Setelah masuk ke kamar yang disediakan untuknya, Dexter melihat lemari kosong dan hanya kopernya yang ada di sana. Dia mengerti bahwa kamarnya dan Eve terpisah. Itu lebih baik, Dexter merasa tidak nyaman sekamar dengan Gunung Es.
Dia meminta pelayan menunjukkan di mana kamar Eve. Dia masuk ke kamar itu tanpa ragu, meskipun tidak mengetahui tujuannya sendiri. Eve tidak ada di kamarnya, mungkin belum selesai melepas rindu pada neneknya.
Dexter berjalan perlahan memasuki kamar Eve, mengitari kamar Eve dengan pandangan matanya. Kamar Eve sepertinya sedikit lebih besar daripada kamar yang ditempati Dexter. Ada sebuah ruangan lain, sepertinya ruangan kerja Eve melihat dari isi perabotannya.
Lalu matanya tertuju pada pemandangan taman belakang dari jendela kamar Eve. Jendela itu hampir setinggi tubuh Dexter dengan lebar sekitar 4 meter. Posisi jendela itu berhadapan dengan ranjang Eve yang luas, membuat siapapun yang tidur di atas ranjang akan bisa melihat pemandangan taman belakang dengan nyaman, kalau jendela itu tidak tertutup tirai.
Dexter memperhatikan Eve sedang duduk di taman belakang dengan neneknya. Dia tidak pernah melihat Eve tersenyum begitu sendu selama melihat wanita itu tersenyum berkali-kali. Apakah mungkin wanita itu tidak sedingin yang dilihatnya?
“Apa kamu butuh sesuatu?” Dexter mendengar suara Eve dari sebelahnya. Rupanya acara minum teh nenek dan cucu itu sudah selesai tanpa disadarinya. Jadi apa saja yang dipikirkannya sejak tadi?
“Kita bisa melihat taman belakang dari sini,” sahut Dexter tanpa memalingkan mukanya dari jendela.
“Yup, itu spot favoritku!”
“Jadi aku mencuri spotmu?” tanya Dexter geli. Eve tertawa lirih.
“Sebenarnya spot favoritku adalah di atas ranjang. Melihat ini dengan duduk santai di ranjang itu. Tamannya indah bukan?”
Tidak ada jawaban. Mereka berdiri berjajar dalam keheningan. Tetapi Eve merasa Dexter setuju dengannya dari caranya berdiri dengan memasukkan tangannya ke dalam saku celana dan mata yang hanya tertuju ke taman itu melalui kaca jendela.
“Kamar Aze ada di sebelah kamarku.” Dexter tidak menanggapi perkataan Eve itu.
Evita mengatur kamar mereka bertiga sedemikian rupa yang menurutnya terbaik tanpa persetujuan ketiganya. Dia sangat yakin Eve akan menempati kamarnya sendiri yang biasa dia tinggali semenjak masih kecil. Eve paling menyukai kamar kerjanya yang mungil dan jendela dengan pemandangan taman belakang.
Jika Eve bekerja maka ruang kerja itu adalah ruangan paling nyaman ditempatinya. Eve tidak mau bekerja di ruang tidurnya karena pekerjaan membuatnya tidak bisa tidur. Jadi ruang kerja yang dekat dengan ruang tidur akan lebih praktis.
Evita menempatkan Dexter di kamar yang berbeda karena yakin mereka tidak akan keberatan tidur di kamar terpisah dengan kondisi pernikahan mereka yang sekarang. Satu-satunya permintaan Eve yang dituruti Evita meskipun dia tidak menyukainya adalah kamar Aze yang berada di sebelah kamar Eve. Eve beralasan supaya lebih mudah mendatangi Aze jika ada apa-apa yang terjadi. Padahal Evita menganggap Aze akan merepotkan Eve nantinya, bukankah Aze selalu begitu?
“Apa kamu ingin pindah kamar dekat Aze? Kamarnya ada di sebelah kamarku. Aku bisa menyuruh pelayan membersihkannya tetapi mungkin besok baru kamu bisa pindah. Nanti barang-barangmu…”
“Tidak perlu,” sahut Dexter yang keluar dari kamar Eve tanpa menoleh.
“Akhirnya kamu keluar juga tanpa menjawab pertanyaanku.”
Eve mengambil napas dan berbaring di ranjangnya. Ini sangat melelahkan.
