Dexter kesal, sangat kesal. Apa Eve tidak punya perasaan? Dia tahu benar Eve pasti punya otak, sangat encer malahan, ayahnya dan calon ayah mertuanya yang suka mengobrol tentang bisnis selalu menyelipkan nama Eve di dalamnya.
Jadi kalau dia tidak bodoh pasti dia tidak punya perasaan. Perasaan marah, kesal atau sedih mungkin, semua perasaan yang selayaknya muncul setelah insiden kehamilan Aze. Tetapi Dexter tidak pernah melihatnya, tidak setitik pun Eve menunjukkannya. Wajahnya malah terlalu tenang membuat Dexter tidak enak dan mungkin merasa makin bersalah.
Dia merasa lebih baik jika Eve bersikap norak atau kasar sedikit, misalnya menampar, memukul atau menendangnya, tindak kekerasan apapun akan terlihat normal dalam situasi itu. Bisakah Eve menangis saja dan berkata pada ayahnya kalau ini tidak adil? Bukan Eve yang berbuat kenapa dia yang harus bertanggung jawab.
Dexter juga tidak ingin menikah dengan Aze, tingkahnya terlalu kekanak-kanakan. Aze hanya menarik untuk dijadikan teman bermain bukan teman hidup. Dexter hanya ingin biar dia saja yang mengambil anak itu jika sudah lahir, tetapi kedua pasang orang tua itu tidak setuju. Anak itu harus lahir dalam sebuah perkawinan, legal, jelas asal-usulnya.
Barusan Eve hanya tersenyum memintanya untuk jadi teman dalam perkawinan mereka. Dan Dexter setuju. Baiklah, mereka akan jadi teman. Dexter juga tidak ada niatan berkelahi dengan wanita yang akan ‘tertulis’ sebagai ibu anaknya nanti.
Dexter segera kembali ke dalam kamar ganti pengantin laki-laki yang sudah disediakan panitia. Diana, ibunya, dan Aksa, ayahnya, sudah berada di sana. Darren, kakaknya, sudah berada di deretan tamu.
“Kamu kelihatan tampan dan gagah, Dex,” kata Diana sambil membetulkan dasi kupu-kupu yang sudah terpasang rapi di kerah kemejanya. Senyumnya yang manis itu dibalas dengan dengusan dari anaknya. Matanya yang terlihat hampir mengeluarkan air mata keharuan itu sekarang malah menatap anaknya dengan geli.
“Marah di hari bahagia seperti ini, it’s not good, Boy,” sahut Aksa yang bersedekap. Matanya melihat Dexter dengan tatapan yang penuh perhatian.
“Mama tahu kenapa mukaku seperti ini!”
“Suatu saat kamu akan berterima kasih sama kita, Boy. Kalau kamu sudah ingat semuanya,” kata Aksa sambil mengedipkan matanya pada istrinya, Diana.
“Berterima kasih karena sudah mencarikan jodoh?” tanya Dexter. Tangannya membetulkan kelepak tuxedonya.
“Jodoh yang baik,” tambah Diana.
“Jodoh yang cantik,” timpal Aksa.
“Iya, dia memang cantik, tapi dingin seperti gunung es,” sahut Dexter. Dia jadi ingat senyuman Eve yang tidak seharusnya tersungging di bibirnya tadi.
“Jodoh yang kamu inginkan,” sahut Aksa.
“Sejak kapan aku bilang ingin menikah?”
“Nah, sudah kubilang dia masih lupa,” kata Aksa yang sudah duduk.
“Ingat tepati janji Mama. Jangan bermain-main dengan karir Natalia,” sahut Dexter dengan sopan namun penuh penekanan.
“Tentu, Mama tidak pernah ingkar janji. Remember, no scandal in a marriage.”
“Fine! Cuma 2 tahun.”
“Maaf, acara sudah akan dimulai. Mempelai pria harus bersiap-siap,” kata seorang pria berkaos hitam yang merupakan salah satu EO yang bertugas. Tangannya memegang kertas dan tablet android. Dia masih berdiri di antara pintu yang sedikit terbuka itu, menunggu Dexter bergerak.
