Arjuna yang akan memutar tubuhnya langsung dicegah oleh Ana. Bahu pria itu dipegang erat oleh sang istri. Tidak erat, dalam sekali sentak juga akan terlepas. Namun, Arjuna memilih untuk membiarkan."Jangan menoleh! Biarkan seperti ini! Karena aku khawatir akan langsung ngamuk jika melihat ekspresi Mas.""Apa yang dia katakan?" Arjuna memejamkan mata saat tak kunjung mendapat jawaban. "Warisan?" tebaknya.Mengangguk lemah, Ana tidak menyangkal sama sekali. Karena itu memang kenyataannya 'kan?"Kamu marah?"Ana tertawa, tapi Arjuna dapat menangkap nada getir dalam tawa itu."Harus banget, ya, tanya hal itu? Memangnya menurut Mas gimana?""Ana ... Aku .... "Lagi-lagi gerakan Arjuna yang akan memutar kepala terhenti, saat kedua pipinya ditahan oleh tangan sang istri."Jujur saja, aku marah. Rasanya ngga terima aja kalau nilaiku cuma sebatas warisan."Arjuna berdecak kesal. "Bukan seperti itu! Waktu itu aku disuruh Rena. Aku—""Jadi karena Mbak Rena?" tanya Ana lirih.Melepaskan tangan sa
Arjuna menggenggam erat tangan sang istri. Seakan dengan itu dia ingin menegaskan kalau wanita itu tidak sendiri.Merasakan tangan kecil itu basah karena keringat, membuat dia menoleh pada sang istri yang tampak memandang gerbang di depannya dengan cemas.Bahkan dia yakin, mata wanita itu sudah berkaca-kaca. Mengingat dari samping, terlihat sang istri menggigit bibirnya yang bergetar."Tenang," ujarnya seraya membuat pola abstrak di tangan sang istri menggunakan ibu jarinya. Mencoba membuat istrinya lebih tenang lewat tindakan.Ana mengangguk, meskipun matanya berkata sebaliknya. Binar itu masih memancarkan kekhawatiran.Tidak lama setelahnya, senyum Ana mengembang sempurna. Bahkan dengan sekali sentak, dia melepaskan genggaman tangan sang suami. Lantas langkahnya bergerak maju, tertatih-tatih, seakan apa yang dilihatnya kini hanya mimpi."Ayah," lirihnya begitu sampai di hadapan pria paruh baya, yang berdiri tegap seraya mencangklong sebuah ransel. Matanya berulang kali mengedip untu
"Suka. Tapi ini terlalu berlebihan." Pandu menatap menantunya tidak enak. "Maksudnya ayah butuh rumah yang kecil saja. Toh, ayah juga tinggal sendiri.""Arjuna mohon terima pemberian ini, Yah. Anggap saja ini sebagai caraku untuk berbakti. Ayah tahu 'kan aku sudah tidak memiliki orang tua? Lagipula, nanti kami juga akan menginap di sini."Pandu menepuk pundak sang menantu, "baiklah, terima kasih. Ayah mau keliling dulu."Arjuna mengangguk, lalu melarikan pandangan sang istri yang sudah berkaca-kaca."Kenapa?""Terima kasih.""Sama-sama. Udah, nangisnya nanti aja." "Ih, siapa juga yang nangis?"Mencebik, Arjuna ganti mencubit pipi sang istri. "Tuh, muka dah merah gitu.""Panas.""Gengsi terus," cibir Arjuna."Siapa dulu yang ngajari?""Nyindir? Udah, stop di sini. Ngga usah debat." Arjuna mendekatkan bibir di telinga sang istri. "Soalnya kalau liat kamu cemberut gini, bawaannya pengen aku kurung aja.""Dasar! Aku mau nyusul ayah."Langkah Ana terhenti begitu mendengar pertanyaan pria
Arjuna menggenggam tangan istrinya dengan erat, saat mereka baru keluar dan melihat mobil Rena baru memasuki gerbang. Dia sungguh tak mau sampai ada kesalahpahaman.Seminggu yang lalu, dia sudah berniat melabrak Rena. Sayangnya, hal itu dicegah oleh sang istri. Menurut wanita itu, tidak perlu memperpanjang masalah. Toh, hubungan mereka baik-baik saja.Dia menurut. Lantas memilih menghindari pertemuan dengan Rena. Akan bahaya jika mereka sampai berinteraksi, bisa jadi dia meluapkan kemarahan detik itu juga.Memang mereka masih bertemu di rumah, tapi untungnya saat itu ada sang istri di sampingnya, yang selalu berhasil membuat dia tenang."Ayo, masuk!" Arjuna menarik tangan istrinya. Tak memedulikan atau sekedar menyapa Rena.Meskipun tak mau memperpanjang masalah, tapi tidak bisa dipungkiri jika amarah masih tersimpan di hatinya. Perbuatan Rena keterlaluan karena bisa menyebabkan rumah tangganya berantakan.Sementara itu, Rena merasakan hatinya sakit. Bahkan seakan oksigen di sekitarny
Hubungan suami istri yang baru saja melewati hari-hari penuh cinta itu memburuk. Mereka memang masih saling bicara, tapi hanya seperlunya. Tidak ada lagi canda dan perdebatan.Mereka memang masih tidur satu ranjang, tapi tidak pernah ada sentuhan lagi. Bahkan sering kali mereka saling memunggungi. Ah, lebih tepatnya Ana yang sering memberi punggung pada sang suami.Seperti saat ini, Arjuna memandang nanar punggung istrinya. Sejujurnya dia rindu. Sangat rindu. Namun, apa mau dikata, dia juga tidak bisa menyalahkan sang istri. Seandainya berada di posisi wanita itu, mungkin dia akan melakukan hal yang sama.Mengulurkan tangan bermaksud mengusap punggung sang istri, Arjuna mengurungkan niatnya. Tangannya terkepal di udara, takut. Bagaimana jika Ana menolak?Sungguh, dia tidak sanggup menerima penolakan dari wanita yang kini telah memenuhi hatinya. Mengubah posisi menjadi telentang, Arjuna menatap langit-langit kamar seraya memutar kembali ingatannya pada kejadian beberapa hari yang lalu.
