"Rumah kami satu komplek sama Mbak Yuli, beda blok saja," jelas Kia. Sungguh wanita itu tidak nyaman dengan kehadiran Arjuna. Karena entah mengapa aura pria itu begitu menyeramkan.Akhirnya semakin lama suasana semakin mencair, Ana beberapa kali ikut dalam obrolan mereka meskipun lebih banyak diamnya. Ana merasa bertanggung jawab sebab membawa Arjuna hingga menyebabkan suasana menjadi kurang menyenangkan."Biar aku bantu, Mbak." Ana berdiri, membantu Yuli mengangkat piring-piring kotor yang baru saja mereka gunakan untuk makan. Karena tamu di sini hanya tinggal dirinya dan Arjuna, yang lain sudah pulang karena cukup lama berada di rumah Yuli.Sementara dia masih malu mau pamit pulang karena baru saja selesai makan. Setidaknya perlu menunggu beberapa menit."Eh, ngga usah. Kamu duduk aja.""Ngga apa-apa, Mbak." Ana mengambil nampan yang berada di tangan Yuli. Sungguh dia tak punya maksud lain, hanya ingin sekedar membantu mengingat dirinya salah satu perempuan muda di sini.Arjuna mend
"Bukan seperti itu, hanya saja Mas masih 23 tahun. Menurutku masih terlalu muda untuk menjadi ayah."Arjuna mendengkus kesal, kala kalimat itu terus berputar di otaknya. Sesuatu yang diucapkan sang istri saat di mobil mobil tadi.Terlalu muda untuk mejadi ayah? Yang benar saja! Bahkan banyak kenalannya sudah mempunyai anak di usia sepertinya.Apa sih sebenarnya pikiran wanita itu? Bagaimana bisa istrinya membandingkan usia dengan kesiapan mempunyai anak?Meremas ponsel di tangannya dengan kuat, akibat rasa jengkel yang di rasakan, Arjuna mencoba tidak menatap istrinya yang baru saja keluar kamar mandi. Oke, dia memang kesal, tapi melihat istrinya yang tampak segar bisa-bisa rasa jengkelnya akan hilang diganti rasa yang lain, yang untuk saat ini coba dia pendam."Ngga mandi?" tanya Ana yang sudah duduk di depan meja rias. Dari balik kaca, Ana melihat suaminya yang bangkit dari tempat tidur, lalu tanpa mengucapkan apapun langsung masuk ke kamar mandi.Ana menghela napas panjang. Ya, kal
"Bukan gitu! Hanya saja ... apa ini ngga terlalu cepat?"Arjuna mengela napas panjang, pandangannya tak lagi tertuju pada sang istri melainkan langit-langit kamar yang berwarna putih. "Aku mau punya keluarga tempat mencurahkan kasih sayang, ingin rasanya punya tempat pulang."Ana mencoba memahami kalimat yang baru saja didengarnya. Apa ini berhubungan dengan masa kecil Arjuna yang bisa dibilang kurang kasih sayang? "Tapi punya anak ngga semudah itu, Mas. Ada tanggung jawab besar didalamnya. Setidaknya kita perlu menyiapkan diri.""Jadi tidak dalam waktu dekat?""Kita jalani dulu saja, bagaimana? Sembari belajar bagaimana menjadi orang tua." Ana meremas tangan sang suami yang tengah bersandar, tapi kini dengan pandangan yang kembali tertuju padanya."Baiklah." Arjuna tiba-tiba menyeringai seraya memajukan wajahnya, membuat Ana jadi was-was. "Yang penting kita usaha terus," bisiknya di telinga sang istri. Apa yang dikatakan sang istri, dia tak bisa menggunakan emosi sesaat. Hanya takut
