Dexter menunggu Eve di dalam kamar Eve setelah makan malam selesai. Dia hanya duduk di ruang kerja Eve tanpa berbuat apapun. Dia tidak ingin melakukan apapun sebelum Eve memberikan penjelasan padanya.
Tadi dia sempat membantu mengangkat piring-piring kotor mengikuti Eve ke dapur hanya untuk memperlihatkan wajahnya yang kesal pada Eve. Eve hanya memandangnya sekilas tanpa berkomentar. Biasanya orang akan takut melihat wajahnya yang kesal itu, tetapi wajah Eve tetap saja datar dan tenang, ini sangat menjengkelkan.
Eve terbiasa untuk membawa alat makan bekas pakai ke dapur untuk dibersihkan. Itu hasil didikan Evita sejak Eve kecil agar mengerti cara melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa pelayan. Ada satu atau dua pelayan yang membantunya di dapur saat ini.
Evita hanya memandang tingkah laku Dexter dengan tatapan geli dari meja makan sampai masuk ke dapur. Entah apa yang membuat Dexter marah pada Eve tetapi tampaknya Eve sama sekali tidak memperhatikan itu.
“Pilihlah mana yang akan kamu pakai,” kata Eve. Tangannya menyerahkan beberapa topi yang diambilnya dari lemari Aze, topi-topi itu dipilih dan dibeli oleh Aze sendiri. Eve menaruh masker juga di atas topi-topi itu.Eve sudah mengira bagian ini merupakan bagian yang berat baginya. Rasanya Eve bosan membuang-buang waktu meyakinkan Aze tentang pentingnya penyamaran.Wajah Aze yang berseri langsung berubah menjadi kesal. Bibirnya mengerucut dengan suara decakan kesal. Eve benar-benar tahu cara membuat Aze jengkel!“Nggak mau pake ini, Eve! Apaan ini!” teriak Aze.Aze melemparkan masker dan beberapa topi yang sudah disediakan oleh Eve. Semuanya berhamburan ke mana-mana. Sebuah topi malah melayang mengenai tubuh Eve yang berdiri di hadapan Aze. Tangan Eve dengan sigap menangkap topi itu sebelum jatuh ke lantai.“Kita akan pergi setelah kamu memakainya.”“Aku akan kelihatan jelek,” rengek Aze.
Mall akan ditutup jam 10, tetapi sesuai dugaan Eve, adiknya itu enggan pulang. Lima menit sebelum mall ditutup, pengumuman diperdengarkan agar semua pengunjung keluar lewat pintu-pintu keluar. Toko dan restoran sudah ditutup bahkan 10 menit sebelum pengumuman terdengar.Eve tidak pernah mengerti apa asyiknya berkeliling mall jika sudah mendapatkan apa yang dicari. Eve juga wanita normal yang menyukai pakaian indah dan makanan enak tetapi dia masih heran dengan wanita yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk berkeliling memandangi isi toko tanpa membelinya.Dan yang paling mengherankan betapa kuatnya kaki-kaki Aze yang sering dikeluhkan sendiri oleh pemiliknya itu. Kaki Eve saja sudah terasa pegal saat mereka baru setengah jam berputar di dalam mall padahal dia tidak pernah mengeluhkan kakinya.Mengingat mereka sudah berkeliling selama hampir dua jam, seharusnya Aze mendapatkan lebih banyak barang, tidak hanya dua potong baju berpotongan rendah itu. Dua kantung k
