Cerai.Kata itu telah lama berputar di benak Mentari, sejak awal dia menikah. Kata itu berkali-kali terbersit di pikiran Mentari kala menghadapi ikap Argan dan keluarganya benar-benar tidak mendukung pernikahan mereka. Namun, berkali-kali pula, Mentari berhasil bertahan.Dia telah melihat banyak berita selebritis yang bercerai hanya karena hal-hal sepele, bahkan hanya dalam usia pernikahan yang sesingkat beberapa hari saja. Dulu, berita seperti itu membuatnya melongo dan dianggapnya tidak masuk akal. Untuk apa menikah kalau akan diakhiri? Namun, sekarang dia mengerti, dia telah berada di posisi itu. Menikah tidaklah mudah.“Tari,” suara ibu membuyarkan lamunan Mentari, “Itu tidak benar, bukan?” sambung ibu ragu.Dengan tatapan kosong, Mentari menatap ibunya. Sebersit ketakutan tampak di wajah ibu ketika melihat reaksi anaknya.Kedua alis Cahya terangkat tinggi, menunggu jawaban adiknya yang hanya diam.“Tari?”Helaan nafas sembari senyuman halus tampak di bibir Mentari. “Apa yang tela
Dengan wajah lesu, Mentari kembali ke rumah. Melihatnya, ibu bertanya sambil membenarkan posisi taplak meja di ruang tamu. Winar dan Feliz sedang bermain di lantai.“Ada apa?”Mentari meletakkan tas selempangnya di atas meja, lalu duduk di sofa. “Ternyata aku tidak diterima sebagai seorang akuntan.”“Lalu? Kamu ke mana saja seharian ini?”“Aku bekerja.”Wajah ibu tampak bingung.“Kata manager-nya, aku lebih cocok menjadi sales daripada seorang akuntan,” terang Mentari.“Ooh, ibu mengira kamu tidak diterima bekerja sama sekali.”“Memang aku diterima bekerja, tapi aku tidak menyukai pekerjaan ini. Aku tidak menyukai menjajakan barang jualan pada banyak orang sambil terus mengoceh,” curhat Mentari menyandarkan kepalanya ke samping“Bukankah kamu memang senang berjualan? Kamu pernah membantu Cahya, bahkan pernah berjualan online juga.”“Kali ini rasanya lelah sekali, Bu. Aku hampir tidak bisa duduk saking banyaknya pelanggan.”“Terjual banyak?”“Penjualan di sana luar biasa banyak dalam s
Trrr... trrr....Ponsel Mentari bergetar di dalam tasnya yang tersimpan di loker. Sejak bekerja di perusahaan penjualan, dia tidak diperbolehkan menggunakan ponselnya selama jam bekerja. Dia pun mengaktifkan mode getar agar suara dering teleponnya tidak berisik di dalam loker.Trrr... trrrr....“Tari, sepertinya ponsel kamu yang terus bergetar di dalam loker,” ucap rekan kerja Mentari yang baru saja kembali dari loker.“Getarannya lama?” tanya Mentari ingin mengetahui dengan pasti.“Iya.” Setelah mengucapkan itu, temannya segera meninggalkan Mentari untuk menyambut seorang pelanggan yang baru saja memasuki toko mereka.Karena penasaran, Mentari memberitahu rekan kerja yang berada di dekatnya kalau dia mau ke loker sebentar. Dia bertanya-tanya siapakah gerangan yang meneleponnya. Getarann panjang adalah getaran telepon masuk, bukan notifikasi dari aplikasi apapun di ponselnya.Apakah ibunya? Ibu tidak mungkin meneleponnya selama jam kerja. Ibu mengetahui peraturan perusahaan yang tela
‘Halo, Tari, kamu masih di sana?’ Suara Gempita di seberang telepon menyadarkan Mentari yang tertegun. Tak menyangka dia akan mendengar kembali kata ‘cerai’ dari sahabat karibnya.“Siapa yang mengatakannya padamu?” tanya Mentari akhirnya.“Dua hari yang lalu ibuku bertemu tante, maksudku mama Argan. Tante bercerita bahwa keluarga kalian bertemu dan kamu meminta cerai dari Argan,” sahut Gempita dengan nafas teratur. Dia duduk di tangga depan pintu masuk kantornya agar leluasa bercerita, sekaligus beristirahat setelah menaiki lima lantai.“Mama?” ucap Mentari mengulang.“Iya.” Gempita dengan bersemangat menceritakan semua yang diketahuinya berdasarkan cerita dari ibunya.“Itu tidak benar, kan?”“Tidak. Aku tidak meminta cerai dari Argan.” Suara Mentari tertahan, dia memandang sekeliling. Tidak ada seorang pun di dekatnya. Hanya dia sendirian di ruang istirahat.“Sudah kuduga, tidak mungkin kamu melakukannya. Aku tidak percaya dengan semua cerita tante. Aku mengenal tanteku, aku mengetah
