Persiapan dadakan dilakukan. Taksa menelepon kedua orang tuanya yang tentu saja ditanggapi pekikan terkejut dari orang tua Taksa. Inayah sendiri hanya bisa pasrah ketika ibunya dengan terburu-buru memoles make up seadanya ke wajah, itupun bermodalkan make up milik seorang suster.
"Ma, apa aku harus menikah dengan kak Taksa?" tanya Inayah yang sudah hampir menangis. "Mama juga nggak tau apa maksud dari permintaan kakakmu, tapi mama mohon kali ini saja, Nay, turuti keinginan kakakmu dengan harapan kakakmu akan sembuh." Inayah terdiam. Pikirannya menerawang memikirkan kesehatan kakaknya. Kalau memang dengan cara ini kakaknya bisa sembuh, ia rela melakukannya. Asal kakaknya sembuh. Taksa sendiri memilih menunggu persiapan acara pernikahan dadakannya dengan duduk di samping ranjang Aretha, mengusap lembut tangan kurus wanita yang ia cintai sepenuh hati itu. "Aku akan menikahi Inayah seperti keinginanmu. Berjanjilah kamu akan sembuh," pinta Taksa. Aretha tersenyum. Matanya menyiratkan sorot bahagia padahal sebentar lagi tunangannya akan menikah dengan adiknya sendiri. "Terima kasih. Jaga Inayah untukku," lirih Aretha dengan suara terbata. "Aku mencintaimu, Retha," ucap Taksa. Kali ini ia menumpukan kepalanya di atas genggaman tangan Aretha. Taksa menangis. Tangis yang sejak tadi sudah ia tahan, akhirnya tumpah juga. Ia tak tau apa yang akan terjadi nanti setelah ia menikah dengan Inayah. Satu yang pasti, ia melakukan ini semua hanya demi Aretha. "Aku mencintaimu, Retha," lirih Taksa lagi. "Aku... juga... mencintaimu." *** "Saya terima nikah dan kawinnya Inayah Humairah Fahrazi binti Ahmad Fahrazi dengan mas kawin uang tunai satu juta rupiah dibayar tunai." "Sah?" "Sah!" Semua mengucap hamdalah dan puji syukur atas pernikahan dadakan itu. Pernikahan yang hanya dihadiri oleh kedua orang tua mempelai dan juga beberapa dokter dan suster. Mas kawin pun hanya menggunakan apa yang ada, uang tunai tanpa embel-embel seperangkat alat salat ataupun jet pribadi seperti di novel-novel. Taksa memasangkan cincin di jari manis Inayah, begitupun Inayah yang juga memasangkan cincin di jari manis Taksa, sebagai simbol kalau mereka sudah berumah tangga. Cincin yang juga dibeli dadakan oleh papa Ibrahim dan mama Siska, kedua orang tua Taksa. "Retha, kamu ngantuk?" tanya mama Ratih sembari menepuk pipi Aretha pelan. Aretha memang tampak sayup-sayup ingin memejamkan mata membuat mama Ratih panik. Sepanjang Taksa mengucap ijab kabul, mama Ratih memang memilih duduk di sisi Aretha yang tampak bahagia menyaksikan pernikahan itu. Suara tanya dari mama Ratih membuat semua yang berada di ruangan itu mengerumuni Aretha. Taksa duduk di sisi yang lain dan menggenggam tangan Aretha. "Aku udah menjalankan apa mau kamu, kamu harus sembuh," punya Taksa sungguh-sungguh. Aretha tersenyum sendu memandang Taksa dan Inayah bergantian. Adiknya itu tak berhenti menangis. Make up seadanya yang menempel di wajah Inayah bahkan sudah luntur. "Aku... bahagia," lirih Aretha tersenyum sebelum benar-benar terpejam. "Retha!" panggil mama Ratih panik. Dokter segera meminta para keluarga untuk keluar dari ruangan agar mereka bisa memeriksa keadaan Aretha. Awalnya Inayah menolak dan ingin menemani kakaknya. Ia sudah menuruti keinginan kakaknya dan ingin menagih janji agar kakaknya bisa sembuh, bukan justru memejamkan mata seperti ini. "Biarkan dokter memeriksa keadaan Retha dulu," bujuk Taksa sembari memegang lengan Inayah dan mengajaknya keluar. Itu adalah sentuhan pertama yang terjadi diantara mereka. Taksa tak tau kenapa ia terus memegang lengan Inayah walaupun mereka sudah berada di luar ruangan. Tapi satu yang pasti, ia dan Inayah sama-sama butuh kekuatan dan harapan untuk kesembuhan Aretha. Dokter keluar dari ruangan setelah hampir sepuluh menit memeriksa Aretha. "Bagaimana keadaan Aretha, Dok?" tanya mama Ratih langsung bergegas menghampirinya dokter Husni. Semua berdiri mengelilingi dokter Husni, bahkan kedua orang tua Taksa pun ikut harap-harap cemas. "Maaf, Bu, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi nyawa Aretha