Natasya tersenyum manis pada Haikal, “Mami tahu banget Ical itu anaknya sopan. Tapi di rumah temen papi, kamu gak perlu begitu. Kamu harus jadi anak nakal yang nyebelin sampe temen papi itu marah.”“Oke. Temen papi itu—cowok ‘kan mi?”Natasya melirik Irvan.“Kita berangkat sekarang, mumpung jalan masih belum macet. Yuk.” Irvan menuntun Haikal keluar dari ruang pribadi Abian.Natasya tak akan mengadukan Aca yang sudah mendorongnya di tangga evakuasi, tapi ini bentuk balas dendamnya. Ia tak sudi membiarkan hidup Aca aman apalagi didatangi Abian dan mereka bermesraan di apartemen.“Ini baru permulaan, Ca. Kedatangan Ical gak ada apa-apanya dibanding kaki gue pincang karena ulah lo!”Haikal memainkan semua barang yang ada di dahsboard mobil Irvan, “Om kok belum nikah?”“Belum ketemu jodohnya.” jawab Irvan santai.“Cari dong, jangan males.”“Hm..”“Dokter itu emang aturannya harus nikah pas udah tua ya, kaya papi?”“Hei, jangan ngomo
Abian masih tak tahu kenapa Haikal bisa sampai ke apartemen Aca. Ia yang baru sampai rumah langsung masuk kamar dan tak menyapa mama dan Natasya yang baru pulang dari rumah sakit. “Cal, kamu habis dari mana sama papi?” tanya mama. “Habis ke apartemen temennya papi, oma.” “Siapa?” Haikal melirik Natasya, “Om siapa ya lupa namanya.” “Om Irvan?” “Iya kali. Aku mau mandi dulu.” Haikal membawa tasnya ke kamar. Mama melirik Natasya, “Kamu gak tidur?” “Aku malem bisa tidur kok, ma, di ruangan mas Abian. Jadi sekarang gak ngantuk.” “Hm begitu.” Mama melirik tangga, “Abian—berantem lagi sama Irvan?” “Nggak kok, ma. Kemarin mereka akur-akur aja pas ketemu. Lagian kenapa mereka masih berantem?” “Ya karena Abian cemburu. Meskipun—dia sendiri yang bilang kalo Irvan mantan kamu.” “Aku sama Irvan sekarang temenan aja, ma, kalo mas Abian marah sama dia karena itu, aku—
Natasya jadi tak banyak bicara setelah mendengar kabar dari dokter Febri. Ia hanya mengangguk dan menggeleng menimpali ucapan Tika.Mereka pamit pulang duluan, dan Natasya memilih untuk terus duduk disini memikirkan semua kemungkinan kenapa Alan sampai harus membohonginya. Kemanakah ia pergi? Kemanakah uang yang ia berikan?Tika dan dokter Febri kembali.“Ada apa? Ada barang yang ketinggalan, ya?”Tika tersenyum, “Ini Natasyanya, dok.”Natasya menoleh. Abian datang bersama Haikal.“Terima kasih, dokter Tika.”“Sama-sama, dok.”Dokter Febri menepuk lengan Abian, “Jangan terlalu rewel sama dokter Natasya, kasian.”Abian tersenyum, “Iya, saya lagi berusaha adaptasi.”“Ya udah kalo gitu kita duluan. Mari dokter Abian, dokter Natasya dan—” dokter Febri melirik Haikal.“Ical.”“Oke, Ical. Have fun!”Abian dan Haikal duduk dihadapan Natasya yang merasa mereka datang diwaktu yang salah. Perasaannya sedang tak karuan, tapi dua manusia yang senang menyusahkannya malah datang.“Cal