“Kamu sudah bicara dengan Argan?” tanya ibu saat sarapan besok paginya?Mentari mengambil sesendok nasi lagi, lalu menambahkan sayur ke piringnya, lalu menjawab, “Belum, Bu. Aku akan menunggu mereka yang menghubungiku terlebih dahulu.”“Kenapa, Tari?” Ibu tidak menyetujui keputusan Mentari.“Setelah hal-hal yang mereka lakukan padaku, aku tidak ingin menghubungi mereka lagi. Terlebih setelah mereka mengeluarkan pernyataan kalau aku meminta cerai dari Argan. Itu pernyataan mereka, bukan aku. Kalau mereka memang menginginkan perceraian, mereka yang harus mencariku. Dengan begitu, membuktikan kalau itu bukan kemauanku, tapi mereka.”“Benar.” Suara persetujuan Feri mengundang setiap pasang mata menatapnya. “Menurutku, benar yang dilakukan Mentari. Penggugat yang akan mencari sang tergugat. Bukan sebaliknya.”Keheningan memenuhi meja makan.“Benar juga kata Bapak. Iya, kan, Bu?” Cahya mengalihkan pandangannya dari Feri ke ibu. “Kalau benar Mentari yang menggugat cerai Argan, tentu Mentari
Makan siang Mentari kembali terusik, tepat ketika dia hendak memasukkan suapan pertama ke mulutnya. Bukan pesan oleh pesan masuk, kali ini telepon dari Ajeng.Mentari ingin mengabaikannya, namun tidak enak hati. Lagipula, semua kejadian buruk yang terjadi padanya bukan berasal dari Ajeng. Mungkin saja Ajeng tidak ada sangkut pautnya.“Halo, Kak,” sapa Mentari sopan.‘Tari, kamu di mana? Aku perlu bicara denganmu hari ini.’Kembali ajakan yang telah ditolak Mentari, dilontarkan Ajeng. Seolah Mentari tidak membalas pesan Ajeng kemarin.“Aku sedang bekerja, Kak,” ucapnya tegas.‘Di mana kamu bekerja? Argan tidak cerita apapun.’Lagi-lagi pertanyaan yang sama seperti pesannya.“Di perusahaan swasta, Kak,” jawab Mentari cepat, tidak ingin membahas lebih lanjut.‘Perusahaan apa?’ Tanpa ragu, suara di seberang terus melontarkan pertanyaan.Kali ini Mentari berhenti untuk berpikir, karena tidak ingin memberitahu nama dan lokasi tempat kerjanya.“Kak Ajeng mau membicarakan tentang apa?” Mentar
Seminggu berlalu, tidak kunjung ada berita lanjutan dari Ajeng. Kelegaan memang mengisi relung hati Mentari karenanya, namun sebenarnya dia ingin bertemu dengan kakak iparnya itu. Motif Ajeng bisa ditebak, tapi Mentari ingin mencari tahu respon Ajeng atas peristiwa-peristiwa yang telah terjadi antara dia dan Argan. Dia ingin memastikan, apakah Ajeng seratus persen mendukung adiknya dan ikut berkomplot dengan mamanya ataukah Ajeng terjebak dalam skenario yang disusun mamanya.“Tari, sadarlah! Sejak kapan Kak Ajeng berbuat baik padamu?” seru Mentari pada dirinya sendiri di depan cermin kecil yang dipegangnya.“Ckckck....”Mentari tersentak oleh suara tiba-tiba di sampingnya. Dian, rekan kerjanya berambut cokelat keabuan muncul berdiri di sampingnya sambil membuka lokernya.“Baru sebulan bekerja di sini, tapi kamu sudah mulai menunjukkan tanda-tanda...” Dian memutar-mutar jari telunjuknya di samping dahinya.“Bukan begitu,” bantah Mentari cepat sambil mengibas-ngibaskan tangannya.“Bukti