“Pergilah, Boy. Percayalah, orang tuamu tidak akan bikin kamu sengsara,” kata Aksa menepuk-nepuk bahu anaknya.
“Kita lihat aja nanti, Pa,” sahut Dexter yang segera berlalu mengikuti pria berkaos itu.
“Jangan khawatir. Suatu saat dia akan ingat dan berterima kasih pada kita, Di,” kata Aksa pada istrinya. Diana mengangguk dan tersenyum. Dia menepuk-nepuk tangan Aksa yang ada di pundaknya. Kini mereka sudah berjalan mengikuti Dexter.
Keesokan harinya Aze berangkat ke Singapura bersama dengan Evita Daveno, nenek Aze dan Eve. Kehamilan Aze yang mencapai bulan keempat akan makin kelihatan dan bisa menjadi santapan media. Dia hanya harus hadir di acara pernikahan Eve dan Dexter agar tidak ada kabar miring tentang itu, selanjutnya dia harus segera menyembunyikan diri.Evita sendiri ingin menemui Eve secara pribadi agak lama, tetapi itu gagal dilakukannya. Dia bertemu hanya sepintas sebelum Eve memulai rangkaian upacara pernikahannya. Mereka hanya bisa berpelukan sebentar dan Evita mengatakan betapa cantiknya Eve hari itu. Senyuman Eve hampir membuat Evita menangis. Tak lama kemudian, Eve berlalu dan Evita tidak ingin mengganggunya karena cucunya itu terlihat sibuk.Jika Evita tidak mengenal Eve dengan begitu baiknya, dia pasti mengira Eve sangat bahagia seperti tamu-tamu undangan lainnya. Evita masih bisa mendengar bisikan tamu-tamu itu satu sama lain, “Lihatlah mereka sangat serasi dan kelihatan
“Oma, aku mau lihat taman belakang,” kata Eve sambil menggandeng Evita. Dexter sudah tidak terlihat lagi di antara mereka.Jika ditanya apakah ada tempat favorit buat Eve, itu adalah taman belakang. Dengan tembok yang tidak terlalu tinggi, mereka masih bisa melihat orang yang berlalu lalang. Tanaman yang menjuntai menghiasi pinggiran tembok itu, bunga-bunga beraneka warna dan berbagai macam tanaman membuatnya tampak seperti area pegunungan yang indah. Air terjun mungil yang menghiasi kolam ikan membuat taman itu terlihat sejuk.“Oma tidak mengubah taman ini sama sekali!” seru Eve. Matanya memandangi taman itu dengan wajah gembira. Dia merindukan taman itu, sederhana tetapi menenangkan jiwanya.“Tidak akan, Lin, apapun yang terjadi. Karena kamu menyukainya.”“Oma yang paling hebat.”Mereka duduk di meja bulat di taman itu. Dua buah cangkir yang berisi teh hangat itu telah siap di hadapan mereka. Eve me
Setelah masuk ke kamar yang disediakan untuknya, Dexter melihat lemari kosong dan hanya kopernya yang ada di sana. Dia mengerti bahwa kamarnya dan Eve terpisah. Itu lebih baik, Dexter merasa tidak nyaman sekamar dengan Gunung Es.Dia meminta pelayan menunjukkan di mana kamar Eve. Dia masuk ke kamar itu tanpa ragu, meskipun tidak mengetahui tujuannya sendiri. Eve tidak ada di kamarnya, mungkin belum selesai melepas rindu pada neneknya.Dexter berjalan perlahan memasuki kamar Eve, mengitari kamar Eve dengan pandangan matanya. Kamar Eve sepertinya sedikit lebih besar daripada kamar yang ditempati Dexter. Ada sebuah ruangan lain, sepertinya ruangan kerja Eve melihat dari isi perabotannya.Lalu matanya tertuju pada pemandangan taman belakang dari jendela kamar Eve. Jendela itu hampir setinggi tubuh Dexter dengan lebar sekitar 4 meter. Posisi jendela itu berhadapan dengan ranjang Eve yang luas, membuat siapapun yang tidur di atas ranjang akan bisa melihat pemandangan
