“Aku nggak mau anak ini! Nggak mau,” kata Aze sambil menangis di lantai ruang keluarga rumah Daveno. Rita yang awalnya akan mengajak Aze berdiri pun mengurungkan niatnya melihat pandangan mata Eve.
“Kalau tidak ada darah Wongso di situ, kamu bebas berbuat apapun,” sahut Aksa dengan dingin. Telinganya berdengung sejak tadi mendengarkan rengekan dan tangisan itu.
“Aku takut jadi gemuk dan jelek,” bisik Aze pada Eve yang berjongkok tepat di sampingnya. Eve sebenarnya tidak ingin membujuk Aze tetapi dia merasa lebih baik dia yang bicara dengan Aze daripada ibunya. Kebanyakan pembicaraan itu akan berakhir dengan tangisan Rita, ibu mereka.
“Kalau aku jadi kamu, aku lebih takut pada mereka,” balas Eve sambil mengarahkan matanya pada Keluarga Wongso.
“Eve!” bentak Aze lirih. Dia tidak berani bersuara nyaring di sini, ayahnya itu begitu menakutkan. Mau tidak mau matanya memandang ketiga anggota Keluarga Wongso yang duduk saling berjajar.
“Kalau kamu memang berniat membuang anak itu seharusnya kamu lakukan dari kemarin-kemarin, bukan sekarang. Sekarang cuma dokter yang bisa. Kita ke dokter aja kalau kamu mau,” bisik Eve lagi. Aze cemberut.
Aze sudah berusaha segala macam yang dia bisa, segala macam obat dan resep tradisional sudah dicobanya, tetapi tidak ada yang berhasil. Bayi dalam kandungannya itu seakan betah berada di dalam rahimnya.
Hanya ke dokter saja yang dia tidak berani. Aze memang benci rumah sakit. Dia tidak ingin berada di rumah sakit.
Tetapi yang keterlaluan itu Dexter. Aze melapor pada Dexter soal kehamilannya, malah Dexter melapor pada orang tuanya. Jadi beginilah akhirnya.
“Aku takut pada dokter,” bisik Aze.
“Jadi kita sudah tidak punya jalan lain. Tenanglah, aku akan membantumu. Duduk dan turuti apa yang mereka mau.”
Eve selalu bisa memukul Aze, bukan secara fisik, itu tidak pernah terjadi, tetapi secara mental selalu berhasil. Aze akhirnya takluk dan menuruti apapun yang diminta Eve.
Aze bangkit dituntun Eve dan duduk di sofa di sebelah Rita, ibu mereka. Eve segera duduk di sofa tunggal di sebelah Aze.
“Jadi semua akan berjalan sesuai rencana. Eve akan menikah dengan Dexter setelah 6 bulan bertunangan. Ini berarti bulan depan. Setelah itu mereka bertiga akan pergi ke Singapura, tinggal di rumah nenek Eve, menjauh dari media. Anak itu akan masuk di kartu keluarga Eve dan Dexter. Dua tahun lagi mereka bisa bercerai dengan hak asuh jatuh pada keluarga kami,” kata Erick dengan jelas dan tegas. Matanya banyak memandang ke Aze yang hanya menunduk.
“Hak asuh itu perlu kita pertimbangkan,“ sahut Aksa.
“Ini hanya mempermudah. Anak itu lebih mudah dibawa ibunya. Tetapi kalian bebas mengunjunginya kapan saja, kita bisa mengaturnya. Anak itu bahkan akan memakai nama keluargamu, Wongso. Kita kenal sudah lama, Aksa.”
Aksa terdiam sebentar, lalu menjawab dengan berat hati, “Baiklah.” Ini memang salah anaknya juga, bisa-bisanya bermain api dengan adik tunangannya sendiri.
Dexter memandang Eve dengan tatapan yang sulit diartikan. Dexter telah membuat perempuan lain hamil dan Eve masih mau menikahinya. Bukan hanya perempuan sembarangan, perempuan yang hamil itu adalah Aze, adik Eve sendiri. Eve itu perempuan yang dingin dan tidak punya perasaan, si Gunung Es!
