Dexter tidak akan ada di meja makan untuk ikut makan malam yang pertama kalinya sejak dia tiba di rumah nenek Eve, jika saja Eve tidak memintanya pagi itu.
Eve masuk ke kamar Dexter dengan memakai celemek di balik baju kerjanya, rupanya dia habis memasak untuk semua orang. Dexter baru saja selesai mandi dan memakai pakaian kerjanya.
Dexter menghembuskan napasnya dengan malas. Dia tidak suka Eve tidak menggedor pintu kamarnya dulu, bagaimana jika tadi dia belum memakai baju. Tetapi Eve mungkin terlalu dingin dan tidak punya malu. Jadi wajar saja jika Eve tidak peduli.
“Kamu tidak menggedor pintu dulu,” kata Dexter ketus. Eve terlihat tidak peduli dan terus masuk ke dalam kamar Dexter dan mendekati punggungnya.
“Oh, kamu sudah hampir siap. Ikutlah makan malam. Maksudku malam ini. Hmmm?”
Dexter tidak menjawab. Dia pura-pura sibuk mengancingkan kemeja berlengan panjang yang lengannya sudah digulung hingga batas siku. Dia berdiri
Dexter menunggu Eve di dalam kamar Eve setelah makan malam selesai. Dia hanya duduk di ruang kerja Eve tanpa berbuat apapun. Dia tidak ingin melakukan apapun sebelum Eve memberikan penjelasan padanya.Tadi dia sempat membantu mengangkat piring-piring kotor mengikuti Eve ke dapur hanya untuk memperlihatkan wajahnya yang kesal pada Eve. Eve hanya memandangnya sekilas tanpa berkomentar. Biasanya orang akan takut melihat wajahnya yang kesal itu, tetapi wajah Eve tetap saja datar dan tenang, ini sangat menjengkelkan.Eve terbiasa untuk membawa alat makan bekas pakai ke dapur untuk dibersihkan. Itu hasil didikan Evita sejak Eve kecil agar mengerti cara melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa pelayan. Ada satu atau dua pelayan yang membantunya di dapur saat ini.Evita hanya memandang tingkah laku Dexter dengan tatapan geli dari meja makan sampai masuk ke dapur. Entah apa yang membuat Dexter marah pada Eve tetapi tampaknya Eve sama sekali tidak memperhatikan itu.
“Pilihlah mana yang akan kamu pakai,” kata Eve. Tangannya menyerahkan beberapa topi yang diambilnya dari lemari Aze, topi-topi itu dipilih dan dibeli oleh Aze sendiri. Eve menaruh masker juga di atas topi-topi itu.Eve sudah mengira bagian ini merupakan bagian yang berat baginya. Rasanya Eve bosan membuang-buang waktu meyakinkan Aze tentang pentingnya penyamaran.Wajah Aze yang berseri langsung berubah menjadi kesal. Bibirnya mengerucut dengan suara decakan kesal. Eve benar-benar tahu cara membuat Aze jengkel!“Nggak mau pake ini, Eve! Apaan ini!” teriak Aze.Aze melemparkan masker dan beberapa topi yang sudah disediakan oleh Eve. Semuanya berhamburan ke mana-mana. Sebuah topi malah melayang mengenai tubuh Eve yang berdiri di hadapan Aze. Tangan Eve dengan sigap menangkap topi itu sebelum jatuh ke lantai.“Kita akan pergi setelah kamu memakainya.”“Aku akan kelihatan jelek,” rengek Aze.
Mall akan ditutup jam 10, tetapi sesuai dugaan Eve, adiknya itu enggan pulang. Lima menit sebelum mall ditutup, pengumuman diperdengarkan agar semua pengunjung keluar lewat pintu-pintu keluar. Toko dan restoran sudah ditutup bahkan 10 menit sebelum pengumuman terdengar.Eve tidak pernah mengerti apa asyiknya berkeliling mall jika sudah mendapatkan apa yang dicari. Eve juga wanita normal yang menyukai pakaian indah dan makanan enak tetapi dia masih heran dengan wanita yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk berkeliling memandangi isi toko tanpa membelinya.Dan yang paling mengherankan betapa kuatnya kaki-kaki Aze yang sering dikeluhkan sendiri oleh pemiliknya itu. Kaki Eve saja sudah terasa pegal saat mereka baru setengah jam berputar di dalam mall padahal dia tidak pernah mengeluhkan kakinya.Mengingat mereka sudah berkeliling selama hampir dua jam, seharusnya Aze mendapatkan lebih banyak barang, tidak hanya dua potong baju berpotongan rendah itu. Dua kantung k
