Eve menyesap sedikit tehnya. Dia mencoba mengacuhkan 4 pasang mata yang tengah memandangnya seakan menunggu sesuatu. Rasanya memang tidak nyaman, tetapi dia juga tidak mungkin kabur dari tempatnya kini duduk.
Eve belum menghitung 2 pasang mata lainnya yang tidak sedang memandangnya sekarang. Sepasang mata bengkak yang menunduk dan sepasang mata yang menengok ke arah lain sambil melipat tangannya di dada. Eve mengenal mereka semua.
“Kita harus bicara 4 mata,” kata Erick. Dia terbiasa mengajak Eve bicara empat mata sebelum memutuskan sesuatu yang besar. Masalah ini sudah mereka bahas sebelumnya, kemarin malam, tetapi Erick ingin memastikan apakah anaknya itu masih belum berubah pikiran.
“Ini tidak akan makan waktu lama, Aksa,” kata Erick pada seorang pria yang seumuran dengannya. Pria itu mengangguk pada Erick lalu membalas anggukan kepala Eve yang penuh hormat padanya.
“Pergilah. Kami akan menunggu di sini.” Aksa kembali memundurkan punggungnya untuk bersandar pada kursinya. Tangannya menggenggam tangan Diana, istrinya, untuk membuat dirinya sendiri tenang.
“Iya, Pa.” Eve mengangguk lalu bangkit berdiri mengikuti Erick yang berjalan di depannya menuju ke ruang kerja Erick.
Ruang kerja Erick sebenarnya bisa dibilang ruang kerja Eve juga karena Eve memang yang banyak mengerjakan urusan perusahaan di ruangan itu. Ruang kerja Erick yang sangat luas itu dipenuhi dengan buku dan berbagai perabotan dari kayu jati asli.
Eve duduk dengan tenang di sofa ruang kerja Erick. Matanya menatap lurus ke depan seakan sudah mengerti apa yang akan dikatakan ayahnya. Gaun merah muda yang dipakainya membuat Eve terlihat seperti gadis remaja.
“Apa yang Papa mau aku lakukan?”
“Ikuti rencana semula. Perubahan hanya pada adanya perjanjian pra-nikah.”
“Iya, Pa.”
Eve memang setuju dengan ayahnya, seperti biasanya. Bisa dibilang cara berpikir mereka mirip, menghadapi masalah dengan memikirkan efek jangka panjang. Efek jangka panjang ini yang sering terlupakan.
Erick memandang putrinya yang mengangguk dengan wajah datar itu. Eve memang jarang menunjukkan ekspresi apapun, terutama di hadapannya, dan jarang protes dengan keputusan yang dibuatnya. Anak itu seakan mengerti posisinya di dalam keluarga Daveno. Tanggung jawabnya yang besar membuatnya harus membereskan kekacauan yang dibuat oleh adik-adiknya.
“Dua tahun, cukup?”
“Papa rasa cukup.”
“Hak asuh di tangan siapa?”
“Kita, Daveno. Aku tidak mau kerja kerasmu sia-sia.”
“Mereka akan menolak.”
“Mungkin pada awalnya. Mereka toh punya cucu dari Darrren jadi ini bukan cucu pertama mereka. Tetapi mereka perlu mempertimbangkan masalah lain, daripada mereka kehilangan cucu. Jalani ini mungkin jalan terbaik yang bisa mereka tempuh menghadapi Aze yang terus-terusan mau menggugurkan kandungannya. Lagipula anak mereka itu juga tidak kalah bersalahnya!”
“Anak ini akan menggunakan nama keluarga mereka, Wongso.”
“Papa tidak keberatan dengan itu. Kita memiliki hubungan yang dekat dengan mereka.”
“Jadi perjanjian harus dibuat sejelas-jelasnya supaya tidak ada perpecahan dengan mereka.”
“Papa tidak mau nenekmu marah besar, Eve.”
Keluarga Wongso dan Daveno bisa dibilang memiliki ikatan persahabatan yang cukup lama dimulai dari ibu Erick dengan ayah Aksa. Hubungan ini berlanjut ke bisnis dan menurun pada anak-anak mereka. Akhirnya keinginan generasi pertama untuk mengeratkan hubungan pertemanan mereka ke dalam sebuah ikatan keluarga dengan perkawinan bisa terwujud, cucu-cucu mereka akan menikah. Meskipun langkah menuju ke pernikahan itu tidak sepenuhnya sesuai dengan rencana semula.
“Aku urus perjanjian pranikah, Papa yang negosiasi dengan mereka. Boleh?” tanya Eve. Meskipun dikatakan dengan nada bertanya, Erick bisa mendengar nada perintah di sana, tetapi dia tidak peduli, Eve memang benar.