“Do you ever love me, Aze?!” bentak Dexter. Dia mulai muak melihat kelakuan Aze. Bukannya bertanggung jawab bersama malah melimpahkan semuanya pada Eve.
“Of course, she does. Dia banyak bercerita tentang dirimu dan menganggapmu seperti tunangannya sendiri, bukan tunangan kakaknya. Tetapi coba bayangkan bencana yang lebih besar kalau kamu menikahi adik dari tunanganmu sendiri. Pikirkan keluarga kita dan keluargamu. Bisnis dan nama baik.” Eve berbicara seakan sedang membicarakan berita ekonomi bukan membicarakan nasibnya sendiri yang kurang beruntung.
“Damn!” bentak Dexter lagi. Matanya sudah enggan menatap Eve.
“Kamu punya waktu 2 tahun. Kalian masih bisa saling ketemu dan memutuskan mau apa selanjutnya.”
“Lalu aku?” tanya Aze dengan wajah takut memandang Eve.
“Kamu bisa kembali ke dunia modelling atau apapun yang kamu inginkan. Ini hanya butuh waktu maksimal 1 tahun untuk merawat kehamilanmu dan badanmu. Anakmu akan dirawat Eve sepenuhnya,” sahut Erick.
Aze menarik napas lega. Tentu saja dia ingin kembali ke dunia modelling yang sangat disukainya di mana banyak orang memujanya. Selama ini kekhawatirannya hanya bayi itu, tetapi bayinya yang akan diurus oleh Eve, jadi itu tidak masalah. Dan dia masih punya waktu untuk kembali merawat tubuhnya. Aze tersenyum puas seakan masalahnya selesai.
“Are you sure, Eve?” tanya Rita, ibu Eve. Wajahnya yang lembut dan pucat itu terlihat waswas memandangi anak pertamanya.
“Of course, Mom. Don’t’ worry,” sahut Eve tersenyum manis pada ibunya. Dia menaruh cangkir tehnya di meja lalu menepuk punggung tangan ibunya yang berada di sebelah Aze. Raut wajah Rita mulai tenang kembali dan tersenyum.
“Saya permisi dulu,” kata Eve berpamitan pada semua orang. Eve memandang Erick dan berkata,”Pengacara sudah siap, silahkan buat kontraknya, nanti aku tinggal tanda tangan. Sekarang aku harus urus kontrak dengan Baelfire. Mereka sangat banyak tuntutan.”
Erick mengangguk dan membiarkan Eve meninggalkan ruangan. Kontrak Baelfire memang penting dan Eve harus menyelesaikannya tanpa cela, seperti biasanya.
1 bulan kemudian.4 Maret 2018.Pesta pernikahan Dexter dan Eve diadakan sesuai jadwal yang telah direncanakan. Pesta meriah dan megah yang memang sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari membuat Eve menarik napas panjang. Ini baru awal saja.Dexter memasuki ruangan calon pengantin wanita dengan langkah cepat, tidak peduli pandangan orang padanya. Dia tidak percaya mitos tidak boleh melihat pengantin wanita sebelum waktunya, tidak ada yang namanya nasib buruk, toh nasibnya tidak akan lebih buruk daripada sekarang.Eve bisa melihat bayangan Dexter di cermin meja riasnya. Dia menyuruh tiga orang MUA yang ditugaskan meriasnya untuk meninggalkan ruangan pengantin wanita. Pembicaraan ini seharusnya tidak didengar oleh siapapun kecuali mereka berdua.Dexter memang tampak seperti orang yang tidak tenang. Meskipun Eve harus mengakui dia tampak tampan dalam balutan tuxedo hitam yang baru sekarang dilihat Eve. Tuxedo itu membuat Dexter tampak kelam, itulah car
