Trrr... trrr....Ponsel Mentari bergetar di dalam tasnya yang tersimpan di loker. Sejak bekerja di perusahaan penjualan, dia tidak diperbolehkan menggunakan ponselnya selama jam bekerja. Dia pun mengaktifkan mode getar agar suara dering teleponnya tidak berisik di dalam loker.Trrr... trrrr....“Tari, sepertinya ponsel kamu yang terus bergetar di dalam loker,” ucap rekan kerja Mentari yang baru saja kembali dari loker.“Getarannya lama?” tanya Mentari ingin mengetahui dengan pasti.“Iya.” Setelah mengucapkan itu, temannya segera meninggalkan Mentari untuk menyambut seorang pelanggan yang baru saja memasuki toko mereka.Karena penasaran, Mentari memberitahu rekan kerja yang berada di dekatnya kalau dia mau ke loker sebentar. Dia bertanya-tanya siapakah gerangan yang meneleponnya. Getarann panjang adalah getaran telepon masuk, bukan notifikasi dari aplikasi apapun di ponselnya.Apakah ibunya? Ibu tidak mungkin meneleponnya selama jam kerja. Ibu mengetahui peraturan perusahaan yang tela
‘Halo, Tari, kamu masih di sana?’ Suara Gempita di seberang telepon menyadarkan Mentari yang tertegun. Tak menyangka dia akan mendengar kembali kata ‘cerai’ dari sahabat karibnya.“Siapa yang mengatakannya padamu?” tanya Mentari akhirnya.“Dua hari yang lalu ibuku bertemu tante, maksudku mama Argan. Tante bercerita bahwa keluarga kalian bertemu dan kamu meminta cerai dari Argan,” sahut Gempita dengan nafas teratur. Dia duduk di tangga depan pintu masuk kantornya agar leluasa bercerita, sekaligus beristirahat setelah menaiki lima lantai.“Mama?” ucap Mentari mengulang.“Iya.” Gempita dengan bersemangat menceritakan semua yang diketahuinya berdasarkan cerita dari ibunya.“Itu tidak benar, kan?”“Tidak. Aku tidak meminta cerai dari Argan.” Suara Mentari tertahan, dia memandang sekeliling. Tidak ada seorang pun di dekatnya. Hanya dia sendirian di ruang istirahat.“Sudah kuduga, tidak mungkin kamu melakukannya. Aku tidak percaya dengan semua cerita tante. Aku mengenal tanteku, aku mengetah
“Kamu sudah bicara dengan Argan?” tanya ibu saat sarapan besok paginya?Mentari mengambil sesendok nasi lagi, lalu menambahkan sayur ke piringnya, lalu menjawab, “Belum, Bu. Aku akan menunggu mereka yang menghubungiku terlebih dahulu.”“Kenapa, Tari?” Ibu tidak menyetujui keputusan Mentari.“Setelah hal-hal yang mereka lakukan padaku, aku tidak ingin menghubungi mereka lagi. Terlebih setelah mereka mengeluarkan pernyataan kalau aku meminta cerai dari Argan. Itu pernyataan mereka, bukan aku. Kalau mereka memang menginginkan perceraian, mereka yang harus mencariku. Dengan begitu, membuktikan kalau itu bukan kemauanku, tapi mereka.”“Benar.” Suara persetujuan Feri mengundang setiap pasang mata menatapnya. “Menurutku, benar yang dilakukan Mentari. Penggugat yang akan mencari sang tergugat. Bukan sebaliknya.”Keheningan memenuhi meja makan.“Benar juga kata Bapak. Iya, kan, Bu?” Cahya mengalihkan pandangannya dari Feri ke ibu. “Kalau benar Mentari yang menggugat cerai Argan, tentu Mentari
Makan siang Mentari kembali terusik, tepat ketika dia hendak memasukkan suapan pertama ke mulutnya. Bukan pesan oleh pesan masuk, kali ini telepon dari Ajeng.Mentari ingin mengabaikannya, namun tidak enak hati. Lagipula, semua kejadian buruk yang terjadi padanya bukan berasal dari Ajeng. Mungkin saja Ajeng tidak ada sangkut pautnya.“Halo, Kak,” sapa Mentari sopan.‘Tari, kamu di mana? Aku perlu bicara denganmu hari ini.’Kembali ajakan yang telah ditolak Mentari, dilontarkan Ajeng. Seolah Mentari tidak membalas pesan Ajeng kemarin.“Aku sedang bekerja, Kak,” ucapnya tegas.‘Di mana kamu bekerja? Argan tidak cerita apapun.’Lagi-lagi pertanyaan yang sama seperti pesannya.“Di perusahaan swasta, Kak,” jawab Mentari cepat, tidak ingin membahas lebih lanjut.‘Perusahaan apa?’ Tanpa ragu, suara di seberang terus melontarkan pertanyaan.Kali ini Mentari berhenti untuk berpikir, karena tidak ingin memberitahu nama dan lokasi tempat kerjanya.“Kak Ajeng mau membicarakan tentang apa?” Mentar
