Abian tak beranjak sedikit pun dari ranjang saat ia sedang mengerjakan jurnal dan memantau kondisi pasien secara online. Ia menugaskan dokter residen dan berjanji akan mendapatkan waktu ekstra untuk bimbingan thesis. “Mas, kalo gak nyaman ngerjainnya disini, pindah aja ke ruang kerja.”“Gak papa. Disini bisa sambil mantau kamu.” Abian melirik Natasya, “Kok belum tidur?”“Iya, ini mau.” Natasya mencari posisi. Ia terlentang menatap langit-langit.Abian menaruh laptop, ipad dan ponselnya di nakas. Ia pun menaiki ranjang, sehingga Natasya harus menggeser tubuhnya, “Perutnya mules?”Natasya mengangguk.Abian bangkit dan keluar kamar. Entah apa yang akan dilakukannya. Tak lama ia kembali, membawa botol kaca berisi air panas.“Hot bag airnya suka mama pake tidur, jadi pake ini aja. Gak papa ‘kan?”Mata Natasya berkaca-kaca, “Mas, kamu selalu begini ya?”“Apanya?”“Kamu juga gini sama Aca?”Abian kembali menaiki ranjang dan menaruh botol kaca hangat itu diperut Natasya, “Tidur, u
Setelah istirahat sekitar tiga hari, kondisi Natasya sudah lebih baik. Ia akan ke rumah sakit hari ini. Setelah yakin untuk menjaga jarak dari Abian, ia juga merasa suaminya melakukan itu. Abian selalu jaga malam setiap hari seperti menghindarinya. Untungnya mama tak curiga.“Mami emang udah sembuh? Kok mau ke rumah sakit sih?” Haikal membantu Natasya turun dari tangga.“Sembuh dong, sakit ginian doang mah kecil, Cal. Mami ‘kan kuat.”“Tapi papi gak ada. Harusnya papi disini berangkat bareng sama mami.”“Papi tuh sibuk banget di rumah sakit, Cal, mami gak papa kok. Ical hari ini berangkatnya sama oma lagi, ya? Soalnya mami—juga harus segera ke rumah sakit.”Haikal mengangguk. Sejak Natasya sakit, dia memang lebih pengertian.“Nat, mama bisa loh minta waktu libur lagi sama Abian. Sampe akhir minggu ini aja. Ya?”“Ma, poli bedah kardiotoraks lagi sibuk banget. Aku emang belum bisa gerak banyak, tapi lumayan, aku bisa jaga di UGD atau bangsal. Sampe kaki aku mendingan, aku gak aka
Pov AbianSepulang seminar, Abian menyempatkan pulang ke rumah untuk membawa beberapa potong baju.Mama dan Haikal yang sedang nonton sore, mencari keberadaan Natasya selagi Abian masuk ke ruang kerjanya.“Kok mami gak ada, oma?”“Mungkin masih di mobil.” mama berdiri, “Bi, Natasya mana?”Abian menutup pintu ruang kerjanya, “Di rumah sakit, dia jaga malam.”“Kamu gimana sih, kondisinya ‘kan belum membaik.”“Dia jaga di bangsal kok, ma, gak terlalu banyak pasien juga.” Abian menaiki tangga. Ia memasukkan beberapa potong baju ke dalam tas, “Gue akan bilang gue juga jaga malam di rumah sakit biar mama gak berisik.”Abian menuruni tangga, “Ma, aku juga jaga malam.”“Ical ikut, pi.”Abian mengacak-acak rambut Haikal, “Papi itu kerja di rumah sakit, bukan main-main. Rumah sakit juga gak baik buat anak kecil kayak kamu. Disini aja temenin oma, oke?”“Yaaah, padahal aku mau nemenin mami. Aku janji gak akan masuk ke ruangan yang bahaya kok, pi. Aku cuma mau nemenin mami.”“Tapi ma
Pov AbianAbian baru sampai di apartemen Aca. Ia membawakan berbagai macam buah segar untuk dibuat smoothies. Ketika ia akan masuk, password pintu berbeda dari terakhir kali ia diberi tahu setelah diganti.“Aca ganti lagi passwordnya?”Abian menelpon kekasihnya. Tapi tak kunjung diangkat.Ting-NongTing-NongTing-NongTak ada jawaban.“Aca kemana, ya?”Abian mengirimi Aca pesan. Ia mengira kekasihnya masih marah padanya karena pertengkaran tempo hari. Itu wajar. Ia mengakui sudah keterlaluan membentaknya. Aca pasti terkejut ia tiba-tiba jadi kasar dan pelit.Aca yang baru pulang belanja bersama seseorang, melihat Abian berdiri didepan pintu apartemennya. Sehingga ia meminta orang yang mengantarkannya pulang itu untuk pergi. Orang itu menurut. Ia mencium pipi Aca dengan mesra.“Kalo dia udah pulang kabarin ya?"“Oke, sayang.”Aca membuang nafas pelan. Ia merapikan penampilannya sambil menjinjing beberapa paper bag dari toko tas dan sepatu ternama, “Sayang?”Abian menoleh.
