"Mengalihkan pembicaraan, eh?""Mau jawab ngga?!""Sabar." Arjuna menyandarkan punggung, lalu menarik sang istri dalam pelukannya. "Pertama, yang mengajak bicara Rena bukan aku. Kedua, aku hanya bicara seperlunya, bicara tentang hubungan kami yang benar-benar berakhir.""Hanya itu?"Arjuna tidak langsung menjawab. Karena saat ini pikirannya sibuk berdebat. Haruskan dia jujur? Atau bohong?Kalau jujur, dia takut hubungannya dan Ana kembali merenggang padahal mereka baru saja berbaikan. Namun, berbohong juga bukan pilihan yang baik. Jika sampai Ana tahu hal itu dari orang lain pasti wanita itu akan marah."Hei!" tegur Ana yang mengira suaminya melamun."Hanya itu, ya, hanya itu." Akhirnya Arjuna memilih berbohong. Dia pasti akan bilang alasan sebenarnya di balik pernikahan mereka. Akan tetapi, tidak sekarang di saat hubungannya dengan Ana berjalan baik."Baik, aku percaya." Jika ada yang bertanya kenapa Ana begitu mudahnya percaya, hanya satu jawaban yang dia miliki. Karena selama ini A
Senyum bahagia tidak lepas dari bibir pria yang hari ini memakai kemeja putih yang dipadukan dengan celana hitam. Persis seperti penampilan anak magang.Langit yang terlihat begitu cerah, seakan mendukung kebahagiaanya. Toh, meski saat ini mendung pun dia akan tetap merasakan bahagia.Jika tau rasanya seperti ini, dari awal saja dia mengajak Ana menikah yang sesungguhnya. Tak perlu banyak sandiwara.Berulang kali pria itu melirik wanita di sampingnya, yang sejak tadi tidak mau menatap ke arahnya. Ah, sepertinya sang istri tengah malu. Karena dia bisa melihat pipi wanita itu bersemu merah.Kalau begini, dia jadi menyesal menyetujui ide sang istri untuk pergi ke rumah kakak Yuda. Bukankah lebih baik berduaan dengan istrinya di kamar? Membayangkan hal itu, tanpa sadar Arjuna senyum-senyum sendiri."Kamu kenapa?" tanya Ana menyadari keanehan suaminya. Belum lagi dia merasa sejak tadi berulang kali Arjuna menatap ke arahnya membuat darahnya terasa berdesir.Ah, bisa-bisanya mereka melakuka
"Ayo keluar." Ana menatap suaminya yang tengah mengetukkan jari di atas setir. "Kita ngga bawa apa-apa. Apa kata orang nantinya?" Arjuna memiringkan tubuh, supaya bisa menatap istrinya lebih jelas.Memutar bola matanya, malas. Ana benar-benar ingin menjitak suaminya. "Salah siapa kita sampai telat?" Menyisir pandangan pada rumah yang kemarin malam dia kunjungi, tempat itu sudah sepi, hanya tinggal beberapa orang, meskipun tenda yang berada di halaman masih berdiri tegak. Ana mendengkus kesal. "Lihat, acaranya bahkan sudah selesai.""Kenapa jadi aku saja yang salah? Toh, kamu juga menikmatinya." Arjuna mencebik, kesal. Kalimat Ana seolah menyiratkan dia telah melakukan pemaksaan.Ana menggeleng, tidak habis pikir dengan jawaban sang suami. Selalu saja tidak mau kalah. Sepertinya kata orang tentang wanita selalu benar tidak berlaku dalam hubungannya. Dalam banyak hal Arjuna selalu ingin menang."Malah melamun, ayo masuk!"Wanita yang hari ini menggunakan gamis berwarna putih itu langsu
Canggung. Suasana yang menggambarkan keadaan di ruang tamu Yuli. Setelah tadi, semuanya saling memberi pandangan terkejut atas kedatangan Arjuna dan Ana secara bersamaan, Yuda yang lebih dulu menyadari situasi langsung menyuruh mereka semua masuk ke dalam. Membuat rasa penasaran orang-orang belum terobati, karena masih belum mendapat jawaban kenapa Ana datang bersama Arjuna?Ana yang duduk di sebelah Arjuna hanya mampu tersenyum tipis, saat Kia dan Risa mengedipkan mata padanya. Ya, Ana bisa menebak kedua temannya itu sedang memberi kode agar nanti dia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Sesuatu yang jelas tidak akan dia beri. Memangnya mau menjelaskan apa? Kalau dia dan Arjuna datang bersama karena mereka suami istri?Itu bukan gagasan yang baik. Ya, sepertinya dia perlu mencari alasan tepat, agar tidak menimbulkan kecurigaan lebih besar.Lagipula dia tidak mau menjadi orang pertama yang menyebarkan berita pernikahannya, biarkan itu menjadi tugas sang suami."Lho? Arjuna?" Retn
