Sebulan lainnya berlalu. Seperti kata rekan-rekan kerjanya, Mentari telah dinyatakan lulus masa percobaan dan diangkat sebagai karyawan kontrak. Gaji yang diterimanya pun sudah gaji normal. Dipandanginya angka-angka lebih besar yang tertera di layar ponselnya. Dengan gembira dia melompat.“Senang, kan?” goda Dian.“Banget,” tawa Mentari.“Sekarang kamu akan dituntut lebih banyak pekerjaan oleh si ....” tunjuk Dian dengan dagu terangkat pada sosok kepala toko yang berjalan menuju etalase depan.Mentari tidak terintimidasi, baginya yang terpenting sekarang adalah uang. Dengan penghasilannya sekarang, dia bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan Feliz, juga bisa membayar hutang-hutangnya pada ibu dan Cahya. Bahkan dia masih bisa memiliki tabungan dengan sisanya.Hampir jam sepuluh malam, Feliz telah berbaring tertidur pulas. Mentari pun bersiap untuk tidur saat ponselnya menyampaikan notifikasi pesan masuk.Tangan Mentari meraih-raih ponsel yang diletakkannya di meja samping tempat tidur, l
Langkah Mentari terhenti. Feliz yang berjalan mendahuluinya berhenti dan memungut sebuah batu di atas aspal jalan. Segera Mentari maju lalu memegang tangan anaknya, hendak menghentikan yang sedang dilakukannya.“Jangan diambil, itu kotor, Feliz.”Tangan Mentari mencoba membuka jemari Feliz yang menggenggam batu dengan eratnya. Setelah berusaha cukup lama disertai penolakan Feliz, Mentari berhasil menyingkirkan batu kotor itu sembari memberikan wejangan-wejangan khas ibu-ibu.Kali ini Mentari tidak membiarkan Feliz berjalan sendirian meskipun bocah itu terus berusaha melepaskan genggaman tangan ibunya.Ibu yang berjalan mendahului keduanya, telah terlebih dahulu tiba di warung langganan mereka.Sewaktu Mentari tiba di rumah, Feliz merengek-rengek ingin mengikuti ibu ke warung, sehingga Mentari pun ikut menemani ibu dan Feliz. Persediaan beras dan beberapa keperluan rumah lainnya habis, belum sempat ibu atau Cahya berbelanja ke pasar.Di depan warung tampak seorang ibu mengenakan daster
“Tari, Argan tidak pernah menghubungi kamu?” tanya ibu saat Mentari sedang mencuci piring kotor sehabis makan malam.“Tidak, Bu.” Mentari telah menduga bahwa ibunya akan bertanya tentang Argan setelah diungkit oleh ibu-ibu di warung tadi.“Kamu tidak ingin menghubunginya?”Hal ini juga telah diduga ibu. Selama ini ibu memang diam saja, namun Mentari yakin, ibu sedang menunggu kesempatan yang tepat untuk membahas hal ini kembali.“Tidak,” jawab Mentari singkat berharap ibu memahaminya dan menghentikan pembahasan ini.Sambil membawa piring berisi sisa ikan makan malam, ibu berlalu menuju lemari makanan di depan di seberang wastafel cuci piring.Ibu berbalik memandangi punggung Mentari, menimbang-nimbang untuk kembali membahas soal rumah tangga anak bungsunya itu atau membiarkannya.“Bu,” Cahya berdiri di pintu dapur memandangi ibunya, “Tolong bantu aku.”“Ada apa?” Ibu beranjak menghampiri Cahya yang menunggui ibu. Setelah ibu hanya berjarak selangkah darinya, Cahya pun berlalu menuju k
“Ada apa ini? Ramai sekali,” serbu Feri dengan nada bicara bersemangat memasuki ruang tamu yang berisik.“Tante Mentari sedang curhat, Pak,” sahut Winar yang bersandar di sofa mendengarkan cerita Mentari.“Itu, Kak, di toko. Bagaimana mungkin ada pelanggan yang sangat pelit seperti si bapak-bapak itu? Dia meminta diskon terus-menerus sampai meminta aku yang membayari biaya pengirimannya barangnya. Belum lagi dia memanggilku dengan kata ‘sayang’.” Amarah Mentari meluap-luap.Cahya yang duduk mengangkat kaki tergelak mendengarnya.“Hari ini adalah hari sial kamu, Tari.”“Ada lagi selain itu?” Feri penasaran.“Hari ini dia mendapatkan ojek online mantan pembalap MotoGP.” Tawa Cahya kembali pecah.Dengan antusias, Mentari kembali mengulang kisahnya pada kakak iparnya, “Waduh, Kak, kecepatannya 200 km/jam. Dia tidak mengenal lampu merah, lubang dan trotoar, semua diterjangnya tanpa rem. Beberapa kali aku hampir terlempar dari motornya. Sudah aku beritahu, tapi tidak digubrisnya. Bintang sa
