4 Maret 2020
Eve sedang duduk di meja riasnya. Lelah, itu yang dirasakannya. Senang, itu perasaannya. Seorang wanita muda berdiri di belakang Eve dan tersenyum.
“Kamu cantik, Eve.”
“Terima kasih. Perut ini makin berat dan aku makin sering lelah, Aze.” Kandungan Eve sudah menginjak usia 5 bulan.
Aze mengangguk. Dia juga ingat betapa besar perutnya saat itu, hampir2 tahun lalu. Eve yang jarang mengeluh juga akhirnya meloloskan keluhan juga, tidak salah, menjadi wanita hamil itu tidak mudah. Seingat Aze, hanya Eve yang selalu ada bersamanya, meredakan semua keluhannya, melakukan semua keinginannya, tentu dengan syarat-syarat, Eve memang selalu licik begitu.
“Pesta memang merepotkan untuk wanita hamil,”sahut Aze.
“Lebih enak berkeliling mall?” tanya Eve sambil tersenyum. Aze tertawa lirih dan mengangguk.
Mereka akan segera menghadiri pesta perayaan perkawinan Dexter dan Eve yang kedua. Eve keberatan sebenarnya, perutnya yang makin
Terima kasih sudah membaca novel ini. Semoga kalian suka. Sebenarnya ini bisa dibilang ekstra part juga mengingat semua skandal sudah terbuka. tetapi rasanya tidak fair kalau masih ada cerita yang mengambang, misalnya tentang Aze dan Maria. Akhirnya aku putuskan ini menjadi bab selanjutnya. Hug and kiss, Josie.
Eve membuka kotak berpita seukuran kotak gaun di hadapannya itu saat pesta usai 30 menit yang lalu. Semua tamu sudah pulang meninggalkan tuan rumah dalam kelelahan dan kebahagiaan. Kotak berwarna perak itu adalah kado pemberian Dexter sebagai ucapan terima kasihnya sudah menemani hidupnya dalam 2 tahun ini. Itu waktu yang singkat, tetapi mengingat mereka memiliki sejarah percintaan yang cukup panjang, rasanya ini juga hadiahnya atas masuknya Eve kembali dalam relung hatinya dan kesediaan wanita itu kembali ke dalam hidupnya. Dexter sebenarnya sedang memperhatikan Eve yang memegang dan membuka kotak itu dengan perlahan seakan waktu berjalan dengan sangat lambat. Tetapi memang dia harus bersabar seperti Eve bersabar menghadapi dirinya dulu. Eve mengeluarkan kertas yang berada dalam balutan plastik yang membungkusnya, menjaga rapuhnya kertas itu. “Kamu seorang Wongso, Love.” Kertas yang mengubah nama Eve dengan tambahan nama Wongso di belakangnya sudah a
Angin semilir di taman samping membuat Eve membetulkan roknya yang sedikit berkibar. Pinggiran rok itu dia selipkan di bawah pahanya yang sedang berada di atas kursi taman dari batu yang berbentuk kursi. Beberapa daun tampak berjatuhan, membuat rumputnya yang kehijauan berbercak kekuningan. Bunga-bunga di saat-saat seperti ini juga tumbuh bermekaran meskipun kebanyakan di antaranya selalu ada yang mekar tanpa mengenal waktu sepanjang tahun. Semalam hujan jadi tanah masih terlihat sedikit basah pagi ini dengan cuaca yang cukup hangat. Eve lebih suka cuaca lebih dingin dari ini karena dia juga malas kulitnya yang terlalu putih itu terasa seperti tersengat berada di bawah terik sinar matahari. Namun demi untuk menjemur Raven, dia rela membiarkan kulitnya terkena sinar matahari pukul 8 pagi yang katanya menyehatkan. Tanaman di taman ini semakin banyak dari hari ke hari. Maria terus saja menambahkan tanaman-tanaman hias dan berbagai macam bunga setiap kali d
“Kamu sudah mendapat 4 bulan cutimu, Eve. Kapan mau mulai kerja sungguhan?” tanya Erick. Sejak kehamilan Eve menginjak 8 bulan sampai Raven berusia 3 bulan, Eve mengerjakan semuanya dari rumah, kadang datang untuk rapat-rapat atau urusan penting lainnya, mungkin hanya 2-3 kali dalam seminggu. Tetapi Erick harus mengakui semua berjalan lancar di tangan Eve, seperti biasanya, tanpa cela. “Papa harus mulai memberikan Rana tanggung jawab yang lebih besar.” Adik lelaki Eve sudah datang dari Amerika Serikat 6 bulan yang lalu dan Eve mengajarinya dengan telaten. Rana juga bukannya tidak berpengalaman karena dia juga bekerja di sebuah perusahaan rekanan Angkasa Wongso di New York sembari menyelesaikan kuliah S2-nya. Eve hanya memperkenalkan aturan dan cara kerja mereka di Asterix Grup karena Asterix lebih besar dan lebih luas. “Aku akan berikan, tetapi jabatanmu tetap sama, tidak bisa diisi orang lain. Makanya lahirkan anak lagi supaya keluarga kita akan makin besar.