Seminggu berlalu, tidak kunjung ada berita lanjutan dari Ajeng. Kelegaan memang mengisi relung hati Mentari karenanya, namun sebenarnya dia ingin bertemu dengan kakak iparnya itu. Motif Ajeng bisa ditebak, tapi Mentari ingin mencari tahu respon Ajeng atas peristiwa-peristiwa yang telah terjadi antara dia dan Argan. Dia ingin memastikan, apakah Ajeng seratus persen mendukung adiknya dan ikut berkomplot dengan mamanya ataukah Ajeng terjebak dalam skenario yang disusun mamanya.“Tari, sadarlah! Sejak kapan Kak Ajeng berbuat baik padamu?” seru Mentari pada dirinya sendiri di depan cermin kecil yang dipegangnya.“Ckckck....”Mentari tersentak oleh suara tiba-tiba di sampingnya. Dian, rekan kerjanya berambut cokelat keabuan muncul berdiri di sampingnya sambil membuka lokernya.“Baru sebulan bekerja di sini, tapi kamu sudah mulai menunjukkan tanda-tanda...” Dian memutar-mutar jari telunjuknya di samping dahinya.“Bukan begitu,” bantah Mentari cepat sambil mengibas-ngibaskan tangannya.“Bukti
Sebulan lainnya berlalu. Seperti kata rekan-rekan kerjanya, Mentari telah dinyatakan lulus masa percobaan dan diangkat sebagai karyawan kontrak. Gaji yang diterimanya pun sudah gaji normal. Dipandanginya angka-angka lebih besar yang tertera di layar ponselnya. Dengan gembira dia melompat.“Senang, kan?” goda Dian.“Banget,” tawa Mentari.“Sekarang kamu akan dituntut lebih banyak pekerjaan oleh si ....” tunjuk Dian dengan dagu terangkat pada sosok kepala toko yang berjalan menuju etalase depan.Mentari tidak terintimidasi, baginya yang terpenting sekarang adalah uang. Dengan penghasilannya sekarang, dia bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan Feliz, juga bisa membayar hutang-hutangnya pada ibu dan Cahya. Bahkan dia masih bisa memiliki tabungan dengan sisanya.Hampir jam sepuluh malam, Feliz telah berbaring tertidur pulas. Mentari pun bersiap untuk tidur saat ponselnya menyampaikan notifikasi pesan masuk.Tangan Mentari meraih-raih ponsel yang diletakkannya di meja samping tempat tidur, l
Langkah Mentari terhenti. Feliz yang berjalan mendahuluinya berhenti dan memungut sebuah batu di atas aspal jalan. Segera Mentari maju lalu memegang tangan anaknya, hendak menghentikan yang sedang dilakukannya.“Jangan diambil, itu kotor, Feliz.”Tangan Mentari mencoba membuka jemari Feliz yang menggenggam batu dengan eratnya. Setelah berusaha cukup lama disertai penolakan Feliz, Mentari berhasil menyingkirkan batu kotor itu sembari memberikan wejangan-wejangan khas ibu-ibu.Kali ini Mentari tidak membiarkan Feliz berjalan sendirian meskipun bocah itu terus berusaha melepaskan genggaman tangan ibunya.Ibu yang berjalan mendahului keduanya, telah terlebih dahulu tiba di warung langganan mereka.Sewaktu Mentari tiba di rumah, Feliz merengek-rengek ingin mengikuti ibu ke warung, sehingga Mentari pun ikut menemani ibu dan Feliz. Persediaan beras dan beberapa keperluan rumah lainnya habis, belum sempat ibu atau Cahya berbelanja ke pasar.Di depan warung tampak seorang ibu mengenakan daster
“Tari, Argan tidak pernah menghubungi kamu?” tanya ibu saat Mentari sedang mencuci piring kotor sehabis makan malam.“Tidak, Bu.” Mentari telah menduga bahwa ibunya akan bertanya tentang Argan setelah diungkit oleh ibu-ibu di warung tadi.“Kamu tidak ingin menghubunginya?”Hal ini juga telah diduga ibu. Selama ini ibu memang diam saja, namun Mentari yakin, ibu sedang menunggu kesempatan yang tepat untuk membahas hal ini kembali.“Tidak,” jawab Mentari singkat berharap ibu memahaminya dan menghentikan pembahasan ini.Sambil membawa piring berisi sisa ikan makan malam, ibu berlalu menuju lemari makanan di depan di seberang wastafel cuci piring.Ibu berbalik memandangi punggung Mentari, menimbang-nimbang untuk kembali membahas soal rumah tangga anak bungsunya itu atau membiarkannya.“Bu,” Cahya berdiri di pintu dapur memandangi ibunya, “Tolong bantu aku.”“Ada apa?” Ibu beranjak menghampiri Cahya yang menunggui ibu. Setelah ibu hanya berjarak selangkah darinya, Cahya pun berlalu menuju k