“Ngapain kamu di sini?! Keluar! Keluar!”Eve mendengar suara teriakan dari kamar Aze di saat dia sudah hampir terlelap di kasurnya yang nyaman. Eve cepat-cepat bangkit, padahal tubuhnya sangat capek malam ini dan besok adalah hari pertamanya bekerja. Dia berjalan secepat mungkin ke kamar Aze sebelum pelayan datang.“Kamu laki-laki brengsek! Aku ajak kamu temani aku buang anak ini! Malahan kamu lapor ke yang lain! Aku benci kamu!”Eve masuk ke kamar Aze yang pintunya tidak tertutup rapat itu dan segera menutup pintunya sebelum pelayan ikut masuk ke dalam. Aze selalu berteriak untuk meminta sesuatu seakan suaranya menguasai rumah itu, pelayan akan segera berlari mengambilkan apapun permintaan Aze. Malam ini Eve berharap pelayan tidak berbuat demikian.Eve menoleh ke sebelah kanan. Dia melihat Dexter duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Siku tangannya bertumpu pada lutut kakinya. Wajahnya terbenam dalam cakupan tangannya sendiri. Eve
Eve menutup pintu pelan-pelan dan berjalan kembali ke kamarnya. Dia melihat neneknya duduk di sofa ruang keluarga. Dia menghampiri neneknya yang terlihat menunggunya.“Manjanya tidak pernah bisa hilang,” kata Evita. Eve duduk di sebelah Evita.“Oma bangun karena teriakan itu?”“Oh, jangan kuatir. Percayalah, Oma sudah terbiasa semenjak dia tinggal di sini. Kalau dia bukan cucuku, sudah aku suruh tidur di halaman depan supaya tidak mengganggu orang lain beristirahat,” kata Evita terkekeh. Eve ikut tertawa, neneknya itu terlalu terang-terangan.“Ayo, Oma tidur lagi!” Eve mengantar Evita ke depan kamarnya. Mengecup pipi neneknya lalu berlalu ke kamarnya sendiri.Eve terkejut melihat ada sosok lain yang tidur di sisi ranjangnya. Eve memang terbiasa tidur pada satu sisi ranjang saja dan tidak berpindah-pindah hingga pagi. Evita menjuluki Eve “tukang tidur yang jinak”.“Baiklah, aku
Setelah 3 hari dibiarkan beristirahat, meskipun dia tidak menginginkannya, Eve mulai bekerja di kantor pagi itu. Dia akan menjadi direktur utama The Daveno Market.The Daveno Market adalah salah satu pasar yang cukup lama berdiri di Singapura, umurnya hampir mencapai setengah abad. Pasar itu menyediakan berbagai macam bahan makanan kering dan bumbu dari berbagai negara, buah-buahan segar berkualitas, daging segar dan segala macam kebutuhan pokok. Harganya bervariasi. Terkenal di Singapura, jika ingin memasak dan tidak bisa menemukan bahan itu di manapun, maka pergilah ke The Daveno Market.The Daveno Market merupakan cikal bakal semua bisnis yang dimiliki Grup Asterix yang saham mayoritasnya dipegang oleh Keluarga Besar Daveno. Namun ini juga satu-satunya pasar yang dimiliki mereka, pasar ini tidak memiliki cabang. Jadi orang dari berbagai daerah di Singapura atau negara Asia lainnya mengorbankan waktu dan uang hanya untuk datang ke pasar itu.Eve memandang ruan
