Share

4. Rindu Aretha

Inayah berdiri di dekapan ibunya. Tubuhnya lemas tak bertenaga, wajahnya juga pucat berbalut kerudung pasmina yang ia pakai secara asal. Matanya sembab dan memburam. Air mata kesedihan itu tak henti-hentinya mengalir.

Jenazah Aretha dimasukkan ke dalam liang lahat. Aba dan Taksa ikut turun mengantarkan Aretha ke peristirahatan terakhirnya. Kedua lelaki yang dicintai Aretha itu ikut membantu proses pemakaman hingga selesai. Raut mendung tak bisa disembunyikan.

Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman. Mama Ratih kembali pingsan dan aba memutuskan kembali lebih awal, tinggallah Inayah dan Taksa yang masih berada di sana, memandangi pusara Aretha dengan isi pikiran masing-masing.

Inayah duduk di tanah, tak memperdulikan bajunya yang pasti akan kotor. Ia mengusap pelan nisan bertuliskan nama Aretha Intan Fahrazi itu.

"Naya udah turuti keinginanmu, Kak. Kenapa kakak justru pergi seperti ini?" lirih Inayah yang kembali menangis.

"Naya harus gimana, Kak?" jerit Inayah melepas rasa sakit dan sesak di dadanya.

Taksa melirik dan merangkul bahu perempuan yang sudah menjadi istrinya sejak tadi malam itu.

"Baiknya kita pulang. Aretha akan sedih kalau kamu meratap seperti ini," pinta Taksa. Ia mengajak Inayah berdiri walau awalnya Inayah menolak.

"Kakak sendirian? Aku mau menemani kakak," racau Inayah sebelum akhirnya jatuh pingsan kembali.

Sejak kakaknya dinyatakan meninggal, Inayah memang sudah berkali-kali jatuh pingsan, begitupun mama Ratih. Mereka begitu terpukul atas kepergian Aretha.

***

Taksa terdiam memandangi wajah Inayah yang masih betah memejamkan mata. Perempuan itu belum sadar dari pingsannya sejak dari pemakaman hingga sampai di depan rumah, rumah mertuanya.

Taksa tak tau lagi bagaimana kelanjutan hidup yang akan dijalani kedepannya. Dulu, ia begitu menginginkan menjadi bagian dari keluarga Fahrazi, menjadi suami dari Aretha. Walau Aretha sering sakit, Taksa ingin menemani wanita itu apapun kondisinya. Ingin menemani perjuangan Aretha hingga sembuh dan hidup bahagia, tapi takdir justru berkata lain. Ia tetap menjadi bagian dari keluarga Fahrazi seperti impiannya tetapi justru ia menjadi suami dari Inayah, bukan Aretha.

"Aku harus bagaimana, Retha?" lirih Taksa masih memandangi Inayah. "Aku nggak tau harus apa. Apa aku bisa jalani hari tanpa kamu?"

Taksa tak bisa memungkiri kalau Inayah juga tak kalah cantik dari Aretha. Darah Pakistan yang diturunkan dari aba Fahrazi membuat kedua wanita itu begitu rupawan. Hidung mancung dan alis tebal yang rapi, membuat siapapun pasti akan iri melihatnya.

Lihatlah, walau Inayah saat ini begitu pucat dengan mata sembab, kecantikannya masih memukau dan membius siapapun. Taksa seharusnya merasa beruntung menjadi suami dari Inayah.

Tetapi, yang ia inginkan hanyalah Aretha, bukan Inayah.

Inayah menggeliat pelan dan samar-samar pandangan matanya melihat stir mobil. Inayah mengernyit sebelum akhirnya duduk tegak dengan benar.

"Maaf," ringis Inayah ketika ia menyadari masih berada di dalam mobil dengan Taksa yang entah mengapa masih menemaninya.

Taksa hanya melirik sekilas, tak ada anggukan apalagi jawaban. Lelaki itu langsung membuka pintu membuat Inayah buru-buru mengikuti jejaknya, keluar dari mobil.

"Apa dia marah karena terlalu lama nungguin aku pingsan?" gumam Inayah. "Ih, salah siapa nungguin, kan dia bisa masuk duluan atau paling nggak bangunin aku," sengit Inayah akhirnya tak peduli.

