan elit. Para sosialita sibuk berbisik-bisik, membicarakan wanita sederhana yang entah bagaimana berhasil menikahi Arka Hartawan, pria paling dingin di kota itu.Saat Nadira melangkah masuk, semua mata tertuju padanya. Tapi dia tidak peduli. Fokusnya hanya satu, yaitu kep
Hujan turun deras malam itu. Jalanan kota yang biasanya ramai, mendadak sunyi, hanya suara gemericik air yang terdengar. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, seorang wanita muda berdiri memandang jendela dengan lamunannya."Nad, udah makan belum?" suara ibunya dari dapur terdengar, mengalihkan lamunan Nadira."Belum, Bu. Lagi nggak nafsu," jawab Nadira lemah.Ibunya muncul dari dapur dengan wajah lelah, membawa sepiring nasi dan lauk sederhana. "Kamu nggak boleh gini terus. Masalah itu udah berlalu. Kita harus kuat."Nadira menoleh perlahan. "Berlalu? Gimana mau berlalu kalau semuanya hancur gara-gara mereka?" Nada suaranya naik, matanya mulai berkaca-kaca.Ibunya terdiam. "Nad, dendam itu nggak akan bikin kita bahagia. Kita harus ikhlas.""Ikhlas? Bu, mereka ambil semua yang kita punya! Papa meninggal gara-gara stres, kita diusir dari rumah sendiri, dan sekarang kita hidup begini. Gimana caranya aku ikhlas?" Nadira membanting pintu kamarnya dan terisak di baliknya.Di dalam kamar