Eve menyetel alarm ponselnya 30 menit lebih awal dari biasanya, bukan hanya karena permintaan Aze untuk makan nasi goreng cabe hijau yang agak pedas tetapi juga karena permintaan ayahnya untuk mengunjungi proyek mall milik Grup Asterix itu.Eve masuk ke kamarnya sendiri dengan hati-hati, tidak ingin membangunkan Dexter, supaya pria itu tidak memperlihatkan muka kesalnya lagi seperti semalam. Eve sudah terlalu lelah untuk menanggapi kekesalan itu. Dia melihat pria itu masih tidur dengan nyenyak di ranjangnya. Bajunya sudah terlepas dan jatuh ke bawah.“Padahal sudah dingin begini, kamu masih membuka bajumu,” gumam Eve seakan memarahi Dexter yang masih terlelap. Eve mengambil kaos itu, melipat dan menaruhnya di atas ranjang. Dia mengambil laptop kerjanya di atas meja kerja yang lupa diambilnya semalam dan segera keluar dari kamar.“Pagi, Nona Lin,” sapa Meli pada Eve. Meli sekarang bertugas di dapur, jadi membantu Eve memasak adalah salah s
Aze bangun lebih pagi hari ini. Dia berjalan keluar dari kamar mandi saat melihat dua bungkusan kertas teronggok di sudut ruangan. Itu hasil perburuan belanja semalam. Dua pakaian yang memikat hatinya itu menari-nari menggoda Aze untuk mencoba masuk ke dalamnya. Dan Aze tergoda sampai tidak bisa tidur lagi. Aze melihat Eve keluar dari kamarnya sendiri dengan gerakan hati-hati seakan takut membangunkan orang di dalam kamarnya. Aze memicingkan matanya dan berpikir keras, siapa yang tidur di kamar Eve, mungkinkah itu Dexter? Aze membuka kamar Eve perlahan, memasukkan kepalanya dan sebagian tubuhnya. Dia bisa melihat dengan jelas pria yang bertelanjang dada itu tidur lelap di ranjang Eve. Matanya mengerjap tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dexter! “Apa-apaan ini!” maki Aze dengan suara lirih. Tidak mungkin dia membangunkan Dexter yang tengah tertidur itu, mau ditaruh mana mukanya nanti?! Aze yang mengusir Dexter dari kamarnya, tidak bisa memarahi Dexter k
Evita berjalan masuk ke kamar Aze. Teriakan Aze baru saja dimulai, teriakan yang ditujukan untuk Eve.“Nggak mau ke dokter, Eve!”“Booking jadwal dokter ini nggak mudah, Aze,” sahut Eve yang masih berdiri tanpa bermaksud mendekat ke Aze. Entah kenapa Aze mulai rewel lagi, padahal beberapa hari ini sudah terlihat tenang. Dia sudah mulai makan di meja makan dan teriakannya makin jarang, meskipun sikap bermusuhan dengan Dexter masih tetap terlihat.“Emangnya kenapa?!” sahut Aze. Aze memang kadang sangat menjengkelkan membuat Eve menarik napas panjang tanpa ingin mendekatinya. Aze sedang duduk di pinggir ranjangnya.“Butuh waktu seminggu untuk mendapatkan jadwal hari ini, Aze,” sahut Eve dengan sabar.Permintaan khusus dari Eve untuk jadwal itu juga menjadi alasan mengapa butuh waktu lama untuk memesannya. Eve memesan jadwal untuk 2 jam supaya tidak ada pasien yang menunggu sekitar 30 menit sebelumnya dan
Dexter bisa mendengar teriakan Aze dari kamar kerja Eve, tidak terlalu jelas, tetapi itu pasti suara Aze. Kamar kerja Eve tidak terlalu besar diisi dengan sofa beserta mejanya, sebuah laptop dan printer di atas meja kerja yang berukuran lebih tinggi dengan kursinya, bagian bawahnya dilapisi karpet tebal berisi spon yang nyaman. Nyaman, hanya nyaman yang dirasakannya saat berada di sana.Tetapi malam ini kenyamanannya sedikit terganggu. Dia tidak bisa menahan keinginannya untuk keluar dari kamar. Eve pasti kesulitan menenangkan Aze karena teriakan itu terus terdengar.Pintu yang sedikit terbuka itu membuat Dexter bisa mendengar semuanya lebih jelas. Eve tidak mau mengajaknya karena tidak ingin Aze berteriak padanya. Mungkin Eve tidak bermaksud demikian, tetapi Dexter merasa Eve telah membelanya.Tidak ingin mendengar lebih lanjut, Dexter kembali ke kamar Eve. Sudah cukup dia mendengar saat ini. Harga dirinya tidak terbanting seperti biasanya.Dexter meliha