Eve menyetel alarm ponselnya 30 menit lebih awal dari biasanya, bukan hanya karena permintaan Aze untuk makan nasi goreng cabe hijau yang agak pedas tetapi juga karena permintaan ayahnya untuk mengunjungi proyek mall milik Grup Asterix itu.Eve masuk ke kamarnya sendiri dengan hati-hati, tidak ingin membangunkan Dexter, supaya pria itu tidak memperlihatkan muka kesalnya lagi seperti semalam. Eve sudah terlalu lelah untuk menanggapi kekesalan itu. Dia melihat pria itu masih tidur dengan nyenyak di ranjangnya. Bajunya sudah terlepas dan jatuh ke bawah.“Padahal sudah dingin begini, kamu masih membuka bajumu,” gumam Eve seakan memarahi Dexter yang masih terlelap. Eve mengambil kaos itu, melipat dan menaruhnya di atas ranjang. Dia mengambil laptop kerjanya di atas meja kerja yang lupa diambilnya semalam dan segera keluar dari kamar.“Pagi, Nona Lin,” sapa Meli pada Eve. Meli sekarang bertugas di dapur, jadi membantu Eve memasak adalah salah s
Aze bangun lebih pagi hari ini. Dia berjalan keluar dari kamar mandi saat melihat dua bungkusan kertas teronggok di sudut ruangan. Itu hasil perburuan belanja semalam. Dua pakaian yang memikat hatinya itu menari-nari menggoda Aze untuk mencoba masuk ke dalamnya. Dan Aze tergoda sampai tidak bisa tidur lagi. Aze melihat Eve keluar dari kamarnya sendiri dengan gerakan hati-hati seakan takut membangunkan orang di dalam kamarnya. Aze memicingkan matanya dan berpikir keras, siapa yang tidur di kamar Eve, mungkinkah itu Dexter? Aze membuka kamar Eve perlahan, memasukkan kepalanya dan sebagian tubuhnya. Dia bisa melihat dengan jelas pria yang bertelanjang dada itu tidur lelap di ranjang Eve. Matanya mengerjap tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dexter! “Apa-apaan ini!” maki Aze dengan suara lirih. Tidak mungkin dia membangunkan Dexter yang tengah tertidur itu, mau ditaruh mana mukanya nanti?! Aze yang mengusir Dexter dari kamarnya, tidak bisa memarahi Dexter k
Evita berjalan masuk ke kamar Aze. Teriakan Aze baru saja dimulai, teriakan yang ditujukan untuk Eve.“Nggak mau ke dokter, Eve!”“Booking jadwal dokter ini nggak mudah, Aze,” sahut Eve yang masih berdiri tanpa bermaksud mendekat ke Aze. Entah kenapa Aze mulai rewel lagi, padahal beberapa hari ini sudah terlihat tenang. Dia sudah mulai makan di meja makan dan teriakannya makin jarang, meskipun sikap bermusuhan dengan Dexter masih tetap terlihat.“Emangnya kenapa?!” sahut Aze. Aze memang kadang sangat menjengkelkan membuat Eve menarik napas panjang tanpa ingin mendekatinya. Aze sedang duduk di pinggir ranjangnya.“Butuh waktu seminggu untuk mendapatkan jadwal hari ini, Aze,” sahut Eve dengan sabar.Permintaan khusus dari Eve untuk jadwal itu juga menjadi alasan mengapa butuh waktu lama untuk memesannya. Eve memesan jadwal untuk 2 jam supaya tidak ada pasien yang menunggu sekitar 30 menit sebelumnya dan
Dexter bisa mendengar teriakan Aze dari kamar kerja Eve, tidak terlalu jelas, tetapi itu pasti suara Aze. Kamar kerja Eve tidak terlalu besar diisi dengan sofa beserta mejanya, sebuah laptop dan printer di atas meja kerja yang berukuran lebih tinggi dengan kursinya, bagian bawahnya dilapisi karpet tebal berisi spon yang nyaman. Nyaman, hanya nyaman yang dirasakannya saat berada di sana.Tetapi malam ini kenyamanannya sedikit terganggu. Dia tidak bisa menahan keinginannya untuk keluar dari kamar. Eve pasti kesulitan menenangkan Aze karena teriakan itu terus terdengar.Pintu yang sedikit terbuka itu membuat Dexter bisa mendengar semuanya lebih jelas. Eve tidak mau mengajaknya karena tidak ingin Aze berteriak padanya. Mungkin Eve tidak bermaksud demikian, tetapi Dexter merasa Eve telah membelanya.Tidak ingin mendengar lebih lanjut, Dexter kembali ke kamar Eve. Sudah cukup dia mendengar saat ini. Harga dirinya tidak terbanting seperti biasanya.Dexter meliha
Berada di antara dua orang yang sedang perang dingin membuat Eve merasa jengah juga. Tetapi apa boleh buat, ini salah satu kewajibannya juga. Dan ini ternyata membuatnya makin lelah.“Aku tidak akan menyetir kalau dia masih duduk di sini,” kata Dexter. Ucapan itu sepertinya ditujukan pada Eve karena Dexter enggan berbicara dengan Aze. Tangannya menggenggam setir dengan erat, menahan emosi.Eve sebenarnya terkejut dengan sikap pria itu hari ini. Duduk tegak di kursi pengemudi dan mengajukan protes tentang siapa yang duduk di sampingnya. Sangat tidak biasa.“Aku pusing kalau duduk di belakang,” sahut Aze. Ini juga ditujukan pada Eve. Ya ampun, mereka tidak saling berbicara!“Kamu beneran nggak mau pindah?” tanya Eve.“Nggak,” sahut Aze tegas.“Oke, aku yang setir ya.”“Kamu capek, Eve,” sahut Dexter seakan mengetahui kalimat Eve barusan ditujukan untuknya.&l