Ana memutar kepala, lalu mendongak. Keningnya berkerut kala mendapati sang suami sudah berdiri di belakangnya, memberi tatapan khawatir yang kentara."Ngga apa-apa. Mas kok di sini?" Ana melirik teman-temannya yang sudah mode diam, tapi dia paham mereka semua sedang menyimak dengan baik percakapannya.Ketika tatapannya berhenti pada Kia, dia menahan diri untuk tidak tertawa. Ekspresi takut-takut wanita itu ketika melihat Arjuna sungguh lucu."Mau ngajak kamu duduk sama kakek.""Boleh di sini aja?"Arjuna menggeleng. "Kakek yang suruh ke sana." Pandangan pria itu beralih pada kaki Ana, lalu tanpa memedulikan orang lain, dia mendekatkan wajah ke telinga sang istri. "Nanti kalau capek, aku pijet."Sontak pipi Ana memerah mendengar kalimat itu. Bukannya apa, dia sudah dewasa jelas paham maksud terselebung suaminya. Berdiri demi menghindari kalimat aneh lain yang mungkin saja keluar dari bibir suaminya, Ana berpamitan pada teman-temannya."Lain kali jangan bicara aneh-aneh!" Ana berbisik p
Seharian ini Arjuna dibuat bingung dengan tingkah istrinya. Wanita itu memang masih menyiapkan perlengkapannya, tapi ada yang aneh. Ana jadi pendiam. Padahal belakangan ini mulai cerewet.Berkali-bali dia ingin menanyakan apa istrinya itu ada masalah. Namun, masih belum ada kesempatan. Tadi pagi mereka buru-buru berangkat kerja, lalu ketika jam makan siang dia masih di luar setelah diajak meeting oleh atasannya."Kenapa, lo?" Revan memperhatikan sahabatnya yang sejak tadi sibuk melirik jam tangan."Waktu pulangnya kok lama banget sih?" gerutu Arjuna tidak menjawab pertanyaan sang sahabat."Kenapa? Ngga sabar ketemu bini?"Alih-alih mengelak, Arjuna justru mengangguk. Membuat Revan mengumpat, kesal. Bagaimana tidak, dia sudah lama sendiri dan kini melihat sahabatnya kembali kasmaran, membuat jiwa jomblo-nya meronta!"Gue balik dulu." Arjuna langsung pergi begitu waktu menunjukkan pukul empat."Dasar bucin!" Revan menggeleng dramatis. Antara meledek sahabatnya, juga mengasihani nasibnya
Arjuna yang akan memutar tubuhnya langsung dicegah oleh Ana. Bahu pria itu dipegang erat oleh sang istri. Tidak erat, dalam sekali sentak juga akan terlepas. Namun, Arjuna memilih untuk membiarkan."Jangan menoleh! Biarkan seperti ini! Karena aku khawatir akan langsung ngamuk jika melihat ekspresi Mas.""Apa yang dia katakan?" Arjuna memejamkan mata saat tak kunjung mendapat jawaban. "Warisan?" tebaknya.Mengangguk lemah, Ana tidak menyangkal sama sekali. Karena itu memang kenyataannya 'kan?"Kamu marah?"Ana tertawa, tapi Arjuna dapat menangkap nada getir dalam tawa itu."Harus banget, ya, tanya hal itu? Memangnya menurut Mas gimana?""Ana ... Aku .... "Lagi-lagi gerakan Arjuna yang akan memutar kepala terhenti, saat kedua pipinya ditahan oleh tangan sang istri."Jujur saja, aku marah. Rasanya ngga terima aja kalau nilaiku cuma sebatas warisan."Arjuna berdecak kesal. "Bukan seperti itu! Waktu itu aku disuruh Rena. Aku—""Jadi karena Mbak Rena?" tanya Ana lirih.Melepaskan tangan sa
Arjuna menggenggam erat tangan sang istri. Seakan dengan itu dia ingin menegaskan kalau wanita itu tidak sendiri.Merasakan tangan kecil itu basah karena keringat, membuat dia menoleh pada sang istri yang tampak memandang gerbang di depannya dengan cemas.Bahkan dia yakin, mata wanita itu sudah berkaca-kaca. Mengingat dari samping, terlihat sang istri menggigit bibirnya yang bergetar."Tenang," ujarnya seraya membuat pola abstrak di tangan sang istri menggunakan ibu jarinya. Mencoba membuat istrinya lebih tenang lewat tindakan.Ana mengangguk, meskipun matanya berkata sebaliknya. Binar itu masih memancarkan kekhawatiran.Tidak lama setelahnya, senyum Ana mengembang sempurna. Bahkan dengan sekali sentak, dia melepaskan genggaman tangan sang suami. Lantas langkahnya bergerak maju, tertatih-tatih, seakan apa yang dilihatnya kini hanya mimpi."Ayah," lirihnya begitu sampai di hadapan pria paruh baya, yang berdiri tegap seraya mencangklong sebuah ransel. Matanya berulang kali mengedip untu