"Rumah kami satu komplek sama Mbak Yuli, beda blok saja," jelas Kia. Sungguh wanita itu tidak nyaman dengan kehadiran Arjuna. Karena entah mengapa aura pria itu begitu menyeramkan.Akhirnya semakin lama suasana semakin mencair, Ana beberapa kali ikut dalam obrolan mereka meskipun lebih banyak diamnya. Ana merasa bertanggung jawab sebab membawa Arjuna hingga menyebabkan suasana menjadi kurang menyenangkan."Biar aku bantu, Mbak." Ana berdiri, membantu Yuli mengangkat piring-piring kotor yang baru saja mereka gunakan untuk makan. Karena tamu di sini hanya tinggal dirinya dan Arjuna, yang lain sudah pulang karena cukup lama berada di rumah Yuli.Sementara dia masih malu mau pamit pulang karena baru saja selesai makan. Setidaknya perlu menunggu beberapa menit."Eh, ngga usah. Kamu duduk aja.""Ngga apa-apa, Mbak." Ana mengambil nampan yang berada di tangan Yuli. Sungguh dia tak punya maksud lain, hanya ingin sekedar membantu mengingat dirinya salah satu perempuan muda di sini.Arjuna mend
"Bukan seperti itu, hanya saja Mas masih 23 tahun. Menurutku masih terlalu muda untuk menjadi ayah."Arjuna mendengkus kesal, kala kalimat itu terus berputar di otaknya. Sesuatu yang diucapkan sang istri saat di mobil mobil tadi.Terlalu muda untuk mejadi ayah? Yang benar saja! Bahkan banyak kenalannya sudah mempunyai anak di usia sepertinya.Apa sih sebenarnya pikiran wanita itu? Bagaimana bisa istrinya membandingkan usia dengan kesiapan mempunyai anak?Meremas ponsel di tangannya dengan kuat, akibat rasa jengkel yang di rasakan, Arjuna mencoba tidak menatap istrinya yang baru saja keluar kamar mandi. Oke, dia memang kesal, tapi melihat istrinya yang tampak segar bisa-bisa rasa jengkelnya akan hilang diganti rasa yang lain, yang untuk saat ini coba dia pendam."Ngga mandi?" tanya Ana yang sudah duduk di depan meja rias. Dari balik kaca, Ana melihat suaminya yang bangkit dari tempat tidur, lalu tanpa mengucapkan apapun langsung masuk ke kamar mandi.Ana menghela napas panjang. Ya, kal
"Bukan gitu! Hanya saja ... apa ini ngga terlalu cepat?"Arjuna mengela napas panjang, pandangannya tak lagi tertuju pada sang istri melainkan langit-langit kamar yang berwarna putih. "Aku mau punya keluarga tempat mencurahkan kasih sayang, ingin rasanya punya tempat pulang."Ana mencoba memahami kalimat yang baru saja didengarnya. Apa ini berhubungan dengan masa kecil Arjuna yang bisa dibilang kurang kasih sayang? "Tapi punya anak ngga semudah itu, Mas. Ada tanggung jawab besar didalamnya. Setidaknya kita perlu menyiapkan diri.""Jadi tidak dalam waktu dekat?""Kita jalani dulu saja, bagaimana? Sembari belajar bagaimana menjadi orang tua." Ana meremas tangan sang suami yang tengah bersandar, tapi kini dengan pandangan yang kembali tertuju padanya."Baiklah." Arjuna tiba-tiba menyeringai seraya memajukan wajahnya, membuat Ana jadi was-was. "Yang penting kita usaha terus," bisiknya di telinga sang istri. Apa yang dikatakan sang istri, dia tak bisa menggunakan emosi sesaat. Hanya takut
Ana memutar kepala, lalu mendongak. Keningnya berkerut kala mendapati sang suami sudah berdiri di belakangnya, memberi tatapan khawatir yang kentara."Ngga apa-apa. Mas kok di sini?" Ana melirik teman-temannya yang sudah mode diam, tapi dia paham mereka semua sedang menyimak dengan baik percakapannya.Ketika tatapannya berhenti pada Kia, dia menahan diri untuk tidak tertawa. Ekspresi takut-takut wanita itu ketika melihat Arjuna sungguh lucu."Mau ngajak kamu duduk sama kakek.""Boleh di sini aja?"Arjuna menggeleng. "Kakek yang suruh ke sana." Pandangan pria itu beralih pada kaki Ana, lalu tanpa memedulikan orang lain, dia mendekatkan wajah ke telinga sang istri. "Nanti kalau capek, aku pijet."Sontak pipi Ana memerah mendengar kalimat itu. Bukannya apa, dia sudah dewasa jelas paham maksud terselebung suaminya. Berdiri demi menghindari kalimat aneh lain yang mungkin saja keluar dari bibir suaminya, Ana berpamitan pada teman-temannya."Lain kali jangan bicara aneh-aneh!" Ana berbisik p