“Ayo turunin, ada ular tuh.” tegur Irvan. Haikal manyun, “Kok aku ketemu ular terus sih!” Natasya dan Irvan tertawa. “Mami bantu turunin ya.” Natasya menurunkan objek milik Haikal karena termakan ular saat bermain ular tangga, “Turuuuun.” “Tahu ah, aku mau tidur aja.” Haikal beranjak dari sofa. “Sikat gigi, cuci kaki-tangannya, Cal!” teriak Natasya ketika Haikal memasuki kamar mandi ruangan Abian. “Aku tahu! Aku bukan anak kecil!” “Waduh, iya deh anak remaja.” Irvan tertawa, “Ical lucu banget sih. Dia mirip sama seseorang.” “Mas Abian ya?” Mereka tertawa. “Abian sebenernya ada urusan apa diluar?” Natasya berhenti tertawa, “Ketemu Aca.” Irvan tak percaya dengan apa yang didengarnya, “Hah?” “Aku—gak papa kok, Van. Mungkin mereka lagi ada urusan.” “Mereka—masih belum putus juga?” Natasya tersenyum, “Gak akan mudah ninggalin Aca. Dia cantik, kerjaannya bagus. Hubungan mereka juga udah lumayan lama ‘kan? Aku ngerti kok mas Abian butuh waktu untuk—lepasin Aca
Natasya tersenyum manis pada Haikal, “Mami tahu banget Ical itu anaknya sopan. Tapi di rumah temen papi, kamu gak perlu begitu. Kamu harus jadi anak nakal yang nyebelin sampe temen papi itu marah.”“Oke. Temen papi itu—cowok ‘kan mi?”Natasya melirik Irvan.“Kita berangkat sekarang, mumpung jalan masih belum macet. Yuk.” Irvan menuntun Haikal keluar dari ruang pribadi Abian.Natasya tak akan mengadukan Aca yang sudah mendorongnya di tangga evakuasi, tapi ini bentuk balas dendamnya. Ia tak sudi membiarkan hidup Aca aman apalagi didatangi Abian dan mereka bermesraan di apartemen.“Ini baru permulaan, Ca. Kedatangan Ical gak ada apa-apanya dibanding kaki gue pincang karena ulah lo!”Haikal memainkan semua barang yang ada di dahsboard mobil Irvan, “Om kok belum nikah?”“Belum ketemu jodohnya.” jawab Irvan santai.“Cari dong, jangan males.”“Hm..”“Dokter itu emang aturannya harus nikah pas udah tua ya, kaya papi?”“Hei, jangan ngomo
Abian masih tak tahu kenapa Haikal bisa sampai ke apartemen Aca. Ia yang baru sampai rumah langsung masuk kamar dan tak menyapa mama dan Natasya yang baru pulang dari rumah sakit. “Cal, kamu habis dari mana sama papi?” tanya mama. “Habis ke apartemen temennya papi, oma.” “Siapa?” Haikal melirik Natasya, “Om siapa ya lupa namanya.” “Om Irvan?” “Iya kali. Aku mau mandi dulu.” Haikal membawa tasnya ke kamar. Mama melirik Natasya, “Kamu gak tidur?” “Aku malem bisa tidur kok, ma, di ruangan mas Abian. Jadi sekarang gak ngantuk.” “Hm begitu.” Mama melirik tangga, “Abian—berantem lagi sama Irvan?” “Nggak kok, ma. Kemarin mereka akur-akur aja pas ketemu. Lagian kenapa mereka masih berantem?” “Ya karena Abian cemburu. Meskipun—dia sendiri yang bilang kalo Irvan mantan kamu.” “Aku sama Irvan sekarang temenan aja, ma, kalo mas Abian marah sama dia karena itu, aku—