Eve menyesap sedikit tehnya. Dia mencoba mengacuhkan 4 pasang mata yang tengah memandangnya seakan menunggu sesuatu. Rasanya memang tidak nyaman, tetapi dia juga tidak mungkin kabur dari tempatnya kini duduk.Eve belum menghitung 2 pasang mata lainnya yang tidak sedang memandangnya sekarang. Sepasang mata bengkak yang menunduk dan sepasang mata yang menengok ke arah lain sambil melipat tangannya di dada. Eve mengenal mereka semua.“Kita harus bicara 4 mata,” kata Erick. Dia terbiasa mengajak Eve bicara empat mata sebelum memutuskan sesuatu yang besar. Masalah ini sudah mereka bahas sebelumnya, kemarin malam, tetapi Erick ingin memastikan apakah anaknya itu masih belum berubah pikiran.“Ini tidak akan makan waktu lama, Aksa,” kata Erick pada seorang pria yang seumuran dengannya. Pria itu mengangguk pada Erick lalu membalas anggukan kepala Eve yang penuh hormat padanya.“Pergilah. Kami akan menunggu di sini.” Aksa kembali
“Aku nggak mau anak ini! Nggak mau,” kata Aze sambil menangis di lantai ruang keluarga rumah Daveno. Rita yang awalnya akan mengajak Aze berdiri pun mengurungkan niatnya melihat pandangan mata Eve.“Kalau tidak ada darah Wongso di situ, kamu bebas berbuat apapun,” sahut Aksa dengan dingin. Telinganya berdengung sejak tadi mendengarkan rengekan dan tangisan itu.“Aku takut jadi gemuk dan jelek,” bisik Aze pada Eve yang berjongkok tepat di sampingnya. Eve sebenarnya tidak ingin membujuk Aze tetapi dia merasa lebih baik dia yang bicara dengan Aze daripada ibunya. Kebanyakan pembicaraan itu akan berakhir dengan tangisan Rita, ibu mereka.“Kalau aku jadi kamu, aku lebih takut pada mereka,” balas Eve sambil mengarahkan matanya pada Keluarga Wongso.“Eve!” bentak Aze lirih. Dia tidak berani bersuara nyaring di sini, ayahnya itu begitu menakutkan. Mau tidak mau matanya memandang ketiga anggota Keluarga W
1 bulan kemudian.4 Maret 2018.Pesta pernikahan Dexter dan Eve diadakan sesuai jadwal yang telah direncanakan. Pesta meriah dan megah yang memang sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari membuat Eve menarik napas panjang. Ini baru awal saja.Dexter memasuki ruangan calon pengantin wanita dengan langkah cepat, tidak peduli pandangan orang padanya. Dia tidak percaya mitos tidak boleh melihat pengantin wanita sebelum waktunya, tidak ada yang namanya nasib buruk, toh nasibnya tidak akan lebih buruk daripada sekarang.Eve bisa melihat bayangan Dexter di cermin meja riasnya. Dia menyuruh tiga orang MUA yang ditugaskan meriasnya untuk meninggalkan ruangan pengantin wanita. Pembicaraan ini seharusnya tidak didengar oleh siapapun kecuali mereka berdua.Dexter memang tampak seperti orang yang tidak tenang. Meskipun Eve harus mengakui dia tampak tampan dalam balutan tuxedo hitam yang baru sekarang dilihat Eve. Tuxedo itu membuat Dexter tampak kelam, itulah car
Dexter kesal, sangat kesal. Apa Eve tidak punya perasaan? Dia tahu benar Eve pasti punya otak, sangat encer malahan, ayahnya dan calon ayah mertuanya yang suka mengobrol tentang bisnis selalu menyelipkan nama Eve di dalamnya.Jadi kalau dia tidak bodoh pasti dia tidak punya perasaan. Perasaan marah, kesal atau sedih mungkin, semua perasaan yang selayaknya muncul setelah insiden kehamilan Aze. Tetapi Dexter tidak pernah melihatnya, tidak setitik pun Eve menunjukkannya. Wajahnya malah terlalu tenang membuat Dexter tidak enak dan mungkin merasa makin bersalah.Dia merasa lebih baik jika Eve bersikap norak atau kasar sedikit, misalnya menampar, memukul atau menendangnya, tindak kekerasan apapun akan terlihat normal dalam situasi itu. Bisakah Eve menangis saja dan berkata pada ayahnya kalau ini tidak adil? Bukan Eve yang berbuat kenapa dia yang harus bertanggung jawab.Dexter juga tidak ingin menikah dengan Aze, tingkahnya terlalu kekanak-kanakan. Aze hanya menarik u
Keesokan harinya Aze berangkat ke Singapura bersama dengan Evita Daveno, nenek Aze dan Eve. Kehamilan Aze yang mencapai bulan keempat akan makin kelihatan dan bisa menjadi santapan media. Dia hanya harus hadir di acara pernikahan Eve dan Dexter agar tidak ada kabar miring tentang itu, selanjutnya dia harus segera menyembunyikan diri.Evita sendiri ingin menemui Eve secara pribadi agak lama, tetapi itu gagal dilakukannya. Dia bertemu hanya sepintas sebelum Eve memulai rangkaian upacara pernikahannya. Mereka hanya bisa berpelukan sebentar dan Evita mengatakan betapa cantiknya Eve hari itu. Senyuman Eve hampir membuat Evita menangis. Tak lama kemudian, Eve berlalu dan Evita tidak ingin mengganggunya karena cucunya itu terlihat sibuk.Jika Evita tidak mengenal Eve dengan begitu baiknya, dia pasti mengira Eve sangat bahagia seperti tamu-tamu undangan lainnya. Evita masih bisa mendengar bisikan tamu-tamu itu satu sama lain, “Lihatlah mereka sangat serasi dan kelihatan