“Tentu,” sahut Erick. Urusan keluarga memang seharusnya antar orang tua. Eve sudah cukup tangguh untuk menerima semua keputusan yang tentu tidak terasa adil ini.
“Aku nggak mau anak ini! Nggak mau,” kata Aze sambil menangis di lantai ruang keluarga rumah Daveno. Rita yang awalnya akan mengajak Aze berdiri pun mengurungkan niatnya melihat pandangan mata Eve.“Kalau tidak ada darah Wongso di situ, kamu bebas berbuat apapun,” sahut Aksa dengan dingin. Telinganya berdengung sejak tadi mendengarkan rengekan dan tangisan itu.“Aku takut jadi gemuk dan jelek,” bisik Aze pada Eve yang berjongkok tepat di sampingnya. Eve sebenarnya tidak ingin membujuk Aze tetapi dia merasa lebih baik dia yang bicara dengan Aze daripada ibunya. Kebanyakan pembicaraan itu akan berakhir dengan tangisan Rita, ibu mereka.“Kalau aku jadi kamu, aku lebih takut pada mereka,” balas Eve sambil mengarahkan matanya pada Keluarga Wongso.“Eve!” bentak Aze lirih. Dia tidak berani bersuara nyaring di sini, ayahnya itu begitu menakutkan. Mau tidak mau matanya memandang ketiga anggota Keluarga W
1 bulan kemudian.4 Maret 2018.Pesta pernikahan Dexter dan Eve diadakan sesuai jadwal yang telah direncanakan. Pesta meriah dan megah yang memang sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari membuat Eve menarik napas panjang. Ini baru awal saja.Dexter memasuki ruangan calon pengantin wanita dengan langkah cepat, tidak peduli pandangan orang padanya. Dia tidak percaya mitos tidak boleh melihat pengantin wanita sebelum waktunya, tidak ada yang namanya nasib buruk, toh nasibnya tidak akan lebih buruk daripada sekarang.Eve bisa melihat bayangan Dexter di cermin meja riasnya. Dia menyuruh tiga orang MUA yang ditugaskan meriasnya untuk meninggalkan ruangan pengantin wanita. Pembicaraan ini seharusnya tidak didengar oleh siapapun kecuali mereka berdua.Dexter memang tampak seperti orang yang tidak tenang. Meskipun Eve harus mengakui dia tampak tampan dalam balutan tuxedo hitam yang baru sekarang dilihat Eve. Tuxedo itu membuat Dexter tampak kelam, itulah car
Dexter kesal, sangat kesal. Apa Eve tidak punya perasaan? Dia tahu benar Eve pasti punya otak, sangat encer malahan, ayahnya dan calon ayah mertuanya yang suka mengobrol tentang bisnis selalu menyelipkan nama Eve di dalamnya.Jadi kalau dia tidak bodoh pasti dia tidak punya perasaan. Perasaan marah, kesal atau sedih mungkin, semua perasaan yang selayaknya muncul setelah insiden kehamilan Aze. Tetapi Dexter tidak pernah melihatnya, tidak setitik pun Eve menunjukkannya. Wajahnya malah terlalu tenang membuat Dexter tidak enak dan mungkin merasa makin bersalah.Dia merasa lebih baik jika Eve bersikap norak atau kasar sedikit, misalnya menampar, memukul atau menendangnya, tindak kekerasan apapun akan terlihat normal dalam situasi itu. Bisakah Eve menangis saja dan berkata pada ayahnya kalau ini tidak adil? Bukan Eve yang berbuat kenapa dia yang harus bertanggung jawab.Dexter juga tidak ingin menikah dengan Aze, tingkahnya terlalu kekanak-kanakan. Aze hanya menarik u
Keesokan harinya Aze berangkat ke Singapura bersama dengan Evita Daveno, nenek Aze dan Eve. Kehamilan Aze yang mencapai bulan keempat akan makin kelihatan dan bisa menjadi santapan media. Dia hanya harus hadir di acara pernikahan Eve dan Dexter agar tidak ada kabar miring tentang itu, selanjutnya dia harus segera menyembunyikan diri.Evita sendiri ingin menemui Eve secara pribadi agak lama, tetapi itu gagal dilakukannya. Dia bertemu hanya sepintas sebelum Eve memulai rangkaian upacara pernikahannya. Mereka hanya bisa berpelukan sebentar dan Evita mengatakan betapa cantiknya Eve hari itu. Senyuman Eve hampir membuat Evita menangis. Tak lama kemudian, Eve berlalu dan Evita tidak ingin mengganggunya karena cucunya itu terlihat sibuk.Jika Evita tidak mengenal Eve dengan begitu baiknya, dia pasti mengira Eve sangat bahagia seperti tamu-tamu undangan lainnya. Evita masih bisa mendengar bisikan tamu-tamu itu satu sama lain, “Lihatlah mereka sangat serasi dan kelihatan
