“Oma, aku mau lihat taman belakang,” kata Eve sambil menggandeng Evita. Dexter sudah tidak terlihat lagi di antara mereka.
Jika ditanya apakah ada tempat favorit buat Eve, itu adalah taman belakang. Dengan tembok yang tidak terlalu tinggi, mereka masih bisa melihat orang yang berlalu lalang. Tanaman yang menjuntai menghiasi pinggiran tembok itu, bunga-bunga beraneka warna dan berbagai macam tanaman membuatnya tampak seperti area pegunungan yang indah. Air terjun mungil yang menghiasi kolam ikan membuat taman itu terlihat sejuk.
“Oma tidak mengubah taman ini sama sekali!” seru Eve. Matanya memandangi taman itu dengan wajah gembira. Dia merindukan taman itu, sederhana tetapi menenangkan jiwanya.
“Tidak akan, Lin, apapun yang terjadi. Karena kamu menyukainya.”
“Oma yang paling hebat.”
Mereka duduk di meja bulat di taman itu. Dua buah cangkir yang berisi teh hangat itu telah siap di hadapan mereka. Eve mengangkat tehnya dan menghentikan gerakannya sebelum cangkir itu tersentuh bibirnya.
“Apa kamu yakin dengan semua ini?” tanya Evita. Dia melihat Eve terdiam dengan cangkir teh di tangannya.
Eve mengangguk. Dia tidak memiliki jalan lainnya karena ini adalah kewajibannya.
Evita bertanya karena dia mengenal cucu-cucunya dengan baik meski hanya Eve yang pernah hidup bersamanya dalam jangka waktu lama. Aze selalu menginginkan apa saja yang dimiliki oleh Eve.
Saat karir Eve di bidang modeling mulai menanjak, Aze ikut berkiprah di bidang yang sama. Eve yang enggan bersaing dengan adiknya memilih mundur pelan-pelan. Evita pura-pura tidak tahu saat Eve membantu Aze dari belakang dengan mempromosikan adiknya itu pada setiap tawaran yang datang padanya. Lambat laun karir Eve di dunia modeling berhenti dengan penolakannya pada tawaran yang datang. Pada akhirnya memang Evita mengerti bahwa Eve lebih menyukai dunia bisnis daripada modeling.
Sama seperti sekarang, Aze selalu menyukai apa yang dimiliki Eve termasuk tunangannya. Dan Evita tidak heran jika suatu saat Eve mungkin saja batal menikah dengan Dexter karena Aze akan berusaha memiliki pria itu. Evita tidak peduli karena Eve juga tidak terlihat peduli dengan hal itu.
Evita agak menyesali dirinya yang tidak peduli dengan itu. Sejak awal bisa saja Dexter dijodohkan saja dengan Aze, jika memang adik Eve itu tertarik pada Dexter. Eve tidak akan keberatan dilangkahi adiknya. Namun sejak awal, Evita mengingatnya dengan jelas, Aksa dan Diana Wongso, orang tua Dexter, meminta harus Reveline Daveno yang menjadi istri Dexter, mereka jelas-jelas menolak Razeena Daveno. Evita lagi-lagi tidak ambil pusing untuk membahas alasannya.
Untung saja otak Aze tidak secerdas otak Eve jadi dia tidak bisa menginginkan jabatan yang dimiliki Eve di perusahaan. Namun jika itu terjadi, jangan salahkan Evita untuk memakai saham miliknya sebesar 12,5 % untuk mengusir cucunya sendiri, Aze.
“Hanya dua tahun, Oma, setelah ini aku akan bebas.”
“Kamu mungkin tidak akan pernah terbebas dari mereka, Lin.”
Setengah dari dirinya menyadari hal itu tetapi dia ingin percaya kalau suatu hari dia akan terbebas dari kewajibannya pada keluarga. Neneknya memang tidak bisa merekatkan hatinya yang tercabik-cabik itu, tetapi dia tetap bisa membuatnya bermimpi menjadi bebas seperti burung di angkasa, seperti neneknya.
Mereka duduk di taman belakang dengan secangkir teh hangat di meja mungil seakan hari ini tidak akan berakhir. Senja dari taman belakang adalah pemandangan senja terbaik di dunia.