Dexter tidak akan ada di meja makan untuk ikut makan malam yang pertama kalinya sejak dia tiba di rumah nenek Eve, jika saja Eve tidak memintanya pagi itu.Eve masuk ke kamar Dexter dengan memakai celemek di balik baju kerjanya, rupanya dia habis memasak untuk semua orang. Dexter baru saja selesai mandi dan memakai pakaian kerjanya.Dexter menghembuskan napasnya dengan malas. Dia tidak suka Eve tidak menggedor pintu kamarnya dulu, bagaimana jika tadi dia belum memakai baju. Tetapi Eve mungkin terlalu dingin dan tidak punya malu. Jadi wajar saja jika Eve tidak peduli.“Kamu tidak menggedor pintu dulu,” kata Dexter ketus. Eve terlihat tidak peduli dan terus masuk ke dalam kamar Dexter dan mendekati punggungnya.“Oh, kamu sudah hampir siap. Ikutlah makan malam. Maksudku malam ini. Hmmm?”Dexter tidak menjawab. Dia pura-pura sibuk mengancingkan kemeja berlengan panjang yang lengannya sudah digulung hingga batas siku. Dia berdiri
Dexter menunggu Eve di dalam kamar Eve setelah makan malam selesai. Dia hanya duduk di ruang kerja Eve tanpa berbuat apapun. Dia tidak ingin melakukan apapun sebelum Eve memberikan penjelasan padanya.Tadi dia sempat membantu mengangkat piring-piring kotor mengikuti Eve ke dapur hanya untuk memperlihatkan wajahnya yang kesal pada Eve. Eve hanya memandangnya sekilas tanpa berkomentar. Biasanya orang akan takut melihat wajahnya yang kesal itu, tetapi wajah Eve tetap saja datar dan tenang, ini sangat menjengkelkan.Eve terbiasa untuk membawa alat makan bekas pakai ke dapur untuk dibersihkan. Itu hasil didikan Evita sejak Eve kecil agar mengerti cara melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa pelayan. Ada satu atau dua pelayan yang membantunya di dapur saat ini.Evita hanya memandang tingkah laku Dexter dengan tatapan geli dari meja makan sampai masuk ke dapur. Entah apa yang membuat Dexter marah pada Eve tetapi tampaknya Eve sama sekali tidak memperhatikan itu.
“Kamu sudah mendapat 4 bulan cutimu, Eve. Kapan mau mulai kerja sungguhan?” tanya Erick. Sejak kehamilan Eve menginjak 8 bulan sampai Raven berusia 3 bulan, Eve mengerjakan semuanya dari rumah, kadang datang untuk rapat-rapat atau urusan penting lainnya, mungkin hanya 2-3 kali dalam seminggu. Tetapi Erick harus mengakui semua berjalan lancar di tangan Eve, seperti biasanya, tanpa cela. “Papa harus mulai memberikan Rana tanggung jawab yang lebih besar.” Adik lelaki Eve sudah datang dari Amerika Serikat 6 bulan yang lalu dan Eve mengajarinya dengan telaten. Rana juga bukannya tidak berpengalaman karena dia juga bekerja di sebuah perusahaan rekanan Angkasa Wongso di New York sembari menyelesaikan kuliah S2-nya. Eve hanya memperkenalkan aturan dan cara kerja mereka di Asterix Grup karena Asterix lebih besar dan lebih luas. “Aku akan berikan, tetapi jabatanmu tetap sama, tidak bisa diisi orang lain. Makanya lahirkan anak lagi supaya keluarga kita akan makin besar.