“Oma, aku mau lihat taman belakang,” kata Eve sambil menggandeng Evita. Dexter sudah tidak terlihat lagi di antara mereka.Jika ditanya apakah ada tempat favorit buat Eve, itu adalah taman belakang. Dengan tembok yang tidak terlalu tinggi, mereka masih bisa melihat orang yang berlalu lalang. Tanaman yang menjuntai menghiasi pinggiran tembok itu, bunga-bunga beraneka warna dan berbagai macam tanaman membuatnya tampak seperti area pegunungan yang indah. Air terjun mungil yang menghiasi kolam ikan membuat taman itu terlihat sejuk.“Oma tidak mengubah taman ini sama sekali!” seru Eve. Matanya memandangi taman itu dengan wajah gembira. Dia merindukan taman itu, sederhana tetapi menenangkan jiwanya.“Tidak akan, Lin, apapun yang terjadi. Karena kamu menyukainya.”“Oma yang paling hebat.”Mereka duduk di meja bulat di taman itu. Dua buah cangkir yang berisi teh hangat itu telah siap di hadapan mereka. Eve me
Setelah masuk ke kamar yang disediakan untuknya, Dexter melihat lemari kosong dan hanya kopernya yang ada di sana. Dia mengerti bahwa kamarnya dan Eve terpisah. Itu lebih baik, Dexter merasa tidak nyaman sekamar dengan Gunung Es.Dia meminta pelayan menunjukkan di mana kamar Eve. Dia masuk ke kamar itu tanpa ragu, meskipun tidak mengetahui tujuannya sendiri. Eve tidak ada di kamarnya, mungkin belum selesai melepas rindu pada neneknya.Dexter berjalan perlahan memasuki kamar Eve, mengitari kamar Eve dengan pandangan matanya. Kamar Eve sepertinya sedikit lebih besar daripada kamar yang ditempati Dexter. Ada sebuah ruangan lain, sepertinya ruangan kerja Eve melihat dari isi perabotannya.Lalu matanya tertuju pada pemandangan taman belakang dari jendela kamar Eve. Jendela itu hampir setinggi tubuh Dexter dengan lebar sekitar 4 meter. Posisi jendela itu berhadapan dengan ranjang Eve yang luas, membuat siapapun yang tidur di atas ranjang akan bisa melihat pemandangan
“Ngapain kamu di sini?! Keluar! Keluar!”Eve mendengar suara teriakan dari kamar Aze di saat dia sudah hampir terlelap di kasurnya yang nyaman. Eve cepat-cepat bangkit, padahal tubuhnya sangat capek malam ini dan besok adalah hari pertamanya bekerja. Dia berjalan secepat mungkin ke kamar Aze sebelum pelayan datang.“Kamu laki-laki brengsek! Aku ajak kamu temani aku buang anak ini! Malahan kamu lapor ke yang lain! Aku benci kamu!”Eve masuk ke kamar Aze yang pintunya tidak tertutup rapat itu dan segera menutup pintunya sebelum pelayan ikut masuk ke dalam. Aze selalu berteriak untuk meminta sesuatu seakan suaranya menguasai rumah itu, pelayan akan segera berlari mengambilkan apapun permintaan Aze. Malam ini Eve berharap pelayan tidak berbuat demikian.Eve menoleh ke sebelah kanan. Dia melihat Dexter duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Siku tangannya bertumpu pada lutut kakinya. Wajahnya terbenam dalam cakupan tangannya sendiri. Eve
Eve menutup pintu pelan-pelan dan berjalan kembali ke kamarnya. Dia melihat neneknya duduk di sofa ruang keluarga. Dia menghampiri neneknya yang terlihat menunggunya.“Manjanya tidak pernah bisa hilang,” kata Evita. Eve duduk di sebelah Evita.“Oma bangun karena teriakan itu?”“Oh, jangan kuatir. Percayalah, Oma sudah terbiasa semenjak dia tinggal di sini. Kalau dia bukan cucuku, sudah aku suruh tidur di halaman depan supaya tidak mengganggu orang lain beristirahat,” kata Evita terkekeh. Eve ikut tertawa, neneknya itu terlalu terang-terangan.“Ayo, Oma tidur lagi!” Eve mengantar Evita ke depan kamarnya. Mengecup pipi neneknya lalu berlalu ke kamarnya sendiri.Eve terkejut melihat ada sosok lain yang tidur di sisi ranjangnya. Eve memang terbiasa tidur pada satu sisi ranjang saja dan tidak berpindah-pindah hingga pagi. Evita menjuluki Eve “tukang tidur yang jinak”.“Baiklah, aku