"Ana sudah lama kerja bareng Yuda?" Yuli menatap wanita yang duduk di depannya. Terus terang saja, dia agak terkejut. Adiknya yang selama ini hanya tahu kerja, kerja dan kerja. Tiba-tiba dia mendapati ada wanita yang sudah tiga kali didapatinya bersama sang adik."Bukan kerja bareng, Mbak. Kita satu tempat kerja tapi beda divisi.""Mbak tanya Ana bukan kamu," ujar Yuli kesal.Menepuk pundak adiknya, Doni tertawa kecil. "Maaf, Da. Entah mengapa Mbak-mu ini sekarang jadi gampang marah.""Ini namanya hormon kehamilan," bela Yuli tidak terima."Lama-lama aku kasihan sama hormon. Selalu saja kamu jadikan kambing hitam.""Emang itu kenyataannya!" Yuli mencubit perut suaminya, kesal."Sudah-sudah, ngga enak sama Ana kalau Mbak sama Mas berdebat terus," kata Yuda mencoba menengahi.Ana yang langsung menjadi pusat perhatian, tersenyum tipis. Lagipula apa lagi yang bisa dia lakukan selain tersenyum? Ikut perdebatan ketiga orang di depannya? Jelas tidak mungkin.Ngomong-ngomong soal posisi duduk
Ana memincingkan mata, kala mobil yang dikendarai Yuda sudah melewati gerbang rumah keluarga Wijaya. Di sana, di teras yang luas Arjuna tengah bersandar pada salah satu pilar besar.Dari jarak yang tak terlalu dekat saja dia tahu jika Arjuna tengah marah. Ya, tak mungkin suaminya menyambut kedatangannya dengan marah setelah dia mencari gara-gara.Baiklah Ana, siapkan dirimu untuk menghadapi pria yang sepertinya tengah marah itu. Perdebatan panjang akan dimulai, tapi untuk kali ini dia tak mau mengalah.Enak saja! Masak sudah dibohongi masih mengalah, bodoh sekali dirinya jika seperti itu."Makasih, Mas." Ana turun dari mobil, dia kira Yuda akan langsung pulang, tapi pikirannya salah. Pria itu justru ikut turun bersamanya.Dia berusaha mencegah dengan mendelik pada Yuda. Namun, usahanya sia-sia. Dia sama sekali tidak diindahkan, yang ada Yuda layaknya orang yang siap menerima amarah Arjuna."Dari mana kalian?" Tidak ada bentakan dari suara itu. Hanya saja aura dingin dan nada datar Arj
Ana memperhatikan pria di sampingnya yang masih tertidur lelap. Perdebatan semalam memang belum menghasilkan apapun, karena dia memilih mengakhirinya dengan alasan capek dan ingin segera istirahat.Bukannya apa, hanya saja dia takut akan meluapkan amarah hingga berujung keluarnya kata yang menyakitkan untuk suaminya. Dia butuh menenangkan pikiran dulu, baru setelahnya mereka bisa bicara baik-baik tanpa luapan amarah.Kemarin saja dia mulai terpancing oleh amarah Arjuna. Nah, kalau diteruskan mereka akan berujung saling menyakiti dengan kalimat buruk untuk masing-masing dan dia tidak mau itu terjadi. Bukannya reda pasti pertengkaran mereka akan berlangsung lama.Matanya masih saja menatap suaminya yang kini tengah meregangkan badan. Ya, saat ini dia sedang tidak ingin membuat adegan drama, seperti pura-pura tidur ketika pasangannya terbangun. Jadi dia tetap menatap lekat suaminya.Ana tersenyum tipis, saat sang suami langsung terkesiap seraya memegangi dada begitu sadar sedang diperhat
"Mengalihkan pembicaraan, eh?""Mau jawab ngga?!""Sabar." Arjuna menyandarkan punggung, lalu menarik sang istri dalam pelukannya. "Pertama, yang mengajak bicara Rena bukan aku. Kedua, aku hanya bicara seperlunya, bicara tentang hubungan kami yang benar-benar berakhir.""Hanya itu?"Arjuna tidak langsung menjawab. Karena saat ini pikirannya sibuk berdebat. Haruskan dia jujur? Atau bohong?Kalau jujur, dia takut hubungannya dan Ana kembali merenggang padahal mereka baru saja berbaikan. Namun, berbohong juga bukan pilihan yang baik. Jika sampai Ana tahu hal itu dari orang lain pasti wanita itu akan marah."Hei!" tegur Ana yang mengira suaminya melamun."Hanya itu, ya, hanya itu." Akhirnya Arjuna memilih berbohong. Dia pasti akan bilang alasan sebenarnya di balik pernikahan mereka. Akan tetapi, tidak sekarang di saat hubungannya dengan Ana berjalan baik."Baik, aku percaya." Jika ada yang bertanya kenapa Ana begitu mudahnya percaya, hanya satu jawaban yang dia miliki. Karena selama ini A