Dexter kesal, sangat kesal. Apa Eve tidak punya perasaan? Dia tahu benar Eve pasti punya otak, sangat encer malahan, ayahnya dan calon ayah mertuanya yang suka mengobrol tentang bisnis selalu menyelipkan nama Eve di dalamnya.Jadi kalau dia tidak bodoh pasti dia tidak punya perasaan. Perasaan marah, kesal atau sedih mungkin, semua perasaan yang selayaknya muncul setelah insiden kehamilan Aze. Tetapi Dexter tidak pernah melihatnya, tidak setitik pun Eve menunjukkannya. Wajahnya malah terlalu tenang membuat Dexter tidak enak dan mungkin merasa makin bersalah.Dia merasa lebih baik jika Eve bersikap norak atau kasar sedikit, misalnya menampar, memukul atau menendangnya, tindak kekerasan apapun akan terlihat normal dalam situasi itu. Bisakah Eve menangis saja dan berkata pada ayahnya kalau ini tidak adil? Bukan Eve yang berbuat kenapa dia yang harus bertanggung jawab.Dexter juga tidak ingin menikah dengan Aze, tingkahnya terlalu kekanak-kanakan. Aze hanya menarik u
Keesokan harinya Aze berangkat ke Singapura bersama dengan Evita Daveno, nenek Aze dan Eve. Kehamilan Aze yang mencapai bulan keempat akan makin kelihatan dan bisa menjadi santapan media. Dia hanya harus hadir di acara pernikahan Eve dan Dexter agar tidak ada kabar miring tentang itu, selanjutnya dia harus segera menyembunyikan diri.Evita sendiri ingin menemui Eve secara pribadi agak lama, tetapi itu gagal dilakukannya. Dia bertemu hanya sepintas sebelum Eve memulai rangkaian upacara pernikahannya. Mereka hanya bisa berpelukan sebentar dan Evita mengatakan betapa cantiknya Eve hari itu. Senyuman Eve hampir membuat Evita menangis. Tak lama kemudian, Eve berlalu dan Evita tidak ingin mengganggunya karena cucunya itu terlihat sibuk.Jika Evita tidak mengenal Eve dengan begitu baiknya, dia pasti mengira Eve sangat bahagia seperti tamu-tamu undangan lainnya. Evita masih bisa mendengar bisikan tamu-tamu itu satu sama lain, “Lihatlah mereka sangat serasi dan kelihatan
“Oma, aku mau lihat taman belakang,” kata Eve sambil menggandeng Evita. Dexter sudah tidak terlihat lagi di antara mereka.Jika ditanya apakah ada tempat favorit buat Eve, itu adalah taman belakang. Dengan tembok yang tidak terlalu tinggi, mereka masih bisa melihat orang yang berlalu lalang. Tanaman yang menjuntai menghiasi pinggiran tembok itu, bunga-bunga beraneka warna dan berbagai macam tanaman membuatnya tampak seperti area pegunungan yang indah. Air terjun mungil yang menghiasi kolam ikan membuat taman itu terlihat sejuk.“Oma tidak mengubah taman ini sama sekali!” seru Eve. Matanya memandangi taman itu dengan wajah gembira. Dia merindukan taman itu, sederhana tetapi menenangkan jiwanya.“Tidak akan, Lin, apapun yang terjadi. Karena kamu menyukainya.”“Oma yang paling hebat.”Mereka duduk di meja bulat di taman itu. Dua buah cangkir yang berisi teh hangat itu telah siap di hadapan mereka. Eve me
Setelah masuk ke kamar yang disediakan untuknya, Dexter melihat lemari kosong dan hanya kopernya yang ada di sana. Dia mengerti bahwa kamarnya dan Eve terpisah. Itu lebih baik, Dexter merasa tidak nyaman sekamar dengan Gunung Es.Dia meminta pelayan menunjukkan di mana kamar Eve. Dia masuk ke kamar itu tanpa ragu, meskipun tidak mengetahui tujuannya sendiri. Eve tidak ada di kamarnya, mungkin belum selesai melepas rindu pada neneknya.Dexter berjalan perlahan memasuki kamar Eve, mengitari kamar Eve dengan pandangan matanya. Kamar Eve sepertinya sedikit lebih besar daripada kamar yang ditempati Dexter. Ada sebuah ruangan lain, sepertinya ruangan kerja Eve melihat dari isi perabotannya.Lalu matanya tertuju pada pemandangan taman belakang dari jendela kamar Eve. Jendela itu hampir setinggi tubuh Dexter dengan lebar sekitar 4 meter. Posisi jendela itu berhadapan dengan ranjang Eve yang luas, membuat siapapun yang tidur di atas ranjang akan bisa melihat pemandangan