Angin semilir di taman samping membuat Eve membetulkan roknya yang sedikit berkibar. Pinggiran rok itu dia selipkan di bawah pahanya yang sedang berada di atas kursi taman dari batu yang berbentuk kursi. Beberapa daun tampak berjatuhan, membuat rumputnya yang kehijauan berbercak kekuningan. Bunga-bunga di saat-saat seperti ini juga tumbuh bermekaran meskipun kebanyakan di antaranya selalu ada yang mekar tanpa mengenal waktu sepanjang tahun. Semalam hujan jadi tanah masih terlihat sedikit basah pagi ini dengan cuaca yang cukup hangat. Eve lebih suka cuaca lebih dingin dari ini karena dia juga malas kulitnya yang terlalu putih itu terasa seperti tersengat berada di bawah terik sinar matahari. Namun demi untuk menjemur Raven, dia rela membiarkan kulitnya terkena sinar matahari pukul 8 pagi yang katanya menyehatkan. Tanaman di taman ini semakin banyak dari hari ke hari. Maria terus saja menambahkan tanaman-tanaman hias dan berbagai macam bunga setiap kali d
Eve membuka kotak berpita seukuran kotak gaun di hadapannya itu saat pesta usai 30 menit yang lalu. Semua tamu sudah pulang meninggalkan tuan rumah dalam kelelahan dan kebahagiaan. Kotak berwarna perak itu adalah kado pemberian Dexter sebagai ucapan terima kasihnya sudah menemani hidupnya dalam 2 tahun ini. Itu waktu yang singkat, tetapi mengingat mereka memiliki sejarah percintaan yang cukup panjang, rasanya ini juga hadiahnya atas masuknya Eve kembali dalam relung hatinya dan kesediaan wanita itu kembali ke dalam hidupnya. Dexter sebenarnya sedang memperhatikan Eve yang memegang dan membuka kotak itu dengan perlahan seakan waktu berjalan dengan sangat lambat. Tetapi memang dia harus bersabar seperti Eve bersabar menghadapi dirinya dulu. Eve mengeluarkan kertas yang berada dalam balutan plastik yang membungkusnya, menjaga rapuhnya kertas itu. “Kamu seorang Wongso, Love.” Kertas yang mengubah nama Eve dengan tambahan nama Wongso di belakangnya sudah a
4 Maret 2020 Eve sedang duduk di meja riasnya. Lelah, itu yang dirasakannya. Senang, itu perasaannya. Seorang wanita muda berdiri di belakang Eve dan tersenyum. “Kamu cantik, Eve.” “Terima kasih. Perut ini makin berat dan aku makin sering lelah, Aze.” Kandungan Eve sudah menginjak usia 5 bulan. Aze mengangguk. Dia juga ingat betapa besar perutnya saat itu, hampir2 tahun lalu. Eve yang jarang mengeluh juga akhirnya meloloskan keluhan juga, tidak salah, menjadi wanita hamil itu tidak mudah. Seingat Aze, hanya Eve yang selalu ada bersamanya, meredakan semua keluhannya, melakukan semua keinginannya, tentu dengan syarat-syarat, Eve memang selalu licik begitu. “Pesta memang merepotkan untuk wanita hamil,”sahut Aze. “Lebih enak berkeliling mall?” tanya Eve sambil tersenyum. Aze tertawa lirih dan mengangguk. Mereka akan segera menghadiri pesta perayaan perkawinan Dexter dan Eve yang kedua. Eve keberatan sebenarnya, perutnya yang makin
Sudah sejak awal Aksa merasa bersalah menyembunyikan semua fakta tentang Rosalind dan Reveline dari wanita yang dianggap sebagai ibunya sendiri. Evita tidak memiliki hubungan darah dengan Aksa tetapi mereka sudah sangat dekat. Pelan-pelan Aksa menceritakan masalah Rosalind sampai kehadiran Reveline pada Evita setelah kematian Rosalind. Selama ini Rosalind yang melarang melibatkan Keluarga Daveno dalam hal apa pun untuk melindungi keluarga itu. Aksa sangat mengerti bagaimana sifat Evita, wanita tua yang keras namun penyayang dan cukup bijaksana menilai semua hal. Evita tidak menyalahkan siapa pun. Dia hanya menyesali jalan hidup anaknya dan wanita yang dicintainya berakhir seperti sekarang. Namun yang paling besar adalah penyesalannya terhadap Reveline yang tidak bisa menjadi seorang Daveno. Evita dan Albert datang mengunjungi Reveline setiap bulan, tidak ada seorang Daveno yang bisa disia-siakan, termasuk Reveline. Semua orang lupa memperhitungk