“Ngapain kamu di sini?! Keluar! Keluar!”Eve mendengar suara teriakan dari kamar Aze di saat dia sudah hampir terlelap di kasurnya yang nyaman. Eve cepat-cepat bangkit, padahal tubuhnya sangat capek malam ini dan besok adalah hari pertamanya bekerja. Dia berjalan secepat mungkin ke kamar Aze sebelum pelayan datang.“Kamu laki-laki brengsek! Aku ajak kamu temani aku buang anak ini! Malahan kamu lapor ke yang lain! Aku benci kamu!”Eve masuk ke kamar Aze yang pintunya tidak tertutup rapat itu dan segera menutup pintunya sebelum pelayan ikut masuk ke dalam. Aze selalu berteriak untuk meminta sesuatu seakan suaranya menguasai rumah itu, pelayan akan segera berlari mengambilkan apapun permintaan Aze. Malam ini Eve berharap pelayan tidak berbuat demikian.Eve menoleh ke sebelah kanan. Dia melihat Dexter duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Siku tangannya bertumpu pada lutut kakinya. Wajahnya terbenam dalam cakupan tangannya sendiri. Eve
Eve menutup pintu pelan-pelan dan berjalan kembali ke kamarnya. Dia melihat neneknya duduk di sofa ruang keluarga. Dia menghampiri neneknya yang terlihat menunggunya.“Manjanya tidak pernah bisa hilang,” kata Evita. Eve duduk di sebelah Evita.“Oma bangun karena teriakan itu?”“Oh, jangan kuatir. Percayalah, Oma sudah terbiasa semenjak dia tinggal di sini. Kalau dia bukan cucuku, sudah aku suruh tidur di halaman depan supaya tidak mengganggu orang lain beristirahat,” kata Evita terkekeh. Eve ikut tertawa, neneknya itu terlalu terang-terangan.“Ayo, Oma tidur lagi!” Eve mengantar Evita ke depan kamarnya. Mengecup pipi neneknya lalu berlalu ke kamarnya sendiri.Eve terkejut melihat ada sosok lain yang tidur di sisi ranjangnya. Eve memang terbiasa tidur pada satu sisi ranjang saja dan tidak berpindah-pindah hingga pagi. Evita menjuluki Eve “tukang tidur yang jinak”.“Baiklah, aku
Setelah 3 hari dibiarkan beristirahat, meskipun dia tidak menginginkannya, Eve mulai bekerja di kantor pagi itu. Dia akan menjadi direktur utama The Daveno Market.The Daveno Market adalah salah satu pasar yang cukup lama berdiri di Singapura, umurnya hampir mencapai setengah abad. Pasar itu menyediakan berbagai macam bahan makanan kering dan bumbu dari berbagai negara, buah-buahan segar berkualitas, daging segar dan segala macam kebutuhan pokok. Harganya bervariasi. Terkenal di Singapura, jika ingin memasak dan tidak bisa menemukan bahan itu di manapun, maka pergilah ke The Daveno Market.The Daveno Market merupakan cikal bakal semua bisnis yang dimiliki Grup Asterix yang saham mayoritasnya dipegang oleh Keluarga Besar Daveno. Namun ini juga satu-satunya pasar yang dimiliki mereka, pasar ini tidak memiliki cabang. Jadi orang dari berbagai daerah di Singapura atau negara Asia lainnya mengorbankan waktu dan uang hanya untuk datang ke pasar itu.Eve memandang ruan
Dexter tidak akan ada di meja makan untuk ikut makan malam yang pertama kalinya sejak dia tiba di rumah nenek Eve, jika saja Eve tidak memintanya pagi itu.Eve masuk ke kamar Dexter dengan memakai celemek di balik baju kerjanya, rupanya dia habis memasak untuk semua orang. Dexter baru saja selesai mandi dan memakai pakaian kerjanya.Dexter menghembuskan napasnya dengan malas. Dia tidak suka Eve tidak menggedor pintu kamarnya dulu, bagaimana jika tadi dia belum memakai baju. Tetapi Eve mungkin terlalu dingin dan tidak punya malu. Jadi wajar saja jika Eve tidak peduli.“Kamu tidak menggedor pintu dulu,” kata Dexter ketus. Eve terlihat tidak peduli dan terus masuk ke dalam kamar Dexter dan mendekati punggungnya.“Oh, kamu sudah hampir siap. Ikutlah makan malam. Maksudku malam ini. Hmmm?”Dexter tidak menjawab. Dia pura-pura sibuk mengancingkan kemeja berlengan panjang yang lengannya sudah digulung hingga batas siku. Dia berdiri
Dexter menunggu Eve di dalam kamar Eve setelah makan malam selesai. Dia hanya duduk di ruang kerja Eve tanpa berbuat apapun. Dia tidak ingin melakukan apapun sebelum Eve memberikan penjelasan padanya.Tadi dia sempat membantu mengangkat piring-piring kotor mengikuti Eve ke dapur hanya untuk memperlihatkan wajahnya yang kesal pada Eve. Eve hanya memandangnya sekilas tanpa berkomentar. Biasanya orang akan takut melihat wajahnya yang kesal itu, tetapi wajah Eve tetap saja datar dan tenang, ini sangat menjengkelkan.Eve terbiasa untuk membawa alat makan bekas pakai ke dapur untuk dibersihkan. Itu hasil didikan Evita sejak Eve kecil agar mengerti cara melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa pelayan. Ada satu atau dua pelayan yang membantunya di dapur saat ini.Evita hanya memandang tingkah laku Dexter dengan tatapan geli dari meja makan sampai masuk ke dapur. Entah apa yang membuat Dexter marah pada Eve tetapi tampaknya Eve sama sekali tidak memperhatikan itu.