“Ngapain kamu di sini?! Keluar! Keluar!”Eve mendengar suara teriakan dari kamar Aze di saat dia sudah hampir terlelap di kasurnya yang nyaman. Eve cepat-cepat bangkit, padahal tubuhnya sangat capek malam ini dan besok adalah hari pertamanya bekerja. Dia berjalan secepat mungkin ke kamar Aze sebelum pelayan datang.“Kamu laki-laki brengsek! Aku ajak kamu temani aku buang anak ini! Malahan kamu lapor ke yang lain! Aku benci kamu!”Eve masuk ke kamar Aze yang pintunya tidak tertutup rapat itu dan segera menutup pintunya sebelum pelayan ikut masuk ke dalam. Aze selalu berteriak untuk meminta sesuatu seakan suaranya menguasai rumah itu, pelayan akan segera berlari mengambilkan apapun permintaan Aze. Malam ini Eve berharap pelayan tidak berbuat demikian.Eve menoleh ke sebelah kanan. Dia melihat Dexter duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Siku tangannya bertumpu pada lutut kakinya. Wajahnya terbenam dalam cakupan tangannya sendiri. Eve
Eve menutup pintu pelan-pelan dan berjalan kembali ke kamarnya. Dia melihat neneknya duduk di sofa ruang keluarga. Dia menghampiri neneknya yang terlihat menunggunya.“Manjanya tidak pernah bisa hilang,” kata Evita. Eve duduk di sebelah Evita.“Oma bangun karena teriakan itu?”“Oh, jangan kuatir. Percayalah, Oma sudah terbiasa semenjak dia tinggal di sini. Kalau dia bukan cucuku, sudah aku suruh tidur di halaman depan supaya tidak mengganggu orang lain beristirahat,” kata Evita terkekeh. Eve ikut tertawa, neneknya itu terlalu terang-terangan.“Ayo, Oma tidur lagi!” Eve mengantar Evita ke depan kamarnya. Mengecup pipi neneknya lalu berlalu ke kamarnya sendiri.Eve terkejut melihat ada sosok lain yang tidur di sisi ranjangnya. Eve memang terbiasa tidur pada satu sisi ranjang saja dan tidak berpindah-pindah hingga pagi. Evita menjuluki Eve “tukang tidur yang jinak”.“Baiklah, aku
Setelah 3 hari dibiarkan beristirahat, meskipun dia tidak menginginkannya, Eve mulai bekerja di kantor pagi itu. Dia akan menjadi direktur utama The Daveno Market.The Daveno Market adalah salah satu pasar yang cukup lama berdiri di Singapura, umurnya hampir mencapai setengah abad. Pasar itu menyediakan berbagai macam bahan makanan kering dan bumbu dari berbagai negara, buah-buahan segar berkualitas, daging segar dan segala macam kebutuhan pokok. Harganya bervariasi. Terkenal di Singapura, jika ingin memasak dan tidak bisa menemukan bahan itu di manapun, maka pergilah ke The Daveno Market.The Daveno Market merupakan cikal bakal semua bisnis yang dimiliki Grup Asterix yang saham mayoritasnya dipegang oleh Keluarga Besar Daveno. Namun ini juga satu-satunya pasar yang dimiliki mereka, pasar ini tidak memiliki cabang. Jadi orang dari berbagai daerah di Singapura atau negara Asia lainnya mengorbankan waktu dan uang hanya untuk datang ke pasar itu.Eve memandang ruan