Dexter, anak kedua Diana, yang kala itu berumur hampir 4 tahun yang paling gembira dengan kabar itu. Dia paling suka menemani Rosalind ke mana pun sambil mengelus perut buncit bibinya itu. Selain menyukai calon anak Rosalind, Dexter juga sangat menyukai mata coklat keemasan Rosalind. “Cantik. Mata Tante Ros cantik,” kata Dexter dengan polosnya. Rosalind akan terkekeh mendengarnya. Di dalam keluarga Aksa memang tidak ada yang bermata coklat keemasan seperti Rosalind jadi wajar Dexter begitu terpikat. “Ini namanya warna amber, Ex. Nanti anak ini juga mempunyai mata seperti Tante,” sahut Rosalind geli. Warna mata Rosalind didapatnya dari sang ibu yang berasal dari Italia. Mata Erick dan mata Rosalind yang coklat pasti akan menurun pada anaknya. Rosalind sangat menyayangi Dexter sampai memberikan nama panggilan kesayangan padanya dan rajin mendengarkan ocehan bocah berumur 4 tahun itu. “Berarti anak Tante nanti pasti cantik,” celoteh Dexter lagi. “Bisa ju
Hubungan keempat manusia itu memang amatlah rumit dan sulit untuk dijelaskan. Erick yang mencintai Rosalind malah berakhir menikahi Rita. Raja yang mencintai Rita malah berakhir menikahi Rosalind. Entah bagaimana kisah mereka penuh drama yang memilukan bisa berakhir seperti itu. Namun mereka belum tahu saja kalau itu barulah sebuah permulaan dari skandal yang lebih besar lagi. Erick tidak sepenuhnya jatuh dalam pesona seorang Amrita Adira yang cantik dan lemah lembut. Meskipun sudah menikah, dia tidak pernah menyentuh Rita yang setia menunggunya berpaling kepadanya. Rita juga mengetahui siapa yang dicintai Erick tetapi dia juga tidak keberatan untuk menunggu entah sampai kapan, waktu memang tidak bertepi untuk Rita. Raja pun tidak berbeda, dia masih belum jatuh sepenuhnya dalam pesona Rosalind yang memiliki jiwa pemberontak, tetapi bedanya Raja menyetubuhi Rosalind berkali-kali meskipun wanita itu juga berkali-kali menolak. Keras kepalanya Rosalind membuat Raja berte
Darwin menolak untuk merasa cemas akan tertangkap lagi. Untung didikan ayahnya membuat dia bisa mengendalikan emosi dalam berbagai suasana hati, jadi mudah saja untuk membohongi orang tua Eve dan Dexter yang tampaknya makin solid saja. Tetapi Eve adalah salah satu orang yang bisa membaca emosi Darwin di balik wajah tenangnya. Jadi Eve akan mudah sekali menangkap kecemasannya, yang untungnya masih tidur lelap. Tekanan jiwanya pasti terlalu banyak karena rupanya Eve lolos juga dari pengawasannya untuk mencari tahu tentang skandal kelahirannya yang mengejutkan. Kesalahan Eve yang jelas adalah informasi itu dipresentasikan dalam benaknya tanpa bicara pada saksi yang mengalaminya, mereka adalah orang tua Eve dan Dexter. Darwin berusaha menghalau orang tua Eve dan Dexter masuk ke dalam ruangan. “Eve belum bisa dikunjungi. Jangan khawatir, kami akan terus pantau. Nanti semua bisa masuk kalau dia sudah sadar.” Darwin bernapas lega karena tidak ada satu pun yang menya
Eve mematikan sambungan telponnya. Masih berusaha menarik napas dan menormalkan debaran jantungnya. Berpikirlah, Eve! Jangan memiliki perasaan apa pun, Eve! Perintah-perintah itu dibuat Eve untuk dirinya sendiri. Akhir-akhir ini dia sering sekali menggunakan perasaannya saat berpikir. Dia ingat benar kata-kata pria yang dia mintai keterangan, “Reveline Andrea Wongso lahir pada tanggal 5 Maret 1990, anak dari pasangan Angkasa Wongso dan Diana Hadis Wongso. Ini out of the record, Ibu Eve. Di berkas ini tertulis kalau Erickho Daveno berhasil membuktikan Reveline sebagai anaknya jadi akte kelahiran bisa berubah. Buktinya dengan test DNA.” Sebelumnya Eve memang tidak bertanya soal akte kelahirannya yang lama, dia hanya bisa bertanya soal pergantian namanya keluarga pada akte kelahirannya lewat sidang. Pria yang diajaknya bicara barusan dulu mengatakan kalau berkas Eve tidak lengkap. Eve mengabaikan instingnya kala itu, mengabaikan kalau pria itu menutupi sesuatu. Ja