“Pilihlah mana yang akan kamu pakai,” kata Eve. Tangannya menyerahkan beberapa topi yang diambilnya dari lemari Aze, topi-topi itu dipilih dan dibeli oleh Aze sendiri. Eve menaruh masker juga di atas topi-topi itu.Eve sudah mengira bagian ini merupakan bagian yang berat baginya. Rasanya Eve bosan membuang-buang waktu meyakinkan Aze tentang pentingnya penyamaran.Wajah Aze yang berseri langsung berubah menjadi kesal. Bibirnya mengerucut dengan suara decakan kesal. Eve benar-benar tahu cara membuat Aze jengkel!“Nggak mau pake ini, Eve! Apaan ini!” teriak Aze.Aze melemparkan masker dan beberapa topi yang sudah disediakan oleh Eve. Semuanya berhamburan ke mana-mana. Sebuah topi malah melayang mengenai tubuh Eve yang berdiri di hadapan Aze. Tangan Eve dengan sigap menangkap topi itu sebelum jatuh ke lantai.“Kita akan pergi setelah kamu memakainya.”“Aku akan kelihatan jelek,” rengek Aze.
Mall akan ditutup jam 10, tetapi sesuai dugaan Eve, adiknya itu enggan pulang. Lima menit sebelum mall ditutup, pengumuman diperdengarkan agar semua pengunjung keluar lewat pintu-pintu keluar. Toko dan restoran sudah ditutup bahkan 10 menit sebelum pengumuman terdengar.Eve tidak pernah mengerti apa asyiknya berkeliling mall jika sudah mendapatkan apa yang dicari. Eve juga wanita normal yang menyukai pakaian indah dan makanan enak tetapi dia masih heran dengan wanita yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk berkeliling memandangi isi toko tanpa membelinya.Dan yang paling mengherankan betapa kuatnya kaki-kaki Aze yang sering dikeluhkan sendiri oleh pemiliknya itu. Kaki Eve saja sudah terasa pegal saat mereka baru setengah jam berputar di dalam mall padahal dia tidak pernah mengeluhkan kakinya.Mengingat mereka sudah berkeliling selama hampir dua jam, seharusnya Aze mendapatkan lebih banyak barang, tidak hanya dua potong baju berpotongan rendah itu. Dua kantung k
Eve menyetel alarm ponselnya 30 menit lebih awal dari biasanya, bukan hanya karena permintaan Aze untuk makan nasi goreng cabe hijau yang agak pedas tetapi juga karena permintaan ayahnya untuk mengunjungi proyek mall milik Grup Asterix itu.Eve masuk ke kamarnya sendiri dengan hati-hati, tidak ingin membangunkan Dexter, supaya pria itu tidak memperlihatkan muka kesalnya lagi seperti semalam. Eve sudah terlalu lelah untuk menanggapi kekesalan itu. Dia melihat pria itu masih tidur dengan nyenyak di ranjangnya. Bajunya sudah terlepas dan jatuh ke bawah.“Padahal sudah dingin begini, kamu masih membuka bajumu,” gumam Eve seakan memarahi Dexter yang masih terlelap. Eve mengambil kaos itu, melipat dan menaruhnya di atas ranjang. Dia mengambil laptop kerjanya di atas meja kerja yang lupa diambilnya semalam dan segera keluar dari kamar.“Pagi, Nona Lin,” sapa Meli pada Eve. Meli sekarang bertugas di dapur, jadi membantu Eve memasak adalah salah s