Sontak Inayah dan Taksa saling berpandangan sesaat sebelum berpaling menatap Aretha penuh keheranan.
Semua tau kalau Aretha dan Taksa sudah bertunangan, bahkan pernikahan mereka akan diadakan dua bulan lagi. Lalu, mengapa Aretha justru meminta Inayah untuk menikah dengan Taksa? "Kak?" Inayah tentu kebingungan. "Aretha, jangan bercanda," sela Taksa cepat. "Kamu sepertinya butuh istirahat. Istirahat dulu, ya. Nanti kita lanjut ngobrol lagi." Aretha menggeleng dan setetes air mata ikut jatuh. "Aku ingin kamu menikah dengan I...nayah." "Kak, jangan sembarangan bicara. Kakak pasti sembuh. Mama udah janji mau wujudkan pesta seperti impian kakak. Aba pasti nggak suka dan bakalan marah kalo kakak ngomong sembarangan begini," marah Inayah. Tak pernah terlintas di pikiran Inayah kakaknya bisa menginginkan hal aneh seperti ini. Menikah dengan Taksa? Lelaki dingin itu? Yang benar saja! "Retha, kamu harus sembuh, jangan ngomong yang nggak-nggak." Taksa sepemikiran dengan Inayah. Ia pun ikut marah. "Taksa, kamu udah janji mau turutin semua inginku," tagih Aretha dengan suara terputus-putus. "Tapi nggak menikah dengan Inayah juga, Ta. Inayah itu adik kamu, yang akan menikah itu kita. Kamu harus sembuh." "Ka...mu lelaki paling baik yang aku kenal selain aba. Ka...mu le...laki yang paling bisa aku percaya bi...sa jaga adik aku. To... long nikahi Inayah demi aku. A...ku nggak bisa hidup lebih lama lagi, a...aku ca...pek." "Kak, kakak pasti sembuh, aku yakin." Inayah meyakinkan. Ia tak mau menikah dengan Taksa. Taksa itu tunangan kakaknya seharusnya lelaki itulah yang akan menikah dengan kakaknya bukan dengan dirinya. Aretha justru menggeleng. Air matanya semakin deras mengalir. Inayah pun tak henti-hentinya menyusut air mata. Hanya Taksa yang bertahan tak menangis walau matanya terlihat merah. "Menikahlah se...belum aku pergi. I...ni permintaan terakhirku." Inayah dan Taksa kompak menggeleng. Aretha tampak memegangi dadanya, terlihat jelas Aretha kesakitan membuat Inayah dan Taksa panik. Inayah langsung berlari memanggil dokter, berteriak bagai orang gila. Mama Ratih dan aba Fahrazi yang duduk di ruang tunggu seketika berdiri dan ikut panik. "Ada apa, Nay?" tanya mama Ratih panik. "Kakak, Ma. Kakak...." "Kakak kenapa?" tanya mama Ratih semakin panik karena Inayah hanya menangis. Dokter memasuki ruangan dengan sedikit tergesa. Inayah dan yang lainnya menunggu dengan gelisah. Aretha memang tampak lebih kesakitan daripada biasanya. Inayah menunduk dengan resah dan penuh harap. Berharap kakaknya segera sembuh dan sehat seperti sedia kala. Inayah tak bisa membayangkan kalau ia harus menjalankan pernikahan dengan Taksa seperti yang diminta kakaknya. Inayah tak mau. Takdir kakaknya harus menikah dengan Taksa karena memang lelaki itu tunangan kakaknya selama ini. Inayah mendongak dan tatapannya justru tepat kearah Taksa yang sedang menunduk. Lelaki itu pun sepertinya sedang khusyuk berdoa. Inayah menurunkan pandangan karena tak ingin terpergok tengah memandang Taksa lagi, padahal ia tak berniat untuk memandang lelaki itu. Taksa memang tampan, Inayah mengakui itu tetapi, sekali lagi harus Inayah katakan, lelaki itu begitu dingin dan irit bicara. Inayah tak bisa membayangkan kalau harus menikah dengan lelaki itu dan hidup serumah dengannya. Bisa dipastikan Inayah akan tiba-tiba bisu karena