Kaki Natasya sudah sembuh benar. Ia mulai beraktivitas seperti biasa. Hari ini bahkan ia menjadi asisten operasi sebanyak dua kali. Tenaga Natasya memang sebanyak itu jika sedang sehat. “Nat, habis visit dateng ke rapat besar bahas pasien VIP. Sampe ketemu nanti.” tutur Vina sambil berjalan cepat mendorong kursi roda kosong untuk pasien yang akan pulang. “Oke.” Natasya berlari memasuki ruang bangsal untuk melakukan visit tanpa ditemani konsulen. Natasya mengecek laju infus dan menanyai beberapa keluhan pasien. “Dok, suami saya boleh ‘kan makan Duren? Sedikiiit aja.” rayu wali pasien yang membuat Natasya keder. “Bu, malem kata dokter jaga, suaminya udah makan Duren loh. Sekarang jangan lagi ya. Selain kurang baik untuk Hipertensi, nanti perut bapak jadi kembung. Bapak juga gak boleh makan dari luar dulu ya menjelang operasi.” Wali pasien cemberut, “Kasian suami saya, dok.” “Lebih kasian mana sama suami ibu yang jadwal operasinya harus di mundurin?” Pasien mengelus leng
Abian keluar lebih dulu dari yang lain. Ia sangat marah ketika dokter konsulen lain mendesaknya untuk melakukan pembedahan.Natasya yang memiliki waktu istirahat tiga puluh menit, memilih ikut ke ruangan pribadi Abian.Abian melempar map berisi rekam medis pasien VIP ke meja dengan kasar, “Sialan!”Natasya mengangguk sopan pada para konsulen yang melewati ruangan Abian. Setelah yakin tidak ada lagi yang lewat, ia menutup pintu.Abian menendang ujung sofa dan menggerutu entah bicara apa.“Mas, tenang.”Abian membalikkan badan, suaranya sangat menggelegar dan sudah pasti menembus pintu ruangan, “Emang dokter bedah disini cuma saya? Kenapa harus saya yang bedah pasien?!”“Karena—mas Abian hebat.”“Jadi yang lain payah?!”Natasya membuang muka. Ia tidak kuat mendengar teriakkan Abian.Abian mengatur nafasnya, “Maaf.”“Mas—ambil aja operasi itu, aku akan jadi asisten utama.”Abian menatap Natasya.“Aku—pernah iseng liat daftar operasi yang mas lakuin sejak residen dan jadi dok
Mesin monitor terus berbunyi membuat keheningan di ruang operasi sedikit pecah. Sedari masuk kesini dan membedah dada pasien, Abian tidak membuka komunikasi kecuali untuk meminta alat dan menanyakan kondisi pasien pada dokter anastesi.Sebelum operasi dilakukan, Abian sempat mencoba memberikan suntikan Heparin dan Warfarin, tapi tak berhasil. Sedari awal ia langsung yakin penggumpalan darah yang terjadi sudah cukup parah. Pemasangan kateter pun tidak membantu banyak.“Dok, pecahan gumpalan selain masuk paru-paru juga mengenai liver.” Natasya berusaha membuat Abian bicara. Ia tahu jelas suaminya melihat itu sendiri.“Iya, ternyata infeksi sudah menyebar. Tolong pastikan pembuangan darah berikutnya bisa melalui balon kateter. Kita harus memakai ECMO. Saya akan fokus memperbaiki penyumbatan.”“Baik, dok.”Waktu sudah berjalan enam jam, operasi terlihat tak akan selesai dalam waktu dekat. Para perawat dan dokter anastesi yang sudah kelelahan hanya bisa membuang nafas ketika Abian bel
Natasya terperanjat bangun ketika baru sadar malah enak-enak tidur di ruang observasi, padahal pasien masih belum dilakukan tindakan tutup dada. Ia membuka pintu namun melirik meja ketika hendak keluar. Ada sekotak susu dan sepotong cake ekstra stroberi yang menggoda.“Ini kerjaan Vina?”Natasya duduk dan menemukan sebuah kertas catatan kecil tulisan Abian, “Makan dan minum ini dulu biar ada tenaga, habis itu segera masuk ruang operasi.”Ia tersenyum. Perhatian kecil seperti ini memang selalu membuatnya meleleh. Dengan cepat Natasya memakan kue dan meminum susu kotak. Setelah selesai ia baru berlari ke ruang operasi. Ketika aseptis, terdengar di dalam ruang bedah-- terdengar ramai dengan suara mesin dan sahutan para perawat. Natasya mempercepat mencuci tangan lalu memakai baju bedah.“Tanda vital pasien menurun, dok.” lapor dokter anastesi, “Ritme jantung melemah.”“Periksa ECMO!” teriak Abian. Natasya yang baru datang langsung memeriksa ECMO, “K