"Suka. Tapi ini terlalu berlebihan." Pandu menatap menantunya tidak enak. "Maksudnya ayah butuh rumah yang kecil saja. Toh, ayah juga tinggal sendiri.""Arjuna mohon terima pemberian ini, Yah. Anggap saja ini sebagai caraku untuk berbakti. Ayah tahu 'kan aku sudah tidak memiliki orang tua? Lagipula, nanti kami juga akan menginap di sini."Pandu menepuk pundak sang menantu, "baiklah, terima kasih. Ayah mau keliling dulu."Arjuna mengangguk, lalu melarikan pandangan sang istri yang sudah berkaca-kaca."Kenapa?""Terima kasih.""Sama-sama. Udah, nangisnya nanti aja." "Ih, siapa juga yang nangis?"Mencebik, Arjuna ganti mencubit pipi sang istri. "Tuh, muka dah merah gitu.""Panas.""Gengsi terus," cibir Arjuna."Siapa dulu yang ngajari?""Nyindir? Udah, stop di sini. Ngga usah debat." Arjuna mendekatkan bibir di telinga sang istri. "Soalnya kalau liat kamu cemberut gini, bawaannya pengen aku kurung aja.""Dasar! Aku mau nyusul ayah."Langkah Ana terhenti begitu mendengar pertanyaan pria
Ada pertemuan, ada perpisahan. Bukankah itu siklus kehidupan?Dan sekarang Arjuna berada dalam fase tersebut. Setelah satu bulan lalu mereka bertemu dengan putra yang selama sembilan bulan berada di kandungan Ana, saat ini mereka harus mengalami perpisahan dengan sosok tercinta.Ya, tepat pukul enam pagi tadi Barata yang kemarin penuh suka cita menyambut sang cicit, kini lebih dulu meninggalkan dunia. Laki-laki tua yang yang diberi kepercayaan Arjuna untuk memberi nama pada keturunan Wijaya tersebut, mengembuskan napas terakhir setelah dirawat di rumah sakit selama tiga hari akibat sakit jantung yang dideritanya.Tak ada yang meyangka, laki-laki yang tampak sehat hingga setiap hari menyempatkan waktu menggendong sang cicit telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan banyak kenangan bagi orang-orang yang mengenalnya, terutama Arjuna."Hubungan kami bahkan baru membaik."Ana mengusap punggung sang suami yang belum mau beranjak sejak tadi. Setia berjongkok di samping makam salah satu orang
"Udah, jangan nangis." Ana meringis karena bukannya mereda, tangis sang suami malah semakin keras. Pelukan di tubuhnya pun semakin erat. Dia merasa sesak, tapi sebaik mungkin menahannya agar sang suami tak bertambah sedih.Setengah jam berlalu, Arjuna masih terus mendekapnya sambil menggumamkan kata maaf yang tak terhitung jumlahnya. Padahal Ana merasa dirinya baik-baik saja. Entah kenapa setelah bayinya lahir, ketenangannya pun kembali. Dia jadi bisa berpikir lebih jernih, tak lagi menggunakan emosi berlebih.Ya, tepat dua jam lalu dia berhasil melahirkan putranya dalam keadaan sehat dan tanpa kurang satu apapun. Dia bersyukur untuk itu. Sangat.Masalahnya, laki-laki dalam pelukannya itu tak henti mengutuk dirinya sendiri karena tidak menemaninya kala berjuang di antara hidup dan mati. Suaminya yang kemarin pergi ke Surabaya, datang setelah anak mereka lahir ke dunia. Arjuna tidak mendapatkan penerbangan tercepat, sementara dia yang merasakan kontraksi dini hari tadi mengalami proses