mulutnya jarang digunakan untuk berbicara. Inayah langsung menggelengkan kepala dan merutuki isi pikirannya. Kakaknya pasti sembuh, kakaknya pasti yang akan menikah dengan Taksa, bukan dirinya. Sementara itu, Taksa sendiri juga sungguh-sungguh berdoa agar Aretha segera sembuh dan tak lagi membicarakan rencana gilanya. Semenjak bertemu dengan Aretha sepuluh tahun silam, hanya Aretha yang ada di hatinya, hanya Aretha yang mampu menggetarkan seluruh kehidupannya. Tak pernah ia menemui perempuan sespesial Aretha. Dokter Husni keluar dari ruangan Aretha kembali. Wajahnya tegang dan serius, Taksa sampai bisa merasakan firasat buruk apa yang akan terjadi. "Keadaan Aretha semakin memburuk." Beritahu dokter tersebut. Taksa mundur selangkah. Telinganya bahkan tak lagi bisa mendengar apa penjelasan dokter selanjutnya. Satu yang pasti, hidupnya juga ikut memburuk mendengar kabar tersebut. "Taksa, maukah kamu mengabulkan permintaan Aretha?" Taksa menoleh kebingungan. Aba Aretha menatapnya dengan pandangan memohon. Taksa sendiri tak bisa mencerna situasi yang saat ini ia hadapi. Telinganya hanya mendengungkan kata "keadaan Aretha semakin memburuk" "Aba, kak Aretha pasti sembuh." Isak Inayah. Ia menyesal karena sempat menceritakan keinginan gila kakaknya. Abanya sekarang justru ingin mereka mengabulkan permintaan aneh itu. Inayah tak bisa! Menikah itu seumur hidup dan ia tak mau seumur hidup itu harus ia jalani bersama Taksa. "Nay, maafkan Aba. Tolong, kabulkanlah keinginan kakakmu," pinta aba Fahrazi mengiba. "Apa ada jaminan kalau Naya menikah dengan kak Taksa, kakak akan sembuh?" tanya Inayah butuh kepastian. Aba Fahrazi dan mama Ratih saling berpandangan sejenak, mereka juga sempat menatap Taksa. "Aba juga tidak tau. Tapi setidaknya kita sudah berusaha memenuhi permintaan Aretha." "Aku bersedia. Aku rela melakukan apapun demi kesembuhan Aretha," sahut Taksa membuat semua mata memandangnya. Inayah menggeleng dengan cemas. Haruskah hidupnya berakhir menikah dengan Taksa? Tunangan kakaknya sendiri?Persiapan dadakan dilakukan. Taksa menelepon kedua orang tuanya yang tentu saja ditanggapi pekikan terkejut dari orang tua Taksa. Inayah sendiri hanya bisa pasrah ketika ibunya dengan terburu-buru memoles make up seadanya ke wajah, itupun bermodalkan make up milik seorang suster."Ma, apa aku harus menikah dengan kak Taksa?" tanya Inayah yang sudah hampir menangis. "Mama juga nggak tau apa maksud dari permintaan kakakmu, tapi mama mohon kali ini saja, Nay, turuti keinginan kakakmu dengan harapan kakakmu akan sembuh."Inayah terdiam. Pikirannya menerawang memikirkan kesehatan kakaknya. Kalau memang dengan cara ini kakaknya bisa sembuh, ia rela melakukannya. Asal kakaknya sembuh.Taksa sendiri memilih menunggu persiapan acara pernikahan dadakannya dengan duduk di samping ranjang Aretha, mengusap lembut tangan kurus wanita yang ia cintai sepenuh hati itu."Aku akan menikahi Inayah seperti keinginanmu. Berjanjilah kamu akan sembuh," pinta Taksa.Aretha tersenyum. Matanya menyiratkan sor
