"Bukan seperti itu, hanya saja Mas masih 23 tahun. Menurutku masih terlalu muda untuk menjadi ayah."Arjuna mendengkus kesal, kala kalimat itu terus berputar di otaknya. Sesuatu yang diucapkan sang istri saat di mobil mobil tadi.Terlalu muda untuk mejadi ayah? Yang benar saja! Bahkan banyak kenalannya sudah mempunyai anak di usia sepertinya.Apa sih sebenarnya pikiran wanita itu? Bagaimana bisa istrinya membandingkan usia dengan kesiapan mempunyai anak?Meremas ponsel di tangannya dengan kuat, akibat rasa jengkel yang di rasakan, Arjuna mencoba tidak menatap istrinya yang baru saja keluar kamar mandi. Oke, dia memang kesal, tapi melihat istrinya yang tampak segar bisa-bisa rasa jengkelnya akan hilang diganti rasa yang lain, yang untuk saat ini coba dia pendam."Ngga mandi?" tanya Ana yang sudah duduk di depan meja rias. Dari balik kaca, Ana melihat suaminya yang bangkit dari tempat tidur, lalu tanpa mengucapkan apapun langsung masuk ke kamar mandi.Ana menghela napas panjang. Ya, kal
"Bukan gitu! Hanya saja ... apa ini ngga terlalu cepat?"Arjuna mengela napas panjang, pandangannya tak lagi tertuju pada sang istri melainkan langit-langit kamar yang berwarna putih. "Aku mau punya keluarga tempat mencurahkan kasih sayang, ingin rasanya punya tempat pulang."Ana mencoba memahami kalimat yang baru saja didengarnya. Apa ini berhubungan dengan masa kecil Arjuna yang bisa dibilang kurang kasih sayang? "Tapi punya anak ngga semudah itu, Mas. Ada tanggung jawab besar didalamnya. Setidaknya kita perlu menyiapkan diri.""Jadi tidak dalam waktu dekat?""Kita jalani dulu saja, bagaimana? Sembari belajar bagaimana menjadi orang tua." Ana meremas tangan sang suami yang tengah bersandar, tapi kini dengan pandangan yang kembali tertuju padanya."Baiklah." Arjuna tiba-tiba menyeringai seraya memajukan wajahnya, membuat Ana jadi was-was. "Yang penting kita usaha terus," bisiknya di telinga sang istri. Apa yang dikatakan sang istri, dia tak bisa menggunakan emosi sesaat. Hanya takut
Ana memutar kepala, lalu mendongak. Keningnya berkerut kala mendapati sang suami sudah berdiri di belakangnya, memberi tatapan khawatir yang kentara."Ngga apa-apa. Mas kok di sini?" Ana melirik teman-temannya yang sudah mode diam, tapi dia paham mereka semua sedang menyimak dengan baik percakapannya.Ketika tatapannya berhenti pada Kia, dia menahan diri untuk tidak tertawa. Ekspresi takut-takut wanita itu ketika melihat Arjuna sungguh lucu."Mau ngajak kamu duduk sama kakek.""Boleh di sini aja?"Arjuna menggeleng. "Kakek yang suruh ke sana." Pandangan pria itu beralih pada kaki Ana, lalu tanpa memedulikan orang lain, dia mendekatkan wajah ke telinga sang istri. "Nanti kalau capek, aku pijet."Sontak pipi Ana memerah mendengar kalimat itu. Bukannya apa, dia sudah dewasa jelas paham maksud terselebung suaminya. Berdiri demi menghindari kalimat aneh lain yang mungkin saja keluar dari bibir suaminya, Ana berpamitan pada teman-temannya."Lain kali jangan bicara aneh-aneh!" Ana berbisik p
Seharian ini Arjuna dibuat bingung dengan tingkah istrinya. Wanita itu memang masih menyiapkan perlengkapannya, tapi ada yang aneh. Ana jadi pendiam. Padahal belakangan ini mulai cerewet.Berkali-bali dia ingin menanyakan apa istrinya itu ada masalah. Namun, masih belum ada kesempatan. Tadi pagi mereka buru-buru berangkat kerja, lalu ketika jam makan siang dia masih di luar setelah diajak meeting oleh atasannya."Kenapa, lo?" Revan memperhatikan sahabatnya yang sejak tadi sibuk melirik jam tangan."Waktu pulangnya kok lama banget sih?" gerutu Arjuna tidak menjawab pertanyaan sang sahabat."Kenapa? Ngga sabar ketemu bini?"Alih-alih mengelak, Arjuna justru mengangguk. Membuat Revan mengumpat, kesal. Bagaimana tidak, dia sudah lama sendiri dan kini melihat sahabatnya kembali kasmaran, membuat jiwa jomblo-nya meronta!"Gue balik dulu." Arjuna langsung pergi begitu waktu menunjukkan pukul empat."Dasar bucin!" Revan menggeleng dramatis. Antara meledek sahabatnya, juga mengasihani nasibnya