Abian langsung dilarikan ke UGD dan mendapatkan perawatan, sebelum akhirnya dipindahkan ke ruang ranap VIP. Natasya mengambil cuti karena tak bisa meninggalkan Abian yang masih tidak mau makan dan terus meracau ketika tidur menyebut pasien yang belum siuman di hari ke lima pasca operasi.“Mas, makan dong, dikiiit aja. Aku udah makan dua mangkok, tapi kamu sesuap aja belum.”“Kamu aja.”“Aku udah gendut, mas!”Abian menoleh, “Pasien Rena gimana?”Natasya menaruh mangkuk berisi nasi yang sudah ia campurkan dengan sup ayam di nakas, “Masih belum ada perkembangan. Tanda vitalnya stabil tapi—ritme jantung dan saturasi oksigennya gak pernah mencapai angka lebih dari sembilan puluh lima.”Abian membuang nafas pelan.“Mas, aku udah nemuin keluarga pasien beberapa kali ditemenin dokter Farhan, atau sama prof Indra. Kelurganya—gak mempermasalahkan sama sekali kok. Tentu mereka mau Rena cepet bangun, tapi—mereka bilang ini operasi besar ke empatnya. Mere
Mama dan Abian membuang nafas kesal ketika tahu yang datang adalah papa. Sedang Natasya hanya mengeratkan tubuh Haikal pada tubuhnya karena takut terjadi pertengkaran antara papa dan mama.“Mau apa lagi kamu kesini?” tanya mama lugas.“Mira, maafkan aku. Setelah resmi bercerai, aku merasa—tidak bisa kehilanganmu. Aku yakin kamu dan Abian juga begitu. Apa tidak sebaiknya kita kembali?”Mama tertawa, “Kembali? Jangan mimpi kamu! Aku dan Abian sangat baik-baik saja setelah kita tidak lagi terikat pernikahan. Berani sekali kamu menginjakkan kaki di rumahku lagi. Pergi!”Papa bersimpuh di kaki mama, “Tolong berikan kesempatan kedua, Mir. Aku tidak punya apa-apa lagi sekarang.”Mama tertawa lagi, “Bukankah kamu punya perempuan itu? Tinggallah bersamanya dan jangan ganggu kami lagi!”“Mir, Aca menjual semua asetku tanpa diketahui. Kamu benar, dia memang perempuan ular. Aku mohon terima aku kembali.”Mama melirik Abian sebelum pergi, “Mama mau istirahat.”
Tujuh bulan kemudian... Natasya kesusah berjalan, ketika kehamilannya mencapai usia tiga puluh empat minggu. Ia sudah cuti sejak dua bulan lalu karena sempat keluar flek. Abian, mama mertua, papa-mama, serta Vina dan Irvan tentu sangat khawatir dan memintanya untuk cuti. Natasya setuju. Ia rela tak lulus tepat waktu asalkan anaknya baik-baik saja. “Mas, plis aku mau ikut ke rumah sakit.” Natasya mengejar Abian yang bolak-balik membawa laptop dan jurnal di ruang kerja. “Mending kamu istirahat deh, mau ngapain sih ke rumah sakit?” “Aku bosen tahu di rumah terus. Habis keliling poli bedah kardiotoraks aku pulang kok.” Abian tertawa, “Kamu pengen anak kita juga jadi bagian bedah kardiotoraks?” “Oh iya dong, dia harus ikutin jejak kita.” Natasya diam sejenak, “Enggak deh, mending dia ambil spesialis lain. Mas, ya, plisss. Aku gak akan capek-capek kok.” Abian membalikkan badan. Ia mengelus perut bulat