Inayah berdiri di dekapan ibunya. Tubuhnya lemas tak bertenaga, wajahnya juga pucat berbalut kerudung pasmina yang ia pakai secara asal. Matanya sembab dan memburam. Air mata kesedihan itu tak henti-hentinya mengalir. Jenazah Aretha dimasukkan ke dalam liang lahat. Aba dan Taksa ikut turun mengantarkan Aretha ke peristirahatan terakhirnya. Kedua lelaki yang dicintai Aretha itu ikut membantu proses pemakaman hingga selesai. Raut mendung tak bisa disembunyikan.Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman. Mama Ratih kembali pingsan dan aba memutuskan kembali lebih awal, tinggallah Inayah dan Taksa yang masih berada di sana, memandangi pusara Aretha dengan isi pikiran masing-masing.Inayah duduk di tanah, tak memperdulikan bajunya yang pasti akan kotor. Ia mengusap pelan nisan bertuliskan nama Aretha Intan Fahrazi itu."Naya udah turuti keinginanmu, Kak. Kenapa kakak justru pergi seperti ini?" lirih Inayah yang kembali menangis. "Naya harus gimana, Kak?" jerit Inayah melepas rasa
Malam saat jenazah Aretha masih disemayamkan di rumah duka, Taksa duduk terpekur di sudut ruangan. Matanya menatap kosong ditempat jenazah Aretha terbaring. Dirinya tak sanggup mendekati Aretha. Taksa khawatir dirinya akan meraung-raung atau justru akan pingsan seperti mama Ratih dan Inayah. Kedua wanita itu sudah berkali-kali jatuh pingsan dan Taksa tak ingin mengikuti jejak mereka walau sesungguhnya ia ingin menjerit memanggil nama Aretha agar rasa sesak di dada lepas seketika. Taksa tak menyangka kisah cintanya akan seperti ini. Aretha pergi meninggalkannya untuk selamanya, memberi amanah untuk mempersunting Inayah dan disaat amanah itu sudah ia laksanakan, Aretha pergi meninggalkannya. Sekarang ia harus bagaimana? Statusnya sudah menjadi suami dan Taksa sama sekali tidak tau harus melakukan apa setelah ini.Taksa bangkit berdiri dan menuju kamar Aretha. Ia sempat terdiam setelah berdiri didepan pintu kamar Aretha dan akhirnya memutuskan membuka pintu kamar Inayah terlebih dahulu.
"Ya, kak Aretha memang perempuan istimewa. Mama sering menceritakan bagaimana perjuangan kak Aretha untuk bisa bertahan hidup. Aku begitu bangga padanya," sahut Inayah tersenyum tipis. "Berhubung kita sedang membahas ini, ada sesuatu yang ingin aku beri untukmu," ucap Taksa. "Apa itu?" tanya Inayah penasaran. Taksa tak menjawab. Ia berlalu meninggalkan Inayah dan kembali lima menit kemudian dengan sesuatu di tangan. "Untukku?" tanya Inayah heran. Taksa kembali mengangguk. Inayah terdiam lunglai begitu mengetahui apa yang diberikan Taksa untuknya. Kakaknya baru di kebumikan hari ini dan bisa-bisanya Taksa sudah memberikannya kejutan seperti ini. "Surat cerai?" lirih Inayah. Ia mendongak dan mendapati wajah datar Taksa seperti biasa. "Kita nikah belum ada dua puluh empat jam dan kamu udah mengajukan surat cerai?" tanya Inayah tak habis pikir. "Kita menikah karena Aretha dan Aretha udah nggak ada. Apa lagi yang mau kita pertahankan? Aku dan kamu sama-sama nggak ada yang mengingi
"Ini rumah kamu?" tanya Inayah ketika mobil yang mereka tumpangi memasuki halaman rumah."Hmm."Inayah melirik dengan sinis. Taksa si irit bicara akan sangat berdosa jika sampai menjawab pertanyaannya. Kepindahan mereka memang hanya berdua tanpa di dampingi siapapun. Tak ada yang perlu dipersiapkan selain pakaian dan juga makanan hasil masakan mama Ratih. Semua perlengkapan rumah sudah tersedia. Inayah sendiri juga hanya membawa pakaian dan juga buku-buku kuliahnya."Selama ini kamu tinggal di mana? Di sini?" tanya Inayah penasaran karena ia di sambut dengan beberapa pembantu yang berjejer di depan pintu."Di rumah mama," jawab Taksa singkat, padat dan tidak jelas."Lalu untuk apa para pembantu ini? Melayani rumah kosong?" tanya Inayah lagi keheranan.Taksa tak menjawab dan hanya melirik Inayah singkat. Ia naik ke lantai dua dan Inayah mengikuti dengan sedikit terburu-buru, mengimbangi langkah kaki panjang Taksa. Untung saja koper yang ia bawa sudah di urus oleh para pembantu, kalau t