Arjuna kembali memutar kepala ke samping, kala mendengarkan isakan lirih di sebelahnya. Dia menghela napas saat melihat bahu istrinya bergetar. Wanita itu menangis. Hal yang selalu dia dapati beberapa hari ini.Kalau kemarin dia hanya diam saja, tapi tidak untuk kali ini. Lagipula sampai kapan mereka akan seperti ini? Saling menghindar satu sama lain.Mereka harus mulai menyelesaikan masalah ini! Agar tak sampai berlarut-larut.Maka dari itu, Arjuna membuang segala keraguannya. Dengan pelan dia memegang bahu sang istri, senyum kecut tersungging di bibirnya kala Ana menghindari sentuhannya."Mari bicara," ucap Arjuna yang sudah beralih posisi menjadi duduk bersila di atas tempat tidur. Tangannya masih berusaha membalikkan tubuh istrinya."Ana!" panggilnya sekali lagi. Sesungguhnya bukan hanya wanita itu yang frustasi, dia pun merasakan hal yang sama!Arjuna menghela napas lega, ketika melihat pergerakan sang istri. Lagi-lagi hatinya merasa nyeri, begitu mendapati wajah istrinya yang su
Bukankah manusia itu kadang bersikap begitu aneh? Seperti penuh keyakinan ketika mengambil keputusan, tapi hanya selang beberapa waktu merasa menyesal. Itulah yang dirasakan Ana saat ini.Sudah beberapa menit berlalu, tapi Ana baru berhasil memasukan sarapannya sebanyak tiga sendok. Rasa bersalah yang sejak semalam dia rasakan membuatnya malas untuk melakukan sesuatu. Bahkan makanan kali ini, sang ayah yang memasak.Sebenarnya bisa saja wanita itu menghubungi suaminya, dan menceritakan kegundahan hatinya. Tentang rasa marah, kecewa dan juga perasaan bersalah karena bertindak semena-mena terhadap sang suami. Namun, tidak seperti biasanya yang mengalah terasa mudah. Kini entah mengapa dia sulit melakukan itu.Memang benar apa yang dikatakan sang suami. Ibunya telah berhasil mendidiknya dengan baik, terbukti saat ini dia menjadi gelisah setelah menyebabkan suaminya sakit hati.Kesal dengan pikiran dan hatinya yang semrawut, tanpa sadar Ana meletakkan sendoknya sedikit keras."Makan yang
Pandu menggeleng. "Tentu saja tidak, tapi Pak Ari terus saja datang sampai akhirnya ayah luluh dan memaafkannya.""Lalu kenapa ayah tidak meminta dibebaskan? Meminta nama baik ayah diperbaiki.""Entah lah." Pandu mengedikkan bahu. "Ketika mendengar cerita Pak Ari tentang bagaimana dia tertekan karena menjadi menantu Pak Barata, dan juga bagaimana istri pria itu menuntutnya macam-macam, ayah jadi tidak tega."Ana mendengkus kencang. "Ayah suka ngga tegaan!""Dan maaf sudah menurunkan sifat itu pada kamu." Pandu tertawa melihat anaknya cemberut.Dia masih ingat bagaimana Ana bercerita tentang sifatnya yang mudah tidak tega itu begitu menyulitkannya. Namun, meski begitu Ana tidak segan menolong orang lain. Hingga terkadang kepentingannya sendiri terabaikan."Sekarang kamu sudah dengar semuanya, jadi pulang, ya?""Ayah ngusir aku?""Iya, ayah ngusir. Kamu itu udah jadi istri, apapun yang kamu lakukan harus seizin suamimu. Mengerti 'kan?"Ana mengangguk. "Tapi Ana masih marah. Dan satu lag