Berada di antara dua orang yang sedang perang dingin membuat Eve merasa jengah juga. Tetapi apa boleh buat, ini salah satu kewajibannya juga. Dan ini ternyata membuatnya makin lelah.“Aku tidak akan menyetir kalau dia masih duduk di sini,” kata Dexter. Ucapan itu sepertinya ditujukan pada Eve karena Dexter enggan berbicara dengan Aze. Tangannya menggenggam setir dengan erat, menahan emosi.Eve sebenarnya terkejut dengan sikap pria itu hari ini. Duduk tegak di kursi pengemudi dan mengajukan protes tentang siapa yang duduk di sampingnya. Sangat tidak biasa.“Aku pusing kalau duduk di belakang,” sahut Aze. Ini juga ditujukan pada Eve. Ya ampun, mereka tidak saling berbicara!“Kamu beneran nggak mau pindah?” tanya Eve.“Nggak,” sahut Aze tegas.“Oke, aku yang setir ya.”“Kamu capek, Eve,” sahut Dexter seakan mengetahui kalimat Eve barusan ditujukan untuknya.&l
Dexter melihat ponselnya lagi. Dia sudah memarkir mobilnya di tempat parkir bagian samping rumah sakit. Tidak banyak mobil yang diparkir di sana sekarang, makin malam rumah sakit makin sepi.Dia menekan tombol telpon, lalu membatalkannya sebelum tersambung. Berpikir lagi dan lagi.Dia sudah pasti angkat tangan membantu Eve menghadapi Aze, meskipun tadi tampaknya berhasil dan Eve melemparkan senyuman atau kata-kata bernada geli di hadapannya. Tetapi itu pasti akan sulit dilakukannya lagi.Satu-satunya cara membantu Eve meringankan kelelahannya adalah melalui pekerjaan. Jarinya menekan tombol telpon lagi, dia sudah punya alasan.“Malam, Pa.”“Oh, malam, Dex.”“Sibuk, Pa?”“Oh, no, no. Ada masalah apa?”“Tidak ada, Pa. Cuma mau minta tolong.”“Apa itu?”“Ehm… soal tembok belakang di market, apa Papa bisa kirim draft ke Dex?”
“Kamu sudah mendapat 4 bulan cutimu, Eve. Kapan mau mulai kerja sungguhan?” tanya Erick. Sejak kehamilan Eve menginjak 8 bulan sampai Raven berusia 3 bulan, Eve mengerjakan semuanya dari rumah, kadang datang untuk rapat-rapat atau urusan penting lainnya, mungkin hanya 2-3 kali dalam seminggu. Tetapi Erick harus mengakui semua berjalan lancar di tangan Eve, seperti biasanya, tanpa cela. “Papa harus mulai memberikan Rana tanggung jawab yang lebih besar.” Adik lelaki Eve sudah datang dari Amerika Serikat 6 bulan yang lalu dan Eve mengajarinya dengan telaten. Rana juga bukannya tidak berpengalaman karena dia juga bekerja di sebuah perusahaan rekanan Angkasa Wongso di New York sembari menyelesaikan kuliah S2-nya. Eve hanya memperkenalkan aturan dan cara kerja mereka di Asterix Grup karena Asterix lebih besar dan lebih luas. “Aku akan berikan, tetapi jabatanmu tetap sama, tidak bisa diisi orang lain. Makanya lahirkan anak lagi supaya keluarga kita akan makin besar.