Inayah menaiki taksi untuk sampai di kampusnya. Besok, ia akan meminta abanya mengantar mobil miliknya. Akan menghemat biaya jika menaiki mobil sendiri. "Naya!"Inayah menoleh ketika mendengar suara yang memanggil namanya. Ternyata Lisa, teman yang sudah ia kenal sejak masih di bangku SMP."Hampir kita nggak ketemu, aku kangen banget," ucap Lisa manja dan merangkul bahu Inayah. "Sorry, aku nggak bisa datang di pemakaman kak Aretha," ringis Lisa."Nggak papa. Kamu juga lagi nggak di rumah kan waktu itu?" Inayah memang sudah tau kalau Lisa tak berada di rumah saat kak Aretha meninggal. Perempuan bertubuh tinggi itu sedang berada di Makasar, ada kerabat jauh yang sedang melangsungkan pernikahan."Aku pengen pulang sebenarnya, tapi mama ngelarang karena udah kemalaman, paginya acara inti, aku nggak bisa kabur," sungut Lisa penuh sesal."Udah, nggak papa. Santai aja." Inayah menepuk bahu Lisa menenangkan."Oya, kemarin pak Bumi nanyain kamu. Aku sampai keki disamperin dosen paling cakep
Jangan ngelamun. Aku nggak marah kok. Ayo, makan dulu." Bumi menyodorkan sendok di depan mulut Inayah dan Inayah menggeleng kecil."Aku udah makan," tolak Inayah."Jadi aku makan sendiri, nih?" tanya Bumi heran."Aku udah makan bareng Lisa tadi.""Kenapa kita nggak makan bareng aja di sini?" Bumi menegakkan tubuh dan terlihat tak berselera untuk menyantap makan siangnya."Aku tadi lupa sarapan jadi makan siangnya dipercepat," kilah Inayah."Maaf, ya. Aku nggak ada di sana waktu kamu lagi berduka." Bumi menggenggam tangan Inayah dengan raut wajah bersalah.Inayah jadi ingin menangis rasanya. Ia tak bisa membayangkan apa jadinya kalau Bumi ada di sana, melihat dirinya menikah dengan Taksa."Nggak papa. Maaf juga karena aku nggak ada ngabarin kamu." Inayah membersit hidung dan Bumi menyodorkan tisu."Ada yang mau aku omongin," lirih Inayah."Apa itu?" tanya Bumi penasaran."Habiskan dulu makan siangnya. Kasian ibu kantin yang udah capek-capek masak, kasian juga aba Fahrazi yang udah cape
Bumi kembali tertawa terbahak-bahak. Ia menggelengkan kepala dan menatap Inayah dalam. "Kamu pengen banget ya putus dari aku sampai segitunya ngarang alasan?" Bumi masih terkekeh. "Alasan kamu nggak bisa aku terima dan aku nggak mau putus.""Aku tau kamu nggak akan percaya sama kata-kataku karena aku sendiri juga masih nggak percaya kalo aku udah nikah. Tapi, aku tetep mau putus. Hubungan kita nggak bisa dilanjutkan," lirih Inayah. "Aku pergi dulu."Inayah bergegas keluar ruangan dan menutup pintu dengan terburu-buru diiringi dengan tatapan tajam Bumi yang masih tak mengerti. Ada apa dengan Inayah sampai perempuan itu begitu ngotot ingin putus dengannya dan mengarang alasan sampai sedemikian rupa?Sementara itu, Inayah memilih langsung ke kelas berikutnya. Duduk dengan tenang walau kelas dimulai satu jam lagi. Degupan jantungnya menggila dan Inayah memilih menelungkupkan kepala di atas lipatan tangan yang ia sandarkan di atas meja. Bumi lelaki yang baik. Lelaki yang mulai ia kenal ka