Malam saat jenazah Aretha masih disemayamkan di rumah duka, Taksa duduk terpekur di sudut ruangan. Matanya menatap kosong ditempat jenazah Aretha terbaring. Dirinya tak sanggup mendekati Aretha. Taksa khawatir dirinya akan meraung-raung atau justru akan pingsan seperti mama Ratih dan Inayah. Kedua wanita itu sudah berkali-kali jatuh pingsan dan Taksa tak ingin mengikuti jejak mereka walau sesungguhnya ia ingin menjerit memanggil nama Aretha agar rasa sesak di dada lepas seketika.
Taksa tak menyangka kisah cintanya akan seperti ini. Aretha pergi meninggalkannya untuk selamanya, memberi amanah untuk mempersunting Inayah dan disaat amanah itu sudah ia laksanakan, Aretha pergi meninggalkannya. Sekarang ia harus bagaimana? Statusnya sudah menjadi suami dan Taksa sama sekali tidak tau harus melakukan apa setelah ini. Taksa bangkit berdiri dan menuju kamar Aretha. Ia sempat terdiam setelah berdiri didepan pintu kamar Aretha dan akhirnya memutuskan membuka pintu kamar Inayah terlebih dahulu. Ia tau kamar itu milik Inayah karena terdapat hiasan pintu bertuliskan nama Inayah di sana. Taksa merasa seperti sedang berdiri didepan pintu kamar anak SD. Inayah ternyata belum tidur. Perempuan itu terlihat melamun sembari memeluk boneka kuromi berwarna ungu. Wajahnya pucat dan rambutnya berantakan. Taksa memutuskan menutup pintu kamar itu, tak ingin menganggu Inayah dengan segala lamunannya. Lagipula, akan terasa canggung jika Taksa nekat mendekati Inayah. Mereka tak pernah mengobrol akrab sebelumnya. Taksa menuju kamar Aretha seperti tujuannya semula. Ia pernah sekali memasuki kamar ini saat mereka melangsungkan pertunangan setahun lalu dan tak ada yang berubah dari kamar ini. Masih rapi dan wangi. Taksa jadi ingin menangis. "Aretha," gumam Taksa dan memilih berbaring di ranjang dengan seprei berwarna kuning. Aroma Aretha semakin kuat tercium. Cukup lama Taksa berbaring di posisi tersebut sampai akhirnya ia bangkit dan menuju meja belajar yang terdapat di kamar itu. Ada banyak buku milik Aretha di sana. Laptop Aretha juga masih tersusun rapi dan Taksa nekat membukanya. Taksa tau ia tak sopan melakukan hal ini. Benda ini bukan miliknya tapi saat ini Taksa butuh. Ia tak memeriksa apa yang ada di dalam laptop itu, ia hanya meminjam sebentar karena sebuah keperluan. Surat cerai. Taksa menulis surat cerai untuk Inayah. Ia tak sanggup menjalani pernikahan dengan orang yang tidak ia cintai. Pernikahan mereka karena terpaksa. Inayah juga tak menginginkan pernikahan ini. Aretha sudah tiada, tak ada hal yang harus mereka pertahankan dari pernikahan yang tak seharusnya terjadi ini. "Jaga Inayah untukku." Kata-kata terakhir Aretha terngiang-ngiang di telinga Taksa, tapi Taksa abaikan. Ia segera mencetak surat cerai dadakan itu dan melipatnya. Taksa keluar dari kamar dan menyimpan surat cerai itu di mobilnya, di tempat yang menurutnya paling aman lalu kembali lagi ke kamar Aretha. Menghabiskan waktu untuk yang terakhir kalinya mengenang kekasih yang telah tiada. *** Taksa tak bisa memejamkan mata sedetik pun hingga pagi bahkan setelah Aretha di kebumikan, Taksa tak merasakan kantuk walau kepalanya sedikit pusing. Setelah kembali dari pemakaman, Taksa memutuskan