Arjuna merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu memijat tengkuk hingga bahunya sendiri. Satu bulan sudah dia menjadi pemimpin hotel atas amanah sang kakek. Baru saja dia bersiap pulang dengan merapikan meja serta memilih apa-apa saja yang akan dibawa pulang. Pintu ruangannya tiba-tiba terbuka, tanpa diketuk dulu.Protes yang akan Arjuna layangkan terpaksa ditelan kembali sebab perasaannya langsung tak enak. Wajah panik dan khawatir Yuda lah yang menjadi alasan. "Ana masuk rumah sakit, dia terpleset di kamar mandi."Satu kalimat yang menyebabkan tubuh Arjuna menegang. Wajahnya pucat seakan tidak ada darah yang mengalir di sana, bahkan bibirnya tak bisa diajak bekerja sama untuk menanggapi Yuda. "Ayo kita ke rumah sakit, Mas."Entah mendapat kekuatan dari mana, Arjuna berdiri dan berjalan cepat keluar dari ruangannya. Sampai-sampai Yuda pun tampak kesulitan mensejajarkan langkah. Hampir saja tangan Arjuna menyentuh pintu mobil, tapi sebuah tangan lebih dulu menahannya."Biar
"Belum tidur?""Kebangun. Mas belum tidur?"Ana merapikan rambut sang suami yang mulai memanjang, tangannya terulur bermaksud menghilangkan kerutan di kening Arjuna. Saat-saat seperti inilah yang dia rindukan. Saling tatap tanpa ada suara apapun. Tenang dan menyenangkan.Dulu awal-awal hubungan mereka membaik, hal seperti itu terjadi setiap hari. Bahkan melakukan pillow talk bisa sampai satu jam lebih. Namun, sekarang? Boro-boro membicarakan keseharian, Arjuna menanggapi ceritanya tanpa tertidur itu saja sudah bagus.Dia tahu beban sang suami semakin besar, tapi entah kenapa justru dirinya yang belum siap. Kedekatan mereka baru terjalin, tak rela rasanya harus kembali berjarak.Memang benar cinta ada di antara mereka, tapi jika tidak dipupuk bukankah akan pudar?Dan baginya komunikasi dan pertemuan adalah salah satu cara menjaga cinta. Sepertinya dia bukan orang yang betah menjalin hubungan jarak jauh. Apalagi ditambah moodnya yang belakangan naik turun, menyebabkan kekesalannya gampa
Ana menjatuhkan tubuhnya pada tempat tidur, lalu menutupnya dengan selimut hingga kepala. Mengabaikan gerah yang melanda, dia tetap menutup mulut meski berulang kali sang suami mengajak bicara."Maaf, An."Masih tidak ada tanggapan dari Ana menyebabkan Arjuna mengacak kasar rambutnya. Siapa yang menyangka acara perpisahan dengan Rena justru membuat sang istri salah paham.Apalagi sikap Ana yang menjadi aneh. Jika biasanya sang istri menghadapi Rena dengan tenang, tadi justru tak malu menunjukkan amarah secara langsung. Bahkan sampai meninggalkannya lebih dahulu tanpa peduli hal ini menimbulkan pertanyaan para pekerja."Sayang, aku bisa jelasin.""Kalau buat salah baru manggil sayang," gerutu Ana."Jadi kamu maunya dipanggil sayang terus?" tanya Arjuna yang menganggap sikap sang istri sangat menggemaskan. Telunjuknya pun mulai mengetuk-ngetuk punggung sang istri. "Kamu bisa jatuh kalau bergerak terus.""Makanya jangan sentuh!""Ngga bisa, aku kangen."Kalimat itu berhasil memancing Ana
"Baru pulang?""Hmm," jawab Arjuna singkat."Bisa kita bicara? Sebentar saja, tolong."Mudah bagi Arjuna menolak ajakan itu, toh dia tak lagi peduli dengan Rena. Sayangnya sudut hatinya tergerak saat melihat wajah sendu perempuan itu.Bukan, dia bukan luluh hanya saja keputusasaan yang tergambar di raut itu menjadikannya memenuhi keinginan Rena. Tanpa banyak berpikir pun dia tahu jika mantan kekasihnya seolah tengah menanggung beban yang sangat berat. "Di belakang."Setelah mengucapkan itu, Arjuna melangkah lebih dulu. Mencoba tak menghiraukan tatapan penasaran para pekerja, dia terus berjalan ke arah taman belakang. Setidaknya di tempat itu lebih aman sebab di dapur masih banyak pelayan yang tengah bersantai."Kalian tetap di tempat!" perintah Arjuna begitu orang-orang yang dilihatnya berdiri, tampak akan meninggalkan meja bundar yang terdapat di dapur."Ba–baik, Tuan," jawab Eka sembari menunduk. Namun, sesudah majikannya pergi langsung berkasak-kusuk dengan yang lain. "Kira-kira me