tak bisa di selamatkan." Mama Ratih menangis histeris mendengar ucapan dokter yang menangani Aretha sementara Inayah jatuh pingsan di dekapan Taksa.Inayah berdiri di dekapan ibunya. Tubuhnya lemas tak bertenaga, wajahnya juga pucat berbalut kerudung pasmina yang ia pakai secara asal. Matanya sembab dan memburam. Air mata kesedihan itu tak henti-hentinya mengalir. Jenazah Aretha dimasukkan ke dalam liang lahat. Aba dan Taksa ikut turun mengantarkan Aretha ke peristirahatan terakhirnya. Kedua lelaki yang dicintai Aretha itu ikut membantu proses pemakaman hingga selesai. Raut mendung tak bisa disembunyikan.Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman. Mama Ratih kembali pingsan dan aba memutuskan kembali lebih awal, tinggallah Inayah dan Taksa yang masih berada di sana, memandangi pusara Aretha dengan isi pikiran masing-masing.Inayah duduk di tanah, tak memperdulikan bajunya yang pasti akan kotor. Ia mengusap pelan nisan bertuliskan nama Aretha Intan Fahrazi itu."Naya udah turuti keinginanmu, Kak. Kenapa kakak justru pergi seperti ini?" lirih Inayah yang kembali menangis. "Naya harus gimana, Kak?" jerit Inayah melepas rasa
Malam saat jenazah Aretha masih disemayamkan di rumah duka, Taksa duduk terpekur di sudut ruangan. Matanya menatap kosong ditempat jenazah Aretha terbaring. Dirinya tak sanggup mendekati Aretha. Taksa khawatir dirinya akan meraung-raung atau justru akan pingsan seperti mama Ratih dan Inayah. Kedua wanita itu sudah berkali-kali jatuh pingsan dan Taksa tak ingin mengikuti jejak mereka walau sesungguhnya ia ingin menjerit memanggil nama Aretha agar rasa sesak di dada lepas seketika. Taksa tak menyangka kisah cintanya akan seperti ini. Aretha pergi meninggalkannya untuk selamanya, memberi amanah untuk mempersunting Inayah dan disaat amanah itu sudah ia laksanakan, Aretha pergi meninggalkannya. Sekarang ia harus bagaimana? Statusnya sudah menjadi suami dan Taksa sama sekali tidak tau harus melakukan apa setelah ini.Taksa bangkit berdiri dan menuju kamar Aretha. Ia sempat terdiam setelah berdiri didepan pintu kamar Aretha dan akhirnya memutuskan membuka pintu kamar Inayah terlebih dahulu.
"Ya, kak Aretha memang perempuan istimewa. Mama sering menceritakan bagaimana perjuangan kak Aretha untuk bisa bertahan hidup. Aku begitu bangga padanya," sahut Inayah tersenyum tipis. "Berhubung kita sedang membahas ini, ada sesuatu yang ingin aku beri untukmu," ucap Taksa. "Apa itu?" tanya Inayah penasaran. Taksa tak menjawab. Ia berlalu meninggalkan Inayah dan kembali lima menit kemudian dengan sesuatu di tangan. "Untukku?" tanya Inayah heran. Taksa kembali mengangguk. Inayah terdiam lunglai begitu mengetahui apa yang diberikan Taksa untuknya. Kakaknya baru di kebumikan hari ini dan bisa-bisanya Taksa sudah memberikannya kejutan seperti ini. "Surat cerai?" lirih Inayah. Ia mendongak dan mendapati wajah datar Taksa seperti biasa. "Kita nikah belum ada dua puluh empat jam dan kamu udah mengajukan surat cerai?" tanya Inayah tak habis pikir. "Kita menikah karena Aretha dan Aretha udah nggak ada. Apa lagi yang mau kita pertahankan? Aku dan kamu sama-sama nggak ada yang mengingi
"Ini rumah kamu?" tanya Inayah ketika mobil yang mereka tumpangi memasuki halaman rumah."Hmm."Inayah melirik dengan sinis. Taksa si irit bicara akan sangat berdosa jika sampai menjawab pertanyaannya. Kepindahan mereka memang hanya berdua tanpa di dampingi siapapun. Tak ada yang perlu dipersiapkan selain pakaian dan juga makanan hasil masakan mama Ratih. Semua perlengkapan rumah sudah tersedia. Inayah sendiri juga hanya membawa pakaian dan juga buku-buku kuliahnya."Selama ini kamu tinggal di mana? Di sini?" tanya Inayah penasaran karena ia di sambut dengan beberapa pembantu yang berjejer di depan pintu."Di rumah mama," jawab Taksa singkat, padat dan tidak jelas."Lalu untuk apa para pembantu ini? Melayani rumah kosong?" tanya Inayah lagi keheranan.Taksa tak menjawab dan hanya melirik Inayah singkat. Ia naik ke lantai dua dan Inayah mengikuti dengan sedikit terburu-buru, mengimbangi langkah kaki panjang Taksa. Untung saja koper yang ia bawa sudah di urus oleh para pembantu, kalau t