Angin semilir di taman samping membuat Eve membetulkan roknya yang sedikit berkibar. Pinggiran rok itu dia selipkan di bawah pahanya yang sedang berada di atas kursi taman dari batu yang berbentuk kursi. Beberapa daun tampak berjatuhan, membuat rumputnya yang kehijauan berbercak kekuningan. Bunga-bunga di saat-saat seperti ini juga tumbuh bermekaran meskipun kebanyakan di antaranya selalu ada yang mekar tanpa mengenal waktu sepanjang tahun. Semalam hujan jadi tanah masih terlihat sedikit basah pagi ini dengan cuaca yang cukup hangat. Eve lebih suka cuaca lebih dingin dari ini karena dia juga malas kulitnya yang terlalu putih itu terasa seperti tersengat berada di bawah terik sinar matahari. Namun demi untuk menjemur Raven, dia rela membiarkan kulitnya terkena sinar matahari pukul 8 pagi yang katanya menyehatkan. Tanaman di taman ini semakin banyak dari hari ke hari. Maria terus saja menambahkan tanaman-tanaman hias dan berbagai macam bunga setiap kali d
Eve membuka kotak berpita seukuran kotak gaun di hadapannya itu saat pesta usai 30 menit yang lalu. Semua tamu sudah pulang meninggalkan tuan rumah dalam kelelahan dan kebahagiaan. Kotak berwarna perak itu adalah kado pemberian Dexter sebagai ucapan terima kasihnya sudah menemani hidupnya dalam 2 tahun ini. Itu waktu yang singkat, tetapi mengingat mereka memiliki sejarah percintaan yang cukup panjang, rasanya ini juga hadiahnya atas masuknya Eve kembali dalam relung hatinya dan kesediaan wanita itu kembali ke dalam hidupnya. Dexter sebenarnya sedang memperhatikan Eve yang memegang dan membuka kotak itu dengan perlahan seakan waktu berjalan dengan sangat lambat. Tetapi memang dia harus bersabar seperti Eve bersabar menghadapi dirinya dulu. Eve mengeluarkan kertas yang berada dalam balutan plastik yang membungkusnya, menjaga rapuhnya kertas itu. “Kamu seorang Wongso, Love.” Kertas yang mengubah nama Eve dengan tambahan nama Wongso di belakangnya sudah a
4 Maret 2020 Eve sedang duduk di meja riasnya. Lelah, itu yang dirasakannya. Senang, itu perasaannya. Seorang wanita muda berdiri di belakang Eve dan tersenyum. “Kamu cantik, Eve.” “Terima kasih. Perut ini makin berat dan aku makin sering lelah, Aze.” Kandungan Eve sudah menginjak usia 5 bulan. Aze mengangguk. Dia juga ingat betapa besar perutnya saat itu, hampir2 tahun lalu. Eve yang jarang mengeluh juga akhirnya meloloskan keluhan juga, tidak salah, menjadi wanita hamil itu tidak mudah. Seingat Aze, hanya Eve yang selalu ada bersamanya, meredakan semua keluhannya, melakukan semua keinginannya, tentu dengan syarat-syarat, Eve memang selalu licik begitu. “Pesta memang merepotkan untuk wanita hamil,”sahut Aze. “Lebih enak berkeliling mall?” tanya Eve sambil tersenyum. Aze tertawa lirih dan mengangguk. Mereka akan segera menghadiri pesta perayaan perkawinan Dexter dan Eve yang kedua. Eve keberatan sebenarnya, perutnya yang makin
Sudah sejak awal Aksa merasa bersalah menyembunyikan semua fakta tentang Rosalind dan Reveline dari wanita yang dianggap sebagai ibunya sendiri. Evita tidak memiliki hubungan darah dengan Aksa tetapi mereka sudah sangat dekat. Pelan-pelan Aksa menceritakan masalah Rosalind sampai kehadiran Reveline pada Evita setelah kematian Rosalind. Selama ini Rosalind yang melarang melibatkan Keluarga Daveno dalam hal apa pun untuk melindungi keluarga itu. Aksa sangat mengerti bagaimana sifat Evita, wanita tua yang keras namun penyayang dan cukup bijaksana menilai semua hal. Evita tidak menyalahkan siapa pun. Dia hanya menyesali jalan hidup anaknya dan wanita yang dicintainya berakhir seperti sekarang. Namun yang paling besar adalah penyesalannya terhadap Reveline yang tidak bisa menjadi seorang Daveno. Evita dan Albert datang mengunjungi Reveline setiap bulan, tidak ada seorang Daveno yang bisa disia-siakan, termasuk Reveline. Semua orang lupa memperhitungk