“Nat! Jangan dipukul-pukul! Nat!” Abian berusaha mengambil tangan Natasya yang terus memukul-mukuli perutnya. Pintu terbuka. Semua orang yang semula menunggu di luar ruangan, masuk karena mendengar suara pekikkan Natasya. “Nat?” Vina memanggil lirih. “Vin, tolong panggilin perawat!” Vina mengangguk. Ia berlari keluar ruangan untuk memanggil perawat jaga. Tak lama dua perawat masuk membuntut dibelakang tubuhnya. “Tenang, ya, bu. Yang lain boleh menunggu diluar.” Abian melepaskan pelukannya yang kencang pada tubuh Natasya. Ia terpaksa keluar karena tak mau mengganggu proses pemeriksaan. Setelah pintu ditutup, satu perawat menenangkan Natasya, dan yang lain menyuntikkan obat penenang dosis rendah yang aman untuk wanita hamil pada punggung tangannya. Perlahan, tubuh Natasya yang mengamuk mulai tenang. “Bu, tenang ya. Ibu sedang hamil muda. Stress sedikit pun akan mempengaruhi tumbuh kem
Tok-Tok-Tok“Sya? Papa mohon kita bicara dulu.” Papa mengernyit, “Kok sepi, ya?”Ceklek.“Sya!” papa melotot melihat Natasya pingsan, “Sya, bangun, Sya!”Papa menangis sambil merogoh ponsel di saku celana. Papa langsung menelpon seseorang, “Angkat Abian, angkat.”“Halo, pa?”“Bi, pulang ke rumah, Natasya pingsan.” kata papa dengan panik.“Iya, pa, saya kesana sekarang.”Papa mengangkat tubuh Natasya ke atas ranjang, “Ya ampun, Sya, kamu kenapa begini sih?”Tak lama Abian datang bersama Haikal yang masih bersamanya.“Nat?” Abian mendekati Natasya, “Kapan Natasya pingsan, pa?”“Papa gak tahu. Tadi pulang-pulang dia langsung masuk kamar. Papa gak tahu kenapa Natasya pingsan.”“Tadi Natasya sempet mual dan muntah karena aroma kari. Mungkin asam lambungnya kambuh. Kita bawa Natasya ke rumah sakit, pa.”***Natasya membuka matanya perlahan saat membaui bau obat yang kentara. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mencari seseo
“Gimana mungkin aku percaya? Kamu ajak aku sama Ical kesini, dan tiba-tiba ada dia. Kamu pikir aku bisa nyangka semuanya kebetulan?”“Aca lewat depan resto dan gak sengaja liat aku. Begitu ‘kan, Ca?”Aca menatap Natasya, “Gue sama Abian janjian disini, Nat, seperti yang udah-udah. Lo mungkin pernah denger kalo restoran ini adalah tempat pertama kita ketemu. Gue—menyesali perbuatan kemarin dan berniat—”Abian melotot tak percaya pada ucapan Aca, "Ca! Kamu ngomong apa sih? Jelas-jelas kamu tadi bilang gak sengaja liat aku sama Ical ada disini.”.Natasya menggeleng, “Udah cukup, mas, kamu nyakitin aku! Keputusannya udah aku pikirin baik-baik. Aku mau kita pisah!” ia membawa tas tangan dan berjalan keluar dengan cepat.“Mami!” Haikal mengejar Natasya.“Nat, tunggu! Nat, semua gak seperti yang kamu pikirin. Tanya aja sama Ical, dia denger semuanya.” Abian berlari mengejar Natasya yang terus berjalan ke luar pelataran resto.Natasya menemukan taksi yang
Selesainya sesi foto dan pembagian hadiah, Natasya langsung memesan taksi online. Ia menatap baju kaos putih yang dikenakannya masih bersih. Matanya mengedar, melihat baju para orang tua dan wali lain—penuh dengan cat. Ia tak bisa mengikuti lomba karena saat baru menuangkan pewarna pada wadah, Abian harus mengangkat telpon dan mereka di diskualifikasi.Natasya membuang nafas berkali-kali saat sadar Haikal marah padanya dan Abian. Semua memang salahnya. Mungkin kalau ia tak membahas rahasia pernikahan kontrak itu, mereka masih bisa sama-sama dan pergi menagih traktiran dari Abian.TAP!Sebuah tangan menempel dibelakang baju Natasya, membuatnya refleks menoleh, “Ical?”Wajah Ical yang cemberut berubah ceria. Mulutnya tersenyum, menampilkan gigi rapinya berderes cantik, “Baju kita bersih, aku gak suka. Mami mau bikin kenang-kenangan gak di baju aku?”Natasya mengangguk.Haikal menuangkan cat warna dari botol pada telapak tangan Natasya, “Tempelin, mi,