kembali ke kamar Aretha. Suasana di rumah mertuanya itu masih ramai oleh sanak saudara dan Taksa tak peduli. Ia tetap melenggang masuk ke kamar Aretha. Untuk sedikit meredakan pusing di kepala, Taksa memilih ke kamar mandi untuk mencuci muka. Matanya menjelajah kamar mandi tersebut dan menemukan peralatan cuci muka Aretha masih tersimpan rapi di rak. Taksa tersenyum sedih sebelum akhirnya keluar dan kamar mandi dan mendapati Inayah sudah berada di kamar itu. Penampilannya masih berantakan. Wajahnya masih pucat dan matanya masih sembab. Wanita itu memandangi bingkai foto dan Taksa memutuskan untuk ikut memandangi foto tersebut. Inayah tampak terkejut ketika menoleh dan menemukan Taksa berada di sana. "Kamu sejak kapan ada di sini?" tanya Inayah. Taksa melirik sekilas dan kembali menatap foto Aretha. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, sejak kapan kamu ada di sini?" "Kamar ini kosong sewaktu aku masuk," sahut Inayah sedikit kesal. "Sewaktu aku masuk, kamar ini juga kosong." Taksa menyahut tak mau kalah. Wajahnya datar menyebalkan di pandangan Inayah. "Apa kamu di kamar mandi?" tanya Inayah penasaran. Taksa hanya mengangguk. "Bagaimana kak Aretha menurutmu?" tanya Inayah karena merasa jengah. Hampir sepuluh menit mereka hanya diam dan Inayah tak tahan. "Aretha perempuan istimewa. Tak akan ada yang bisa menggantikan Aretha apalagi kamu, walau status kita sudah suami istri." Inayah menatap wajah datar Taksa. Larut dalam kesedihan, Inayah sampai lupa kalau lelaki yang berdiri di sebelahnya ini adalah suaminya dan tak perlu diingatkan pun ia tau, dirinya tak seistimewa kak Aretha. Tapi, perlukah diperjelas?"Ya, kak Aretha memang perempuan istimewa. Mama sering menceritakan bagaimana perjuangan kak Aretha untuk bisa bertahan hidup. Aku begitu bangga padanya," sahut Inayah tersenyum tipis. "Berhubung kita sedang membahas ini, ada sesuatu yang ingin aku beri untukmu," ucap Taksa. "Apa itu?" tanya Inayah penasaran. Taksa tak menjawab. Ia berlalu meninggalkan Inayah dan kembali lima menit kemudian dengan sesuatu di tangan. "Untukku?" tanya Inayah heran. Taksa kembali mengangguk. Inayah terdiam lunglai begitu mengetahui apa yang diberikan Taksa untuknya. Kakaknya baru di kebumikan hari ini dan bisa-bisanya Taksa sudah memberikannya kejutan seperti ini. "Surat cerai?" lirih Inayah. Ia mendongak dan mendapati wajah datar Taksa seperti biasa. "Kita nikah belum ada dua puluh empat jam dan kamu udah mengajukan surat cerai?" tanya Inayah tak habis pikir. "Kita menikah karena Aretha dan Aretha udah nggak ada. Apa lagi yang mau kita pertahankan? Aku dan kamu sama-sama nggak ada yang mengingi
"Ini rumah kamu?" tanya Inayah ketika mobil yang mereka tumpangi memasuki halaman rumah."Hmm."Inayah melirik dengan sinis. Taksa si irit bicara akan sangat berdosa jika sampai menjawab pertanyaannya. Kepindahan mereka memang hanya berdua tanpa di dampingi siapapun. Tak ada yang perlu dipersiapkan selain pakaian dan juga makanan hasil masakan mama Ratih. Semua perlengkapan rumah sudah tersedia. Inayah sendiri juga hanya membawa pakaian dan juga buku-buku kuliahnya."Selama ini kamu tinggal di mana? Di sini?" tanya Inayah penasaran karena ia di sambut dengan beberapa pembantu yang berjejer di depan pintu."Di rumah mama," jawab Taksa singkat, padat dan tidak jelas."Lalu untuk apa para pembantu ini? Melayani rumah kosong?" tanya Inayah lagi keheranan.Taksa tak menjawab dan hanya melirik Inayah singkat. Ia naik ke lantai dua dan Inayah mengikuti dengan sedikit terburu-buru, mengimbangi langkah kaki panjang Taksa. Untung saja koper yang ia bawa sudah di urus oleh para pembantu, kalau t