Setelah masuk ke kamar yang disediakan untuknya, Dexter melihat lemari kosong dan hanya kopernya yang ada di sana. Dia mengerti bahwa kamarnya dan Eve terpisah. Itu lebih baik, Dexter merasa tidak nyaman sekamar dengan Gunung Es.Dia meminta pelayan menunjukkan di mana kamar Eve. Dia masuk ke kamar itu tanpa ragu, meskipun tidak mengetahui tujuannya sendiri. Eve tidak ada di kamarnya, mungkin belum selesai melepas rindu pada neneknya.Dexter berjalan perlahan memasuki kamar Eve, mengitari kamar Eve dengan pandangan matanya. Kamar Eve sepertinya sedikit lebih besar daripada kamar yang ditempati Dexter. Ada sebuah ruangan lain, sepertinya ruangan kerja Eve melihat dari isi perabotannya.Lalu matanya tertuju pada pemandangan taman belakang dari jendela kamar Eve. Jendela itu hampir setinggi tubuh Dexter dengan lebar sekitar 4 meter. Posisi jendela itu berhadapan dengan ranjang Eve yang luas, membuat siapapun yang tidur di atas ranjang akan bisa melihat pemandangan
“Ngapain kamu di sini?! Keluar! Keluar!”Eve mendengar suara teriakan dari kamar Aze di saat dia sudah hampir terlelap di kasurnya yang nyaman. Eve cepat-cepat bangkit, padahal tubuhnya sangat capek malam ini dan besok adalah hari pertamanya bekerja. Dia berjalan secepat mungkin ke kamar Aze sebelum pelayan datang.“Kamu laki-laki brengsek! Aku ajak kamu temani aku buang anak ini! Malahan kamu lapor ke yang lain! Aku benci kamu!”Eve masuk ke kamar Aze yang pintunya tidak tertutup rapat itu dan segera menutup pintunya sebelum pelayan ikut masuk ke dalam. Aze selalu berteriak untuk meminta sesuatu seakan suaranya menguasai rumah itu, pelayan akan segera berlari mengambilkan apapun permintaan Aze. Malam ini Eve berharap pelayan tidak berbuat demikian.Eve menoleh ke sebelah kanan. Dia melihat Dexter duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Siku tangannya bertumpu pada lutut kakinya. Wajahnya terbenam dalam cakupan tangannya sendiri. Eve
Eve menutup pintu pelan-pelan dan berjalan kembali ke kamarnya. Dia melihat neneknya duduk di sofa ruang keluarga. Dia menghampiri neneknya yang terlihat menunggunya.“Manjanya tidak pernah bisa hilang,” kata Evita. Eve duduk di sebelah Evita.“Oma bangun karena teriakan itu?”“Oh, jangan kuatir. Percayalah, Oma sudah terbiasa semenjak dia tinggal di sini. Kalau dia bukan cucuku, sudah aku suruh tidur di halaman depan supaya tidak mengganggu orang lain beristirahat,” kata Evita terkekeh. Eve ikut tertawa, neneknya itu terlalu terang-terangan.“Ayo, Oma tidur lagi!” Eve mengantar Evita ke depan kamarnya. Mengecup pipi neneknya lalu berlalu ke kamarnya sendiri.Eve terkejut melihat ada sosok lain yang tidur di sisi ranjangnya. Eve memang terbiasa tidur pada satu sisi ranjang saja dan tidak berpindah-pindah hingga pagi. Evita menjuluki Eve “tukang tidur yang jinak”.“Baiklah, aku
Setelah 3 hari dibiarkan beristirahat, meskipun dia tidak menginginkannya, Eve mulai bekerja di kantor pagi itu. Dia akan menjadi direktur utama The Daveno Market.The Daveno Market adalah salah satu pasar yang cukup lama berdiri di Singapura, umurnya hampir mencapai setengah abad. Pasar itu menyediakan berbagai macam bahan makanan kering dan bumbu dari berbagai negara, buah-buahan segar berkualitas, daging segar dan segala macam kebutuhan pokok. Harganya bervariasi. Terkenal di Singapura, jika ingin memasak dan tidak bisa menemukan bahan itu di manapun, maka pergilah ke The Daveno Market.The Daveno Market merupakan cikal bakal semua bisnis yang dimiliki Grup Asterix yang saham mayoritasnya dipegang oleh Keluarga Besar Daveno. Namun ini juga satu-satunya pasar yang dimiliki mereka, pasar ini tidak memiliki cabang. Jadi orang dari berbagai daerah di Singapura atau negara Asia lainnya mengorbankan waktu dan uang hanya untuk datang ke pasar itu.Eve memandang ruan