Masih banyak perlombaan yang harus di ikuti, tapi Abian terus mendapat telpon darurat. Untungnya ia tak perlu ke rumah sakit, hanya perlu memantau kondisi pasien melalui via telpon.“Mas?” Abian menoleh.Natasya membawakan minuman yang dibagikan pihak sekolah, “Minum dulu.”“Makasih.”Mereka duduk di bawah pohon saat lomba masih berlangsung. Kini tengah di adakan lomba bakiak antar keluarga.“Ical gak ngambek karena kita di diskualifikasi dari lomba?”“Enggak kok. Temen-temennya juga banyak yang gak bisa ikut karena orang tuanya gak dateng.”Abian melirik Natasya, “Kamu seneng hari ini?”Natasya tersenyum, “Banget, mas. Lumayan lah kita menang di dua lomba.”“Pengennya pasti kamu menang di semua lomba.”Natasya melirik Abian dan mengangguk, “Oh iya dong, harusnya semua lomba. Hadiahnya ‘kan lumayan.”“Nanti aku yang akan kasih hadiah buat kamu dan Ical.”Senyum Natasya luntur, “Gak usah, mas, buat Ical aja.”Haik
“Ical kebagian lomba apa? Katanya orang tua atau walinya harus ikutan ya?” Natasya berusaha mengalihkan topik.“Banyak lombanya, mi. Semua anak harus ngikutin semua kegiatan sama orang tuanya. Mama papa aku gak bisa dateng. Untungnya kalian bisa. Makasih ya, mi, pi.”“Sama-sama, Cal.” Abian mengacak-acak rambut Haikal yang sudah tumbuh.“Ya udah kita ke lapang, mi, pi.”Haikal berlari lebih dulu ke tengah lapang. Sedang Abian menarik lengan Natasya yang baru akan melangkah.“Nat, untuk hari ini aja, kita lupain gencatan senjata yang ada di depan Ical.”“Iya, mas.”“Ya udah kita kesana.” Abian menuntun Natasya ke lapang.Sebelum memasuki lapang, panitia memberikan kaos putih berlengan pendek untuk dikenakan semua orang tua atau wali. Siswa sendiri sudah memakai baju itu sedari dari rumah.“Untuk orang tua wali langsung berbaris ya di barisan orang tua sesuai angkatan siswa. Kami sudah memberikan tanda disetiap sudut.” panitia memberikan ar
Natasya baru selesai jaga malam. Sudah tiga hari ia menginap di rumah papa dan tidur berdua dengan mama. Papa mengalah. Papa memilih menginap di rumah temannya karena tidak mungkin satu atap dengan mama meski ada anak mereka. “Balik kemana sekarang?” tanya Vina yang juga baru selesai jaga malam. “Gak balik gue.” Natasya sibuk menalikan sepatunya. “Jangan gila lo. Kita gak tidur semaleman karena bangsal lagi rame. Kita juga bolak-balik UGD terus.” “Gue mau ke suatu tempat.” “Kemana?” Natasya menutup pintu loker dan merapikan bajunya, “Ada aja. Gak mau bilang, takut lo ikut.” “Idih. Gue sibuk kali, mau ngurus bocah. Eh, lo—kapan kasih keputusan sama dokter Abian?” Natasya diam. Vina menyikut, “Jangan lama-lama. Kalo lo emang mau lepasin dia ya udah. Banyak residen tahun pertama yang antre tuh.” “Hah? Mereka gak tahu dia suami gue?!” Vina tertawa, “Lo tuh maruk amat