Inayah menaiki taksi untuk sampai di kampusnya. Besok, ia akan meminta abanya mengantar mobil miliknya. Akan menghemat biaya jika menaiki mobil sendiri. "Naya!"Inayah menoleh ketika mendengar suara yang memanggil namanya. Ternyata Lisa, teman yang sudah ia kenal sejak masih di bangku SMP."Hampir kita nggak ketemu, aku kangen banget," ucap Lisa manja dan merangkul bahu Inayah. "Sorry, aku nggak bisa datang di pemakaman kak Aretha," ringis Lisa."Nggak papa. Kamu juga lagi nggak di rumah kan waktu itu?" Inayah memang sudah tau kalau Lisa tak berada di rumah saat kak Aretha meninggal. Perempuan bertubuh tinggi itu sedang berada di Makasar, ada kerabat jauh yang sedang melangsungkan pernikahan."Aku pengen pulang sebenarnya, tapi mama ngelarang karena udah kemalaman, paginya acara inti, aku nggak bisa kabur," sungut Lisa penuh sesal."Udah, nggak papa. Santai aja." Inayah menepuk bahu Lisa menenangkan."Oya, kemarin pak Bumi nanyain kamu. Aku sampai keki disamperin dosen paling cakep
Jangan ngelamun. Aku nggak marah kok. Ayo, makan dulu." Bumi menyodorkan sendok di depan mulut Inayah dan Inayah menggeleng kecil."Aku udah makan," tolak Inayah."Jadi aku makan sendiri, nih?" tanya Bumi heran."Aku udah makan bareng Lisa tadi.""Kenapa kita nggak makan bareng aja di sini?" Bumi menegakkan tubuh dan terlihat tak berselera untuk menyantap makan siangnya."Aku tadi lupa sarapan jadi makan siangnya dipercepat," kilah Inayah."Maaf, ya. Aku nggak ada di sana waktu kamu lagi berduka." Bumi menggenggam tangan Inayah dengan raut wajah bersalah.Inayah jadi ingin menangis rasanya. Ia tak bisa membayangkan apa jadinya kalau Bumi ada di sana, melihat dirinya menikah dengan Taksa."Nggak papa. Maaf juga karena aku nggak ada ngabarin kamu." Inayah membersit hidung dan Bumi menyodorkan tisu."Ada yang mau aku omongin," lirih Inayah."Apa itu?" tanya Bumi penasaran."Habiskan dulu makan siangnya. Kasian ibu kantin yang udah capek-capek masak, kasian juga aba Fahrazi yang udah cape
Bumi kembali tertawa terbahak-bahak. Ia menggelengkan kepala dan menatap Inayah dalam. "Kamu pengen banget ya putus dari aku sampai segitunya ngarang alasan?" Bumi masih terkekeh. "Alasan kamu nggak bisa aku terima dan aku nggak mau putus.""Aku tau kamu nggak akan percaya sama kata-kataku karena aku sendiri juga masih nggak percaya kalo aku udah nikah. Tapi, aku tetep mau putus. Hubungan kita nggak bisa dilanjutkan," lirih Inayah. "Aku pergi dulu."Inayah bergegas keluar ruangan dan menutup pintu dengan terburu-buru diiringi dengan tatapan tajam Bumi yang masih tak mengerti. Ada apa dengan Inayah sampai perempuan itu begitu ngotot ingin putus dengannya dan mengarang alasan sampai sedemikian rupa?Sementara itu, Inayah memilih langsung ke kelas berikutnya. Duduk dengan tenang walau kelas dimulai satu jam lagi. Degupan jantungnya menggila dan Inayah memilih menelungkupkan kepala di atas lipatan tangan yang ia sandarkan di atas meja. Bumi lelaki yang baik. Lelaki yang mulai ia kenal ka