Natasya jadi tak banyak bicara setelah mendengar kabar dari dokter Febri. Ia hanya mengangguk dan menggeleng menimpali ucapan Tika.Mereka pamit pulang duluan, dan Natasya memilih untuk terus duduk disini memikirkan semua kemungkinan kenapa Alan sampai harus membohonginya. Kemanakah ia pergi? Kemanakah uang yang ia berikan?Tika dan dokter Febri kembali.“Ada apa? Ada barang yang ketinggalan, ya?”Tika tersenyum, “Ini Natasyanya, dok.”Natasya menoleh. Abian datang bersama Haikal.“Terima kasih, dokter Tika.”“Sama-sama, dok.”Dokter Febri menepuk lengan Abian, “Jangan terlalu rewel sama dokter Natasya, kasian.”Abian tersenyum, “Iya, saya lagi berusaha adaptasi.”“Ya udah kalo gitu kita duluan. Mari dokter Abian, dokter Natasya dan—” dokter Febri melirik Haikal.“Ical.”“Oke, Ical. Have fun!”Abian dan Haikal duduk dihadapan Natasya yang merasa mereka datang diwaktu yang salah. Perasaannya sedang tak karuan, tapi dua manusia yang senang menyusahkannya malah datang.“Cal
Natasya sudah tertidur lelap ketika Abian pulang dari rumah sakit pukul dua belas malam. Ia ada operasi darurat, sehingga baru bisa pulang. Senyumnya merekah. Alan bersedia meninggalkan Natasya setelah mengisi cek kosong yang ia berikan. Alan meminta uang sebanyak tujuh ratus juta. Abian tak keberatan memberikannya langsung, asal Alan bisa memutuskan istrinya dan pergi sejauh-jauhnya dari kota ini.Mata Natasya mengerjap, “Mas?”“Hm?”“Abis operasi?”“Iya. Kamu udah minum antiobiotiknya?”Natasya mengangguk. Ia bangkit, “Seharian ini mama—nangis. Kamu jangan minta mama buat ninggalin papa lagi, biarin aja. Kita gak pernah tahu sedalam apa cinta mama buat papa, meski sepaket dengan rasa sakit itu.”Abian mengangguk.“Kamu mau makan? Biar aku siapin?”“Nggak usah. Aku mau langsung tidur.” Abian mengelus pipi Natasya dengan sentuhan lain.Natasya melirik Abian tak nyaman, “Malam ini—kamu tidur di sofa, ya, mas.”“Hm?”N
POV Abian Abian tersenyum ketika papa membuka gembok pintu pagar, “Maaf ya, pa, ganggu pagi-pagi gini.”“Gak papa, nak Abian. Masuk.”Abian memasukkan mobil ke pelataran rumah papa. Ia keluar meneteng beberapa keresek berisi makanan untuk mereka sarapan.“Natasya gimana, pa?”“Sudah mendingan. Kalo sama Vina dia sembuhnya cepet.”Baru memasuki rumah, Abian mengedarkan matanya.“Sya, ada nak Abian nih.” teriak papa memberi informasi.Natasya keluar kamar dituntun Vina, “Mas?”Abian mendekati Natasya. Ia tidak tega melihat istrinya yang masih kesakitan karena perundungan preman suruhan Aca, “Aku beliin bubur. Kita sarapan dulu.”Semua sarapan bersama di ruang keluarga.Natasya melirik Vina yang bersiap pergi, “Panggilan dari rumah atau rumah sakit?”“Rumah sakit. Rumah aman kok.” Vina melirik papa, “Om, pamit ya,” ia melirik Abian, “Dok, saya permisi.”“Iya, Vin, hati-hati.”“Iya, Vin. Saya ke rumah sakit agak siang
Pov Abian Abian membuka pintu bangsal VIP lima, tempat dimana Natasya dirawat. Tapi istrinya tak ada ditempat. “Natasya kemana?” gumam Abian. “Permisi, dok.” sapa perawat yang baru keluar dari bangsal VIP empat. “Sus?’ “Iya, dok, ada yang bisa dibantu?” “Istri saya—mana?” “Loh, bukannya dokter Natasya sudah pulang? Dokter Abian tidak tahu?” “Pulang?” dahi Abian mengernyit. “Iya, dok. Setelah infus habis, dokter Natasya bilang mau bertemu dengan dokter jaga. Setelah itu dokter jaga memperbolehkan dokter Natasya untuk pulang. Katanya dokter Natasya cukup istirahat di rumah dan minum antibiotik.” “Dia pulang sama siapa, sus? Kebetulan tadi saya—sedang ada urusan.” “Bersama dokter Vina dan dokter Irvan, dok.” “Oh begitu. Kalau begitu terima kasih.” Abian tak membuang waktu lama. Ia langsung pulang ke rumah. Setelah memarkirkan mobil se