Pandu menggeleng. "Tentu saja tidak, tapi Pak Ari terus saja datang sampai akhirnya ayah luluh dan memaafkannya.""Lalu kenapa ayah tidak meminta dibebaskan? Meminta nama baik ayah diperbaiki.""Entah lah." Pandu mengedikkan bahu. "Ketika mendengar cerita Pak Ari tentang bagaimana dia tertekan karena menjadi menantu Pak Barata, dan juga bagaimana istri pria itu menuntutnya macam-macam, ayah jadi tidak tega."Ana mendengkus kencang. "Ayah suka ngga tegaan!""Dan maaf sudah menurunkan sifat itu pada kamu." Pandu tertawa melihat anaknya cemberut.Dia masih ingat bagaimana Ana bercerita tentang sifatnya yang mudah tidak tega itu begitu menyulitkannya. Namun, meski begitu Ana tidak segan menolong orang lain. Hingga terkadang kepentingannya sendiri terabaikan."Sekarang kamu sudah dengar semuanya, jadi pulang, ya?""Ayah ngusir aku?""Iya, ayah ngusir. Kamu itu udah jadi istri, apapun yang kamu lakukan harus seizin suamimu. Mengerti 'kan?"Ana mengangguk. "Tapi Ana masih marah. Dan satu lag
Bukankah manusia itu kadang bersikap begitu aneh? Seperti penuh keyakinan ketika mengambil keputusan, tapi hanya selang beberapa waktu merasa menyesal. Itulah yang dirasakan Ana saat ini.Sudah beberapa menit berlalu, tapi Ana baru berhasil memasukan sarapannya sebanyak tiga sendok. Rasa bersalah yang sejak semalam dia rasakan membuatnya malas untuk melakukan sesuatu. Bahkan makanan kali ini, sang ayah yang memasak.Sebenarnya bisa saja wanita itu menghubungi suaminya, dan menceritakan kegundahan hatinya. Tentang rasa marah, kecewa dan juga perasaan bersalah karena bertindak semena-mena terhadap sang suami. Namun, tidak seperti biasanya yang mengalah terasa mudah. Kini entah mengapa dia sulit melakukan itu.Memang benar apa yang dikatakan sang suami. Ibunya telah berhasil mendidiknya dengan baik, terbukti saat ini dia menjadi gelisah setelah menyebabkan suaminya sakit hati.Kesal dengan pikiran dan hatinya yang semrawut, tanpa sadar Ana meletakkan sendoknya sedikit keras."Makan yang
Arjuna kembali memutar kepala ke samping, kala mendengarkan isakan lirih di sebelahnya. Dia menghela napas saat melihat bahu istrinya bergetar. Wanita itu menangis. Hal yang selalu dia dapati beberapa hari ini.Kalau kemarin dia hanya diam saja, tapi tidak untuk kali ini. Lagipula sampai kapan mereka akan seperti ini? Saling menghindar satu sama lain.Mereka harus mulai menyelesaikan masalah ini! Agar tak sampai berlarut-larut.Maka dari itu, Arjuna membuang segala keraguannya. Dengan pelan dia memegang bahu sang istri, senyum kecut tersungging di bibirnya kala Ana menghindari sentuhannya."Mari bicara," ucap Arjuna yang sudah beralih posisi menjadi duduk bersila di atas tempat tidur. Tangannya masih berusaha membalikkan tubuh istrinya."Ana!" panggilnya sekali lagi. Sesungguhnya bukan hanya wanita itu yang frustasi, dia pun merasakan hal yang sama!Arjuna menghela napas lega, ketika melihat pergerakan sang istri. Lagi-lagi hatinya merasa nyeri, begitu mendapati wajah istrinya yang su