Sebulan lainnya berlalu. Seperti kata rekan-rekan kerjanya, Mentari telah dinyatakan lulus masa percobaan dan diangkat sebagai karyawan kontrak. Gaji yang diterimanya pun sudah gaji normal. Dipandanginya angka-angka lebih besar yang tertera di layar ponselnya. Dengan gembira dia melompat.“Senang, kan?” goda Dian.“Banget,” tawa Mentari.“Sekarang kamu akan dituntut lebih banyak pekerjaan oleh si ....” tunjuk Dian dengan dagu terangkat pada sosok kepala toko yang berjalan menuju etalase depan.Mentari tidak terintimidasi, baginya yang terpenting sekarang adalah uang. Dengan penghasilannya sekarang, dia bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan Feliz, juga bisa membayar hutang-hutangnya pada ibu dan Cahya. Bahkan dia masih bisa memiliki tabungan dengan sisanya.Hampir jam sepuluh malam, Feliz telah berbaring tertidur pulas. Mentari pun bersiap untuk tidur saat ponselnya menyampaikan notifikasi pesan masuk.Tangan Mentari meraih-raih ponsel yang diletakkannya di meja samping tempat tidur, l
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq
Waktu berlalu begitu cepat. Hal itu disyukuri Mentari. Begitu inginnya dia agar waktu melompat ke minggu depan pada hari kembalinya orang tua Argan. Namun, sebelumnya ada hari senin yang terlebih dahulu harus dilewatinya.Di hari minggu ini, Cahya mengajak seluruh anggota keluarga untuk mengunjungi sebuah arena rekreasi yang letaknya tidak begitu jauh. Suaminya telah melarangnya karena ini akhir bulan, keuangan mereka telah menipis.“Tempat itu tidak mahal. Kita tidak perlu membeli makanan di sana, kita bisa membawa bekal. Hanya perlu membayar ongkos masuk saja,” bantah Cahya saat ditolak Feri. “Aku memiliki uang, kamu tidak perlu mengeluarkan uangmu.”Bisnis penjualan makanan Cahya memang masih berjalan, walaupun keuntungannya semakin berkurang akhir-akhir ini. Dari hari ke hari, pelanggannya semakin sedikit.“Bukankah itu uang tabunganmu untuk keadaan darurat? Kenapa kamu mau menggunakannya sekarang?”Seperti k
Aroma kecanggungan terhirup pekat di tiap tarikan nafas setiap anggota keluarga pagi itu. Sarapan dalam keheningan bukanlah kebiasaan keluarga itu. Mereka hanya saling menyapa saat duduk di kursi masing-masing kemudian meja makan hening.Sebagai seorang pria dewasa yang menggunakan lebih banyak logika, Feri memecah keheningan, “Kamu harus memeriksakan kakimu lagi, Argan?”“Iya, Kak, senin minggu depan,” sahut Argan setelah memasukkan sepotong ikan dan nasi ke mulutnya. “Menurut dokter, aku harus menjalani terapi kalau tidak ada kemajuan setelah pemeriksaan nanti.”“Di rumah sakit mana?” sambung Feri.“Rumah Sakit Daerah,” jawab Argan singkat lalu menenggak seteguk air. Makanannya tersendat di tempat yang tidak seharusnya.“Lumayan jauh dari sini. Kamu bisa ke sana sendirian?”Pertanyaan itu mengundang lirikan tajam Cahya dan menarik perhatian ibu. Sementara Mentari berlagak seperti tidak mendengar apapun.“Bisa, Kak. Aku bisa naik taksi online,” jawab Argan penuh percaya diri. “Tapi b
“Selamat sore, Bu, Kak Cahya. Apa kabar?”Sekian lama suara itu tidak terdengar di rumah itu, terasa asing dan canggung. Cahya tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya. Dia berpaling, mengarahkan pandangannya pada pintu menuju dapur.Seolah kejadian-kejadian buruk di antara dia dan Mentari tidak pernah terjadi, Argan segera duduk di sofa terdekat sambil tersenyum dan berujar, “Senang rasanya kembali ke sini.”Hampir saja semburan Cahya terlontar dari mulutnya jika ibu tidak segera berdiri dan menahan tubuhnya yang berpaling menghadap Argan yang masih terus tersenyum memandangi sekeliling ruang tamu sekaligus mengikuti gerakan ibu yang meninggalkan ruang tamu.Pandangan jijik seolah berkata ‘Tidak tahu malu’ dilemparkan Cahya pada Argan. Argan yang melihat Cahya memandanginya dengan gaya sok lugu berujar, “Kak, makin cantik aja.”Sebelum Cahya sempat menanggapi, bunyi dering ponsel Argan yang maksimal menyelanya.“Halo, Ma.... Iya, baru aja tiba .... Iya, Ma, iya. Ga usah kuatir ....