Arjuna yang akan memutar tubuhnya langsung dicegah oleh Ana. Bahu pria itu dipegang erat oleh sang istri. Tidak erat, dalam sekali sentak juga akan terlepas. Namun, Arjuna memilih untuk membiarkan."Jangan menoleh! Biarkan seperti ini! Karena aku khawatir akan langsung ngamuk jika melihat ekspresi Mas.""Apa yang dia katakan?" Arjuna memejamkan mata saat tak kunjung mendapat jawaban. "Warisan?" tebaknya.Mengangguk lemah, Ana tidak menyangkal sama sekali. Karena itu memang kenyataannya 'kan?"Kamu marah?"Ana tertawa, tapi Arjuna dapat menangkap nada getir dalam tawa itu."Harus banget, ya, tanya hal itu? Memangnya menurut Mas gimana?""Ana ... Aku .... "Lagi-lagi gerakan Arjuna yang akan memutar kepala terhenti, saat kedua pipinya ditahan oleh tangan sang istri."Jujur saja, aku marah. Rasanya ngga terima aja kalau nilaiku cuma sebatas warisan."Arjuna berdecak kesal. "Bukan seperti itu! Waktu itu aku disuruh Rena. Aku—""Jadi karena Mbak Rena?" tanya Ana lirih.Melepaskan tangan sa
Arjuna menggenggam erat tangan sang istri. Seakan dengan itu dia ingin menegaskan kalau wanita itu tidak sendiri.Merasakan tangan kecil itu basah karena keringat, membuat dia menoleh pada sang istri yang tampak memandang gerbang di depannya dengan cemas.Bahkan dia yakin, mata wanita itu sudah berkaca-kaca. Mengingat dari samping, terlihat sang istri menggigit bibirnya yang bergetar."Tenang," ujarnya seraya membuat pola abstrak di tangan sang istri menggunakan ibu jarinya. Mencoba membuat istrinya lebih tenang lewat tindakan.Ana mengangguk, meskipun matanya berkata sebaliknya. Binar itu masih memancarkan kekhawatiran.Tidak lama setelahnya, senyum Ana mengembang sempurna. Bahkan dengan sekali sentak, dia melepaskan genggaman tangan sang suami. Lantas langkahnya bergerak maju, tertatih-tatih, seakan apa yang dilihatnya kini hanya mimpi."Ayah," lirihnya begitu sampai di hadapan pria paruh baya, yang berdiri tegap seraya mencangklong sebuah ransel. Matanya berulang kali mengedip untu
"Suka. Tapi ini terlalu berlebihan." Pandu menatap menantunya tidak enak. "Maksudnya ayah butuh rumah yang kecil saja. Toh, ayah juga tinggal sendiri.""Arjuna mohon terima pemberian ini, Yah. Anggap saja ini sebagai caraku untuk berbakti. Ayah tahu 'kan aku sudah tidak memiliki orang tua? Lagipula, nanti kami juga akan menginap di sini."Pandu menepuk pundak sang menantu, "baiklah, terima kasih. Ayah mau keliling dulu."Arjuna mengangguk, lalu melarikan pandangan sang istri yang sudah berkaca-kaca."Kenapa?""Terima kasih.""Sama-sama. Udah, nangisnya nanti aja." "Ih, siapa juga yang nangis?"Mencebik, Arjuna ganti mencubit pipi sang istri. "Tuh, muka dah merah gitu.""Panas.""Gengsi terus," cibir Arjuna."Siapa dulu yang ngajari?""Nyindir? Udah, stop di sini. Ngga usah debat." Arjuna mendekatkan bibir di telinga sang istri. "Soalnya kalau liat kamu cemberut gini, bawaannya pengen aku kurung aja.""Dasar! Aku mau nyusul ayah."Langkah Ana terhenti begitu mendengar pertanyaan pria
Arjuna menggenggam tangan istrinya dengan erat, saat mereka baru keluar dan melihat mobil Rena baru memasuki gerbang. Dia sungguh tak mau sampai ada kesalahpahaman.Seminggu yang lalu, dia sudah berniat melabrak Rena. Sayangnya, hal itu dicegah oleh sang istri. Menurut wanita itu, tidak perlu memperpanjang masalah. Toh, hubungan mereka baik-baik saja.Dia menurut. Lantas memilih menghindari pertemuan dengan Rena. Akan bahaya jika mereka sampai berinteraksi, bisa jadi dia meluapkan kemarahan detik itu juga.Memang mereka masih bertemu di rumah, tapi untungnya saat itu ada sang istri di sampingnya, yang selalu berhasil membuat dia tenang."Ayo, masuk!" Arjuna menarik tangan istrinya. Tak memedulikan atau sekedar menyapa Rena.Meskipun tak mau memperpanjang masalah, tapi tidak bisa dipungkiri jika amarah masih tersimpan di hatinya. Perbuatan Rena keterlaluan karena bisa menyebabkan rumah tangganya berantakan.Sementara itu, Rena merasakan hatinya sakit. Bahkan seakan oksigen di sekitarny