Inayah baru menyadari kalau ternyata Taksa membawanya pulang ke rumah.

Inayah hanya mengangguk sekilas membalas sapaan para kerabat yang masih berkumpul di rumah. Nenek masih memiliki tradisi membaca doa bersama dan pasti nanti malam akan lebih ramai para tetangga datang untuk mendoakan almarhumah Aretha.

Inayah berniat membuka pintu kamarnya, tapi niat itu urung ia laksanakan ketika matanya menatap pintu kamar Aretha yang berhadapan langsung dengan pintu kamarnya.

Inayah meneteskan air mata tanpa ia sadari. Ketika Aretha masih hidup, Inayah hampir setiap hari menyambangi kamar kakaknya hanya sekedar untuk bertanya apakah kakaknya itu sudah makan.

Ketika Aretha sakit, Inayah bahkan rela bergantian tidur dengan mamanya untuk menjaga Aretha walau kakaknya itu pasti akan mendengus sebal dan mengomel bahwa ia bukan lagi anak bayi yang harus di jaga setiap saat.

Kaki Inayah tanpa sadar melangkah mendekati kamar Aretha dan membukanya pelan. Aroma Aretha masih kuat terasa, begitupun dengan air matanya yang makin deras mengalir.

Inayah duduk di ranjang dengan pandangan mata menatap sekeliling. Belum ada perubahan sama sekali membuat Inayah semakin rindu dengan sosok Aretha.

"Kak, belum ada dua puluh empat jam kakak pergi, tapi Inayah udah kangen," lirih Inayah. Matanya menatap bingkai foto di atas nakas. Foto dirinya dan kakaknya sewaktu mereka berada di Pakistan, kampung halaman abanya.

Lama Inayah menatap foto tersebut dengan sejuta kenangan yang berputar di kepala dan Inayah hampir menjerit ketika berpaling dari bingkai foto dan mendapati keberadaan Taksa yang berdiri diam di sebelahnya. Lelaki itu juga ikut menatap objek yang sama dengannya.

"Kamu sejak kapan ada di sini?" tanya Inayah yang masih merasakan degupan kencang di dadanya. Degupan karena terkejut, bukan karena jatuh cinta.

Taksa melirik sekilas dan kembali menatap foto Aretha. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, sejak kapan kamu ada di sini?"

"Kamar ini kosong sewaktu aku masuk," sahut Inayah sedikit kesal.

"Sewaktu aku masuk, kamar ini juga kosong." Taksa menyahut tak mau kalah. Wajahnya datar menyebalkan di pandangan Inayah.

"Apa kamu di kamar mandi?" tanya Inayah penasaran. Taksa hanya mengangguk.

"Bagaimana kak Aretha menurutmu?" tanya Inayah karena merasa jengah. Hampir sepuluh menit mereka hanya diam dan Inayah tak tahan.

"Aretha perempuan istimewa. Tak akan ada yang bisa menggantikan Aretha apalagi kamu, walau status kita sudah suami istri."

Inayah menatap wajah datar Taksa. Larut dalam kesedihan, Inayah sampai lupa kalau lelaki yang berdiri di sebelahnya ini adalah suaminya dan tak perlu diingatkan pun ia tau, dirinya tak seistimewa kak Aretha. Tapi, perlukah diperjelas?

"Ya, kak Aretha memang perempuan istimewa. Mama sering menceritakan bagaimana perjuangan kak Aretha untuk bisa bertahan hidup. Aku begitu bangga padanya," sahut Inayah tersenyum tipis.

"Berhubung kita sedang membahas ini, ada sesuatu yang ingin aku beri untukmu," ucap Taksa.

"Apa itu?" tanya Inayah penasaran.

Taksa tak menjawab. Ia berlalu meninggalkan Inayah dan kembali lima menit kemudian dengan sesuatu di tangan.

"Untukku?" tanya Inayah heran. Taksa kembali mengangguk.

Inayah terdiam lunglai begitu mengetahui apa yang diberikan Taksa untuknya. Kakaknya baru di kebumikan hari ini dan bisa-bisanya Taksa sudah memberikannya kejutan seperti ini.

Kapan lelaki itu membuatnya? Apa di saat Aretha sendiri belum di kebumikan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status