Keputusan Mentari untuk menelepon Argan dianggap sebagai sebuah kekalahan bagi Cahya.“Mereka yang membutuhkan kamu, mereka yang harus menghubungi kamu. Kenapa kamu berinisiatif bodoh seperti itu?” cerca Cahya setelah Mentari memberitahunya dan ibu.Kata-kata Cahya itu juga telah berputar di benak Mentari berulang kali sebelum dia memutuskan.“Bagaimana pun dia masih suamiku, Kak.”“Bukan alasan tepat!” bantah Cahya. “Seenaknya saja keluarganya keluar masuk dari kehidupan kamu. Kalau kamu tidak dibutuhkan mereka menelantarkan kamu seperti orang pinggiran. Tapi, saat mereka membutuhkanmu, mereka mencarimu dan memperlakukan kamu seperti pelayan mereka.”“Cahya,” tegur ibu keras.Cahya hendak menanggapi teguran ibu, namun dia mengurungkan niatnya.“Apa kata Argan?” Cahya hendak mengatakan ‘pria tidak tahu diri’ sebagai ganti nama Argan, namun lirikan matanya pada ibu yang tampak serius membuatnya menelan kata-kata itu.“Hmm... dia mengatakan kalau dia ditabrak dari belakang oleh sebuah m
Sekali lagi Mentari membaca pesan masuk yang muncul di layar depan ponselnya. Dia membuka aplikasi pesan itu dan membaca sekali lagi. Tidak ada yang salah dengan penglihatannya, tulisannya tetap sama seperti yang dibacanya pertama kali.Mentari terdiam, matanya menatap layar ponselnya, namun pikirannya melayang-layang.Setelah beberapa lama memandangi Mentari yang terdiam, Cahya pun mendekati adiknya dan menggoyang tubuhnya, “Ada apa, Tari?”Tersentak, Mentari menatap kakaknya lalu menyodorkan ponselnya yang menyala pada Cahya. Cahya membaca lalu memandang Mentari.“Tanyakan kejelasannya pada Gempita.”Seperti robot, Mentari mengikuti perintah Cahya. Dia segera menelepon Gempita.‘Tari, Argan kecelakaan,’ ucap Gempita mengulangi isi pesannya.Belum sempat Mentari bertanya, Gempita telah mulai menjelaskan, “Tante baru saja meneleponku dan mengabari kalau Argan kecelakaan kemarin. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun hari ini sudah pulang karena Argan tidak ingin berlama-lama di r
Berita bahwa Mentari memiliki sepeda motor baru menyebar bagai virus di lingkungan tempat tinggalnya. Tetangga Mentari yang tidak pernah menyapanya sebelumnya, berbasa-basi dengannya sambil memperhatikan motor yang sementara didorongnya keluar dari halaman rumah. Dia masih belum mahir mengendarainya di area sempit, begitu pula dengan hal memarkirkan motor.Motor itu seperti mendukung tetangganya, tersangkut di sebuah batu yang menonjol di pinggiran jalan keluar. Mentari mendorongnya sekuat tenaga untuk melewati batu itu.Melihatnya terdiam, tetangganya mendekatinya dan memandangi motor yang sedang didorong Mentari.“Mentari, kamu kerja di mana sampai bisa membeli motor baru?”Wanita yang diajak bicara sedang berjibaku dengan motornya, kembali bertanya, “Kenapa?”Setelah beberapa kali usaha kerasnya tidak membuahkan hasil, dia pun memundurkan motornya dan mengambil jalan yang rata di sebelah batu itu. Dia merasa bodoh dalam hatinya, seharusnya sejak tadi dia melakukannya.“Permisi, Pak
“Ada apa ini? Ramai sekali,” serbu Feri dengan nada bicara bersemangat memasuki ruang tamu yang berisik.“Tante Mentari sedang curhat, Pak,” sahut Winar yang bersandar di sofa mendengarkan cerita Mentari.“Itu, Kak, di toko. Bagaimana mungkin ada pelanggan yang sangat pelit seperti si bapak-bapak itu? Dia meminta diskon terus-menerus sampai meminta aku yang membayari biaya pengirimannya barangnya. Belum lagi dia memanggilku dengan kata ‘sayang’.” Amarah Mentari meluap-luap.Cahya yang duduk mengangkat kaki tergelak mendengarnya.“Hari ini adalah hari sial kamu, Tari.”“Ada lagi selain itu?” Feri penasaran.“Hari ini dia mendapatkan ojek online mantan pembalap MotoGP.” Tawa Cahya kembali pecah.Dengan antusias, Mentari kembali mengulang kisahnya pada kakak iparnya, “Waduh, Kak, kecepatannya 200 km/jam. Dia tidak mengenal lampu merah, lubang dan trotoar, semua diterjangnya tanpa rem. Beberapa kali aku hampir terlempar dari motornya. Sudah aku beritahu, tapi tidak digubrisnya. Bintang sa