Inayah menaiki taksi untuk sampai di kampusnya. Besok, ia akan meminta abanya mengantar mobil miliknya. Akan menghemat biaya jika menaiki mobil sendiri. "Naya!"Inayah menoleh ketika mendengar suara yang memanggil namanya. Ternyata Lisa, teman yang sudah ia kenal sejak masih di bangku SMP."Hampir kita nggak ketemu, aku kangen banget," ucap Lisa manja dan merangkul bahu Inayah. "Sorry, aku nggak bisa datang di pemakaman kak Aretha," ringis Lisa."Nggak papa. Kamu juga lagi nggak di rumah kan waktu itu?" Inayah memang sudah tau kalau Lisa tak berada di rumah saat kak Aretha meninggal. Perempuan bertubuh tinggi itu sedang berada di Makasar, ada kerabat jauh yang sedang melangsungkan pernikahan."Aku pengen pulang sebenarnya, tapi mama ngelarang karena udah kemalaman, paginya acara inti, aku nggak bisa kabur," sungut Lisa penuh sesal."Udah, nggak papa. Santai aja." Inayah menepuk bahu Lisa menenangkan."Oya, kemarin pak Bumi nanyain kamu. Aku sampai keki disamperin dosen paling cakep
Jangan ngelamun. Aku nggak marah kok. Ayo, makan dulu." Bumi menyodorkan sendok di depan mulut Inayah dan Inayah menggeleng kecil."Aku udah makan," tolak Inayah."Jadi aku makan sendiri, nih?" tanya Bumi heran."Aku udah makan bareng Lisa tadi.""Kenapa kita nggak makan bareng aja di sini?" Bumi menegakkan tubuh dan terlihat tak berselera untuk menyantap makan siangnya."Aku tadi lupa sarapan jadi makan siangnya dipercepat," kilah Inayah."Maaf, ya. Aku nggak ada di sana waktu kamu lagi berduka." Bumi menggenggam tangan Inayah dengan raut wajah bersalah.Inayah jadi ingin menangis rasanya. Ia tak bisa membayangkan apa jadinya kalau Bumi ada di sana, melihat dirinya menikah dengan Taksa."Nggak papa. Maaf juga karena aku nggak ada ngabarin kamu." Inayah membersit hidung dan Bumi menyodorkan tisu."Ada yang mau aku omongin," lirih Inayah."Apa itu?" tanya Bumi penasaran."Habiskan dulu makan siangnya. Kasian ibu kantin yang udah capek-capek masak, kasian juga aba Fahrazi yang udah cape
Bumi kembali tertawa terbahak-bahak. Ia menggelengkan kepala dan menatap Inayah dalam. "Kamu pengen banget ya putus dari aku sampai segitunya ngarang alasan?" Bumi masih terkekeh. "Alasan kamu nggak bisa aku terima dan aku nggak mau putus.""Aku tau kamu nggak akan percaya sama kata-kataku karena aku sendiri juga masih nggak percaya kalo aku udah nikah. Tapi, aku tetep mau putus. Hubungan kita nggak bisa dilanjutkan," lirih Inayah. "Aku pergi dulu."Inayah bergegas keluar ruangan dan menutup pintu dengan terburu-buru diiringi dengan tatapan tajam Bumi yang masih tak mengerti. Ada apa dengan Inayah sampai perempuan itu begitu ngotot ingin putus dengannya dan mengarang alasan sampai sedemikian rupa?Sementara itu, Inayah memilih langsung ke kelas berikutnya. Duduk dengan tenang walau kelas dimulai satu jam lagi. Degupan jantungnya menggila dan Inayah memilih menelungkupkan kepala di atas lipatan tangan yang ia sandarkan di atas meja. Bumi lelaki yang baik. Lelaki yang mulai ia kenal ka
Sejak Inayah meminta putus, Bumi tak berhenti memikirkan apa salahnya. Berbagai spekulasi bermunculan di kepalanya dan semakin ia berpikir, semakin ia tak menemukan dimana salahnya."Pak...." Inayah menatap sekitar dengan matanya."Jangan panggil aku pak. Nggak ada orang lain di sini selain kita." Bumi menyahut cepat. Paham dengan kekhawatiran Inayah. Inayah tak ingin ada orang lain yang mengetahui hubungan mereka."Aku udah jelaskan apa sebabnya. Aku udah nikah."Bumi menggeleng dan hampir menendang ban mobilnya karena kesal."Ada alasan yang lebih logis? Kalau kamu memang udah nikah, aku mau ketemu sama suami kamu. Aku mau kenalan dengannya."Inayah menggeleng bingung. Taksa tak ingin orang lain mengetahui pernikahan mereka dan bagaimana bisa Inayah memperkenalkan Bumi pada lelaki itu. Kenapa segalanya jadi seribet ini?"Aku nggak bisa," tolak Inayah.Bumi tersenyum miring. "Kamu nggak bisa karena alasan kamu itu cuma bohong belaka. Udahlah, ayo masuk. Aku antar kamu pulang. Aku tau