Senyum bahagia tidak lepas dari bibir pria yang hari ini memakai kemeja putih yang dipadukan dengan celana hitam. Persis seperti penampilan anak magang.Langit yang terlihat begitu cerah, seakan mendukung kebahagiaanya. Toh, meski saat ini mendung pun dia akan tetap merasakan bahagia.Jika tau rasanya seperti ini, dari awal saja dia mengajak Ana menikah yang sesungguhnya. Tak perlu banyak sandiwara.Berulang kali pria itu melirik wanita di sampingnya, yang sejak tadi tidak mau menatap ke arahnya. Ah, sepertinya sang istri tengah malu. Karena dia bisa melihat pipi wanita itu bersemu merah.Kalau begini, dia jadi menyesal menyetujui ide sang istri untuk pergi ke rumah kakak Yuda. Bukankah lebih baik berduaan dengan istrinya di kamar? Membayangkan hal itu, tanpa sadar Arjuna senyum-senyum sendiri."Kamu kenapa?" tanya Ana menyadari keanehan suaminya. Belum lagi dia merasa sejak tadi berulang kali Arjuna menatap ke arahnya membuat darahnya terasa berdesir.Ah, bisa-bisanya mereka melakuka
"Ayo keluar." Ana menatap suaminya yang tengah mengetukkan jari di atas setir. "Kita ngga bawa apa-apa. Apa kata orang nantinya?" Arjuna memiringkan tubuh, supaya bisa menatap istrinya lebih jelas.Memutar bola matanya, malas. Ana benar-benar ingin menjitak suaminya. "Salah siapa kita sampai telat?" Menyisir pandangan pada rumah yang kemarin malam dia kunjungi, tempat itu sudah sepi, hanya tinggal beberapa orang, meskipun tenda yang berada di halaman masih berdiri tegak. Ana mendengkus kesal. "Lihat, acaranya bahkan sudah selesai.""Kenapa jadi aku saja yang salah? Toh, kamu juga menikmatinya." Arjuna mencebik, kesal. Kalimat Ana seolah menyiratkan dia telah melakukan pemaksaan.Ana menggeleng, tidak habis pikir dengan jawaban sang suami. Selalu saja tidak mau kalah. Sepertinya kata orang tentang wanita selalu benar tidak berlaku dalam hubungannya. Dalam banyak hal Arjuna selalu ingin menang."Malah melamun, ayo masuk!"Wanita yang hari ini menggunakan gamis berwarna putih itu langsu
Canggung. Suasana yang menggambarkan keadaan di ruang tamu Yuli. Setelah tadi, semuanya saling memberi pandangan terkejut atas kedatangan Arjuna dan Ana secara bersamaan, Yuda yang lebih dulu menyadari situasi langsung menyuruh mereka semua masuk ke dalam. Membuat rasa penasaran orang-orang belum terobati, karena masih belum mendapat jawaban kenapa Ana datang bersama Arjuna?Ana yang duduk di sebelah Arjuna hanya mampu tersenyum tipis, saat Kia dan Risa mengedipkan mata padanya. Ya, Ana bisa menebak kedua temannya itu sedang memberi kode agar nanti dia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Sesuatu yang jelas tidak akan dia beri. Memangnya mau menjelaskan apa? Kalau dia dan Arjuna datang bersama karena mereka suami istri?Itu bukan gagasan yang baik. Ya, sepertinya dia perlu mencari alasan tepat, agar tidak menimbulkan kecurigaan lebih besar.Lagipula dia tidak mau menjadi orang pertama yang menyebarkan berita pernikahannya, biarkan itu menjadi tugas sang suami."Lho? Arjuna?" Retn
"Rumah kami satu komplek sama Mbak Yuli, beda blok saja," jelas Kia. Sungguh wanita itu tidak nyaman dengan kehadiran Arjuna. Karena entah mengapa aura pria itu begitu menyeramkan.Akhirnya semakin lama suasana semakin mencair, Ana beberapa kali ikut dalam obrolan mereka meskipun lebih banyak diamnya. Ana merasa bertanggung jawab sebab membawa Arjuna hingga menyebabkan suasana menjadi kurang menyenangkan."Biar aku bantu, Mbak." Ana berdiri, membantu Yuli mengangkat piring-piring kotor yang baru saja mereka gunakan untuk makan. Karena tamu di sini hanya tinggal dirinya dan Arjuna, yang lain sudah pulang karena cukup lama berada di rumah Yuli.Sementara dia masih malu mau pamit pulang karena baru saja selesai makan. Setidaknya perlu menunggu beberapa menit."Eh, ngga usah. Kamu duduk aja.""Ngga apa-apa, Mbak." Ana mengambil nampan yang berada di tangan Yuli. Sungguh dia tak punya maksud lain, hanya ingin sekedar membantu mengingat dirinya salah satu perempuan muda di sini.Arjuna mend