Berita bahwa Mentari memiliki sepeda motor baru menyebar bagai virus di lingkungan tempat tinggalnya. Tetangga Mentari yang tidak pernah menyapanya sebelumnya, berbasa-basi dengannya sambil memperhatikan motor yang sementara didorongnya keluar dari halaman rumah. Dia masih belum mahir mengendarainya di area sempit, begitu pula dengan hal memarkirkan motor.Motor itu seperti mendukung tetangganya, tersangkut di sebuah batu yang menonjol di pinggiran jalan keluar. Mentari mendorongnya sekuat tenaga untuk melewati batu itu.Melihatnya terdiam, tetangganya mendekatinya dan memandangi motor yang sedang didorong Mentari.“Mentari, kamu kerja di mana sampai bisa membeli motor baru?”Wanita yang diajak bicara sedang berjibaku dengan motornya, kembali bertanya, “Kenapa?”Setelah beberapa kali usaha kerasnya tidak membuahkan hasil, dia pun memundurkan motornya dan mengambil jalan yang rata di sebelah batu itu. Dia merasa bodoh dalam hatinya, seharusnya sejak tadi dia melakukannya.“Permisi, Pak
Sekali lagi Mentari membaca pesan masuk yang muncul di layar depan ponselnya. Dia membuka aplikasi pesan itu dan membaca sekali lagi. Tidak ada yang salah dengan penglihatannya, tulisannya tetap sama seperti yang dibacanya pertama kali.Mentari terdiam, matanya menatap layar ponselnya, namun pikirannya melayang-layang.Setelah beberapa lama memandangi Mentari yang terdiam, Cahya pun mendekati adiknya dan menggoyang tubuhnya, “Ada apa, Tari?”Tersentak, Mentari menatap kakaknya lalu menyodorkan ponselnya yang menyala pada Cahya. Cahya membaca lalu memandang Mentari.“Tanyakan kejelasannya pada Gempita.”Seperti robot, Mentari mengikuti perintah Cahya. Dia segera menelepon Gempita.‘Tari, Argan kecelakaan,’ ucap Gempita mengulangi isi pesannya.Belum sempat Mentari bertanya, Gempita telah mulai menjelaskan, “Tante baru saja meneleponku dan mengabari kalau Argan kecelakaan kemarin. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun hari ini sudah pulang karena Argan tidak ingin berlama-lama di r
Keputusan Mentari untuk menelepon Argan dianggap sebagai sebuah kekalahan bagi Cahya.“Mereka yang membutuhkan kamu, mereka yang harus menghubungi kamu. Kenapa kamu berinisiatif bodoh seperti itu?” cerca Cahya setelah Mentari memberitahunya dan ibu.Kata-kata Cahya itu juga telah berputar di benak Mentari berulang kali sebelum dia memutuskan.“Bagaimana pun dia masih suamiku, Kak.”“Bukan alasan tepat!” bantah Cahya. “Seenaknya saja keluarganya keluar masuk dari kehidupan kamu. Kalau kamu tidak dibutuhkan mereka menelantarkan kamu seperti orang pinggiran. Tapi, saat mereka membutuhkanmu, mereka mencarimu dan memperlakukan kamu seperti pelayan mereka.”“Cahya,” tegur ibu keras.Cahya hendak menanggapi teguran ibu, namun dia mengurungkan niatnya.“Apa kata Argan?” Cahya hendak mengatakan ‘pria tidak tahu diri’ sebagai ganti nama Argan, namun lirikan matanya pada ibu yang tampak serius membuatnya menelan kata-kata itu.“Hmm... dia mengatakan kalau dia ditabrak dari belakang oleh sebuah m
“Selamat sore, Bu, Kak Cahya. Apa kabar?”Sekian lama suara itu tidak terdengar di rumah itu, terasa asing dan canggung. Cahya tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya. Dia berpaling, mengarahkan pandangannya pada pintu menuju dapur.Seolah kejadian-kejadian buruk di antara dia dan Mentari tidak pernah terjadi, Argan segera duduk di sofa terdekat sambil tersenyum dan berujar, “Senang rasanya kembali ke sini.”Hampir saja semburan Cahya terlontar dari mulutnya jika ibu tidak segera berdiri dan menahan tubuhnya yang berpaling menghadap Argan yang masih terus tersenyum memandangi sekeliling ruang tamu sekaligus mengikuti gerakan ibu yang meninggalkan ruang tamu.Pandangan jijik seolah berkata ‘Tidak tahu malu’ dilemparkan Cahya pada Argan. Argan yang melihat Cahya memandanginya dengan gaya sok lugu berujar, “Kak, makin cantik aja.”Sebelum Cahya sempat menanggapi, bunyi dering ponsel Argan yang maksimal menyelanya.“Halo, Ma.... Iya, baru aja tiba .... Iya, Ma, iya. Ga usah kuatir ....