Dexter tidak akan ada di meja makan untuk ikut makan malam yang pertama kalinya sejak dia tiba di rumah nenek Eve, jika saja Eve tidak memintanya pagi itu.Eve masuk ke kamar Dexter dengan memakai celemek di balik baju kerjanya, rupanya dia habis memasak untuk semua orang. Dexter baru saja selesai mandi dan memakai pakaian kerjanya.Dexter menghembuskan napasnya dengan malas. Dia tidak suka Eve tidak menggedor pintu kamarnya dulu, bagaimana jika tadi dia belum memakai baju. Tetapi Eve mungkin terlalu dingin dan tidak punya malu. Jadi wajar saja jika Eve tidak peduli.“Kamu tidak menggedor pintu dulu,” kata Dexter ketus. Eve terlihat tidak peduli dan terus masuk ke dalam kamar Dexter dan mendekati punggungnya.“Oh, kamu sudah hampir siap. Ikutlah makan malam. Maksudku malam ini. Hmmm?”Dexter tidak menjawab. Dia pura-pura sibuk mengancingkan kemeja berlengan panjang yang lengannya sudah digulung hingga batas siku. Dia berdiri
Dexter menunggu Eve di dalam kamar Eve setelah makan malam selesai. Dia hanya duduk di ruang kerja Eve tanpa berbuat apapun. Dia tidak ingin melakukan apapun sebelum Eve memberikan penjelasan padanya.Tadi dia sempat membantu mengangkat piring-piring kotor mengikuti Eve ke dapur hanya untuk memperlihatkan wajahnya yang kesal pada Eve. Eve hanya memandangnya sekilas tanpa berkomentar. Biasanya orang akan takut melihat wajahnya yang kesal itu, tetapi wajah Eve tetap saja datar dan tenang, ini sangat menjengkelkan.Eve terbiasa untuk membawa alat makan bekas pakai ke dapur untuk dibersihkan. Itu hasil didikan Evita sejak Eve kecil agar mengerti cara melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa pelayan. Ada satu atau dua pelayan yang membantunya di dapur saat ini.Evita hanya memandang tingkah laku Dexter dengan tatapan geli dari meja makan sampai masuk ke dapur. Entah apa yang membuat Dexter marah pada Eve tetapi tampaknya Eve sama sekali tidak memperhatikan itu.
“Pilihlah mana yang akan kamu pakai,” kata Eve. Tangannya menyerahkan beberapa topi yang diambilnya dari lemari Aze, topi-topi itu dipilih dan dibeli oleh Aze sendiri. Eve menaruh masker juga di atas topi-topi itu.Eve sudah mengira bagian ini merupakan bagian yang berat baginya. Rasanya Eve bosan membuang-buang waktu meyakinkan Aze tentang pentingnya penyamaran.Wajah Aze yang berseri langsung berubah menjadi kesal. Bibirnya mengerucut dengan suara decakan kesal. Eve benar-benar tahu cara membuat Aze jengkel!“Nggak mau pake ini, Eve! Apaan ini!” teriak Aze.Aze melemparkan masker dan beberapa topi yang sudah disediakan oleh Eve. Semuanya berhamburan ke mana-mana. Sebuah topi malah melayang mengenai tubuh Eve yang berdiri di hadapan Aze. Tangan Eve dengan sigap menangkap topi itu sebelum jatuh ke lantai.“Kita akan pergi setelah kamu memakainya.”“Aku akan kelihatan jelek,” rengek Aze.
Mall akan ditutup jam 10, tetapi sesuai dugaan Eve, adiknya itu enggan pulang. Lima menit sebelum mall ditutup, pengumuman diperdengarkan agar semua pengunjung keluar lewat pintu-pintu keluar. Toko dan restoran sudah ditutup bahkan 10 menit sebelum pengumuman terdengar.Eve tidak pernah mengerti apa asyiknya berkeliling mall jika sudah mendapatkan apa yang dicari. Eve juga wanita normal yang menyukai pakaian indah dan makanan enak tetapi dia masih heran dengan wanita yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk berkeliling memandangi isi toko tanpa membelinya.Dan yang paling mengherankan betapa kuatnya kaki-kaki Aze yang sering dikeluhkan sendiri oleh pemiliknya itu. Kaki Eve saja sudah terasa pegal saat mereka baru setengah jam berputar di dalam mall padahal dia tidak pernah mengeluhkan kakinya.Mengingat mereka sudah berkeliling selama hampir dua jam, seharusnya Aze mendapatkan lebih banyak barang, tidak hanya dua potong baju berpotongan rendah itu. Dua kantung k