Pov AbianAca dan orang itu berhenti bercinta, setelah sadar ada orang lain selain mereka. Ketika pintu berbunyi, mereka masih belum sadar. Tapi setelah merasakan hawa manusia lain, mereka menoleh.“Bi?” panggil Aca dan orang itu kompak.Tubuh Abian masih terpaku ditempat. Ia masih sangat terkejut dan tengah mencerna apa yang tengah di lihatnya.Aca dan orang itu bergegas mengambil baju. Selama itu Abian menunduk memainkan sepatunya menahan marah.“Bi, kamu—kenapa gak bilang mau kesini?”Abian menatap Aca dan papa. Ia berjalan mendekati mereka.Ya, lelaki yang tadi bercinta dengan Aca adalah papanya sendiri. Kini, mereka tak punya waktu untuk menyembunyikan wajah masing-masing dari Abian setelah ketahuan bercinta.Abian melirik papa yang menunduk, “Aku tahu papa mata keranjang, dari dulu selalu main—dengan sekretaris lah, bawahan papa, kolega bisnis papa. Tapi—aku gak tahu papa—sampe sejauh ini. Papa tahu ‘kan Aca pacar aku?”Papa membera
Aca menangis. Ia pergi begitu saja karena malu sudah jadi tontonan banyak orang. Abian mendekati Natasya yang melongo karena terkejut, “Aku minta maaf atas nama Aca. Aku jamin dia—gak akan pernah ganggu kamu lagi. Aku udah tahu Aca yang taro obat sampe kamu tidur di rooftop. Aku juga tahu dia—yang kasih kamu obat perangsang, juga—dia yang dorong kamu di tangga evakuasi. Aku mohon maafin Aca.”Natasya memainkan jari-jari tangannya. Ia tak tahu bisa memaafkan Aca atau tidak atas semua yang sudah terjadi.Irvan mengkode Vina agar mereka keluar dan memberi ruang untuk Abian dan Natasya.“Nat, gue tunggu diluar ya.” Vina bangkit, “Permisi, dok.”Setelah hanya ada mereka berdua, Abian bersimpuh disamping ranjang dengan mata merah, “Aku mohon kita—untuk bisa meneruskan pernikahan sesungguhnya, Nat. Aku udah—putusin Aca. Aku harap kamu juga—putusin Alan.”Natasya menarik nafas panjang sebelum bicara, “Kamu pikir aku akan putusin Alan, saat gak dapet jaminan ap
Vina tak beranjak sedikitpun dari sebelah Natasya. Ia sudah memberi kabar ke rumah, tidak bisa pulang karena kondisi Natasya yang tak memungkinkan ditinggal, padahal ada suaminya disini.“Vin, pulang aja sana.” pinta Natasya.“Iya, ada saya disini.” kata Irvan yang tengah membuat jurnal penelitian di sofa bangsal VIP.“Gak papa kok. Si kakak udah tidur, adek juga anteng sama neneknya.”Natasya tersenyum, “Makasih ya, Vin. Padahal kalo lo yang begini, gue pasti pulang sih.”Vina melotot, “Dasar si donat!” Mereka bertiga tertawa.Abian baru kembali. Ia harus bolak-balik ke ICU untuk melihat kondisi pasien yang baru di operasinya. Ia langsung mengecek laju infus, “Sepuluh menit lagi habis. Untuk labu kedua cukup pake vitamin aja.”“Iya, mas.”“Kalian ada kecurigaan gak sama seseorang yang mungkin jadi dalang dari kasus ini?” tanya Abian.Irvan menggeleng. Sedangkan Vina dan Natasya saling lirik. Pikiran mereka tertuju pada satu orang.