Dexter, anak kedua Diana, yang kala itu berumur hampir 4 tahun yang paling gembira dengan kabar itu. Dia paling suka menemani Rosalind ke mana pun sambil mengelus perut buncit bibinya itu. Selain menyukai calon anak Rosalind, Dexter juga sangat menyukai mata coklat keemasan Rosalind. “Cantik. Mata Tante Ros cantik,” kata Dexter dengan polosnya. Rosalind akan terkekeh mendengarnya. Di dalam keluarga Aksa memang tidak ada yang bermata coklat keemasan seperti Rosalind jadi wajar Dexter begitu terpikat. “Ini namanya warna amber, Ex. Nanti anak ini juga mempunyai mata seperti Tante,” sahut Rosalind geli. Warna mata Rosalind didapatnya dari sang ibu yang berasal dari Italia. Mata Erick dan mata Rosalind yang coklat pasti akan menurun pada anaknya. Rosalind sangat menyayangi Dexter sampai memberikan nama panggilan kesayangan padanya dan rajin mendengarkan ocehan bocah berumur 4 tahun itu. “Berarti anak Tante nanti pasti cantik,” celoteh Dexter lagi. “Bisa ju
Hubungan keempat manusia itu memang amatlah rumit dan sulit untuk dijelaskan. Erick yang mencintai Rosalind malah berakhir menikahi Rita. Raja yang mencintai Rita malah berakhir menikahi Rosalind. Entah bagaimana kisah mereka penuh drama yang memilukan bisa berakhir seperti itu. Namun mereka belum tahu saja kalau itu barulah sebuah permulaan dari skandal yang lebih besar lagi. Erick tidak sepenuhnya jatuh dalam pesona seorang Amrita Adira yang cantik dan lemah lembut. Meskipun sudah menikah, dia tidak pernah menyentuh Rita yang setia menunggunya berpaling kepadanya. Rita juga mengetahui siapa yang dicintai Erick tetapi dia juga tidak keberatan untuk menunggu entah sampai kapan, waktu memang tidak bertepi untuk Rita. Raja pun tidak berbeda, dia masih belum jatuh sepenuhnya dalam pesona Rosalind yang memiliki jiwa pemberontak, tetapi bedanya Raja menyetubuhi Rosalind berkali-kali meskipun wanita itu juga berkali-kali menolak. Keras kepalanya Rosalind membuat Raja berte
Darwin menolak untuk merasa cemas akan tertangkap lagi. Untung didikan ayahnya membuat dia bisa mengendalikan emosi dalam berbagai suasana hati, jadi mudah saja untuk membohongi orang tua Eve dan Dexter yang tampaknya makin solid saja. Tetapi Eve adalah salah satu orang yang bisa membaca emosi Darwin di balik wajah tenangnya. Jadi Eve akan mudah sekali menangkap kecemasannya, yang untungnya masih tidur lelap. Tekanan jiwanya pasti terlalu banyak karena rupanya Eve lolos juga dari pengawasannya untuk mencari tahu tentang skandal kelahirannya yang mengejutkan. Kesalahan Eve yang jelas adalah informasi itu dipresentasikan dalam benaknya tanpa bicara pada saksi yang mengalaminya, mereka adalah orang tua Eve dan Dexter. Darwin berusaha menghalau orang tua Eve dan Dexter masuk ke dalam ruangan. “Eve belum bisa dikunjungi. Jangan khawatir, kami akan terus pantau. Nanti semua bisa masuk kalau dia sudah sadar.” Darwin bernapas lega karena tidak ada satu pun yang menya
Eve mematikan sambungan telponnya. Masih berusaha menarik napas dan menormalkan debaran jantungnya. Berpikirlah, Eve! Jangan memiliki perasaan apa pun, Eve! Perintah-perintah itu dibuat Eve untuk dirinya sendiri. Akhir-akhir ini dia sering sekali menggunakan perasaannya saat berpikir. Dia ingat benar kata-kata pria yang dia mintai keterangan, “Reveline Andrea Wongso lahir pada tanggal 5 Maret 1990, anak dari pasangan Angkasa Wongso dan Diana Hadis Wongso. Ini out of the record, Ibu Eve. Di berkas ini tertulis kalau Erickho Daveno berhasil membuktikan Reveline sebagai anaknya jadi akte kelahiran bisa berubah. Buktinya dengan test DNA.” Sebelumnya Eve memang tidak bertanya soal akte kelahirannya yang lama, dia hanya bisa bertanya soal pergantian namanya keluarga pada akte kelahirannya lewat sidang. Pria yang diajaknya bicara barusan dulu mengatakan kalau berkas Eve tidak lengkap. Eve mengabaikan instingnya kala itu, mengabaikan kalau pria itu menutupi sesuatu. Ja