Sejak Inayah meminta putus, Bumi tak berhenti memikirkan apa salahnya. Berbagai spekulasi bermunculan di kepalanya dan semakin ia berpikir, semakin ia tak menemukan dimana salahnya."Pak...." Inayah menatap sekitar dengan matanya."Jangan panggil aku pak. Nggak ada orang lain di sini selain kita." Bumi menyahut cepat. Paham dengan kekhawatiran Inayah. Inayah tak ingin ada orang lain yang mengetahui hubungan mereka."Aku udah jelaskan apa sebabnya. Aku udah nikah."Bumi menggeleng dan hampir menendang ban mobilnya karena kesal."Ada alasan yang lebih logis? Kalau kamu memang udah nikah, aku mau ketemu sama suami kamu. Aku mau kenalan dengannya."Inayah menggeleng bingung. Taksa tak ingin orang lain mengetahui pernikahan mereka dan bagaimana bisa Inayah memperkenalkan Bumi pada lelaki itu. Kenapa segalanya jadi seribet ini?"Aku nggak bisa," tolak Inayah.Bumi tersenyum miring. "Kamu nggak bisa karena alasan kamu itu cuma bohong belaka. Udahlah, ayo masuk. Aku antar kamu pulang. Aku tau
"Darimana kamu sampai jam segini baru pulang?"Taksa ingin memelintir lidahnya sendiri karena sudah mengajukan pertanyaan itu. Untuk apa pula ia harus repot-repot meluangkan waktu untuk bertanya hal seperti itu? Lihatlah, sekarang Inayah melihatnya dengan ekspresi yang Taksa sendiri sulit mengartikannya."Pulang dari kampus jam lima, terus aku ke makam kak Aretha, aku makan malam dulu, baru deh aku pulang." Inayah memberi laporan yang persis sering ia lakukan jika memberi laporan kepada aba atau mamanya.Taksa melirik dan menatap Inayah naik turun."Ada apa?" Inayah keki sendiri di pandangi sedemikian rupa."Aku semakin curiga kalau kamu memang benar ayam kampus." Sinis Taksa."Jangan sembarangan bicara, bisa nggak?" Jengkel Inayah. "Lihat kamu turun dari mobil mewah itu udah buat rasa curiga aku makin besar." Taksa membuka pintu kamarnya dan melirik Inayah sekali lagi."Memang nggak ada perempuan yang sebaik Aretha di dunia ini." Dan pintu kamar ditutup dengan keras.Inayah kesal s
"Kapan perginya?" tanya Taksa akhirnya. Jika ia terus memaksa kehendaknya untuk tidak mengikuti ajakan mamanya, percakapan ini pasti akan semakin panjang."Dua hari lagi. Persiapkan dari sekarang, ya!" Sambungan telepon di tutup dan Taksa kembali menghela napas. Ucapan mamanya berputar bagai kaset rusak. Jika diingat kembali, Inayah memang sudah berusaha menolak dan justru dirinyalah yang mengatakan bersedia untuk menikahi perempuan itu. Lalu, siapa yang berhak disalahkan atas semua kejadian ini?Pagi-pagi, Inayah dan Taksa kembali bertemu di meja makan. Inayah memilih abai dan duduk tenang di kursinya, menikmati roti bakar yang disuguhkan. Inayah tak ingin sok beramah tamah dengan Taksa kalau tak ingin berujung kesal sendiri. Inayah masih sakit hati karena Taksa menyebutnya ayam kampus.Taksa melirik Inayah dan menunggu wanita itu mengeluarkan ocehannya tapi, Inayah tetap diam bahkan sampai sarapannya hampir habis. Apa wanita itu kehabisan baterai?"Kamu udah mau berangkat?" Akhir