Natasya terus berjalan mundur untuk menghindari ancaman dari preman yang entah datangnya dari mana. Seumur-umur ia tidak pernah dihadang preman dengan ancaman segala.Saat ada kesempatan untuk menghindar, Natasya berlari kencang menghindari preman, tapi badannya yang tak begitu sehat, langsung tertangkap oleh preman dua yang membawanya semakin jauh dari rumah sakit.“Turunin aku!”“Diem!”“Tolooong! Bu, pak, tolongin aku!” teriak Natasya pada pengguna jalan dan pedagang dekat gedung rumah sakit, tapi tak ada yang bergerak membantunya.Di deket rumah sakit, ada sebuah kebun terbengkalai yang gelap. Natasya dilepaskan dengan kasar oleh preman dua yang menyeretnya dari tadi.“Minum sebelum gue berbuat lebih jauh sama lo.”Natasya menggeleng, “Gak mau!”“Jangan cari mati, lo! Buruan minum!”Preman dua membuka tutup botol dan memberikannya secara paksa pada mulut Natasya, “Minum!”Natasya menendang preman dua. Ia juga berusaha kabur.
Setiap kali Natasya melewati gerombolan perawat, anak ko-ass, dokter residen, dan konsulen, mereka selalu tersenyum.“Selamat ya, dok.”Natasya hanya mengangguk sopan meski tidak tahu kenapa ia diberi ucapan selamat. Apakah mereka baru tahu jika Abian tidak jadi di rotasi dan sudah mau kembali mengoperasi?“Dokter Natasya, kenapa?” tanya suster Anna. Mereka bertemu di meja jaga bangsal.“Gak papa. Emang kenapa?” “Dokter Natasya pucet.”“Kayaknya aku masuk angin deh, sus.”“Mau saya kerokkin gak?”Mata Natasya menatap suster Anna terharu, “Mauuuu, sus. Ayo.”Di ruang istirahat staf operasi, Natasya tidur telungkup membiarkan suster Anna mengerok punggungnya.“Merah, sus?”“Merah, dok. Habis dari mana ini kok sampe masuk angin?”“Gak tahu nih, sus, anginnya lagi gak enak banget.”“Ah, masa. Perasaan lagi gerah deh, gak ada angin. Ini pasti karena mandi terlalu pagi ya sama dokter Abian?” Pipi Natasya merona digod
Natasya keluar dari ruang praktek Abian begitu saja ketika pasien sudah habis. Ia tak berbasa-basi dengan suster Anna apalagi suami kontraknya. Vina yang baru keluar dari ruang praktek dokter Farhan, menyajarkan langkahnya dengan sang sahabat, “Nat, gue ada di kirimin makanan dari mertua. Makan bareng yuk.”Natasya mengangguk.Vina menggandeng lengan Natasya, “Kemooon.”Di ruang piket, Natasya hanya diam saja. Ia duduk memperhatikan Vina yang gesit mempersiapkan alat makan mereka.“Kenapa diem terus? Asam lambung lo kambuh?”Natasya menggeleng.“Obatnya ada ‘kan?”Natasya mengangguk.“Berasa ngobrol sama boneka mampang gue.” Vina duduk disamping Natasya dan menatap keseluruhan wajahnya, “Lo—pucet banget.”“Hah? Masa?” Natasya memegangi kedua pipinya.Vina mengelus perut rata Natasya, “Lo udah haid belum bulan ini?”Natasya menggeleng, “Ini—tanggal berapa?”“Tanggal satu.”Natasya diam, mengingat periodenya yang b